cover
Contact Name
Shita Dewi
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jkki.fk@ugm.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
ISSN : 2089 2624     EISSN : 2620 4703     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 431 Documents
Implementasi Kebijakan Remunerasi di Rumah Sakit Pemerintah Iwan Dakota; Dumilah Ayuningtyas; Ratih Oktarina; Misnaniarti Misnaniarti
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (287.646 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v6i3.29669

Abstract

ABSTRACTBackground: Since 2008, Hospital A began implementing remuneration. However, this system gets the refusal of some parties. Therefore, aims this research was to determine the remuneration policy implementation at the Hospital A Jakarta. Method: The study was conducted with a qualitative approach through in-depth interviews and focus group discussions, each with 10 medical personnel involved. Result: The results of this study indicate that aspects of the environment in general have a positive perception of the organization while the relationship between negative perceptions obtained. Negative perceptions are also found on the organization’s resources and budget allocation accuracy especially bureaucratic commitment is relatively low. Meanwhile, the characteristic aspects and capabilities of implementing agencies received a positive perception. Secondary data showed an increase in financial performance and hospital services after the implementation of the remuneration. Conclusion: Implementation of the remuneration policy in Hospital A goes pretty well with a few flaws that need attention. Therefore, the necessary changes to the paradigm of gradual and continuous work culture of employees, improving the quality and quantity of communication between the organization and management of the employees regarding transparency, optimization remuneration policy dissemination and implementation of monitoring and evaluation on a regular basis with the involvement of all stakeholders. Keyword : Implementation, Policy, Remuneration, Hospital ABSTRAKLatar Belakang: Sejak tahun 2008, Rumah Sakit A mulai menerapkan kebijakan remunerasi. Akan tetapi sistem ini mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Oleh karena itu, tujuan studi ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan remunerasi di Rumah Sakit A di Jakarta. Metode: Studi dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus, masing-masing dengan 10 tenaga medis yang terkait. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aspek kondisi lingkungan secara umum memiliki persepsi positif sedangkan hubungan antar organisasi didapatkan persepsi yang negatif. Persepsi yang negatif juga dijumpai pada sumber daya organisasi khususnyaketepatan alokasi anggaran dan komitmen birokrasi yang relatif rendah. Sementara, aspek karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana mendapat persepsi positif. Data sekunder menunjukkan adanya peningkatan kinerja pelayanan dan keuangan rumah sakit setelah pelaksanaan remunerasi. Kesimpulan: Impelementasi kebijakan remunerasi di Rumah Sakit A berlangsung cukup baik dengan beberapa kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, diperlukan perubahan bertahap dan berkesinambungan terhadap paradigma budaya kerja karyawan, peningkatan kualitas dan kuantitas komunikasi antar organisasi maupun manajemen dengan karyawan menyangkut tranparansi, pengoptimalan sosialisasi kebijakan remunerasi serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara berkala dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Kata kunci: Implementasi, kebijakan, remunerasi, rumah rakit
Analisis Dasar Hukum, Kebijakan dan Peraturan Penghapusan Obat Rusak dan Kadaluwarsa di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Eny Setyo Widiasih; Arrosianti Zahrulfa; Rustamaji Rustamaji; Sri Suryawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.831 KB) | DOI: 10.22146/jkki.5367

