cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024" : 7 Documents clear
BEKSAN BANDABAYA REPRESENTASI AJARAN KEPEMIMPINAN ASTHABRATA K.G.P.A.A. PAKU ALAM IX Aji, Yosef Adityanto
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14158

Abstract

RINGKASANPenelitian ini akan menjelaskan konsep kepemimpinan antara Beksan Bandabaya dengan naskah Asthabrata di Pura Pakualaman pada masa K.G.P.A.A. Paku Alam IX (bertahta 1999— 2015). Tari yang Bandabaya berasal dari masa K.G.P.A.A. Paku Alam II (bertahta 1829—1858). Beksan Bandabaya merupakan tari yang disajikan oleh empat orang penari laki-laki berkarakter gagah, menggambarkan prajurit yang sedang berlatih perang dengan menggunakan pedang dan perisai. Berdampingan dengan tari, terdapat karya sastra mengenai Asthabrata yang juga berasal dari masa K.G.P.A.A. Paku Alam II. Asthabrata merupakan ajaran kepemimpinan yang ideal melalui teladan karakter 8 dewa. Masing-masing adalah Batara Indra berkarakter bijak bestari, Batara Yama berkarakter adil dalam menegakkan hukum, Batara Surya berkarakter cermat dalam urusan keuangan, Batara Candra mempunyai pesona dan kepribadian yang memikat, Batara Bayu berkepribadian kuat dan tidak mudah terhasut, Batara Wisnu berkarakter asketis dan petapa, Batara Brama mempunyai karakter berani dan mahir bersiasat, dan Batara Baruna mempunyai karakter bersahaja dan mampu mengayomi. Pada masa K.G.P.A.A. Paku Alam IX terdapat 12 manuskrip dan sebuah buku tercetak berisi ajaran kepemimpinan yang bernama Asthabrata tersebut. Beksan Bandabaya dan Asthabrata diteliti menggunakan pendekatan etnografi dengan sudut pandang emik maupun etik.ABSTRACTThis research tries to explain the relationship between a choreography called Beksan Bandabaya and a script entitled Asthabrata in the reign of Prince Paku Alam IX (reigned in 1999—2015). Dances in Pura Pakualaman are never directly related to or become a means of a ritual. One of the dances which is often performed in some occasions is Beksan Bandabaya. Beksan Bandabaya is a male dance with gallant characteristic. The dance is performed by four male dancers, which depicts 4 soldiers exercising their fighting, using their sword and shield. This dance, which was created in the reign of Paku Alam II (reigned in 1829—1858), was also performed outside the Pakualaman palace. Alongside with the dance, there is a literary work about Asthabrata, which was also originated in the reign of Prince Paku Alam II. Asthabrata is an idealistic leadership teaching through the example of 8 Gods. They are Batara Indra, who is wise, Batara Yama, who is just in upholding the law, Batara Surya, who is careful in managing money, Batara Candra, who has a great charm with exciting personality, Batara Bayu, who has a strong personality and firm, Batara Wisnu, who is ascetic and he is also a hermit, Batara Brama, who is brave and clever, and Batara Baruna, who is humble and protective. In the reign of Prince Paku Alam IX, there were 12 manuscripts and a printed book about the leadership teaching entitled Asthabrata. The two material objects above, Beksan Bandabaya and Asthabrata were observed with ethnographic approach with emic and ethic point of view. Beksan Bandabaya was analyzed and interpreted by using the theory of symbolic interactionism, while the leadership teaching of Asthabrata was analyzed and interpreted by using a leadership concept.
TARI MONGONYOP SEBAGAI REPRESENTASI KEARIFAN LOKAL KABUPATEN BANGGAI Lapalanti, Safril; Sitharesmi, Riana Diah; Ohi, Rahmawati
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14163

