Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan is a scientific journal, focused on Rural Sociological which refers to the key terminology of "Sodality" where the dynamics of the local structures (village/rural) and extra-local has created spaces of social disharmony, thus require the analysis and synthesis of multidisciplinary science to explain empirical facts dimensions of socio-economic-ecological in village/rural.
Articles
408 Documents
Percobaan Pembangunan Partisipatif dalam Otonomi Daerah
Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 2 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (199.293 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i2.5867
As part of governing mechanism, local participation has already been practiced by numerous ethnic groups of Indonesia since centuries. In modern era, the idea of participation, that was at the outset integrated into development thought as desentralisation, was introduced in 1950s-1960s. In the 1980s, Non-Government Organization adopted participatory development to control government and donor agencies. Since 1990s, donor and developed countries adopted paticipatory development as single approach to operationalize development measures. In Indonesia, participatory development practices need to pay attention on two sub-structures, i.e., program and budget arrangements. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) is a participatory-based planning mechanism is run stretching from rural upto national level and is considered to be very central for nation-wide development measures. The mechanism needs to be criticed since it just increases efficiency and effectiveness of development actions, but it fails to expand participaton space of the lowest social layers of rural communities
Dilema Dalam Transformasi Desa Ke Nagari : Studi Kasus di Kenagarian IV Koto Palembayan, Provinsi Sumatera Barat
Budi Astuti, Nuraini;
M. Kolopaking, Lala
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 2 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (181.429 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i2.5868
The implementation of local autonomy regime gives an interesting socio-political explanation of how is the local genuine governance system, the so-called nagari, to operate in West Sumatera. Based on Law No. 22/1999 as amended by Law No. 32/2004, the Regional Government of West Sumatera introduced Regional Law No. 9/2000 as legal foundation to regulate the implementation of nagari in the region. The study, was conducted in Nagari IV Koto Palembayan, District of Agam, Province of West Sumatera. It was intended to 1) describe and analyze the implication of structural change from nagari to desa and its return to nagari system, 2) analyze potential conflicts that occur in the transformation from desa to nagari. The study used qualitative approach, in which data and information were mostly collected by in-depth interviews supported by observation, study of literature and documents. It was found that 1) such intervention brought about widely social change at local level, 2) the transformation from desa to nagari stimulated some potential conflicts at local level. It is realized that it is uneasy for the government to synergize modern and traditional institution of governance in a single system. In case, the control of such a complicated system is very poor, then the implementation of nagari system is substantially hindered.
Modal Sosial Dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Tanah Sareal Dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)
Martianto, Drajat;
Alfiasari, .;
Hadi Dharmawan, Arya
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 1 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (408.156 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i1.5869
Nilai sosial yang terpelihara baik seperti kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial menjadi hal yang menguntungkan bagi interaksi antar anggota masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kondisi modal sosial dan potensinya dalam menguatkan ketahanan pangan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal dan Kelurahan Tajur, Kecamatan Bogor Timur. Penelitian ini menunjukkan bahwa kecukupan modal sosial lebih terlihat di Kelurahan Kedung Jaya, dan keberadaan modal sosial tersebut berpotensi dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga miskin. Rumah tangga yang mempunyai kepercayaan lebih tinggi dalam menjalin hubungan tanpa rasa saling curiga, mempunyai kepercayaan lebih tinggi dalam menjaga lingkungan tetap langgeng (sustain), mempunyai hubungan sosialnya lebih banyak dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangganya, dan istrinya bukan penduduk asli lingkungan tempat tinggal merupakan rumah tangga yang mempunyai tingkat ketahanan pangan lebih baik.
