cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana
Published by Universitas Udayana
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 110 Documents
TIDAK TERDAPAT PERBEDAAN YANG BERMAKNA ANTARA NILAI ABSOLUT CD4 DAN PERSENTASE CD4 IBU HAMIL TERINFEKSI HIV PADA TRIMESTER II DAN III DI RSUP SANGLAH Doster Mahayasa, Putu
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Transmisi HIV dari ibu ke anak selama kehamilan memiliki nilai yang bervariasi, antara 15-40 % apabila tidak mendapatkan terapi. Sedangkan untuk transmisi melalui ASI diperkirakan dapat mencapai 30-40 %. Seroprevalensi HIV pada kehamilan menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 0.7 % pada tahun 2003–2004 menjadi 0.9 % pada tahun 2005–2006. Nilai persentase CD4 merupakan faktor risiko independen dan dapat digunakan untuk memprediksi risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat (PJT) pada bayi dengan ibu positif HIV, sedangkan studi yang memakai nilai absolut CD4 gagal menunjukkan korelasi tersebut.   Pada kehamilan terjadi hemodilusi sebesar 40-50 % selama kehamilan dengan puncaknya pada usia kehamilan 32-34 minggu. Nilai absolut CD4 diduga dipengaruhi oleh besaran hemodilusi itu sendiri yang berbeda pada setiap Trimester kehamilan. Pengaruh hemodilusi pada persentase CD4 diduga tidak bermakna. Dengan demikian, penelitian tentang perbandingan antara nilai absolut CD4 dengan persentase CD4 Trimester II dan III pada ibu hamil terinfeksi HIV sangat penting dilakukan untuk melihat variasi dari nilai hitung absolut CD4 dan persentase CD4, sehingga dapat menetukan metode pemeriksaan yang tepat untuk untuk menilai status imun ibu hamil dengan HIV.   Penelitian dengan metode kohort dilakukan pada 20 wanita hamil Trimester II dan III dengan infeksi HIV untuk membuktikan pengaruh kehamilan terhadap variasi nilai hitung absolut CD4 dan persentase CD4 pada kehamilan dengan HIV Trimester II dan III. Hasil uji t-paired didapatkan nilai p > 0,05 pada kedua nilai CD4. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada rerata nilai CD4, baik absolut maupun persentase CD4 antara Trimester II dan Trimester III. Hasil uji chi-square dilakukan untuk menilai pengaruh kehamilan terhadap perubahan nilai absolut CD4 dan persentase CD4 pada kehamilan dengan HIV Trimester II dan III menunjukkan hasil yang tidak bermakna (RR = 1,00, IK 95% = 0,43-2,33, p=1,00). Nilai absolut CD4 dan persentase CD4 cenderung tidak mengalami fluktuasi yang bermakna selama kehamilan Trimester II dan III. Dapat dikatakan nilai absolut CD4 merupakan parameter yang dapat dipercaya dalam menilai status imun ibu hamil dengan HIV tanpa perlu melakukan pemeriksaan tambahan persentase CD4. Nilai hitung persentase CD4 kemungkinan memiliki nilai prediktor tersendiri dalam menilai status imun pasien hamil dengan HIV, apabila terdapat faktor lain di luar kehamilan yang dapat mempengaruhi nilai hitung absolut CD4.
