Ulumul Syar’i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah
Ulumul Syari: Jurnal Ilmu Ilmu Hukum dan Syariah is a peer-reviewed journal managed by LPPM STIS Hidayatullah Balikpapan. The scope of the Journal is in the field of Islamic Law Studies with the main topics focused on Akhwal Syahsiyah (Islamic Family Law), Muamalah (Sharia Economic Law), Jinayah (Islamic Criminal Law), Studies of the Quran and Hadith, using an approach normative, history, philosophy, and sociology.
Articles
55 Documents
Hadis Musykil Menurut Pandangan Ibnu Hajar al-Asqalani
Kusnadi Kusnadi
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 6 No. 1 (2017): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Ibnu Hajar termasuk ulama yang banyak menguasai hadis, baik riwayah maupun dirayah. Menurutnya hadis sama dengan al-Qur’an dari sisi kehujjahan dan dalilnya, bahwa hadis sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Hadis merupakan wahyu yang diturunkan kepada orang yang berbicara tidak berdasarkan hawa nafsunya. Dia mampu menguraikan secara detail hadis-hadis yang musykil. Hadis yang menimbulkan kemusykilan adalah Jawami’ al-Kalim (ungkapan yang singkat namun padat makna). Menurut Ibnu Hajar hadis yang jawami’ al-kalim itu terdapat beberapa yang musykil. Di antaranya adalah “al-ain haqq”. Menurut dia, makna hadis tersebut, bahwa mata manusia pada orang-orang tertentu memiliki kekuatan supranatural. Di antara hadis muskil adalah “: “sebagian dari keterangan adalah sihir”. Ibnu Hajar mengartikan hadis tersebut secara majazi, yaitu kata-kata yang dapat mengagumkan orang bisa berkonotasi positif dan bisa berkonotasi negatif. Diantara hadis musykil adalah ungkapan dengan bahasa perumpamaan, “Orang mukmin itu makan dalam satu usus, orang kafir makan dalam tujuh usus”. Ibnu Hajar berpandangan bahwa yang dimaksud dengan tujuh usus pada orang kafir adalah pola hidup konsumerisme. Sementara orang mukmin dalam menyikapi gemerlapnya dunia ini hanya mengambilnya sebatas kebutuhan hidupnya. Di antara hadis musykil adalah Bahasa Perumpamaan, seperti hadis “Apabila hambaku mendekati aku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”. Menurut Ibnu Hajar hadis itu kalau diartikan secara hakiki menunjukkan adanya jarak yang ditempuh secara fisik. Hal itu tidak mungkin bagi Allah. Karenanya hadis itu harus diartikan secara majazi, yaitu Allah meneguhkan ketaatan kepada hambanya dalam melaksanakan ibadah.
Obyektivitas dan Subyektivitas Dalam Sains, Ilmu Agama dan Sosial
Abdurrohim Abdurrohim
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 6 No. 2 (2017): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Persoalan sejarah ilmu pengetahuan dari dahulu selalu diwarnai oleh persaingan dan saling tarik-menarik untuk mendominasi antar berbagai ide pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia ilmu yang berasas pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan pengetahuan manusia itu sendiri menjadi semacam pondasi dari munculnya perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, terjadi dikotomi antara obyektivitas dan subyektivitas yang membuat konteks ilmu pengetahuan mengalami segregasi, bukan integrasi. Ilmu tersegmentasi dalam sekian banyak nomenklatur yang membingungkan, terpisah antara sains, ilmu agama dan ilmu sosial. Pada akhirnya ilmu agama semakin terpisah dari ilmu lainnya, dan sekularisasi terhadap ilmu pengetahuan menjadi semakin tidak terelakkan.
Kehujjahan Hadis Daif Dalam Permasalahan Hukum Menurut Pendapat Abu Hanifah
Kusnadi Kusnadi
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 7 No. 2 (2018): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Hadis secara otentisitas tidak sama dengan al-Qur’an. Secara formal al-Qur’an telah ditulis pada masa Rasulullah saw setiap wahyu turun, dengan demikian, otentisitas al-Quran dan validitasnya dapat terjamin. Sedangkan hadis baru dibukukan secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (61-101 H). Dengan demikian, untuk menjamin kebenaran dan kesahihan hadis membutuhkan penelitian dan analisis secara kritis. Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa hadis daif tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum halal dan haram. Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat, hadis daif boleh dijadikan sebagai landasan hukum. Menurut pandangan Abu Hanifah, hadis daif lebih baik dari pada qiyas dan ra’yu. Hadis Rasul yang dianggap daif oleh Abu Hanifah adalah hadis āhād jika bertentangan dengan al-Quran, hadis mutawatir dan hadis masyhur. Perawi hadis āhād, riwayatnya tidak boleh bertentangan dengan perbuatannya. Apabila hadis āhād tidak memenuhi kriteria tersebut, maka Abu Hanifah menganggap sebagai hadis daif atau hadis mardud. Oleh karena itu, dia mendahulukan mengamalkan hadis-hadis mursal dari pada meng-amalkan kias. Hadis daif juga dapat dijadikan sumber Hukum.