Konflik Nelayan Di Jawa Timur : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten
Annisa, Luluk;
Satria, Arif;
A Kinseng, Rilus
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 1 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (172.471 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i1.5870
Pada dasarnya, prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia telah diatur jelas pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 (dikenal dengan sistem pengelolaan bersifat state property), sehingga sumberdaya perikanan di Indonesia bersifat quasi open access, dimana sumberdaya tidak sepenuhnya dapat diakses karena adanya peraturan yang mengatur. Namun, seringkali aturan dibuat tidak dengan cara partisipatif dan merupakan hasil pertimbangan dari pemerintah pusat tanpa memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru menimbulkan masalah-masalah baru karena masing-masing pihak memiliki kepentingan, keinginan dan prioritas yang berbeda-beda. Perbedaan kepentingan, keinginan dan prioritas yang ada merupakan sumber pemicu munculnya konflik . Konflik merupakan fenomena yang telah ada sejak dahulu, bahkan sebelum era otonomi daerah, khususnya konflik kenelayanan. Keleluasaan mengeksploitasi sumberdaya perikanan merupakan konsekuensi ciri kepemilikan yang bersifat open acces, maka tidak jarang pemanfaatannya menimbulkan masalah akibat perbedaan kepentingan. Berdasarkan hal tersebut, maka dibutuhkan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat meredam dan mencegah konflik sebagai upaya pengelolaan konflik. Salah satu daerah yang mengalami konflik, yaitu di Kecamatan Lekok, Pasuruan, provinsi Jawa Timur. Lekok merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Pasuruan dengan jumlah nelayan terbanyak di Pasuruan. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik pengelolaan konflik, khususnya di daerah Pasuruan
Tekanan Penduduk, Overshoot Ekologi Pulau Jawa, dan Masa Pemulihannya
Rusli, Said;
Indriana, Hana
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 1 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (5889.308 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i1.5871
Perkembangan penduduk Pulau Jawa terus terjadi. Menurut hasil perhitungan indeks tekanan penduduk Pulau Jawa tahun 2006 diketahui sebesar 1,61 dan apabila Banten tidak dimasukkan ke dalam perhitungan tekanan penduduk menjadi 1,80. Estimasi indeks tekanan penduduk pada tahun 2010 menunjukkan adanya sedikit peningkatan menjadi 1,63 dan 1,83 jika tidak memasukkan Banten. Indikasi terjadinya over population Pulau Jawa didukung oleh hasil simulasi bahwa dengan jumlah penduduk saat ini, semestinya penduduk petani tidak lebih dari 24%. Sedangkan dengan sistem pertanian yang diterapkan saat ini, jumlah lahan pertanian yang dibutuhkan untuk menghidupi seluruh penduduk Pulau Jawa adalah seluas 8.428.980 ha setara sawah. Keadaan faktual menunjukkan jumlah pertanian sebanyak 41% dan luas lahan 4.863.487 ha setara sawah. Hasil perhitungan tapak ekologi lahan pertanian Pulau Jawa menunjukkan bahwa tapak ekologi Pulau Jawa tahun 2006 bernilai 0,2339 Gha/orang atau 0,1064 ha/orang. Itu artinya setiap penduduk Pulau Jawa telah menggunakan lahan untuk konsumsi produk pertanian sebesar 0,1064 ha. Pada saat yang sama kemampuan lahan pertanian menyediakan produk pertanian sebesar 0,1111 Gha/orang atau 0,0551 ha/orang. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kapasitas biologis lahan pertanian dalam menyediakan produk-produk pertanian yang dikonsumsi oleh penduduk sudah terlampaui (overshoot) sebesar 0,0536 Gha/orang atau 0,0513 ha/orang. Besarnya defisit lahan pertanian tersebar merata di setiap propinsi.
Kritik Ekologi Poskolonial : Dari Kontrol Pembangunan yang Berkelanjutan menuju Praksis Ekologi Bersama
Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 1 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (231.585 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i1.5872
Kebijakan pembangunan yang berkelanjutan paling tepat dipahami sebagai konstruksi kebijakan ekologi yang disusun oleh Utara untuk mendominasi Selatan. Konsep pembangunan yang berkelanjutan pertama kali muncul di Eropa, kemudian sejak dekade 1990-an dijadikan komoditas utang luar negeri bagi Selatan. Diskursus pembangunan yang berkelanjutan dikuatkan dan dimaterialisasikan melalui lembaga-lembaga pendidikan, ekonomi, hingga teknologi. Artikel ini mengajukan ruang kritik baru melalui susunan baru matriks teori-teori ekologi. Untuk mengatasi kontrol Utara tersebut diajukan hibriditas sebagai basis kebijakan ekologi. Hibriditas memungkinkan solidaritas lintas kelas dan teritorial lokal hingga internasional, mengatasi penyekatan yang tersusun semula, sekaligus mengembangkan sifat dinamis kebijakan sebagai proses “menjadi” secara terus menerus.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan Lokal
., Saharuddin
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 1 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (139.057 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i1.5873
Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan strategi adaptasi yang memang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dalam membenahi masalah-masalah sosial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal merupakan hasil interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya, sehingga dengan kearifan lokal, sangat diperlukan untuk membantu masyarakat itu secara mandiri. Kearifan lokal menjadi inti dari usaha mengentaskan kemiskinan yang ada dan tumbuh di masyarakat sebagai sasaran dari proses penerapan program pengentasan kemiskinan. Pengembangan kesejahteraan sosial atau juga pembangunan komuniti (community development) termasuk didalamnya program pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan dengan penerapan yang sesuai melalui kacamata komuniti setempat sebagai obyek sasaran.
Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten
Sihaloho, Martua;
Purwandari, Heru
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 1 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (109.398 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v3i1.5874
Sumberdaya agraria merupakan salah satu faktor utama bagi stakeholder, khususnya petani. Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang reforma agraria di bidang pertanian menjadi penting diwujudkan, khususnya dengan mengkaji hubungan antara perubahan struktur agraria dan differensiasi kesejahteraan petani. Hasil penelitian di Kabupaten Lebak menunjukkan, lahan dan modal menjadi dua faktor penting dalam usahatani pertanian. Perubahan struktur agraria mempengaruhi differensiasi kesejahteraan petani. Arah perubahan struktur agraria yang terjadi stratifikasi dan polarisasi.