Abstract

RINGKASANSeni tari memiliki simbol-simbol yang terdapat pada setiap pertunjukannya. Tari Mongonyop merupakan tarian khas dari Kabupaten Banggai yang mengangkat tradisi kuliner onyop dari Suku Saluan. Penelitian ini membahas tentang bagaimana simbol-simbol yang ada dalam Tari Mongonyop merepresentasikan kearifan lokal Kabupaten Banggai. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes sebagai metode analisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi simbol-simbol yang ada dalam Tari Mongonyop dan menguraikan makna simbolsimbol tersebut yang merepresentasikan kearifan lokal Kabupaten Banggai dengan mengeksplorasi makna denotatif dan makna konotatif dari simbol-simbol yang sudah diklasifikasikan guna mengetahui mitos dalam sistem penandaan yang berkaitan dengan Kabupaten Banggai. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa simbol-simbol dalam Tari Mongonyop berdasarkan tanda yang dimunculkan merepresentasikan kearifan lokal di Kabupaten Banggai. Simbol-simbol tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek dalam bentuk penyajian Tari Mongonyop yang diuraikan dalam elemen-elemen tanda seperti ragam gerak, pola lantai, musik iringan, elemen aural, dan properti yang digunakan. Berdasarkan metode analisis yang digunakan dengan menemukan makna denotatif, makna konotatif, dan mitos menunjukkan bahwa Tari Mongonyop merepresentasikan sikap dan karakteristik manusia yang meliputi perilaku spiritual, sosial, dan pandangan hidup sederhana sebagai filosofi hidup masyarakat Kabupaten Banggai. Selain itu, Tari Mongonyop juga secara eksplisit merepresentasikan sebuah peradaban yang kaya akan keberagaman dengan kearifan lokal yang ada menjadi ciri khas sebagai bagian dari kebudayaan Kabupaten Banggai. ABSTRACTDance art contains symbols in every performance. The Mongonyop Dance is a traditional dance from Banggai Regency that highlights the culinary tradition of onyop from the Saluan ethnic group. This study discusses how the symbols in the Mongonyop Dance represent the local wisdom of Banggai Regency. It is a qualitative study using Roland Barthes' semiotics as the analytical method. The aim is to identify the symbols within the Mongonyop Dance and to interpret their meanings, which represent the local wisdom of Banggai Regency, by exploring both the denotative and connotative meanings of these classified symbols to uncover the myths within the sign system related to Banggai Regency. The results of this study show that the symbols in the Mongonyop Dance, based on the signs presented, represent the local wisdom of Banggai Regency. These symbols are observed in various aspects of the Mongonyop Dance's presentation, broken down into elements such as movement variations, floor patterns, accompanying music, aural elements, and the properties used. Through the analysis method employed, identifying denotative meanings, connotative meanings, and myths reveals that the Mongonyop Dance represents the attitudes and characteristics of human beings, including spiritual behavior, social aspects, and a simple worldview, reflecting the philosophy of life of the Banggai people. Additionally, the Mongonyop Dance explicitly represents a civilization rich in diversity, with its local wisdom serving as a hallmark of Banggai Regency’s cultural heritage.
MANAJEMEN PRODUKSI PERTUNJUKAN TARI SANGGAR PANGREKSA BUDAYA KOTA SEMARANG Pebrianti, Sestri Indah; Jazuli, Muhammad; Bisri, Moh. Hasan; Salma, Alya Happy
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14159