Abstract

Background: The incidence of damaged medicine and expired medicine always occurred in every mechanism of medicine management. The write-off procedure of damaged medicine and expired medicine as a regional owned goods was not established specially yet. The amount of damaged and expired medicine value, the burden of their management technically, the write-off process considered from administrative aspects as a inventory, considering that there was no legal formal aspect become particular problem for the Health Office of Yogyakarta Municipality. Objectives: The objective of the study was to give administrative and legal base for procedure to write-off of damaged and expired medicine as regional owned goods in the Health Office of Yogyakarta Municipality. Methods: This was observational study by case study design with descriptive analytic approach. Results: The damaged and expired medicine that was stocked in Public Health Center was sent back to UPT Farmakes to be write-off and destroyed. The write off and destroying of damaged and expired medicine have been completed for 2009, 2010 and 2011 in 2012 by Health Office of Yogyakarta Municipality. The write off of damaged and expired medicine should be appropriate to the regulation on the prevailed regulation on the write off of regional owned goods, though that regulation was not specified for medicine. Conclusion: The write-off of damaged and expired medicine referred to Regulation by Ministry of Internal Affairs Number. 17 of 2007 on Technical Guidelines on the management of Regional Owned Goods and Mayor Regulation of Yogyakarta Municipality, Number. 54 in 2011 on Guidelines on the Management of Reserve Goods in the governance of Yogyakarta Municipality. However, the necessary and administration efforts to ease the process of write-off of damaged and expired medicine.ABSTRAKLatar Belakang: Kejadian obat rusak dan kadaluwarsa selalu ada di setiap mekanisme pengelolaan obat. Prosedur penghapusan obat rusak dan obat kadaluwarsa sebagai barang milik daerah belum ditetapkan secara khusus. Besarnya nilai obat rusak dan kadaluwarsa dan beban pengelolaannya secara teknis, proses penghapusan ditinjau dari aspek administrasi sebagai persediaan, belum adanya aspek legal formal menjadi permasalahan tersendiri bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk memberikan dasar administrasi dan legal untuk prosedur penghapusan obat rusak dan obat kadaluwarsa sebagai barang milik daerah di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan desain penelitian studi kasus yang bersifat deskriptif analitik. Pengumpulan data kuantitatif berupa nilai obat rusak dan kadaluwarsa. Data kualitatif diperoleh dengan cara inventarisasi data prosedur administrasi dan aspek legal penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa serta wawancara mendalam. Hasil: Obat rusak dan kadaluwarsa yang ada di Puskesmas dikembalikan ke UPT Farmakes untuk dilakukan penghapusan dan pemusnahan bersama. Telah dilaksanakan pemusnahan dan penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa tahun 2009, 2010, 2011 pada tahun 2012 oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa harus sesuai ketentuan penghapusan barang milik daerah yang berlaku, meskipun ketentuan itu belum dikhususkan untuk obat. Kesimpulan: Penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta mengacu kepada Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Perwali Kota Yogyakarta No. 54 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Persediaan di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Namun demikian diperlukan terobosan / upaya administrasi untuk memudahkan proses penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa. 
EVALUASI PROGRAM SKRINING STATUS TETANUS TOXOID WANITA USIA SUBUR DI JEMBER TAHUN 2010 Abu Khoiri, Dewi Rokhmah, Ahmad Falih
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.299 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i1.3069

Abstract

Background: Cases and deaths due to Tetanus Neonatorum(TN) in Jember District within the period of 2005 to 2009 with aCase Fatality Rate (CFR) were greater than 50%. CFR with arate of more than or equal to 50% indicates a high share ofdeaths. Jember District Health Office implemented a screeningprogram for childbearing women’s TT status in early 2010.However, not until the end of 2010 there were already 6 casesand 3 deaths due to TN (CFR = 50%). This suggested that theimplementation of the screening program had already beenrunning but not optimal; thus, an evaluation for this programneeded conducting.Objective: To evaluate the screening program for childbearingwomen’s TT status by describing the capacity and motivationof personnel, implementation and results of the screeningprogram in Jember District in 2010.Method: This was a descriptive-evaluation study. It wasconducted in January-February 2011 in five health centers ofJember District. The population was midwives as persons incharge of implementing the screening program.Result: Most respondents (59%) had a moderate level ofcapacity. Most respondents had a high level of intrinsic andextrinsic motivation, namely 71% and 53%, respectively. Thescreening implementation for childbearing women’s TT statusby the respondents had not been in accordance with the twooperational procedures. The results of the screening programshowed that five health centers were still experiencing thesame problem, i.e., not identified TT status of all women andunmet target coverage of T5 childbearing women and T2 pluspregnant women.Conclusion: Technically, some obstacles in the implementationof the screening program are still present; therefore, there is aneed for conducting training procedures for the personnel ofthe screening program for childbearing women’s TT statusand conducting an evaluation for the program periodically andcontinuously.Keywords: evaluation, tetanus toxoid, childbearing women
Berbagai Usulan Kebijakan sebagai Upaya Perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36091

