cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
E-Jurnal Gloria Yuris Prodi Ilmu Hukum (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Berisi Jurnal-Jurnal Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Hukum UNTAN (Bagian Hukum Keperdataan, Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Tata Negara, Bagian Hukum Ekonomi, dan Bagian Hukum Internasional)
Arjuna Subject : -
Articles 1,226 Documents
IMPLEMENTASI FUNGSI LEGISLASI DI DESA SUNGAI AMBAWANG KUALA KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PERIODE TAHUN 2008-2014 - A1012131214, ZAINUDIN
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 5, No 3 (2017): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga kemasyarakatan yang mewakili masyarakat desa dalam menyelenggarakan pemerintahan yang dimotori oleh seorang Kepala Desa. Kepala Desa merupakan pemimpin tertinggi yang ada di suatu Desa. Kepala Desa dan  Badan Permusyawaratan Desa memiliki  Tugas sebagai pembuat Peraturan Desa bersama pemerintah Desa lainnya.Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Faktor-faktor apa saja yang menghambat efektifitas implementasi fungsi legislasi badan permusyawaratan desa (BPD) di Desa Sungai Ambawang Kuala Periode 2008-2014 . (2) Bagaimana upaya meningkatkan efektifitas Implementasi fungsi legislasi badan permusyawaratan desa (BPD) di Desa Sungai Ambawang kuala ke depannya.Metode penelitian yang digunakan adalah metode  penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk dapat melihat hukum dalam artian nyata secara meneliti bagaimana kerjanya hukum di suatu lingkungan masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa peran Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam penyususnan dan penetapan peraturan desa di Desa Sungai Ambawang Kuala tidak berjalan dengan efektif, dikarenakan banyak hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa ambawang kuala, seperti : ( 1 ). Kualitas dan Kapabilitas dari Kepala Desa dan anggota Badan Permusyawaratan Desa Sungai Ambawang Kuala yang masih rendah. ( 2 ). Kurangnya Koordinasi anatara Kepala Desa dengan BPD. ( 3 ). Partisipasi Masyarakat. ( 4 ). Sarana dan Prasarana yang tidak memadai. ( 5 ). Minimnya Anggaran yang dimilki Desa sehingga mempengaruhi Dana pembuatan Peraturan Desa dan Insentif yang diberikan kepada seluruh anggota BPD.( 6 ). Waktu. Selanjutnya Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, Desa Sungai Ambawang Kuala menjelaskan ada beberapa cara ataupun syarat yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas kerjanya sebagai fungsi legislasi yaitu: ( 1 ) Rekruitmen/sistem pemilihan anggota BPD. ( 2 ). Memberikan  pelatihan secara menyeluruh terhadap Pemerintah Desa dan Anggota BPD. ( 3 ). Sarana  dan  Prasarana yang memadai. ( 4 ). Meningkatkan koordinasi antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. ( 5 ). Peningkatan partisipasi masyarakat.   Kata Kunci :  Kinerja/SDM, Fungsi Legislasi, Efektivitas Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa,
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN MENURUT UNDANG – UNDANG NO.21 TAHUN 2007 DI TINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI DI WILAYAH ENTIKONG KABUPATEN SANGGAU - A11112070, FRANS AMMARECLAS WUWUR
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 5, No 1 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana perdagangan orang atau human traffickingadalah tindak pidana yang menggunakan manusia sebagai objek untuk diperjual – belikan  dan di ekspolitasi ke berbagai bentuk perdagangan orang baik di dalam maupun diluar Negeri. Perdagangan orang merupakan salah satu kejahatan yang mengabaikan dan melawan hak asasi manusia oleh karena itu perdagangan orang tergolong dalam tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime) dan termasuk sebagai (transnational crime) kejahatan yang bersifat lintas batas. Undang – undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan suatu upaya dalam menekan dan memberantas perdagangan orang khususnya perdagangan