PERBEDAAN FUNGSI SEKSUAL WANITA PASCA PERSALINAN PERVAGINAM DENGAN EPISIOTOMI DAN SEKSIO SESAREA Darmayasa, Made
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dan seksio sesarea di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Bahan dan cara kerja : Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional analitik. Sampel diambil secara consecutive sampling dari bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan September 2012. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi didapatkan 86 sampel, terdiri dari 43 pasca episitomi dan 43 pasca seksio sesarea. Selanjutnya fungsi seksual dinilai dengan pengisian kuisioner FSFI (Female Sexual Function Index). Skor total kuisioner dianalisis dengan uji t-independent, dan perbedaan fungsi seksual digunakan uji Chi-Square, dengan tingkat kemaknaan ?=0,05. Hasil : Karakteristik subyek kedua kelompok menunjukkan hal yang sama sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. Rata-rata saat mulai hubungan seksual pada kedua kelompok adalah tiga bulan pasca melahirkan, dengan p > 0,05. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara kedua kelompok pada domain rangsangan dan lubrikasi masing-masing dengan p=0,160, dan p=0,067. Sedangkan domain yang lain menunjukkan perbedaan bermakna yaitu hasrat (p=0,014), orgasme(p=0,045), kepuasan (p=0,018), nyeri (p=0,02), dan skor total FSFI (p=0,006). Pada fungsi seksual kedua kelompok didapatkan disfungsi  seksual masing-masing 18,60% pada pasca episiotomi, dan 2,33% pada pasca seksio sesarea, dengan nilai p=0,030. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual kelompok pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio sesarea.   Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio sesarea. Kata kunci :  Episiotomi, seksio sesarea, fungsi seksual wanita.
PERAN KLINIS CA 125 PADA KANKER OVARIUM Sastra Winata, Gede
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu keganasan ginekologi yang cukup sering ditemui dan merupakan kanker ginekologi yang paling mematikan adalah kanker ovarium. Kanker ovarium merupakan kanker ginekologi terbanyak kedua dan berkontribusi sebesar 3% dari seluruh kanker pada wanita di Amerika Serikat. Kanker ovarium juga merupakan penyebab ke-5 terbanyak dari kematian wanita yang disebabkan oleh kanker. Di Indonesia kanker ovarium menempati urutan ke empat dengan angka kejadian 15 kasus per 100.000 wanita. Sedangkan di Rumah Sakit Sanglah angka kejadian kanker ovarium sebanyak 35% dari seluruh kanker ginekologi dengan angka harapan hidup selama 5 tahun hanya 15%. Dua per tiga dari kasus kanker ovarium ditemukan pada wanita dengan usia diatas 55 tahun. Karena kanker ovarium hanya sedikit yang menunjukkan gejala spesifik,  maka sekitar 70% kasus kanker ovarium saat terdiagnosis sudah berada pada stadium lanjut, hal ini berdampak pada tingginya angka mortalitas dari kanker ovarium. Pada stadium lanjut, angka 5-years survival rate dibawah 30%. Sebaliknya, jika terdiagnosis pada stadium I,  5-years survival rate meningkat drastis yakni sebesar 90%. Berbagai faktor yang berkaitan dengan reproduksi, genetik, dan faktor lingkungan dihubungkan dengan terjadinya kanker ovarium, diantaranya adalah nuliparitas, menars awal, menopause terlambat, ras kulit putih, peningkatan usia dan faktor genetik. Secara umum, faktor risiko diatas berhubungan dengan siklus ovarium yang tidak terputus selama masa reproduksi. Stimulasi yang berulang-ulang dari epitel permukaan ovarium dianggap dapat bertransformasi menjadi suatu keganasan. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, telah ditemukan tumor marker yang dianggap berhubungan dengan kanker ovarium, yakni CA-125. CA-125 atau disebut juga Cancer Antigen 125 atau Carbohydrate Antigen 125 pertama kali ditemukan oleh Bast dkk pada tahun 1981. CA-125 terdapat pada semua jaringan yang berasal dari derivat sel mesotel dan epitel coelomik, diantaranya pleura, perikardium, peritoneum, tuba, endometrium dan endoserviks. CA-125 merupakan tumor marker yang paling sering digunakan pada kanker ovarium, sering disebut sebagai “Gold Standard” untuk diagnosis kanker ovarium. Peranan CA-125 pada kanker ovarium sudah banyak diteliti, diantaranya adalah untuk deteksi dini, monitoring respon terapi, dan monitoring terjadinya rekurensi.