Al-Sharf Dalam Pandangan Islam
M. Rizky Kurnia Sah;
La Ilman
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 7 No. 2 (2018): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Transaksi mata uang (al-Sharf) dalam kitab fikih sangatlah sedikit dan juga terbatas pembahasannya di kalangan para ahli fukaha. Keterbatasan ini dapat dipahami, karena pada masa lampau, ketika kitab fikih sedang ditulis oleh fuqaha, permasalahan jual beli mata uang bukan masalah yang menonjol sebagaimana masalah muamalat lainnya. Dengan demikian perhatian tidak cukup banyak terhadap masalah ini. Masalah valuta muncul ke permukaan dan menjadi perbincangan ulama setelah terjadi ketidakstabilan nilai tukar emas dan perak pada masa kesultanan Mamluk, tepatnya masa Nasir Muhammad bin Qalamun semasa Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini terdapat berbagai bentuk transaksi ekonomi kontemporer, seperti perdagangan mata uang. Dalam kaitan ini, bagaimana fikih mu’âmalah menjawab berbagai persoalan tentang bentuk-bentuk transaksi ekonomi kontemporer saat ini, seperti halnya perdagangan mata uang yang pembahasannya dalam kitab-kitab fiqih klasik masih terlalu global. Untuk sampai pada pemahaman tersebut, perlulah dikemukakan pandangan hukum Islam terhadap perdagangan mata uang, yang status hukumnya masih dalam keraguan dari segi hukum Islam. Mungkin perdagangan ini tidak akan menjadi persoalan, apabila dalam prakteknya terkandung itikad baik agar dalam pelaksanaannya tidak merugikan kedua belah pihak.
Investasi Dalam Ekonomi Islam
Trisno Wardy Putra
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 7 No. 2 (2018): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Fokus pembahasan ini menyangkut tentang investasi dalam ekonomi Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan bagaimana pandangan syariah terhadap investasi dan untuk mengetahui bagaimana dasar-dasar pengembangan investasi syariah. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka yakni mengkaji berbagai literatur ataupun referensi terkait investasi syariah. Hasil pembahasan menyebutkan bahwasanya investasi dibolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam syariat. Adapun dasar-dasar pengembangan investasi syariah yaitu menginvestasikan modal sesuai dengan syariat dan menyeleksi orang yang akan diajak kerjasama.
Mengimpikan Keadilan Dalam Perbedaan
Mujiburrahman Mujiburrahman
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 7 No. 2 (2018): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Manusia itu sama sekaligus berbeda. Persamaan penting karena ia menjadi landasan bagi titik temu, persaudaraan, kerjasama dan saling memahami. Ilmu pengetahuan tentang manusia dapat berkembang karena adanya kesamaan manusia. Perbedaan memberikan manusia identitas, suatu ciri khas yang mendudukkannya sebagai pribadi atau kelompok yang unik. Perbedaan juga berfungsi sebagai ujian dan cobaan bagi umat manusia, apakah mereka bekerjasama atau bertengkar, bersekutu atau berseteru, saling menyombongkan diri atau saling menghormati. Karena masing-masing pihak merasa unik berkat perbedaan itu, maka Alqur’an menyarankan agar manusia “berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan”. Perintah ini mengingatkan bahwa titik temu antar perbedaan itu adalah perbuatan baik, dan perlombaan dalam berbuat kebaikan tidak akan menimbulkan permusuhan, bahkan mempererat persaudaraan.