Abstract

Setelah satu tahun lebih berjalan, sistem Ja- minan Kesehatan Nasional banyak disorot dari ber- bagai segi. Beberapa upaya inovasi dilakukan misal- nya membuat kamus data yang disebut “Kata Hat-I” yang menjadi acuan bagi pengguna, sistem analis, perancang dan pengembang dalam mengelola Sis- tem Informasi Kesehatan sehingga data kesehatan mudah untuk dipertukarkan, dikonsolidasi, dan di- baca antar Sistem Informasi Kesehatan yang bera- gam. Kata Hat-I ini merupakan kamus data kesehat- an Indonesia versi 1.0 yang terdiri atasset data orang sebagai pasien, sistem jaminan kesehatan nasional serta berbagai penyakit prioritas. Namun beberapa tantangan tetap dirasakan. Pada tahun 2014 lalu, PKMK bekerjasama dengan 12 perguruan tinggi di Indonesia melakukan penelitian pemantauan pelak- sanaan JKN di daerah. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan, didapatkan hasil bahwa propinsi sampel tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: 1) kelompok propinsi yang sudah maju dan 2) kelompok yang belum maju. Pembagian ini teruta- ma didasarkan pada ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan. Hasil yang diperoleh cukup mengejutkan, karena ternyata ada perbedaan yang ekstrim antara kedua kelompok tersebut. Setelah menyimak kon- teks latar belakang ini, maka dilakukan analisis ske- nario mengenai pencapaian Cakupan Kesehatan Semesta yang dicita-citakan pada tahun 2019.Untuk sementara ini, skenario optimis untuk pencapaian Universal Coverage di tahun 2019 dinya- takan oleh para peneliti di DKI, DIY, Sumatera Sela- tan, Sumatera Barat, serta sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat, sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan sebagian di Sulawesi Selatan. Semen- tara itu, skenario pesimis ringan dan berat untuk tercapainya Cakupan Kesehatan Semesta melalui JKN pada tahun 2019 dinyatakan oleh peneliti di NTT, Kalimatan Timur, sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.Apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi ini, agar pencapaian Cakupan Kesehatan Semesta dapat memiliki gambaran yang lebih men- janjikan? Banyak ahli dan pemerhatai sepakat bahwa salah satu langkah kunci adalah dengan memper- hatikan aspek preventif dan promotif secara lebih kuat. Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan perlu meningkatkan kegiatan preventif dan promotif. Perlu dicatat bahwa usaha preventif dan promotif se- bagian besar berada di luar wewenang Kementerian Kesehatan, atau menjadi tanggung jawab kemen- terian lainnya. Untuk itu, diharapkan ada kebijakan meningkatkan upaya yang mendukung pencegah- an dan promosi kesehatan lintas Kementerian. Ke- mentrian Kesehatan sebagai pimpinan sektor kese- hatan perlu mengambil inisiatif untuk berdialog dan mengangkat isu ini dalam pembicaraan antar kemen- trian terkait. Langkah kedua adalah memperbaiki berbagai kebijakan di JKN. Berdasarkan konsep pem- biayaan kesehatan, diharapkan ada kebijakan yang memperhatikan berbagai titik kritis di dalam sistem, salah satunya adalah peningkatan dana untuk pro- gram kesehatan dari APBN dan APBD serta dana masyarakat. Peningkatan dana ini berwujud anggar- an investasi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mampu untuk memperluasakses terha- dap pelayanan kesehatan dan pemenuhan kecukup- an tenaga kesehatan khususnya di daerah sulit. Ino- vasi-inovasi terkait hal ini perlu diujicobakan di ber- bagai daerah dengan berbagai sifat keterbatasan dan profil epidemiologis yang berbeda untuk memberikan landasan yang cukup bagi sebuah kebijakan yang bersifat menyeluruh. Realokasi dana subsidi BBM, cukai pajak, dan sebagainya perlu menjadi topik lob- bying untuk memperluas kemampuan fiscal sektor kesehatan. Perlu pula penguatan kebijakan manaje- men dana BPJS dengan misalnya mengkaitkan pem- bayaran (reimbursement) dengan outcomes kesehat- an, mutu, dan upaya peningkatan pelayanan kese- hatan. Terutama, perlu ada kebijakan untuk memper- baiki aspek pemberi pelayanan (supply) kesehatan. Penguatan juga diperlukan untuk membangun sistem verifikator dan investigator yang lebih baik di pelayan- an primer dan rujukan untuk mencegah fraud dan penggunaan dana yang tidak efisien. Kami yakin ber- bagai macam usulan kebijakan lain perlu disampai- kan kepada pemerintah, dan untuk itu kami mengun- dang para peneliti sektor kebijakan kesehatan untuk membuat kajian-kajian yang menyediakan bukti- bukti bagi kebijakan yang diusulkan. Shita Listya DewiPusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Pelajaran dari Pendidikan Kedokteran di Perancis Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.268 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36358

