cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
TRANSPARENCY
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 216 Documents
KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN INVESTASI DIBIDANG PERTAMBANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2014 Juniver Fernando; Budiman Ginting; Mahmul Siregar
TRANSPARENCY No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (91.081 KB)

Abstract

ABSTRAK KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN INVESTASI DIBIDANG PERTAMBANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2014 * Juniver Fernando Simanjuntak ** BudimanGinting ***MahmulSiregar SetelahdiundangkanUndang-UndangNomor 23 Tahun 2014  tentangPemerintahan Daerah, mengalamitolak-tarikkewenanganpenyelenggaraaninvestasidibidangpertambanganantarapemerintahpusat, pemerintahdaerahprovinsidanpemerintahdaerahkabupaten/kota. Adapun yang permasalahandalampenelitianiniadalahpengaturankegiatanpenanaman modal dalambidangusahapertambangan.Eksistensipemerintahdaerahdalampengelolaanpertambangan mineral.Kewenanganpemerintahkabupaten/kotadalampenyelenggaraaninvestasi di bidangpertambanganberdasarkanUndang-Undang No. 23 Tahun 2014. Penelitianbersifatdeskriptifdanmenggunakanpendekatanyuridisnormatif.Data sekunderdiperolehmelaluipenelitiankepustakaan(Library Research) dandianalisissecarakualitatif. Undang-undangNomor 23 tahun 2014 tentangPemerintah Daerah memberikanporsikewenangan yang lebihbesarkepadaPemerintahdaerahdalammengelolasumberdayaalam yang ada di wilayahnya. Eksistensipemerintahdaerahdalampengelolaanpertambangan mineral menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah tidaksebagaipenentuapakahsuatuizinpertambangan mineral danbatubaraditerbitkanatautidakmelainkansebagaipenyelesaianmasalah yang timbuldaripertambangan mineral danbatubara. Eksistensipemerintahdaerahdalammengelolatambang mineral danbatubaradihapuskan.Hal inimengakibatkanterhambatnyapemerintahdaerahdalammengurusurusanrumahtanggasendiridalamkonteksasasotonom.Kewenanganpemerintahkabupaten/kotadalampenerbitanizinpertambanganberdasarkanUndang-UndangNomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah dibagiantarapemerintahdanpemerintahdaerahprovinsi. Kewenangandalammenerbitkanizinpertambanganberdasarkankonsepotonomidaerahlebihtepatapabiladimilikiolehpemerintahdaerahkabupaten/kota.Sebabpemerintahdaerahkabupaten/kotalah yang mengetahuilebihjelasdaerahnya.Pemerintahdaerahkabupaten/kota yang mengetahuisuatuizinpertambangandapatdiberikankepadaseseorangdan/ataubadanusahaatautidak, karenapemerintahdaerahkabupaten/kotalebihgampangmeninjaukelapangan, karenajaraknyatidakjauh. Kata Kunci : KewenanganPemerintahKabupaten/Kota, PenyelenggaraanInvestasiPertambangan [1] *Mahasiswa FH USU ** DosenPembimbing I *** DosenPembimbing II
PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM PENGELOLAAN PERUSAHAAN KERJASAMA PATUNGAN PMA DAN PMDN (JOINT VENTURE COMPANY) STUDI TENTANG CSR PT. TOYOTA ASTRA MOTOR Priscila Patricia; Bismar Nasution; Tri Murti
TRANSPARENCY No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (523.634 KB)