Abstract

RINGKASANSanggar Pangreksa Budaya merupakan sanggar yang berada di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang dan berdiri sejak tahun 2016. Sejak awal berdirinya sampai saat ini telah memberikan kontribusi pada pelestarian seni tari. Sanggar Pangreksa Budaya mendapat kepercayaan masyarakat dalam memproduksi tari yang di tampilkan di berbagai kegiatan kesenian. Di balik berkembangnya sebuah sanggar bergantung pada cara manajemen yang diterapkan, maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen produksi tari Sanggar Pangreksa Budaya. Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sanggar Pangreksa Budaya merupakan sanggar yang menggunakan manajemen keluarga dengan menerapkan sistem manajemen dengan baik yang meliputi; perencanaan, pengorganisasian, pergerakan, dan pengawasan. Sanggar Pangreksa Budaya dalam memproduksi tari sesuai dengan permintaan masyarakat (konsumen). Manajemen produksi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu terdiri dari pembentukan tim produksi kemudian proses produksi menggunakan proses observasi, eksplorasi, improvisasi dan komposisi. Sanggar Pangreksa Budaya memproduksi tari yang dipertunjukkan dalam kegiatan rutin Minggu Kliwon, Kirab Budaya, pembukaan dari berbagai acara, dan sajian perlombaan yang digarap melalui proses produksi yang telah dibentuk.ABSTRACTPangreksa Budaya Dance Production Management in the District Gunungpati, Semarang City. Sanggar Pangreksa Budaya is a studio located in Gunungpati Sub-district, Semarang City and was established in 2016. The beginning of its establishment until now has contributed to the preservation of dance art. Sanggar Pangreksa Budaya has gained the trust of the community in producing dances that are performed in various arts activities. Behind the development of a studio depends on the management applied, therefore this research aims to find out the dance production management of Sanggar Pangreksa Budaya. The research method used is qualitative, with a case study approach. Data collection techniques used observation, interview and documentation techniques. Data analysis techniques through data reduction, data presentation, and conclusion drawing. Data validity techniques using source triangulation. The results showed that Sanggar Pangreksa Budaya is a studio that uses family management by implementing a good management system which includes; planning, organizing, moving, and supervising. Sanggar Pangreksa Budaya produces dance according to the demand of the community (consumers). Production management is carried out through several stages, namely consisting of the formation of a production team then the production process using the process of observation, exploration, improvisation and composition. Sanggar Pangreksa Budaya produces dances that are performed in the routine activities of Sunday Kliwon, Kirab Budaya, the opening of various events, and the presentation of the race that is worked on through the production process that has been formed consisting of the formation of the prod team formed
ANALISIS MAKNA TOPENG SEBAGAI PROPERTI TARI PADA PERTUNJUKAN BEDUG KEROK Fajri, Samsul; Malarsih, Malarsih; Hartono, Hartono
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14164

Abstract

RINGKASANInstrumen atau objek pelengkap yang disebut properti inilah yang memberi makna yang dalam pada sebuah pertunjukan tari. Untuk mengetahui dan menganalisis makna topeng yang digunakan sebagai penyangga tari dalam pertunjukan Bedug Kerok di Kampung Seni Yudha Asri, Desa Mander, Kecamatan Bandung, dan Kabupaten Serang Banten merupakan tujuan dari penelitian ini. Pendekatan semiotik berdasarkan teori Roland Barthes digunakan untuk mendefinisikan sinyal dan makna dalam metode penelitian kualitatif deskriptif. Di sanggar seni Yudha, pengumpulan data dilakukan dengan berbagai metode, antara lain observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan. Analisis makna dalam penelitian ini didasarkan pada pendekatan semiotika Roland Barthes yang membedakan antara makna denotasi, konotasi, dan mitos. Hasil dari penelitian ini berupa gambaran menyeluruh tentang topeng reformasi, salah satu properti tari yang digunakan dalam pertunjukan Bedug Kerok, dan maknanya. ABSTRACTA complementary instrument or object called property is what gives a dance performance its deep meaning. Finding out and analyzing the significance of a masks utilized as a dance prop in the Bedug Kerok show in the Yudha Asri Art Village, Mander Village, Bandung District, and Serang Banten Regency was the goal of the research. A semiotic approach based on Roland Barthes' theory is utilized to define signals and meanings in the descriptive qualitative research method. In the Yudha art studio, data were gathered using a variety of methods, including observation, interviews, documentation, and library research. The analysis of meaning in this study is based on Roland Barthes' semiotic approach, which distinguishes between denotation, connotation, and myth meanings. The outcome of this investigation takes the shape of a thorough description of the reform mask, a dance property that is used in the Bedug Kerok performance, and its significance. 
INDUK BERAS MAHARAJA: PEMAKNAAN ULANG PERTUNJUKAN DRAMATARI RAMAYANA MELALUI MEDIA FILM DALAM KONSEP DANCE FILM NARATIF Febriyantono, Eka Lutfi
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14160