Abstract

Pendidikan kedokteran di Perancis cukup berat. Walaupun tidak ada pembatasan jumlah calon ma- hasiswa yang bisa diterima di fakultas kedokteran, namun kenyataannya terjadi proses eliminasi alami. Rata-rata, setiap tahun ada 550.000 mahasiswa kedokteran di tahun pertama, namun dari antara mereka hanya sekitar 7.500 mahasiswa yang bisa melanjutkan ke tahun kedua. Jumlah mereka yang bisa melanjutkan ke tahun ketiga akan kembali berkurang, dan seterusnya. Pada tahun keenam, mereka akan menjalani ujian ranking nasional (Examen Classant National/ECN). ECN dilaksanakan serentak di tujuh pusat ujian yang tersebar di seluruh negeri, berlangsung selama empat hari berturut-turut, dan terdiri dari dua macam test, yaitu test dalam bentuk case setting, dan test critical clinical reading. Test dalam bentuk case setting akan menguji mahasiswa mulai dari diagnostic awal, hypotheses, clinical dan diagnostic testing, prognosis dan monitoring pasien selama treatment. Test dalam bentuk critical clini- cal reading mengharuskan mereka membuat abstrak dari artikel klinis yang ditugaskan, dan mereka diha- ruskan mengkritisi metodologi yang digunakan serta hasilnya. Examen Classant National (ECN) akan menghasilkan ranking nasional untuk mahasiswa yang dianggap layak untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Berdasarkan ranking mereka inilah mere- ka diperbolehkan atau tidak memilih spesialisasi yang mereka inginkan. Jadi, persaingan untuk masuk ke spesialisasi yang diinginkan sangat ditentukan oleh hasil ECN. Spesialisasi yang menjadi favorit adalah ophthalmology, nephrology, radiology dan cardiology. Rata-rata, hanya 1 dari 3 mahasiswa yang bisa meneruskan ke spesialisasi yang benar- benar mereka inginkan. Mengapa demikian?Karena setiap tahun, Kementrian Kesehatan mengeluarkan daftar jumlah dan jenis spesialisasi yang dibutuhkan. Jenis spesialisasi yang tersedia adalah: General Medicine, Medical Specialties (16 specialties), Surgical Specialties (5 specialties), Anesthesiology, Pediatrics, Obstetrics and Gynecology, Medical Gynecology, Psychiatry, Medical Biology, Occupational Medicine, Public Health. Ke- mudian untuk masing-masing spesialisasi terdapat pula daftar di daerah mana spesialisasi tersebut dibu- tuhkan. Daerah yang dimaksud adalah daerah yang menjadi catchment area dari rumah sakit pendidikan. Jadi, kombinasi antara hasil ECN dan daftar yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan menentukan distribusi dan jumlah residen yang tersedia untuk tiap spesialisasi di masing-masing daerah.Di Negara Perancis terdapat 28 rumah sakit pendidikan (Centre Hospitalier Universitaire/CHU), dan tahun lalu (2013-2014) ada 7.820 residen baru yang ditempatkan diseluruh rumah sakit pendidikan ini. Penugasan mereka adalah selama tiga tahun, biasanya didaerah peripheral. Misalnya, apabila pe- nugasan mereka di CHU Rennes (Rennes adalah semacam ibukota Propinsi) berarti mereka akan ditempatkan di Vannes, Lorient, Vitré atau Saint- Malo (semacam kota Kabupaten atau lebih kecil lagi). Selama menjadi residen, mereka melayani pasien, membuat diagnosis, menulis resep, melakukan tin- dakan operasi dan sebagainya, di bawah pengawas- an dokter senior. Mereka adalah mesin penggerak di rumah sakit pendidikan.Apabila suatu jenis spesialisasi dibutuhkan dibe- berapa daerah sekaligus, residen diperbolehkan me- milih akan ditempatkan dimana, sejauh kuotanya belum terpenuhi. Sebuah survey cepat1 dilakukan untuk melihat preferensi residen dalam memilih CHU yang diinginkan, kemudian dibandingkan dengan survey cepat lain2 yang meneliti seberapa ‘menarik’ sebuah kota/daerah, biasanya diukur dari tingkat per- tumbuhan ekonomi, kenyamanan hidup, dan seba- gainya. Ternyata hasilnya cukup menarik. Tidak se- mua daerah yang terlihat ‘preferable’ menjadi pilihan utama para residen. Bahkan kota-kota besar seperti Paris dan Marseille, bukan merupakan daerah tujuan utama. Paris, misalnya, hanya berada di urutan ke- 8, ‘dikalahkan’ oleh Grenoble (kota dengan 155.000 penduduk).Jawaban para residen mengindikasikan bahwa pilihan mereka merupakan kombinasi dari faktor kua- litas hidup secara umum, level remunerasi, persepsi terhadap kualitas spesialisasi tertentu di CHU terse- but, dan sebagainya, namun tidak selalu berbanding lurus dengan ‘seberapa menarik’ suatu kota/daerah. Kualitas hidup yang mereka maksud ternyata men- cakup hal-hal yang sifatnya sangat subyektif (misal- nya: daerah tersebut diminati karena dekat dengan pantai, atau merupakan daerah wisata pegunungan, atau karena kota tersebut kaya akan sejarah dan budaya, dan sebagainya), namun juga memiliki visi (misalnya: karena di kota tersebut terdapat pusat penelitian kanker terbesar di Eropa), dan kadang- kadang menyangkut faktor ‘lingkungan kerja yang manusiawi’ (misalnya: karena kepala departemen spesialisasi di CHU tersebut terkenal memperlaku- kan intern dengan baik). Faktor yang terakhir ini di- picu oleh kenyataan yang residen sadari akan hadapi selama menjalani tiga tahun masa penugasannya di CHU tersebut. Rata-rata jam kerja di Perancis adalah 48 jam/minggu, namun residen menyadari bahwa dalam kenyataannya ‘jam kerja’ mereka rata- rata adalah 60 jam/minggu (tepatnya: sekitar 66 jam/ minggu untuk spesialisasi obsgyn dan 69 jam/ming- gu untuk spesialisasi bedah), dan dapat berlangsung 20 hari berturut-turut tanpa akhir pekan. Level remu- nerasi juga penting, namun bukan yang utama, kare- na di Perancis level remunerasi untuk dokter dan spesialisasinya sudah memiliki range yang jelas dan standar. Lebih menariknya pula, secara umum, me- reka ini juga tetap tinggal di daerah/kota tersebut setelah mereka menyelesaikan pendidikannya. Menurut mereka factor potensi berkembangnya suatu daerah dan suatu CHU lebih penting dari fac- tor lainnya.Dari uraian singkat ini, pembaca dapat menarik beberapa point pelajaran yang bisa diambil dari sistem pendidikan kedokteran di Perancis. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana sektor pendidikan dan sektor kesehatan bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan. Jadi, kelengkapan dan ketersediaan tenaga kesehatan bukan tergantung semata-mata pada seberapa besar kemampuan rumah sakit ‘menarik minat’ tenaga ke- sehatan untuk bekerja di sana. Sisi penyedia (sektor pendidikan) tidak sekedar bertanggung jawab me- nyediakan sejumlah tenaga kesehatan, namun lebih jauh lagi sistemnya memastikan bahwa tersedia jumlah yang cukup untuk setiap jenis spesialisasi yang dibutuhkan oleh sisi pengguna (sektor kese- hatan). Namun, sistem ini juga hanya bisa berjalan apabila sisi pengguna (dalam hal ini, Kementrian Kesehatan) dapat secara rutin tahunan mengetahui peta kebutuhan spesialis disetiap daerah. Disisi lain, sektor ekonomi daerah juga berkembang sesuai po- tensinya untuk dapat menarik masyarakat berinves- tasi dan tinggal di daerah tersebut. Seberapa jauh pelajaran tersebut dapat diterapkan pula di Indone- sia? Tepatnya, perubahan dan kebijakan apa yang harus kita buat apabila kita menginginkan system serupa di Negara kita agar bisa mengatasi maldistri- busi tenaga kesehatan?
Evaluasi Program Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Infeksi Daerah Operasi Pasca SC di Departemen Obsgin RSCM Surahman Hakim
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.101 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v6i1.29003