KERJA SURFAKTAN DALAM PEMATANGAN PARU BAYI PRETERM Suardana, Ketut
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada mamalia seluruh permukaan alveolar parunya dilapisi oleh lapisan tipis kontinyu yang disebut alveolar lining layer yang di dalamnya mengandung surfaktan paru. Surfaktan paru merupakan materi kompleks yang terdiri dari lipid dan protein yang disekresi oleh pneumosit tipe II yang melapisi alveoli. Sel ini mulai muncul pada sekitar usia kehamilan 21 minggu dan mulai memproduksi surfaktan pertamakali antara minggu ke 28 dan 32 kehamilan. Surfaktan memegang peranan penting dalam fisiologi paru.. Fosfolipid utama penyusun surfaktan adalah fosfatidilkolin (disebut juga lesitin) dan fosfatidilgliserol. Protein komponen penyusun surfaktan terdiri dari empat surfactant-related proteins, yaitu dua protein hidrofilik (SP-A dan SP-D) dan dua protein hidrofobik (SP-B dan SP-C).   Fungsi utama dari lapisan surfaktan ini adalah menurunkan tegangan permukaan pada antar-muka air udara lapisan cairan alveoli, sehingga mekanisme normal pernapasan dapat terus berlangsung. Kedua, adalah mempertahankan stabilitas alveoli dan mencegah alveoli menjadi kolaps. Ketiga, surfaktan dapat mencegah terjadinya udem paru. Fungsi tambahan lain adalah berkaitan dengan imunologi yaitu melindungi paru dari cedera dan infeksi yang disebabkan oleh partikel atau mikroorganisme yang terhirup saat bernafas   Defisiensi atau disfungsi surfaktan menyebabkan penyakit pernapasan yang berat. Respiratory distress syndrome (RDS) pada neonatus merupakan bentuk penyakit akibat defisiensi surfaktan yang sering ditemukan dan ini berkaitan erat dengan prematuritas. RDS merupakan suatu kondisi pada bayi premature yang memberi gambaran klinis berupa peningkatan usaha napas, penurunan komplians paru, atelektasis yang nyata (kolaps alveoli) dengan gambaran penurunan FRC, gangguan pertukaran gas dan udem interstisial yang luas.   Terapi surfaktan secara cepat meningkatkan jumlah baik alveoli maupun jaringan interstisial sekitarnya. Surfaktan eksogen yang diberikan akan diambil oleh sel tipe II dan kemudian diproses untuk kemudian diresekresi. Surfaktan eksogen yang diberikan akan bertahan di paru dan tidak cepat mengalami degradasi. Dosis terapi surfaktan eksogen yang diberikan tidak menyebabkan umpan balik negatif berupa hambatan sintesis fosfatidilkolin ataupun protein surfaktan endogen.Hingga saat ini tidak ditemukan adanya konsekuensi metabolik atau perubahan fungsi paru dengan pemberian terapi surfaktan.   Kemajuan riset mengenai terapi surfaktan pada kasus RDS dan penyakit paru neonatus lainnya telah memberikan manfaat yang besar terhadap luaran bayi yang dilahirkan. Namun tingginya harga preparat surfaktan telah membatasi penggunaannya secara luas di berbagai negara. Untuk itu di masa mendatang diperlukan penelitian lanjutan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan preparat surfaktan dengan harga yang lebih murah.