Kewajiban Mendasar Kepala Keluarga (Studi Tafsir Surat At-Tahrim: 6)
Herianto Herianto
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 7 No. 2 (2018): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Konsekuensi dari pernikahan adalah adanya kewajiban antara pasangan suami istri. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarga, dialah yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut. Tanggung jawab yang paling utama dalam memimpin keluarga adalah memberikan keselamatan terhadap keluarga. Dalam surat at Tahrim: 6, Allah menjelaskan arah tanggung jawab terhadap keluarga. Secara umum objek Surat at-Tahrim: 6 adalah setiap mukmin. Tetapi perintah juga mengarah kepada orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga. Perintah menjaga menunjukan bahwa kebijakan seorang kepala keluarga adalah tindakan preventif. Kepala keluarga berkewajiban untuk memastikan diri dan keluarganya tercegah dari neraka. Neraka adalah bagian dari dimensi kehidupan akhirat, hal ini menunjukan bahwa orientasi penjagaan tersebut bukan hanya penjagaan yang bersifat duniawi, tapi juga bersifat ukhrawi. Oleh karena itu bentuk tanggung jawab penjagaan keluarga berdasarkan penafsiran para ahli tafsir meliputi; pendidikan keluarga; kontroling keluarga; sebagai penentu dan pembuat kebijakan; dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan lahiriah keluarga.
Pandangan Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i Tentang Talak Mudhaf
Farhatul Jannah
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 7 No. 2 (2018): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i berbeda pendapat dalam masalah talak mudhaf. Imam Malik berpendapat dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubrᾱ bahwasanya talak mudhaf tersebut jatuh seketika, yakni secara spontan saat ia menyatakannya. Imam asy-Syafi’i berpendapat dalam kitab al-Umm, bahwasanya talak mudhaf tersebut jatuh ketika sampai pada waktu yang ditentukan. Titik temu persamaan dan perbedaan pendapat Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i tentang talak mudhaf. Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i memiliki pendapat yang sama yaitu talak tersebut sah dan jatuh. Namun dalam hal ini Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i berbeda pendapat mengenai kapan jatuhnya talak tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa talak mudhaf (talak yang ditangguhkan dengan masa yang akan datang), talak tersebut sah dan jatuh seketika yakni secara spontan saat menyatakannya. Hal ini berkenaan dengan istinbᾱṭ hukum Imam Malik menggunakan dalil al-Quran surah al-Baqarah [2]: 229. Adapun Imam asy-Syafi’i berpendapat, bahwa talak mudhaf (talak yang ditangguhkan dengan masa yang akan datang), jatuh ketika sampai pada waktu yang ditentukan, begitu pula segala konsekuensinya. Karena beliau memaknai secara lahiriah ayat al-Quran yang terdapat dalam Q.S. al-Maidah [5]: 1. Adapun pendapat yang lebih mendekati kebenaran yaitu talak tersebut jatuh kepada wanita yang diceraikan tapi baru berlaku begitu juga segala konsekuensinya ketika sampai pada waktu yang ditentukan.
Makna Adil Dalam Poligami Menurut Sayyid Quthb (Studi Analisis Tafsir Fḭ Zhilālil Quran Surah An-Nisā’: 3)
Rumayyah Rumayyah
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 7 No. 2 (2018): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Sayyid Quthb tidak membatasi adil dalam poligami, berbeda dengan para mufassir yang membatasinya. Menurutnya, adil dalam poligami itu bersifat mutlak tidak membatasi tempat-tempat keadilannya. Istinbath hukum yang digunakan dalam adil dalam poligami tersebut adalah mengambil makna zahir dari surah an-Nisā: 3 yaitu lafaz Alla Tuqsithu. Dalam analisisnya, ternyata adil dalam poligami bersifat mutlak, tidak membatasi tempat-tempat keadilannya. Maka yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua bentuknya dengan segala pengertiannya dalam hal ini, baik yang berkenaan dengan maskawin maupun yang berhubungan dengan yang lain.
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 Tentang Batas Usia Nikah Bagi Perempuan
Rafiah Septarini;
Ummi Salami
Ulumul Syar'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah Vol. 8 No. 1 (2019): Ulumul Syar'i
Publisher : LPPM STIS Hidayatullah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.52051/ulumulsyari.v8i1.41
Hukum positif Indonesia membedakan batasan minimal umur nikah antara laki-laki dan perempuan, perbedaan ini dinilai menimbulkan polemik. Olehnya, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan digugat dan diuji di depan sidang Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui landasan Pemohon mengajukan judicial review dan Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa alasan para Pemohon adalah karena terlanggarnya hak anak yang meliputi kesehatan, pendidikan, eksploitasi anak dan perbedaan usia nikah di negara lain. MK mengabulkannya permohonan para Pemohon karena Pasal 7 ayat (1) telah menimbulkan diskriminasi atas dasar jenis kelamin yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak anak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang telah di jamin dalam Undang-Undang Dasar 1974.