terhadap perempuan di wilayah Entikong Kabupaten Sanggau. Kasus perdagangan orang khususnya perempuan di wilayah Entikong dapat dikatakan cukup tinggi dikarenakan cukup banyak masyarakat khususnya perempuan yang menjadi korban dalam perdagangan orang. Pelaksanaan yang menjadi tujuan dari Undang – Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak akan terwujud apabila aparat penegak hukum dan elemen pemerintah beserta masayarakat dalam mencegah korban yang lebih besar serta memberantas semua bentuk perdagangan orang di wilayah entikong kabupaten sanggau. Perumusan masalah yang di tuangkan dalam skripsi ini meliputi bagaimana kondisi kejahatan perdagangan terhadap perempuan serta faktor – faktor penyebab yang mempengaruhi perdagangan terhadap perempuan di wilayah Entikong Kabupaten Sanggau. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian empiris yaitu dimana pengumpulan data baik pengambaran tentang penulisan ini tidak hanya berdasarakan penulisan dari buku – buku, literatur, peraturan perundang – undangan, namun juga dilakukan penelitian lapangan demi mendapatkan data, informasi yang aktual dan relevan. perdagangan orang khsususnya perempuan merupakan salah satu masalah yang serius karena menyangkut hak asasi seseorang sebagai manusia. oleh karena itu dengan adanya Undang – Undang  No. 21 tahun 2007 aparat penegak hukum dan elemen pemerintah beserta masyarakat harus dapat bekerjasama dalam mencegah, melindungi serta memberantas perdagangan terhadap perempuan  di wilayah Entikong Kabupaten Sanggau.   Kata Kunci : Perdagangan Perempuan, Kriminologi,
PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS TANAH DI DESA TEMAJOK KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS - A01108210, RIDWAN
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 1, No 1 (2012): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sejak berlakunya UUPA hingga sekarang pendaftaran tanah di Desa Temajok belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, karena sebagian besar dari pemegang hak atas tanah belum secara teratur melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan tanahnya pada Kantor Pertanahan Kabupaten Sambas. Melihat dari arti pentingnya manfaat pendaftaran tanah, namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mendaftarkan tanah seperti halnya yang terjadi pada masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Temajok Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas untuk mendapatkan sertifikat Hak Milik Atas Tanahnya sebagai tanda bukti kepemilikan yang kuat. Desa Temajok mempunyai luas wilayah 26.840 Km2 , terdiri dari 2 Dusun yaitu dusun maludin dan dusun Camar Bulan dengan jumlah penduduk 480 Kepala keluarga, dari tahun 1982 sampai tahun 2012 hanya 100 sertifikat tanah saja yang telah didaftarkan itupun didapat melalui Proyek Operasi Nasional Agraria ( Prona ) yang diberikan oleh Departemen Sosial dan Departemen Pertahanan Keamanan dalam rangka menjaga daerah yang dianggap wilayah merah secara Sporadik. Seperti diketahui bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan kepastian hak terhadap pemegang hak-hak atas tanah. Dengan pendaftaran tanah diharapkan bahwa seseorang akan merasa aman tidak ada gangguan atas hak yang dimilikinya. Untuk itu UUPA telah meletakan kewajiban kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang ada padanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di dalam pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsiten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya Sehubungan dengan itu Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 ayat 1 memerintahkan diselenggarakan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum. Peraturan pendaftaran tanah selain diatur dalam UU No.5 Tahun 1960 juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo Peraturan Menteri Negara Agraria /Ka BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997. Kata Kunci : Pendaftaran Tanah untuk Kepastian hukum dan Kepastian Hak atas Tanah.