Abstract

ABSTRACTBackground: Surgical Site Infection (SSI) is one of the complication of surgery that disturbing, both in the patient nor the doctor and the hospital as a health care provider. There is an increased incidence of SSI post-Cesarian Section in the Department of Obstetric and Gynecology in August 2014 ie from the range of 0.16% - 0.33% to 2.32%, whereas RSCM standard should not be more than 2%. The hospital has made several efforts in the prevention program of outbreak SSI post-Cesarian Section by some parties concerned, namely the Committee on Hospital Infection Prevention (PPIRS) by IPCN (Infection Prevention Control Nurse).Method: This study uses a realist evaluation with context, mechanism, and outcome. The data is collected by interviews and focus group discussions with related parties as well as conducting a document review and observations. The results of the study were analyzed using content analysis.Result. Using the hypothesis of C-M-O, that the context is correct, however IPCN and infrastructure in operating rooms also provide a big influence in overcoming the problem of IDO, to decrease the incidence of SSI and increased compliance. Conclusion. The program succeeded in reducing the incidence of SSI with an improved C-M-O. Keywords: Surgical Site Infection (SSI), context, mechanism, outcome, realist evaluation ABSTRAKLatar belakang: Infeksi Daerah Operasi (IDO) merupakan salah satu komplikasi tindakan operasi yang sangat mengganggu, baik dari sisi pasien maupun dokter dan rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan. Terjadi peningkatan insiden IDO pasca-SC di Departemen Obstetri dan Ginekologi pada bulan September 2014 yaitu dari kisaran 0,16% - 0,33% menjadi 2,32%, sedangkan ambang di RSCM tidak boleh lebih dari 2%. Rumah sakit telah melakukan beberapa upaya dalam program penanggulangan KLB IDO pasca-SC oleh beberapa pihak yang terkait, yaitu Panitia Penanggulangan Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS) oleh IPCN (Infection Prevention Control Nurse).Metode: Penelitian ini menggunakan metode realist evaluation dengan pola context, mechanism, dan outcome. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan FGD kepada pihak terkait serta melakukan telaah dokumen dan observasi. Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis isi.Hasil: Dengan menggunakan hipotesis C-M-O, bahwa context sudah tepat, mechanism selain peran IPCN, sarana dan prasarana di ruang-ruang operasi juga memberikan andil yang cukup besar dalam penanggulangan masalah IDO, danoutcome terjadi penurunan angka kejadian IDO dan peningkatan kepatuhan.Kesimpulan: Program berhasil menurunkan kejadian IDO dengan C-M-O yang sudah disempurnakan. Kata Kunci: IDO, context, mechanism, outcome, realist evaluation
Pengembangan Model Pencegahan Resiko Tinggi Kehamilan dan Persalinan yang Terencanadan Antisipatif (REGITA) Wayan Aryawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (152.756 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v5i2.30791