Abstract

ABSTRAK PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM PENGELOLAAN PERUSAHAAN KERJASAMA PATUNGAN PMA DAN PMDN (JOINT VENTURE COMPANY) STUDI TENTANG CSR PT. TOYOTA ASTRA MOTOR Oleh: Priscila Patricia Yosephin* Bismar Nasution** Tri Murti Lubis***   Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untukberkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbanganantara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.Dimana perusahaan yang dimaksud secara khusus adalah JointVenture Company. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah tinjauan umum tentang Corporate Social Responsibility, pengaturan tentang Joint Venture Company, dan Pelaksanaan Corporate Social Responsibility dalam pengelolaan perusahaan kerjasama Patungan PMA dan PMDN (Joint Venture Company) studi tentang CSR PT. Toyota Astra Motor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, data sekunder dikumpulkan dengan metode studi pustaka (library research) dan dianalisis dengan metode analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini adalah, Corporate Social Responsibility yakni bentuk tindakan suatu perusahaan untuk memberikan suatu perhatian kepada peningkatan kualitas perusahaan melalui peran serta perusahaan tersebut dalam memberikan kontribusi bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Joint venture sendiri yang diartikan sebagai salah satu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh Perusahaan Asing dengan Perusahaan Indonesia dengan membentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas. Dalam hal ini PT.Toyota Astra Motor sebagai joint Venture Company yang merupakan badan hukum berbentuk PT, memiliki kewajiban melaksanakan Corporate Social Responsibility dalam pengelolaan perusahaannya, sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU Perseroan Terbatas.   Kata Kunci: Corporate Social Responsibility,Joint Venture Company, Penanaman Modal       * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (Studi Putusan KPPU Nomor: 2/KPPU-I/2016 tentang Dugaan Price Handling oleh PT. Artha Tetty Marlina; Ningrum Sirait; Mahmul Siregar
TRANSPARENCY Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (655.946 KB)

Abstract

Dalam dunia usaha, merupakan hal yang sangat umum apabila pelaku usaha melakukan kesepakatan diantara mereka. Sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian dan kegiatan usaha yang mengandung unsur kurang adil terhadap dalih pemeliharaan persaingan yang sehat. Namun tidak semua perjanjian berakibat negatif. Tulisan ini membahas tentang penetapan harga (price fixing)sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan penetapan harga yang dilarang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan bagaimana penerapan hukum terkait Price Handling dalam Putusan KPPU No. 20/KPPU-I/2016 tentang dugaan Price Handling yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder guna memperoleh yang dibutuhkan yakni meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas. Salah satu perjanjian yang dilarang adalah Penetapan harga. Pengaturan mengenai perjanjian yang dilarang ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Paktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun dalam undang-undang ini tidak mengatur jelas bagaimana cara untuk membuktikan bahwa suatu perjanjian penetapan harga tersebut telah terjadi. Penggunaan indirect evidence sebagai bukti petunjuk dalam pembuktian terjadinya suatu perjanjian yang dilarang merupakan hal yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan sulitnya menemukan adanya bukti langsung perjanjian antar pihak pelaku usaha. Sehingga dengan konsep indirect evidence dapat melihat bahwa pelaku usaha saling berkomunikasi dan apakah perbuatan pelaku usaha menunjukkan adanya dampak kerugian yang signifikan. Kata kunci:  Perjanjian, Perjanjian yang dilarang, Persaingan Usaha, Penetapan Harga.
PENYIDIKAN OLEH OJK TERKAIT FUNGSI PENGAWASAN DI SEKTOR INDUSTRI JASA KEUANGAN DI TINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAn (OJK) Akmalia Indriana; Bismar Nasution; Mahmul Siregar
TRANSPARENCY Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.778 KB)

Abstract

Kewenangan Penyidikan yang dipunyai oleh penyidik OJK, terhadap semua tindak pidana yang menyangkut jasa keuangan seperti diatur dalam sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan. Sementara terhadap tindak pidana perbankan telah ada penyidik sebelumnya yaitu pejabat Polisi Negara, Jaksa dan KPK. Wewenang baru yang diemban oleh OJK sesuai dengan Undang – Undang nomor 21 tahun 2011 pasal 9 ayat 3 adalah melakukan penyidikan. Berbeda dengan Bank Indonesia selama ini yang punya wewenang dalam pengawasan bank, namun tidak memiliki kewenangan penyidikan, sebatas melakukan investigasi kalau menemukan dugaan terjadinya tindak pidana. Metode penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan skripsi ini adalah yuridis normatif, bersifat deskriftif dengan menggunakan data sekunder.Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research) dan dianalisis secara kualitatif. Undang – undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai dasar kewenangan OJK melakukan penyidikan (right to investigate) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 6 ayat (1) , yaitu : (1). Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Selain itu Polisi sebagai penyidik diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) , yaitu : (1) Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang - undangan lainnya. Dengan demikian Polisi sebagai penyidik termasuk penyidik mempunyai hak dan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan dan lain-lain).Kemudian Hasil penyidikan disampaikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan.   Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan Industri Jasa Keuangan, Penyidikan  
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN PRODUK KOSMETIKA YANG TIDAK MEMENUHI STANDAR MUTU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Putusan: No. 2380 K/Pid.Sus/2011) Dian Meinar; Sunarmi Sunarmi; Detania Sukarja
TRANSPARENCY Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (684.569 KB)