WANPRESTASI PENYEWA DALAM PERJANJAN SEWA MENYEWA RUMAH DENGAN PEMILIK DI KECAMATAN PONTIANAK KOTA - A11110073, FAHRURROZI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 4, No 2 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sejalan dengan jumlah penduduk yang makin pesat, tuntutan akan tersedianya berbagai fasilitas yang mendukung kehidupan masyarakat juga mengalami peningkatan. Hal tersebut mendorong pihak pemerintah maupun swasta untuk melaksanakan pembangunan, terutama di bidang sewa-menyewa bahkan jual beli perumahan. Dalam perjanjian sewa menyewa rumah di Jalan Cendana No. 35 Kota Pontianak ini mempunyai jangka waktu yaitu selama 1 (satu) tahun terhitung pada saat perjanjian sewa menyewa ditandatangani. Sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama, si penyewa berkewajiban untuk membayar uang sewa sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) per tahun dengan sistem pembayaran dilakukan secara cicilan dengan uang angsuran pertama dibayar di muka sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan dengan sisa cicilan per 11 bulan sebesar Rp. 1.800.000,- (satu juta delapan ratus ribu rupiah) per bulan. Dalam suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan jika terjadi salah satu pihak lalai dalam melaksanakan kewajiban seperti yang telah diperjanjikan maka pihak yang lalai tersebut dapat dikatakan cidera janji atau wanprestasi. Maka dari itu setiap perjanjian selalu ada jaminan untuk mengatasi terjadinya wanprestasi. Berdasarkan perjanjian sewa menyewa rumah pada Pasal 4 Pihak kedua diharuskan untuk membayar sewa rumah sesuai waktu yang telah disepakati bersama tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penandatanganan surat perjanjian ini. Hal ini menjelaskan bahwa faktor penyebab pihak penyewa rumah wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah di Jalan Cendana No. 35 Kota Pontianak yakni jatuh tempo dalam pembayaran cicilan sewa rumah dengan alasan hutang yang menumpuk pada tempat lain. Mengenai upaya hukum yang dilakukan oleh pemilik rumah terhadap penyewa rumah yang melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa adalah musyawarah secara kekeluargaan dalam pembatalan perjanjian sewa menyewa dan membuat perjanjian baru.   Keyword : Perjanjian Sewa Menyewa, Ganti rugi, Wanprestasi
PERAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA DAERAH KALIMANTAN BARAT DALAM PENGEMBANGAN DAN PERIZINAN LEMBAGA PENYIARAN DI PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA (STUDI KASUS DI KABUPATEN BENGKAYANG) - A01111221, SHELLY HISKIANI HUTAGALUNG
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 4 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kawasan Perbatasan merupakan wilayah terluar yang bersinggungan langsung dengan interaksi yang bersifat eksternal yang mengakibatkan masyarakatnya rentan terkikis rasa nasionalismenya. Adapun wilayah perbatasan di Kalimantan Barat antara lain Kabupaten Bengkayang yang berbatasan langsung dengan Negara bagian Malaysia (Sarawak). Salah satu hal yang belum menjadi perhatian pemerintah dalam pengembangan dan pemberdayaan perbatasan antara lain masalah penyiaran di perbatasan. Masyarakat perbatasan sudah selayaknya berhak untuk memperoleh akses informasi layaknya masyarakat perkotaan sehingga penyelenggaraan penyiaran dapat diwujudkan secara merata di seluruh pelosok nusantara. Lembaga penyiaran yang ada di perbatasan juga membutuhkan izin sebagai kepastian hukum bagi pelaksanaan penyiaran. Salah satu Lembaga Negara yang bersifat independen yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk membuat kebijakan dalam hal pengembangan penyiaran, mewadahi aspirasi masyarakat dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran penyiaran adalah Komisi Penyiaran Indonesia Daerah yang berada di tingkat Daerah. Lembaga Negara inidiharapkan dapat menjadi pendorong pencapaian keberhasilan pemerintahan termasuk tugas penyelenggaraan perizinan di daerahnya.Sehubungan dengan itu, Indonesia sebagai negara hukum menganut prinsip wetmatigheid van bestuur dimana setiap tindakan hukum pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran menjadi landasan hukum KPID Kalbar dalam upaya menyelenggarakan penyiaran berdasarkan asas desentralisasi dapat menjangkau hingga di wilayah perbatasan. Peran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah berupa koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan Lembaga Penyiarandibutuhkandalam upaya pengembangan serta prosedur perizinan Lembaga Penyiaran di daerahperbatasan. Adapun penulisan hukum ini menggunakan metode penelitian Normatif-Empiris dan analisis datanya menggunakan Analisis Deskriptif. Dimana penyajian datanya diuraikan secara kualitatif. Selain itu data disajikan dengan menggunakan uraian-uraian dari data hasil penelitian. Penelitian lapangan dilaksanakan secara langsung dengan melakukan wawancara dengan Ketua KPID Kalbar,Dinas Perhubungan Kab.Bengkayang, Camat, Kepala Desa serta masyarakat perbatasan Kab.Bengkayang.  Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Perbatasan Kabupaten Bengkayang, bahwa sulitnya Lembaga Penyiaran berkembang dan memperoleh izin faktor penyebabnya adalah tidak adanya koordinasi antara KPID dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang dimana faktor pendukung lainnya adalah tidak adanya anggaran KPID dan pemerintah daerah untuk mendukung infrastruktur dan sarana maupun insentif bagi karyawan Lembaga Penyiaran.Dengan demikian upaya KPID belum melaksanakan perannya secara maksimal dan belum memberikan hasil terhadap pengembangan dan perizinan Lembaga Penyiaran yang ada di Perbatasan Bengkayang. Hal ini sejalan dengan fakta yang menunjukkan belum adanya Lembaga Penyiaran di Perbatasan Kabupaten Bengkayang yang memiliki izin. Keyword : Lembaga Penyiaran ; Izin; Perbatasan. 
DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA PENCURIAN PASAL 363 KUHP OLEH ANAK (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI PONTIANAK) Fatwa Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan, GIOFANNI DIAN NOVIKA
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 4, No 4 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kejahatan  merupakan  suatu  fenomena  yang  tidak  dapat  dihindarkan dan  akan  selalu  berkembang  seiring  dengan  berjalannya  waktu.  Pelaku kejahatan selalu identik dengan orang dewasa, tetapi karena kejahatan itu selalu berkembang maka kejahatan itu bisa dilakukan oleh siapa saja tidak terkecuali bagi anak-anak. Anak yang masih labil jiwanya seringkali terpengaruh dengan ajakan  temannya  terhadap  hal-hal  yang  berbau  negatif  hingga  sampai melakukan  kejahatan  dalam  hal  ini  pencurian  karena  tergoda  dengan  iming-imingan  sesuatu  yang  dapat  memenuhi  kebutuhan  sesaatnya  bersama  teman-temannya yang rata-rata lingkungan pergaulannya adalah orang dewasa.  Pencurian  Pasal  363  KUHP  adalah  pencurian  dalam  pemberatan merupakan  jenis  pencurian  dengan  cara-cara  tertentu  sehingga  bersifat  lebih berat  dan  diancam  dengan  hukuman  yang  maksimumnya  lebih  tinggi,  yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun atau lebih dari pidana yang diancamkan dalam Pasal 363 KUHP. Dengan unsur-unsur yang memberatkan didalam Pasal 363  KUHP  sebagai  berikut:  1)  pencurian  ternak  2)  pencurian  pada  waktu kebakaran, letusan,  banjir,  gempa  bumi,  gunung  meletus,  kapal  karam,  kapal terdampar,  kecelakaan  kereta  api,  huru-hara,  pemberontakan  atau  bahaya perang 3) pencurian di waktu malam didaalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya 4) pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu 5) pencurian dengan jalan membongkar, merusak, dan sebagainya. Sebelum  sidang  dimulai  hakim  akan  meminta  hasil  Litmas  sebagai bahan  untuk  hakim  dalam  mempelajari  data-data  yang  berhubungan  dengan anak  yang  melakukan  tindak  pidana  tersebut.  Dari  hasil  litmas  hakim  dapat menyimpulkan putusan yang tepat dijatuhkan kepada anak karena didalam hasil Litmas  terdapat  keterangan  tentang  latar  belakang  serta  motif  anak  dalam melakukan  pencurian.  Hal  inilah  yang  menjadi  dasar  pertimbangan  hakim dalam menjatuhkan putusan. Seringkali  putusan  yang  dijatuhkan  oleh  hakim  berbeda  terhadap perkara yang sama sekalipun  yang  disebut  dengan  disparitas, walaupun Pasal  yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum sama. Dengan adanya Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009  tentang  kekuasaan  kehakiman  yang memberikan  kebebasan  hakim  dalam  menjatuhkan  putusan  tanpa  adanya campur  tangan  dari  pihak  lain  yang  mencoba  mempengaruhi  hasil  putusan tersebut  sehingga  putusan  yang  dihasilkan  lebih  bersifat  objektif  daripada subjektif yang mempunyai kepentingan lain dari penjatuhan putusan tersebut. Kata  kunci  :  Anak,  Pencurian  Pasal  363  KUHP,  Litmas  Anak,  Disparitas Putusan Hakim