Abstract

RINGKASANKarya dance film Induk Beras Maharaja terinspirasi dari pertunjukan dramatari dari serat pewayangan Ramayana pada lakon (ceritra) taman Argasoka, taman indah di kerajaan Alengka milik Rahwana Raja tempat di mana ketika Dewi Shinta diculik, ia ditempatkan di taman tersebut. Induk Beras Maharaja diartikan sebagai permaisuri raja, atau dalam kisah ini merujuk kepada Dewi Shinta itu sendiri. Dari lakon tersebut memunculkan ide gagasan alih wahana dari dramatari pertunjukan live ke dalam bentuk karya dance film naratif yang berfokus pada aspek naratif tembang Jawa dan sinematik yang meliputi mise-en-scene pada film tersebut. Metode penciptaan Alma Hawkins meliputi eksplorasi, improvisasi, komposisi, evaluasi digunakan dalam proses penciptaan gerak sedangkan tahapan proses penciptaan film menggunakan tiga tahapan praproduksi, produksi, dan pasca produksi. Penyajian karya Induk Beras Maharaja tersebut merujuk pada pemaknaan ulang simbol artistik dan naratif cerita dalam pertunjukan dramatari Ramayana kedalam bentuk dance film naratif yang terdiri 4 segmen. Segmen 1 penculikan Dewi Sinta. Segmen 2 perjalanan cinta Rahwana Raja. Segmen 3 taman Argasoka. Segmen 4 telik sandi. Segmen 5 diambang nestapa. ABSTRACTThe dance film Induk Beras Maharaja was inspired by a live drama performance from the Ramayana puppetry fiber in the Argasoka garden play (ceritra) where the Argasoka garden is a beautiful garden located in the kingdom of Alengka belonging to Rahwana King. From this play, it finally gave rise to the idea of transferring the vehicle of live performance drama into a narrative dance film that focuses on the narrative aspects of Javanese songs and cinematics whichinclude mise-en-scene in the film. Alma Hawkins' method of creation including exploration, improvisation, composition, evaluation is used in the process of motion creation while the stages of the film creation process use three stages of pre-production, production, and post-production. The presentation of the work Induk Beras Maharaja refers to the re-interpretation of artistic symbols and narrative stories in the Ramayana drama performance into a narrative dance film consisting of 4 segments. Segment 1 is the kidnapping of Dewi Sinta. Segment 2 the love journey of Ravana the King. Segment 3 Argasoka park. Segment 4 telik sandi. Segment 5 on the verge of despair. Keywords: Induk Beras Maharaja, Translation, Dance narrative film
KREATIVITAS JAJULAIDIK DALAM PENCIPTAAN KARYA TARI BANYUWANGI Anggraini, Estu Candra; Rahayu, Eko Wahyuni; Yuwana, Setya; Sabri, Indar; Suryandoko, Welly
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14161