Abstract

Kebutuhan dan permintaan oleh masyarakat akan kosmetika menopang pertumbuhan volume penjualan kosmetik. Pentingnya akan kebutuhan kosmetik ini menimbulkan dampak semakin meningkatnya industri kosmetika. Masyarakat dapat dengan mudah menemukan berbagai macam produk kosmetika di pasaran. Walaupun begitu tidak semua produk kosmetika yang beredar di pasaran telah memenuhi syarat dan standar mutu yang berlaku.Oleh karena itu perlindungan konsumen diperlukan untuk melindungi hak-hak konsumen atas perbuatan pelaku usaha yang menjual dan mengedarkan produk kosmetika yang tidak memenuhi standar mutu. Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Jenis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier menyangkut dengan peneltian ini yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Adapun beberapa kesimpulan dalam skripsi ini antara lain yaitu pertama mengenai pengaturan mengenai perlindungan konsumen terhadap peredaran kosmetika dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kesehatan, serta peraturan terkait yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kedua, praktek bisnis peredaran kosmetika yang tidak memenuhi standar mutu ini masih terjadi di tempat-tempat perbelanjaan di kota Medan. Ketiga, untuk melindungi hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha yang mengedarkan dan menjual produk kosmetika yang tidak sesuai dengan standar mutu maka dapat dilakukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun diluar pengadilan. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Kosmetika yang Tidak Memenuhi Standar Mutu
PENERAPAN BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE) DALAM HUKUM ACARA OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) (STUDI KASUS YAMAHA DAN HONDA PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR.04/KPPU-I/2016) Gary Barus; Ningrum Sirait; Detania Sukarja
TRANSPARENCY Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.45 KB)

Abstract

Pada prinsipnya persaingan usaha adalah baik adanya, karena melalui persaingan usaha, efisiensi ekonomi secara keseluruhan akan meningkat. Perusahaan-perusahaan yang bersaing secara sehat akan menghasilkan produk-produk dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, dan pelayanan yang lebih memuaskan. Pelaku usaha yang efisien akan selalu mencoba memaksimalkan keuntungan yang diraihnya. Keuntungan yang paling besar adalah apabila pelaku usaha dapat menguasai pasar. Hukum persaingan pada dasarnya memperbolehkan penguasaan pasar dengan persyaratan penguasaan pasar tersebut diperoleh dan dipergunakan dengan cara persaingan usaha yang sehat. Namun, banyak strategi bisnis yang dilakukan untuk dapat memenangkan persaingan yang ada dengan cara yang tidak sehat seperti kartel, posisi dominan, persekongkolan dan praktik persaingan usaha tidak sehat lainnya untuk mendapatkan keuntungan yang pada akhirnya mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. PT. Yamaha Indonesia Manufacturing dan PT. Astra Honda Motor sebagai pabrikan sepeda motor di Indonesia yang saat ini menguasai pangsa pasar, diindikasikan melakukan praktik kartel sehingga mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, majalah dan internet yang dinilai sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. Kata Kunci : Persaingan Usaha, Kartel, Sepeda Motor.
AKUISISI SAHAM PERUSAHAAN DAN IMPLIKASI DALAM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DITINJAU DARI UU.NO 5 TAHUN 1999 (STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR.09/KPPU-L/2009 TENTANG AKUISISI SAHAM OLEH PT. CARREFOUR INDONESIA TERHADAP PT. ALFA RETAILINDO) Daniel Perananta Perananta; Ningrum Sirait; Detania Sukarja
TRANSPARENCY Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.824 KB)