Abstract

ABSTRACTBackground. Complications during pregnancy can cause direct maternal death, and occur to about 20% pregnant women (Kemenkes, 2012). Factors that contribute to maternal mortality can be divided into direct and indirect causes. The direct causes of maternal death are factors associated with complications during pregnancy, childbirth and post-partum such as bleeding, pre-eclampsia / eclampsia, infection, obstructed labour and abortion. (Kemenkes, 2010).Method. This is case control study design. Population in this research are all pregnant, and post partum women in Bandar Lampung city by 2015. The number of sample is 820 for each case and control group taken 410 sample by using random sampling method. The dependent variables are: Complications during pregnancy, complication during childbirth. The independent variables are: Maternal Health Status, Reproductive Status, Health Care Access, Health Service user’s behavior, mother status in the family and communnity, family status in community, community status. Instruments that are used in this research are questionnaires to collect primary data and patient’s medical record, maternal and child health hand book, maternal cohort to collect secondary data. Data will be analyzed descriptively and Chi Square with a 95% degree of confidence will be used for bivariate analysis. The logistic regression will be used for multivariate analysis.Results. This research will divided into three stage : stage 1: data collection and processing, stage 2 : data analysis, development of REGITA prevention models, model application and stage 3 : expert workshop, trials of prevention models to find the weakness. The result of this research will show risk factors associated with the incidence of complications during pregnancy and childbirth and the relationships among these factors in the both groups. The results will be represented in simulator program to generate REGITA Model for complication prevention that can be used to predict the risk of pregnancy and childbirth faced by pregnant mother. Key words: Complication, Pregnancy, Delivery ABSTRAKLatar belakang: Komplikasi pada ibu hamil dapat menyebabkan kematian langsung pada ibu, dan dapat terjadi sekitar 20% dari ibu hamil (Kemenkes RI 2012). Faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung kematian ibu adalah faktor yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas seperti perdarahan, pre eklamsi/eklamsi, infeksi, persalinan macet dan abortus. (Kemenkes, 2010).Metode: Jenis penelitian merupakan penelitian kasus kontrol. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil dan melahirkan yang mengalami komplikasi kehamilan dan persalin- an di Kota Bandar Lampung tahun 2015. Jumlah sampel seba- nyak 820 yang terdiri dari kelompok kasus sebanyak 410 dan kelompok kontrol 410 yang diambil secara random sampling. Variabel dependent penelitian: Komplikasi kehamilan, Komplikasi persalinan. Variabel independent penelitian: Satus Kesehatan Ibu, Status Reproduksi, Akses Pelayanan Kesehatan, Perilaku kesehatan pengguna pelayanan kesehatan. Status ibu dalam keluarga dan masyarakat, status keluarga dalam komunitas, status komunitas. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner untuk data primer dan catatan rekam medis pasien, buku kia, kohort untuk data sekunder. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan untuk analisis bivariat menggunakan uji statistik Chi Square dengan derajat kepercayaan 95 %. Sedangkan untuk analisis multivariat digunakan uji regresi logistik.Hasil: Penelitian ini akan dibagi dalam 3 tahap yaitu tahap 1 pengumpulan data, tahap 2 pengembangan model pencegahan REGITA, dan tahap 3 uji coba model pencegahan. Dari hasil penelitian ini nantinya akan diketahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian komplikasi pada ibu hamil dan bersalin dan hubungan antar faktor-faktor tersebut pada kelompok kasus dan kontrol. Hasil tersebut akan dituangkan dalam Pemograman simulator untuk menghasilkan suatu model pencegahan komplikasi Regita yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan resiko kehamilan dan persalinan yang akan dihadapi oleh seorang ibu yang hamil. Kata kunci: komplikasi, kehamilan, persalinan
Kepuasan Peserta JKN terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Menggunakan Indikator HCAHPS di Instalasi Rawat Inap RS Stella Maris Makassar Indonesia Tahun 2015 A. Indahwaty Sidin; Noer Bahry Noor; Nur Adayanti
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (73.257 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v5i1.36080