Model Pengembangan Kelembagaan Kemitraan dan Pemasaran Temulawak di Kota Semarang
Purnaningsih, Ninuk
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 2 No. 3 (2008): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (451.285 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v2i3.5875
Produk biofarmaka, yang salah satunya berasal dari tumbuhan, sangat berpotensi dalam pengembangan Industri Obat Tradisional (IOT) dan kosmetika di Indonesia. Penggunaan tumbuhan oleh IOT dimulai dengan memanfaatkan tumbuhan yang diperoleh dari hutan alam (hasil kegiatan ekstraktif) dan produk budidaya. Sebagai produk budidaya, sumber biofarmaka ini teknik budidayanya belum tertata dengan baik. Fakta ini memberikan peluang besar sekaligus tantangan untuk peningkatan sumbangan produksi dan produk olahan tanaman obat hasil budidaya. Kebutuhan akan biofarmaka untuk industri dalam negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 mencapai 6.813 ton, meningkat di tahun 2001 menjadi 7.170 ton, dan pada tahun 2002 peningkatan mencapai 8.104 ton. Peningkatan kebutuhan bahan baku ini berjalan seiring dengan meningkatnya jumlah industri jamu, farmasi dan kosmetika. Pada tahun 2000 kebutuhan tanaman temulawak (yang merupakan tanaman rimpang terbesar ke-3 setelah tanaman lempuyang dan jahe) untuk 5 (lima) industri jamu terbesar mencapai 38.600 kg/bulan atau 463.200 kg/tahun. Perkiraan WHO sekitar 14-28% dari 250 ribu jenis tumbuhan di dunia yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan obat tradisional. Strategi pengembangan agribisnis biofarmaka dapat mengambil bentuk pada pola-pola penumbuhan dan penguatan kelembagaan berbasis pada komunitas lokal/petani, utamanya bagi produk biofarmaka yang telah lazim dibudidayakan oleh masyarakat setempat, seperti temulawak, jahe dan sebagainya. Berbagai pola pengembangan agribisnis biofarmaka dapat dilakukan, umpamanya melalui pola kemitraan (partnership) yang mengintegrasikannya dengan perusahaan jamu skala besar (nasional) atau dengan kelembagaan sosial dan ekonomi lainnya. Peluang demand pasar bahan obat-obatan yang terus terbuka, diiringi dengan semakin banyaknya perusahaan yang masuk ke bidang pengolahan obat-obatan dan kosmetik berbahan baku biofarmaka, memberikan keadaan yang kondusif bagi perusahaan agribisnis biofarmaka atau petani biofarmaka untuk dapat meningkatkan pendapatan rumahtangganya. Kecamatan Tembalang dan Banyumanik merupakan dua kecamatan penghasil Temulawak khususnya dan rimpang umumnya di Kota Semarang. Tulisan ini bertujuan untuk: (1) menganalisis model pemasaran dan kelembagaan dalam memberdayakan petani temulawak yang telah ada di Kota Semarang, (2) mendeskripsikan tahapan kegiatan pengembangan dan pemberdayaan infrastruktur sosial ekonomi penopang kegiatan agribisnis temulawak yang telah ada dan dibutuhkan dalam membangun model pemasaran temulawak di Kota Semarang, dan (3) menganalisis jejaring usaha agribisnis temulawak di tingkat lokal-regional yang ideal dapat dilakukan oleh petani temulawak di Kota Semarang. Tulisan ini merupakan sebagian analisis yang didasarkan pada data penelitian lapangan tentang Model Kemitraan dan Pemasaran Terpadu Biofarmaka di Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah, yang dilakukan pada akhir tahun 2006
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Program Public Awareness : Studi Kasus Kampanye Flu Burung Oleh Badan Karantina Pertanian Di Jakarta
Gatya Ezaputri Panduwinata, Ghea;
WL, Richard
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 2 No. 3 (2008): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (539.927 KB)
|
DOI: 10.22500/sodality.v2i3.5876
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat efektifitas program kampanye Public Awareness mengenai flu burung di Jakarta, serta analisis hubungan antara faktor karakteristik responden, perilaku dan media terhadap kesadaran masyarakat (Public Awareness). Program yang dijalankan ialah program Public Awareness yang dilakukan melalui aksi-aksi komunikatif. Kampanye Flu burung dilaksanakan di Jakarta dengan menggunakan metode kuantitatif, yaitu melalui survey. Survey menggunakan metode Purposive Incidental yang bertujuan untuk mendapatkan responden sebanyak 800 orang, yaitu 400 responden pada survey I dan 400 responden pada survey II. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa program Public Awareness dikatakan efektif karena terdapat peningkatan persentase dari traveler yang dilihat berdasarkan hasil kuesioner, dapat disimpulkan pula bahwa efektifitas program dipengaruhi oleh perilaku, media dan karakteristik responden yang telah diuji dengan SPSS dengan metode perhitungan chi-square.