KEHAMILAN ABDOMINAL Mawan, Pius Made
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kehamilan abdominal adalah merupakan bagian dari kehamilan ekstrauterin atau kehamilan ektopik yaitu ovum yang terfertilisasi berimplantasi pada jaringan selain endometrium. Kehamilan abdominal dibedakan menjadi dua yaitu kehamilan abdominal primer dan sekunder.Insiden kehamilan abdominal bervariasi dari 1 dalam 372 sampai 1 dalam 9.714 kelahiran hidup. Kehamilan abdominal berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan risiko kematian 7 sampai 8 kali lebih besar dari kehamilan ektopik tuba dan 90 kali lebih besar dari kehamilan intrauterin. Faktor risiko kehamilan abdominal sama dengan kehamilan ektopik. Penegakan diagnosis merupakan tantangan tersendiri dimana hanya 40 %  yang terdiagnosis sebelum pembedahan. Tidak ada keluhan dan tanda yang khas yang dijumpai pada kehamilan abdominal, USG dan MRI merupakan modalitas dalam penegakan diagnosis. Penatalaksanaan pembedahan harus sudah dipikirkan begitu diagnosis ditegakan. Ada kalanya tindakan konservatif dilakukan sambil menunggu pematangan paru namun harus memenuhi beberapa persaratan baik ibu, janin, dan letak plasenta.  Pembedahan bertujuan untuk mengevakuasi janin dan mengevakuasi plasenta. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah perdarahan yang masif dari terlepasnya plasenta sebagian. Sebagian besar ahli penganjurkan meninggalkan plasenta pada tempatnya sebagai satu dari dua pilihan yang buruk. Plasenta masih berfungsi sampai 50 hari pasca pembedahan dan absorsi lengkap setelah 6 bulan, namun pernah dilaporkan sampai 5 tahun. Pemantaun pasca pembedahan jika plasenta ditinggalkan pada tempatnya dengan USG, kadar ? hCG dan colour doppler. Methotrexat pernah dicoba untuk mempercepat absorsi plasenta namun sering menimbulkan komplikasi nekrosis yang luas sampai sepsis. Mortalitas ibu bervariasi 0-30 %  dari berbagai kasus kehamilan abdominal dan hanya dapat diturunkan dengan diagnosis dini dan ketepatan intervensi. Dengan perencanaan operasi yang matang angka kematian dapat diturunkan dari sekitar 20 persen manjadi kurang dari 5 persen. Penyelamatan janin pada kehamilan abdominal tergantung usia kehamilan. Untuk janin dilaporkan usia kehamilan diatas 30 minggu hanya mampu bertahan 63 % dengan 20 % mengalamideformitas. Deformitas yang tersering dijumpai pada janin adalah deformitas wajah atau cranium atau keduanya dan berbagai kelainan sendi. Malformasi tersering adalah defisiensi ekstrimitas dan anomaly susunan saraf pusat.
PERAN MRI DALAM DIAGNOSTIK KANKER SERVIKS Mayun Mayura, I G P
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Magnetic Resonance Imaging telah semakin digunakan dalam penentuan stadium kanker serviks , karena pada tahap awal penyakit ini kinerjanya dapat dibandingkan dengan temuan intraoperatif dan , pada stadium lanjut , hal itu menunjukkan lebih unggul evaluasi klinis . Selain itu , pencitraan resonansi magnetik menyajikan resolusi gambar yang sangat baik untuk kepadatan yang berbeda dari struktur panggul , tidak memerlukan radiasi pengion , nyaman bagi pasien , meningkatkan de penentuan stadium , memungkinkan deteksi dini kekambuhan dan identifikasi faktor-faktor prognostik yang handal yang berkontribusi proses pengambilan keputusan dan hasil prediksi terapi dengan efektivitas biaya yang sangat baik . Artikel ini ditujukan untuk mengkaji aspek yang paling penting dari pencitraan resonansi magnetik pada stadium kanker serviks . Saat ini, karsinoma serviks uterus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Meskipun kelangsungan hidup lebih lama dari pasien karena diagnosis awal dan terapi yang lebih efektif, penyakit ini masih tetap sebagai penyebab utama kematian terkait kanker perempuan di sebagian besar negara-negara berkembang (1). Karsinoma serviks adalah penyakit tumbuh lambat, biasanya menyerang vagina dan ruang paraserviks sepanjang parametrium dan ligamentum uterosakrum. Juga, kandung kemih, rektum, panggul dan kelenjar getah bening paraaortik dapat menyerang (2). Pola penyebaran panggul karsinoma serviks membatasi pemanfaatan bedah pengobatan untuk tahap awal penyakit ini, mengingat kurangnya margin keamanan dalam reseksi tumor yang mungkin sudah mempengaruhi ruang paraserviks. Penentuan stadium yang direkomendasikan oleh International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) diadopsi secara luas baik untuk perencanaan terapi dan terapi pasca-ikutan, namun telah terbukti tidak akurat dalam estimasi tingkat tumor yang sebenarnya. Namun, di negara berkembang, peralatan pencitraan dasar tidak selalu tersedia secara luas dalam pelayanan kesehatan, maka pemeriksaan ginekologi akhirnya menjadi alternatif utama untuk penentuan stadium karsinoma serviks. Keterlibatan parametrium  dievaluasi dengan pemeriksaan rektal merupakan parameter yang sering ciri karsinoma stadium lanjut (6). Kesalahan dapat terjadi, terutama akibat meremehkan jumlah penyakit sebagai konsekuensi dari keterbatasan pemeriksaan klinis-ginekologi (7) .