Abstract

Currently, a lot of information dispersed in community in terms of unsatisfaction of social health insurance members regarding health services even though in SHI road map 2012-2019, the target of satisfaction is e” 75%. Stella Maris hospital, as one of older privates hospital having good reputation in Makassar, have provided health services for SHI’s members since 2014. For that reason, this study is conducted to find the description of SHI member’s satisfaction toward quality of health services applied indicators of Survey Hospital Consumer Assessment of Healthcare Providers and Systems (HCAHPS). The population number was 482, the sampling method is proportional stratified random sampling and the sample was 120 respondents. The results showed that there are 97,5% of respondents satisfied with doctor communication, 2,5% of respondents were unsatisfied. As for nurse communication dimension, 94,2% of respondents perceived satisfaction and it is only 5,8% of patients are unsatisfied. The result also showed that 96,7% of respondents are satisfied with nurse’s responsiveness and it was only 1,7% of respondents unsatisfied. Furthermore, as for doctors’ responsiveness, satisfied respondents are 98,3% and unsatisfied respondents were 1,7%. As for Communication regarding of pharmacy services, satisfied respondents are 94.2% respectively, while unsatisfied respondents are 5,8% respectively. Moreover, there are 90% of satisfied respondents and 10% of unsatisfied respondents. The other dimensions are food services in hospital. There 91,7% of satisfied respondents. In conclusion, there are an average of 99,2% of satisfied respondents in toward quality health services consisting of 7 dimensions, they are in doctor’s communication, nurse’s communication, doctor’s responsiveness, nurse responsiveness, communication regarding pharmacy services, environment and food services. Latar Belakang: Saat ini banyak informasi di media tentang ketidak puasan peserta JKN. Sedangkan dalam roadmap JKN 2012 telah ditargetkan minimal kepuasan pasien peserta JKN e” 75%. RS Stella maris adalah salah satu RS swasta tertua di Makassar yang memiliki reputasi cukup baik, pada Tahun 2014 juga telah melayani peserta JKN. sehingga penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kepuasan pasien peserta JKN tentang kualitas pelayananan kesehatan di Instalasi Rawat Inap RS Stella Maris Makassar Tahun 2015. Metode: Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 482 responden dan penarikan sampel menggunakan proportional stratified random sampling dengan jumlah sampel 120 responden.Penelitian ini menggunakan indikator kualitas pelayanan Survey Hospital Consumer Assessment of Healthcare Providers and Systems (HCAHPS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan berdasarkan dimensi komunikasi dokter, puas (97,5%) dan tidak puas (2,5%). Dimensi komunikasi perawat, puas (94,2%) dan tidak puas (5,8%). Dimensi daya tanggap dokter, puas (98,3%) dan tidak puas (1,7%). Dimensi daya tanggap perawat, puas (96,7%) dan tidak puas (3,3%). Dimensi komunikasi obat, puas (94.2%) dan tidak puas (5,8%). Dimensi lingkungan, puas (90%) dan tidak puas (10%). Dimensi pelayanan makanan, puas (91,7%) dan tidak puas (8,3%). Tingkat kepuasan pasien tentang kualitas pelayanan di Instalasi Rawat Inap RS Stella Maris Makassar, puas (99,2%) dan tidak puas (0,8%). Kesimpulan: Pasien peserta JKN puas terhadap komunikasi dokter, komunikasi perawat, daya tanggap dokter, daya tanggap perawat, komunikasi obat, lingkungan, dan pelayanan makanan.
PELAKSANAAN KEBIJAKAN OBAT GENERIK DI APOTEK KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU Aini Suryani; Mubasysyir Hasanbasri; Nunung Priyatni
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (75.365 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v2i2.3215