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN KEKAYAAN ALAM LAUT WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL OLEH PEMERINTAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR: 27 TAHUN 2007 - A11108113, TAUFIK HIDAYAT
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 3 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Proses pembentukan peraturan perundangan dalam kaitannya pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti dituangkan dalam Undang-Undang nomor : 27 Tahun 2007,merupakan salah satu upaya dari pemerintahan untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan kewenangan yang ada pada pemerintah daerah baik provinsi maupun pemerintah daerah kota/kabupatenS Undang-undang ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan oleh berbagai sector terkait.Dengan demikian,dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan,Ruang lingkup peraturan dalam Undang-Undang ini meliputi Wilayah Pesisir,yakni ruang lautan yang masih terasa pengaruh lautnya,serta Pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya,lingkungan,dan masyarakat. Dalam implementasinya,kea rah laut ditetapkan sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 Nomor 125,Tambah Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sedangkan kea rah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan untuk kewenangan provinsi. Kewenangan kabupaten/kota kea rah laut ditetapkan sejauh seper tiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,sedangkan kearah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan. Dalam pengelolaan sebagai dasa untuk melakukan pembangunan berkelanjutan di tetapkan agar: Pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya non-hayati pesisir; Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir saat ini tidak boleh di mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan dating atas sumber daya pesisir:dan pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai. Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya alam yang potensial di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan pulau-pulau kecil. Sumber daya ini sangat besar dan didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 Km.[1] Garis pantai yang panjang ini memiliki berbagai potensi di antaranya potensi hayati dan non hayati. Disepanjang garis pantai dan pulau-pulau kecil ini berdiam para nelayan yang sebagian besar masih pra sejahtera Secara tradisional kekayaan alam laut dapat digolongkan ke dalam jenis-jenis hayati, dan non hayati, serta energi . Di samping pemanfaatan kekayaan alam laut dalam bentuk perikanan dan pertambangan , laut juga dapat digunakan untuk pelbagai kegiatan lain seperti misalnya, pengangkutan, pelabuhan, pemukiman, pariwisata, rekreasi dan Olah raga, serta tempat pebuangan limbah, disamping penggunaannya sebagai kawasan lindung atau konservasi Di bandingkan dengan Negara maju di Indonesia pengelolaan wilayah pesisir dan lautan baru muncul ke permukaan setelah tahun 1992 yang diselenggarakan oleh United Nations conference on Envinment End Development (UNCED), yang diselenggarakan di ibukota Brazil Reo de Jenero, yang menghasilkan satu kesepakatan yang dikenal dengan sebagai Deklarasi Ria. Deklarasi Rio ini disertai dengan dua buah perjanjian internasional tentang perubahan ilkim dan keanekragaman hayati, Suatu deklarasi tentang hutan dan program aksi untuk dedekade selanjutnya sampai dedekade abad 21 yang dikenal sebagai agenda 21, yang berisi pedoman pelaksanaan pembangunan berkelanjutan oleh Negara-negara dimana kedalamannya termasuk Bab. 17 tentang perlindungan lingkungan laut termasuk wilayah pesisir, serta perlindungan, penggunaan secara rasional dan pembangunan kekyaan alam hayatinya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rencana Pengelolaan memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan. Termasuk didalamnya Rencana Aksi adalah merupakan tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan Penelitian dan pengembangan, pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya wajib: memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu yang berwewenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian khusus. Pengawasan dan/atau pengendalian dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang menangani bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat pekerjaan yang dimilikinya. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu memiliki berwenang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.Pengawasan dan Pengendalian Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk: mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya; memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan Kepentingan pusat dan daerah merupakan keterpaduan dalam bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti pertahanan negara, wilayah perbatasan negara, kawasan konservasi, alur pelayaran internasional, Kawasan migrasi ikan dan kawasan perjanjian internasional di bidang kelautan dan perikanan. RSWP-3-K Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan bagian dari Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jangka waktu berlakunya RSWP-3-K Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yaitu 20 (dua puluh) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. SWP-3-K Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi sejalan dengan Pasal 23 ayat (3), dan RSWP-3-K Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sejalan dengan Pasal 26 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. RZWP-3-K Provinsi mencakup wilayah perencanaan daratan dari kecamatan pesisir sampai wilayah perairan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dalam satu hamparan ruang yang saling terkait antara ekosistem daratan dan perairan lautnya. Skala peta Rencana Zonasi disesuaikan dengan tingkat ketelitian peta rencana tata ruang wilayah provinsi, sesuai dengan Pasal 14 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kawasan pemanfaatan umum yang setara dengan kawasan budidaya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, seperti kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri maritim, pariwisata, pemukiman, dan pertambanganKeyword : -
PELAKSANAAN PASAL 8 PERATURANDAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG ALOKASIDANA DESA (Studi Di Desa Untang, Kecamatan Banyuke Hulu, Kabupaten Landak) - A01111051, HARTONO
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 4, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Skripsi ini berjudul “PELAKSANAAN PASAL 8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG ALOKASI DANA DESA (Studi Di Desa Untang Kecamatan Banyuke Hulu Kabupaten Landak)”, Masalah yang diteliti “Bagaimanakah Pelaksanaan Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Landak Nomor 6 Tahun 2008 tentang Alokasi Dana Desa di Desa Untang Kecamatan Banyuke Hulu Kabupaten Landak?” dengan menggunakan metode penelitian hukum secara sosiologis atau empiris. Hasil penelitian yang didapatkan Bahwa : “1. pelaksanaan pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Untang Kecamatan Banyuke Hulu Kabupaten Landak belum sesuai dengan pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Landak Nomor 6 Tahun 2008 tentang Alokasi Dana Desa, disebabkan karena pemerintah Desa Untang lebih mengutamakan urusan penyelenggaraan pemerintahan dibandingkan urusan penyelenggaraan pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakatnya. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Untang Kecamatan Banyuke Hulu Kabupaten Landak: Kurangnya kerja sama antara pemerintah Desa (Pj Kepala Desa) Untang dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Untang dalam membahas penyusu nan rencana penggunaan dana Alokasi Dana Desa dan  Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Kurangnya pengalokasian dana dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang di anggarkan pemerintah Desa Untang untuk melaksanakan penyelenggaraan pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat. Kurangnya  koordinasi antara Pemerintah Desa (Pj Kepala Desa) Untang dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Untang dalam melaksanakan pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Untang Kecamatan Banyuke Hulu Kabupaten Landak. Rekomendasi yang dapat penulis ajukan atau sampaikan yaitu : Perlunya transparansi dari Kepala Desa mengenai penggunaan dan peruntukan dana Alokasi Dana Desa (ADD). Agar tercapainya tujuan dari diberikannya Alokasi Dana Desa, pemerintah desa harus mengalokasikan dana untuk menyelenggarakan pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakatnya. Perlunya memberikan pelatihan atau kursus kepada kepala desa dan BPD agar pengetahuan mereka bertambah dan memahami dalam pelaksanaan pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan dana pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) maupun Peraturan Desa (perdes).   Keywords: Pelaksanaan, Penyelenggaraan, Alokasi Dana Desa.