PERBEDAAN KADAR INTERLEUKIN-6 DAN PROSTAGLANDIN E-2 SERUM PADA KEHAMILAN PRETERM DENGAN KETUBAN PECAH DINI DAN KEHAMILAN PRETERM NORMAL Teguh, Mintareja
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ketuban Pecah Dini preterm masih merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin di Indonesia. Hal ini terkait dengan terjadinya persalinan preterm, sepsis neonatorum serta kematian perinatal. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi ketuban pecah dini preterm melalui studi faktor risiko. Infeksi merupakan faktor risiko terbesar dimana sumber utama adalah infeksi ascenden vagina. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kadar IL-6 dan PGE2 serum pada kehamilan preterm dengan ketuban pecah dini dan kehamilan preterm yang normal. Metode Penelitian: Merupakan studi menggunakan rancangan cross-sectional analitik di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar yang dilakukan pada tanggal 1 Januari 2014 sampai 15 Juli 2014. Sampel penelitian  adalah ibu hamil 20 - 37 minggu yang datang berkunjung ke Kamar Bersalin IRD dan Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, consecutive sampling dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada sampel dilakukan pengambilan sampel darah untuk diperiksa kadar serum IL-6 dan PGE2 dengan teknik ELISA di laboratorium RSUP Sanglah. Dilakukan uji normalitas dengan Shapiro – Wilk, uji homogenitas dengan Levene test dan uji komparatif dengan T-Independent  menggunakan bantuan SPSS 17 for windows® version. Hasil Penelitian: Rerata umur ibu, usia kehamilan, dan paritas pada kedua kelompok adalah homogen. Rerata kadar IL-6 pada kelompok Ketuban Pecah Dini Preterm adalah 23,49±24,61 dan rerata Kelompok Hamil Normal adalah 4,50±6,59 (nilai p = 0,002). Rerata kadar IL-6 pada ke dua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). Rerata kadar PGE2 Kelompok Ketuban Pecah Dini Preterm adalah 24,84±19,21 dan rerata Kelompok Hamil Normal adalah 9,19±4,33 (p = 0,001) Rerata kadar PGE2  pada ke dua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). Simpulan: Terdapat perbedaan kadar IL-6  dan kadar PGE2 serum pada kehamilan preterm dengan ketuban pecah dini lebih dengan kehamilan preterm yang normal.
PERBANDINGAN EKSPRESI BCL-2 PADA TUMOR OVARIUM EPITELIAL TIPE JINAK, BORDERLINE, DAN GANAS Megadhana, Wayan
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tumor ovarium merupakan masalah ginekologi onkologi di seluruh dunia dan keganasannya merupakan penyebab kematian terbanyak pada semua keganasan ginekologi. Pembagian tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas menyebabkan keragaman karakteristik tumor sehingga menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan suatu marker yang dapat digunakan untuk deteksi dini, prognosis dan pedoman dalam penatalaksanaannya sehingga diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita. Beberapa peneliti melakukan pendekatan secara genetika untuk mengungkap etiopatogenesis terjadinya suatu tumor. Salah satu gen yang berperan dalam terjadinya suatu tumor adalah Bcl-2 yang merupakan protein yang mengekspresikan gen BCL2. Dengan demikian maka dalam penelitian ini dilakukan perbandingan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar yang dilakukan mulai Maret 2012 sampai Desember  2013 dengan sampel penelitian sebanyak 49 buah blok parafin. Sampel blok parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas tipe tumor ovarium epitelial yaitu tipe jinak, borderline dan ganas. Masing-masing kelompok tipe tumor dilakukan pemeriksaan ekspresi Bcl-2 dengan teknik imunohistokimia, yang kemudian dilakukan perbandingan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas dengan menggunakan uji Chi-Square. Penelitian ini memperoleh rerata umur, Indek Massa Tubuh (IMT) dan paritas pada ketiga  kelompok tipe tumor ovarium epitelial adalah homogen. Ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak, borderline dan ganas berturut-turut adalah 0%, 7,69% dan 35%. Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak dengan ganas (p=0,009), tidak terdapat perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe jinak dengan borderline (p=0,448) dan tidak terdapat perbedaan ekspresi Bcl-2 pada tumor ovarium epitelial tipe borderline dengan ganas (p=0,082).  