Abstract

Background: Medicine is an integral part of community healthservice. Therefore it must be available in sufficient quantity,types and adeqaute quality, properly distributed and accessiblefor community when its needed. In order to meet thecommunity’s need for medicine and to guarantee medicineaccessibility, the government released generic medicine policy.Although the price of the generic medicine has already beenset up and fixed by government, there are variety of the pricestill can be found on implementation of the generic medicinesold in the pharmacy store or in the market, and can causeprice uncertainty for community in finding medicine they need.That is why a research needs to be conduct towardimplementation of the generic medicine price policy on thedistribution channel especially at the pharmacy store.onPelalawan District in Riau Province.Method: This research is non experimental/observationalresearch with qualitative and quantitative method using crosssectional design, data analyzed descriptively.Result: Research result indicates that access to genericmedicine at pharmacy store for available medicine are 99,3%,for un available medicine are 0,7% and for replaced medicineare 0,5%. Average availability of the medicine at the pharmacystore are 4-7,3 months. Highest availability rate for medicine isHidrocortison cream 2,5% for 7,3 months and the lowest isPirazinamid tablet 500 mg for 4 months. Pharmacy store thathave an expired medicine are PR (0,7%) and KH (2%). Everypharmacy store have no damaged medicine, 0% percentage.Almost all pharmacy store experiencing out of supply formedicine between 4 to 90 days. Price of the medicine soldaveragely increasing from its pharmacy store Highest RetailPrice (HRP). But there are several medicine that sold under theHRP The highest price medicine that are sold higher than itsHRP is Clorfeniramin Maleat (CTM) tablet by 515,4% increaseand Dexametason tablet is the lowest price sold under HRP by65,2%. Even so they are Alopurinol, Digoksin, and Ranitidin.From in depth interviews with patients, can be learn that theyhave a purchase ability for generic medicine.Conclusion: Implementation of generic drug price on Pelalawandistrict is good. It can be seen from generic medicine accessby community that are high after the release of regulation fromHealth Department of Republic Indonesia, the level of availabilityof generic medicine on pharmacy store at Pelalawan Districtare low but there are no expired or damaged medicine. Theprice of generic medicine at Pelalawan District are variable butthe community still can afford to buy them.Keyword: Generic medicine, availability and affordability.
Potret Masyarakat Sektor Informal di Indonesia: Mengenal Determinan Probabilitas Keikutsertaan Jaminan Kesehatan sebagai Upaya Perluasan Kepesertaan pada Skema Non PBI Mandiri Arih Diyaning Intiasari; Laksono Trisnantoro; Julita Hendrartini
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 4 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (249.489 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i4.36121

Abstract

Latar Belakang: Perluasan kepesertaan jaminan kesehatan pada masyarakat sektor informal masih merupakan permasa- lahan nyata di berbagai negara. Karakteristik spesifik yang dimiliki oleh masyarakat sektor informal mempunyai potensi negatif dan positif yang harus bisa dikenali oleh pembuat kebijakan dalam rangka memberikan rekomendasi kebijakan yang paling tepat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik masyarakat sektor informal terhadap kepemilikan jaminan kesehatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya perluasan cakupan kepesertaan Non PBI Mandiri dimasa yang akan datang. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan studi observasio- nal analitik dengan rancangan Cross sectional dengan pende- katan data kuantitatif yang digunakan berhasil mendapatkan sebanyak 349.491 responden masyarakat sektor informal di Indonesia. Untuk memberikan gambaran karakteristik masyara- kat sektor informal dalam kepemilikan Jaminan kesehatan digu- nakan analisis data univariat dan bivariat. Hasil : Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor yang berhubungan dengan kepemilikian asuransi sukarela adalah umur (p<0,001), pendidikan (p<0,001), pekerjaan (p<0,001), status perkawinan (p=0,002), status dalam keluarga (p=0,035), tempat tinggal (p<0,001), status ekonomi (p<0,001), status tempat tinggal (p<0,001), kepemilikan obat tradisional (p<0,001) dan kepemilikan riwayat penyakit kronis (p<0,013). Sebanyak 95,4% responden tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan Kesimpulan: Upaya perluasan cakupan kepesertaan Non PBI mandiri tidak hanya membutuhkan promosi kesehatan yang baik, akan tetapi juga harus diimbangi dengan kebijakan peme- rataan akses dan peningkatan kuantitas serta kualitas pelayan- an kesehatan. Upaya untuk mengkaji potensi pembiayaan kesehatan, utamanya melalui identifikasi revenue collection dan metode pengumpulan premi yang tepat bagi masyarakat sektor informal harus terus dilakukan.Background: The effort of extending of health insurance enrollment to the informal sector has risen to become an agenda in Man countries. The informal sector has a specific characteristic with positive and negative potential that should be recognized by all of the decision-makers in order to make appropriate policy. This research aims to analyze the informal sector characteris- tic regarding health insurance enrollment. The Renault may contribute to extending universal coverage in the enrollment of Non-PBI (voluntary scheme) on JKN in the coming years. Method: This study was observational analytic with a cross-sectional design. A quantitative approach was used to analyze 349.492 respondents from informal sector community in Indonesia. Univariate and bivariate data analysis was used to give information about the correlation between informal sector charac- teristic and health insurance enrollment. Result: Data analysis showed the variables correlate into health insurance enrollment are : Age (p<0,001), Education (p<0,001), jobs(p<0,001), marital status (p=0,002), role on family (p=0,035), place of resident (p<0,001), economic status (p<0,001), home status (p<0,001), traditional medication stock (p<0,001) and history of chronic illness (p<0,013). Many re- spondents ( 95,4% ) have no access to health care provider Conclusion: Effort on extending of non PBI (voluntary scheme) enrollment not only need a good health promotion but also balancing with policies in order to ensure many factors such as equity on health care access and increasing the quantity and quality of health care. There must be a policy analysis to explore health financing potential on informal sector communi- ty, especially to identify the appropriate and adequate me- thods on revenue collection and premium collection.

Page 7 of 44 | Total Record : 431