ANALISIS FUNGSI KEPALA DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH SESUAI PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI - A11112196, DEDDY SITEPU
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 4, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Skripsi ini berjudul Analisis Fungsi Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sesuai Prinsip-Prinsip Demokrasi, dimana Kepala daerah sebagai unsur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan kepala pemerintahan daerah otonom yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat atas prakarsa dan inisiatif daerah telah sesuai dengan kaidah atau norma-norma berlandaskan asas otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dilakukan oleh kepala daerah untuk menumbuhkembangkan pemerintahan atas prakarsa, inisiatif, kreatif  berdasarkan partisipasi masyarakat daerah untuk melaksanakan pemerintahan demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dengan dilandasi dengan kedaulatan rakyat. Dalam melaksanakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga, pemerintahan daerah berwenang dalam menyelenggarakan urusan hukum dan peraturan perundang-undangan bersama dengan dewan perwakilan rakyat daerah sebagai unsur pembuat peraturan daerah yang memiliki legalitas dalam tindakan pemerintahan daerah. Kepala daerah merupakan kepala pemerintahan daerah sehingga menjadi pemimpin daerah perlu memahami dan melaksanakan dengan benar otonomi daerah sebagai instrumen politik yang digunakan untuk  mengoptimalkan sumber daya daerah sehingga dapat dipergunakan sebesar-besarnya kemajuan masyarakat di daerah terutama untuk menghadapi  tantangan global, juga untuk mendorong perkembangan/pemberdayaan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat dan mengembangkan partisipasi masyarakat  daerah. Dalam penulisan skripsi ini mempergunakan metode normatif analisis, pengumpulan data dengan teknik kepustakaan, dan teknik analisa data menggunakan teknik deskripsi. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham demokrasi, sehinggga semua kewenangan adalah dimiliki oleh rakyat. Negara Indonesia yang besar dan luas dari segi georafis serta terdiri dari beribu-ribu pulau yang dibatasi  dengan laut,  akan tidak mungkin dapat  melaksanakan demokrasi secara terpusat. Oleh karena itu Pasal  18, Pasal  18A,  dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar  Negara  Republik Indonesia  Tahun 1945 mengatur  pemerintahan  daerah, dan dengan demikian sebagai konsekuensi yuridis konstitusional, maka dibentuklah pemerintahan daerah yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Keberadaan pemerintah daerah secara konstitusional, dimana wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah serta bentuk susunan pemerintahannya diatur dengan undang-undang. Pemerintahan negara membagi-bagi pemerintahan menjadi pemerintah daerah, yang bertujuan mempercepat dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan  dan  keleluasaan  kepada  daerah  untuk  menyelenggarakan Otonomi Daerah.[1] Desentralisasi  merupakan  penyerahan  segala  urusan, baik  pengaturan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, maupun penyelenggaraan pemerintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga sendiri.  Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaan diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah, didalam meningkatkan daerah-daerah mencapai daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian daerah perlu diberikan wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta sekaligus memiliki pendapatan daerah.Konsep Negara Indonesia seperti  dalam Pasal  18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelaksanaan otonomi  memiliki  prinsip demokrasi, otonomi luas dan kewenangan yang luas, keadilan, pembagian kekuasaan, pengaturan kewenangan, dan penghormatan atas hak-hak asli. Dengan demikian itu merupakan salah satu dari asas-asas penyelenggaraan pemerintahan negara  yang  menekankan  adanya  pemberian  kewenangan  oleh  negara  kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsi-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat,  dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai  aspek yang  berkenaan  dengan potensi  dan keanekaragaman  antar  daerah.  