Abstract

Akuisisi merupakan pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain yang dapat dilakukan dengan mengambilalih aset suatu perusahaan dan dengan mengambilalih saham dari perusahaan lain. Larangan terhadap kegiatan ini ditujukan terhadap praktek akuisisi yang terjadi di setiap level perdagangan atau  sektor  industri yang  dapat mengakibatkan terjadinya  hambatan terhadap persaingan usaha dan terjadinya praktek monopoli. Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menetapkan bahwa penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan yang mengakibatkan nilai aset dan nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu. Dari  segi  bentuk  akuisisi  berbeda  dengan  merger.  Pada  umumnya akuisisi dilakukan oleh suatu perusahaan terhadap perusahaan lain yang mendukung bidang usaha dengan perusahaan yang mengakuisisi tersebut, baik yang dilakukan secara horizontal maupun vertikal. Dimana akuisisi horizontal dilakukan  dengan  tujuan  untuk  memperbesar pangsa  pasar,  yang  antara  lain ditempuh  melalui  pengurangan  tingkat  kompetisi  dan  pada  akuisisi  secara vertikal dimana perusahaan pengakuisisi akan merasa aman karena perusahaan tersebut tidak akan kehilangan pemasok, konsumen, atau distributor yang akan memasarkan  produk  yang  dihasilkan.  Tindakan  akuisisi  dalam  hal  ini  adalah untuk menciptakan konsentrasi pasar yang dapat mengakibatkan harga produk semakin  tinggi  dengan  melihat  produk  pada  pasar  yang  bersangkutan  serta berapa besar pangsa pasar yang dikuasi oleh perusahaan tersebut. Kemudian untuk menambah kekuatan pasar (market power) menjadi semakin besar yang dapat mengancam para pesaing dari perusahaan tersebut. Pengaturan   mengenai   Akuisisi   diperjelas   dengan   adanya   peraturan komisi  pengawas  persaingan  usaha  (KPPU)  No.  1  tahun  2009  mengenai pranotifikasi  penggabungan,  peleburan  dan  pengambilalihan.  Serta  dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau peleburan serta pengambilalihan saham perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kata Kunci :Akuisisi
PenerapanPrinsipPiercing The Corporate Veil dalamKasusPerdataAntara PT. CIMB NiagaTbk VS PT. Adi Partner Perkasa, Dkk. (StudiPutusanNomor: 313/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel) Ruth Siallagan; Bismar Nasution; Detania Sukarja
TRANSPARENCY Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (368.37 KB)

Abstract

Perseroan Terbatas (Perseroan) selaku organisasi usaha berbadan hukum memiliki kedudukan yang setara dengan manusia di hadapan hukum. Hal ini dilandasi dengan kebolehannya untuk melakukan perbuatan hukum dan dapat juga ditutut pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukan atas nama suatu perseroan. RUPS, direksi dan dewan komisaris selaku organ Perseroan memiliki andil yang besar dalam pengambilan kebijakan (policy) oleh perseroan. Ketiganya berperan aktif dalam menentukan tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh perseroan. Kendati demikian, ketiganya memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab atas kerugian yang diperoleh atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perseroan. Pertanggungjawaban tersebut bersifat terbatas (limited liability). Namun, ada kalanya pertanggunjawaban tersebut dapat dituntutkan secara penuh kepada organ perseroan yang melakukan perbuatan yang menyalahi tugas dan tanggungjawabnya  atau mempengaruhi kebijakan perseroan yang berujung pada terjadinya pelanggaran hukum atau kerugian terhadap perseroan. Penuntutan pertanggungjawaban ini diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan berdasar pada prinsip piercing the corporate veil yang merupakan prinsip yang menegasikan pertanggungjawaban terbatas yang dimiliki oleh organ perseroan. Penerapan prinsip piercing the corporate veil telah ada dalam tatanan praktik hukum di Indonesia, penerapan prinsip ini memberikan titik cerah akan transparansi dalam pengelolaan dan pengambilan kebijakan suatu perseroan. Sehingga perseroan melalui organnya juga turut berhati-hati dan taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pengambilan kebijakan perseroan karena telah ada hukum yang mengikatnya. Penulis melaksanakan penelitian terhadap penerapan prinsip ini dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat normatif yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data sekunder, yang merupakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan media elektonik/internet. Kata Kunci: DewanKomisaris, Piercing The Corporate Veil, Perseroan Terbatas
IMPLIKASI HUKUM PENCANTUMAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM KONTRAK BISNIS DALAM HAL PERMOHONAN PAILIT (STUDY TENTANG PUTUSAN MA RINOMOR: 64/PAILIT/2012/PN.NIAGA.KJT.PST) Lina Purba; Bismar Nasution; Mahmul Siregar
TRANSPARENCY Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (876.591 KB)