Abstract

RINGKASANProses berkarya seorang seniman tidak akan terpisah dari sebuah proses kreativitas. Jajulaidik merupakan salah satu seniman Banyuwangi yang dikenal akan konsistensi dan kreativitasnya dalam menciptakan karya tari kreasi yang bersumber dari tradisi dan nilai kearifan lokal Banyuwangi. Karya dan sanggar seninya sering mewakili Banyuwangi dan menjuarai berbagai kompetisi tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Sebagai seniman Banyuwangi yang sudah berpengalaman, menarik minat peneliti untuk mengkaji tentang biografi, prestasi karya tari, proses kreatif, dan konsep kekaryaan Jajulaidik. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini tentunya untuk mendeskripsikan dan menganalisis lebih dalam terkait biografi, prestasi karya tari, proses kreatif, dan konsep kekaryaan dari Jajulaidik. Hal ini akan dikaji menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif beserta pendekatan fenomenologi. Didukung dengan teknik pengumpulan berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitiannya yaitu kreativitas dan penghayatannya dalam berkarya telah membawa karyanya memperoleh berbagai kejuaraan di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Konsistensi berkaryanya di bidang seni pertunjukan juga membawa Jajulaidik diamanahi untuk mengemban berbagai tanggung jawab di beberapa pertunjukan yang ada di Banyuwangi. Potensi seni yang ada dalam dirinya juga dipengaruhi oleh faktor genetik keluarganya. ABSTRACT Jajulaidik’s Creativity in Banyuwangi Dance Creation. The creative process of an artist cannot be separated from the creative process. Jajulaidik is one of the Banyuwangi artists who is known for his consistency and creativity in creating creative dance works that originate from the traditions and values of local Banyuwangi wisdom. His works and art studios often represent Banyuwangi and win various district, such a provincial and national competitions. As an experienced Banyuwangi artist, it attractedresearcher’s interest in studying Jajulaidik's biography, dance performance, creative process and concept of work. Based on the problem formulation, the aim of this research is of course to describe and analyse more deeply the biography, dance achievements, creative process and concept of Jajulaidik's work. This will be studied using descriptive qualitative research methods along with a phenomenological approach. The data collection techniques in the form are observation, interviews and documentation. The results of his research are his creativity and appreciation for his work, have brought his work to various championships at district, provincial and national levels. The consistency of his work in the field of performing arts has also led to Jajulaidik being entrusted with various responsibilities in several performances in Banyuwangi. His artistic potential is also influenced by his family's genetic factors.
ENIGMA: KARYA TARI VIDEO YANG TERINSPIRASI DARI TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJKs Rahmat, Faet Oktadea; Alfirafindra, Raja; Heryadi, Dindin
Joged Vol 23, No 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v23i2.14162

Abstract

RINGKASAN“Enigma” adalah koreografi yang terinspirasi dari rangsang ideasional dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, yang mengangkat tentang pergulatan hati Hayati sebagai gadis Minangkabau dalam menentukan pilihan cintanya. Dilema dari seorang Hayati adalah menentukan pilihan kepada Zainuddin yang tidak memiliki suku dari adat Minangkabau –ykni keturunan Bugis--atau mengikuti adat yang berlaku dan aturan dari keluarga Hayati yang harus menikah dengan lelaki yang bersuku, beradat, berlembaga, dan berketurunan yang jelas asal usulnya. Karya tari “Enigma” disajikan oleh 3 penari, dengan format tari video dengan pengambilan long take, tracking one shoot yang merupakan salah satu teknik sinematografi di dalam tari video yang menggunakan tipe tari dramatik yang diadaptasi dari visual film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Motif silat Minangkabau yang dimunculkan ialah beberapa silat Minangkabau yaitu motif dari Silek Tuo Langkah Nan Ampek, dan juga beberapa motif tari Minangkabau, seperti tari Pasambahan, dan tari Piring ABSTRACTThis “enigma” was created and shaped into a complete choreography based on the idea or idea. This stimulus can be seen from several scenes from the movie Sinking of the Van Der Wijk Ship which concerns the dilemma. From the film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, it is taken from the outline of the interpretation of the dilemma of a Hayati between her choice of love for Zainuddin who does not have a tribe from Minangkabau customs and also the dilemma of the prevailing customs and the rules of the Hayati family who must marry a tribal, customary man, institutionalized, and hereditary with a clear origin. The dance work "Enigma" is presented by 3 dancers, in a video dance format by taking long take, tracking one shot, which is one of the cinematographic techniques in video dance that uses a dramatic dance type adapted from the visual film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. The Minangkabau silat motifs that appear are several Minangkabau silat motifs from Silek Tuo Step Nan Ampek, and also several Minangkabau dance motifs, such as the Pasambahan dance, and the Piring dance.

Page 1 of 1 | Total Record : 7