GRANULOCYTE COLONY STIMULATING FACTOR (G-CSF) SEBAGAI PREDIKTOR PERSALINAN PRETERM Duarsa, Iswara Somadina
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 3 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Persalinan preterm yang menjadi kelahiran preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal baik di dunia maupun di Indonesia. Tidak semua pasien yang datang dengan tanda persalinan preterm akan menjadi kelahiran preterm. Prediktor diagnostik yang baik tidak hanya menghindari pasien dari terapi tokolitik dan efek sampingnya, tetapi juga dapat menurunkan angka perawatan rumah sakit dan juga menurunkan angka rujukan ke fasilitas perawatan perinatologi. Telah banyak prediktor diagnostik untuk memprediksi kelahiran preterm digunakan sebelumnya, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi dalam praktek sehari – hari. Granulocyte Colony Stimulating Factor (GCSF) telah hadir diberbagai uji diagnostik dalam mendiagnosis persalinan preterm dan memprediksi terjadinya kelahiran preterm. Dengan cukup tingginya nilai sensitivitas dan spesifisitas , pemeriksaan GCSF dapat membantu klinisi memprediksi kelahiran preterm dengan menjadikannya suatu pemeriksaan srining rutin pada wanita hamil sehingga persalinan preterm dapat dicegah dan dapat menurunkan angka perawatan rumah sakit yang tidak diperlukan.
Malondialdehyde (MDA) Serum Level In Incomplete Abortion Is Higher Than Normal Pregnancies Putu Surya, I Gede
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 3 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Miscarriageor spontaneous abortion is one of the most frequent obstetric complications encountered during the first trimester of pregnancies. More than 80% occur in less than 14 weeks of pregnancy. Clinically, the most common miscarriage in hospitals is incomplete abortion. On of the cause of miscarriage is oxidative stress due tounbalance between prooxidants (free radical) and antioxidants. Malondialdehyde (MDA) is compound which is the end product of lipid peroxidants in the body.MDA showedsaturated fatty acid oxidation products from free radicals. Increased free radicals will caused oxidative stress. An increase in oxidative stress in accordance with increased MDA formation. Oxidative stress will cause breakage and damage tothetrofoblast cells that continued to be miscarriage. The purpose of this research was to provethat the MDA levels in incomplete abortionishigher than normalpregnancies. The design on this research used a cross-sectional study involving 72 women, grouped into 36 women with incomplete abortions and 36 womenwith normal pregnancy less than 14 weeks which meet the criteria of inclusion and exclusion that came to the Sanglah HospitalDenpasar. Blood serum were checked to determine serum MDA levels in both groups byElisa method. Based on t-independent test, therewereno significance differences in terms of age mother, the age of pregnancy and the parity between groups were gestational age less than 14 weeks(p > 0.05). There were significant differences (p < 0.05) between MDA serum levels in incomplete abortion(2.50+ 1.38) andnormal pregnancy less than 14 weeks (1.78 + 0.38).From chi-square test, prevalence ratio is(RP = 1.98, IK 95 % = 1.20-3.26 p = 0.005). Based on ROC curve, cut off point of mda serum levels was1.836 pmol/mg. MDA serum level in incomplete abortion is higher thannormal pregnancies. Keyword : incomplete abortion, MDA serum level

Page 4 of 11 | Total Record : 110