Abstract

Arbitrase sebagai salah satu penyelesaiansengketa bisnis merupakan mekanisme penyelesaian sengeta yang sangat populer dikalangan dunia bisnis karena arbitrase mempuyai banyak kelebihan dibandingkan peradilan umum. Putusan yang dihasilkan oleh arbiter atau majelis arbiter bersifat Final dan Binding yang artinya tidak dapat diajukanya upaya banding maupun kasasi terhadap putusan tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan penyelesaian sengketa kontrak bisnis melalui arbitrase dalam hukum di indonesia, implikasi pencantuman klausula arbitrase dalam kontrak bisnis terhadap kewenangan pengadilan, penerapan hukum oleh majelis hakim terkait   klausula arbitrase dalam kontrak bisnis dalam hal permohonan pailit pada putusan MA RI Nomor:64/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, Data Sekunder dikumpulkan dengan metode studi pustaka (library reseach) dan dianalisis dengan metode analisis data kuantitatif.Hasil penelitian ini adalah pelaku bisnis lebih tertarik menggunakan arbitrase dibanding peradilan umum karena proses melalui arbitrase lebih cepat, bahwa berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 pasal 303 tentang Kepailitan PKPU adanya klausula arbitrase dalam perjanjian tidak mengesampingkan kewenangan pengadilan niaga, penerapan hukum oleh majelis hakim yang terkait penerapan klasula arbitrase dalam kontrak bisnis dalam hal permohonan pailit pada putusan MA RI Nomor: 64/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST walaupun dalam pasal 303 UU No.37 Tahun 2004  tentang Kepailitan dan PKPU adanya klausula arbitrase tidak menghalangi permohonan pailit akan tetapi para pihak yang bersepakat dalam suatu klausula arbitase tetap memberikan penghargaan kepada kesepakatan tersebut.
ABSTRAK ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWAJIBAN DIVESTASI SAHAM DALAM AMANDEMEN PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA (PKP2B) DENGAN PENANAMAN MODAL ASING (PMA) Gom Banuaran; Bismar Nasution; Mahmul Siregar
TRANSPARENCY Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.243 KB)

Abstract

Penanaman modal asing (PMA)diberikan legitimasi untuk ikut mengusahakan kegiatan pertambangan batubara di Indonesiadengan mekanisme seperti Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).Walaupun PMA dapat ikut mengusahakan kegiatan pertambangan, namun negara berwenang untuk menguasai kekayaan alam tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Melalui UU Minerba terdapat ketentuan bahwa ketentuan yang tercantum dalam PKP2B disesuaikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan.Ketentuan penyesuaian pasal inilah yang menjadi dasar pelaksanaan amademen PKP2B.Salah satu hal pokok dalam amandemen adalah mengenai kewajiban divestasi saham asing. Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan data sekunder dan teknik pengumpulan data yaitu denganpenelitian perpustakaan berdasarkan datasekunder dan bahan hukum terkaityang sesuai dengan judul skripsi ini. Divestasi saham asing merupakan suatu kewajiban bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUP Khusus (IUPK), KK dan PKP2B yang berstatus PMA. Pemegang PKP2B yang melakukan amandemen PKP2B yang salah satu pokok amandemen yaitu kewajiban divestasi saham, maka pelaksanaan divestasi saham wajib mengikuti ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pelaksanaan divestasi saham bagi pemegang PKP2B seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 09 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme Penetapan Harga Saham Divestasi Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta perubahannya yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 43 Tahun 2018. Divestasi saham dilakukan dengan menawarkan saham kepada peserta Indonesia serta dapat melalui bursa saham. Pembayaran saham divestasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 12 (duabelas) bulan setelah tanggal pernyataan minat dari peserta Indonesia dan dituangkan dalam akta jual belisaham serta mengenai penetapan harga saham divestasi dilakukan berdasarkan harga pasar yang wajar (fair marketvalue). Kata Kunci :Divestasi Saham, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, Penanaman Modal Asing.

Page 10 of 22 | Total Record : 216