Dalam arti bahwa dalam penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah, menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke kemasyarakat,  yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini. Demokrasi dan desentralisasi merupakan dua kosep yang berbeda, namun tidak saling meniadakan. Pelaksanaan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dimaknai sebagai penyerapan aspirasi masyarakat, partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Sedangkan desentralisasi pemerintahan memberikan kewenangan bagi masyarakat  daerah dalam berperan untuk  kemandirian  dan  kebebasan  dengan  tetap  berada  pada  sistem Negara Kesatuan  Republik  Indonesia.  Pemerintah  menyerahkan  wewenang  kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri dalam negara kesatuan. Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,  maka demokrasi merupakan sarana dari pada desentralisasi didalam mencapai tujuan untuk kesejahteraan masyarakat, partisipasi rakyat, akuntabilitas dan transparansi Melaksanakan kehidupan  demokrasi  dalam penyelenggaraan  pemerintah daerah merupakan fungsi dari kepala daerah dalam melaksanakn tugas dan wewenang. Kepala Daerah merupakan kepala pemerintahan memiliki fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  yang  telah  mengalami  perubahan dengan Undang-Undang 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa kepala  daerah  dalam  melaksanakan  tugas  dan  wewenang  berkewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi yang merupakan fungsi kepala daerah untuk menyerapan aspirasi  masyarakat, peningkatan partisipasi serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Kepala Daerah dalam melaksanakan kehidupan demokrasi sebagai  penyelenggara  pemerintah  daerah  bermakna  kabur.  Demokrasi  dalam istilah politik pada Pasal 27 Ayat (1) huruf d menjadi norma yang kabur atau tidak jelas  (vague  norman),  karena  tidak  jelas  ukurannya  penyerapan  aspirasi, peningkatan partisipasi serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Masyarakat yang  dimaksud  masyarakat  yang  terwakili  dalam lembaga  legislatif, kelompok masyarakat yang  tergabung  dalam Lembaga  Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat (Ormas) atau organisasi non  pemerintah, masyarakat petani, pengusaha atau rakyat  jelata  dan lain  sebagainya  masih adanya ketidakjelasan makna. Sedangkan demokrasi didefinisikan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat Kata kunci : ANALISIS FUNGSI KEPALA DAERAH  
EKSISTENSI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA PERWAKILAN PONTIANAK DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS DI KALIMANTAN BARAT - A01111007, RIZKA AFRIANDITA EDMANDA
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Arbitrase sebagai salah satu forum alternatif penyelesaian sengketa non litigasi sebenarnya memberikan h banyak manfaat, kemudahan serta fleksibiltas dalam hal penyelesaian sengketa bisnis. Namun disayangkan, hingga saat ini mayoritas masyarakat masih cenderung memilih peradilan umum sebagai forum penyelesaian sengketa yang mereka gunakan saat mengalami sengketa bisnis dan tidak menggunakan forum arbitrase untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Untuk itu, penelitian ini penulis adakan dalam rangka menemukan jawaban atas rumusan masalah : “Mengapa eksistensi Badan Arbitrase Nasional Indonesia perwakilan Pontianak dalam menyelesaikan sengketa bisnis di Kalimantan Barat Belum Optimal?”. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian empiris dengan jumlah sampel dalam pengumpulan data adalah sebanyak 11 orang responden yang berasal dari kalangan pelaku usaha serta 1 orang Hakim arbiter pada lembaga BANI perwakilan Pontianak. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan untuk mengumpulkan fakta di lapangan adalah dengan pedoman wawancara serta lembar angket yang berisi daftar pertanyaan. Selanjutnya dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa eksistensi lembaga BANI perwakilan Pontianak, belum optimal dalam menyelesaikan sengketa bisnis di Kalimantan Barat disebabkan kurangnya sosialisasi kelembagaan mengenai alternatif penyelesaian sengketa bisnis khususnya arbitrase serta mengenai lembaga BANI itu sendiri kepada masyarakat luas. Sehingga menyebabkan masih banyak masyarakat yang belum mengenal seluk beluk forum arbitrase serta lembaga BANI itu sendiri. Sedangkan upaya untuk meningkatkan eksistensi BANI di tengah masyarakat khususnya pelaku bisnis adalah dengan melakukan sosialisasi, seminar serta hubungan kerjasama antara BANI dengan berbagai instansi terkait.Keyword : Sengketa, Bisnis, Arbitrase

Page 3 of 123 | Total Record : 1226