cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota cirebon,
Jawa barat
INDONESIA
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis
ISSN : 23030453     EISSN : 24429872     DOI : -
Core Subject : Education,
Diya al-Afkar adalah jurnal ilmiah yang memfokuskan studi al-Quran dan al-Hadis. Jurnal ini menyajikan karangan ilmiah berupa kajian ilmu-ilmu al-Quran dan al-Hadis, penafsiran/pemahaman al-Quran dan al-Hadis, hasil penelitian baik penelitian pustaka maupun penelitian lapangan yang terkait tentang al-Quran atau al-Hadis, dan/atau tinjauan buku. Jurnal ini diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun.
Arjuna Subject : -
Articles 227 Documents
Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya Lukman Zain
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 2, No 01 (2014): JUNI
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.526 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v2i01.564

Abstract

Tradisi menulis dan mencatat hadis telah terjadi pada masa Nabi. Para sahabat menerima hadis dari majlis Nabi dan mencatat dari apa yang dikatakan oleh Nabi. Selain itu pada masa Nabi, materi hadis yang mereka catat masih terbatas, hal ini disebabkan sedikit jumlah sahabat yang pandai menulis, di samping perhatian mereka masih banyak yang bertumpu pada pemeliharaan al-Qur’an, sehingga catatan-catatan hadis masih tersebar pada sahifah sahabat.Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada masa Nabi tidaklah sama dengan pada masa sahabat. Demikian pula periwayatan pada masa sahabat tidak sama dengan periwayatan pada masa sesudahnya. Cara periwayatan hadis pada mana Nabi lebih terbebas dari syarat-syarat tertentu bila dibandingkan dengan periwayatan pada masa sesudahnya. Hal ini disebabkan, karena pada masa Nabi selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan hadis, juga karena pada masa itu seseorang akan lebih mudah melakukan pemeriksaan sekiranya ada hadis yang diragukan kesahihannya. Makin jauh jarak waktu dari masa hidup Nabi, makin sulit pengujian kebenaran suatu hadis.  Kata Kunci : Hadis, Nabi SAW, Sahabat, Riwayat.
REALIBILITAS RIWAYAT SAHABAT: PEMBACAAN ULANG ATAS DOKTRIN KEADILAN SAHABAT wasman wasman
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 2, No 01 (2014): JUNI
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.206 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v2i01.569

Abstract

Sahabat Nabi diklaim paling mengetahui doktrin agama dalam bentuknya yang orisinal. Merekalah yang mentransmisikan doktrin tersebut kepada generasi berikutnya. Dalam kajian hadis, suatu riwayat agar dapat diterima harus memenuhi kriteria keadilan periwayatnya. Haruskah kriteria ini diterapkan kepada sahabat? Tulisan ini hendak mempertanyakan dan mendiskusikan kembali wacana keadilah sahabat (‘ada>lah al-s}ah{abah) ini. Beberapa pertimbangan rasional dan historis ditawarkan untuk mendedah hakikat persoalan ini dan melihat implikasinya bagi kajian hadis. Kata Kunci: Sahabat, Keadilan, Ahli Sunnah, Hadis, Muh{addis\u>n, Ulama Ushul
Living Sunnah Jama’ah Al-Syahadatain (Studi Kasus di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul Kuningan) Istifadah Istifadah; Anisatun Muthi'ah; Ahmad Faqih Hasyim
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 02 (2016): DESEMBER
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.678 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i02.1162

Abstract

Sunnah yang hidup (living sunnah) berarti kebiasaan atau prilaku yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari, sedangkan sunah yang  mati adalah kebiasaan yang  tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian sunah yang hidup identik dengan ijma kaum muslimin yang di dalamnya termasuk para ulama generasi awal. Jadi sunah yang hidup adalah sunah nabi ditafsirkan oleh para ulama, penguasa, hakim dan masyarakat sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.Living Sunnah dipraktikkan di pondok pesantren Nurul Huda Munjul. Praktek ini kurang mendapat pemahaman positif oleh masyarakat sekitar, untuk itu peneliti tertarik untuk menggali informasi dari Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul Astanajapura Cirebon. Tulisan ini untuk menjelaskan living sunnah, doktrin dan  hal yang mendasari komunitas Pondok Pesantren Nurul Huda dengan metode deskriptif kualitatif dan interpretasi data. Living sunah di Munjul menggunakan tradisi lisan dan tradisi praktik. Seperti wiridan dan pakaian putih. Kata kunci: living sunnah, pondok pesantren.
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DALAM AL QUR'AN; Analisis Kritis Tafsir Tematik Kemenag RI M. Wiyono
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 02 (2016): DESEMBER
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.692 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i02.1142

Abstract

Dalam al-Qur'an tanggung jawab sosial merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam rangka mempererat sekaligus sebagai perekat persatuan dan persaudaraan ummat, termasuk tanggung jawab sosial di bidang ekonomi. Konsentrasi al-Qur'an dalam bidang ekonomi sangat diperhatikan, mengingat ekonomi menjadi salah satu elemen pembentuk kesejahteraan, prilaku ekonomi yang dimaksud adalah meliputi produksi, kepemilikan dan dsitribusi. Dalam kepemilikan al-Qur'an mempunyai pola yang khas, berbeda dengan kepemilikan, kapitalis, sosialis maupun liberalis. Keunikan tersebut bila digali lebih dalam maka kita akan mendapatkan sebuah pola baru dalam pengentasan kemiskinan dan pemerataan. Konsep pemerataan dijelaskan oleh mufasir dengan berbagai cara, di antaranya adalah mengambil metode tematik sebagai pilihannya, sebagaimana yang tertuang dalam tafsir tematik kemenag RI. Tulisan ini hendak melihat lebih dekat keunikan metode tematik yang digunakan oleh al-Qur'an dalam menggali konsep-konsep tersebut. Kata Kuci:  al-Qur’an, metode tafsir, tematik, tanggungjawab sosial. 
Al-Falah dan Al-Farah (Studi Ma’anil Qur’an dan Tafsir Tematik dalam Tafsir Al-Azhar) Siti Fajriyah; Didi Junaedi; M. Maimun
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 02 (2016): DESEMBER
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (226.583 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i02.1150

Abstract

Penelitian ini membahas tentang makna dari beberapa variasi lafaz al-falah dan beberapa variasi lafaz al-farah . Meskipun keduanya memiliki persamaan makna umum yaitu bahagia, namun tidak sedikit ulama yang membedakan makna secara rinci dari kedua istilah tersebut. Secara singkat, pengertian al-falah merupakan kebahagiaan, keberhasilan atau keselamatan yang baik. Bahkan tidak jarang diartikan dalam al-Qur’an sebagai makna kemenangan. Dan pengertian dari al-farah  adalah kegembiraan, kesenangan yang baik pula namun sifatnya tidak sampai terus menerus ke pemaknaan bahagia ukhrawi.Selain menguraikan makna perbedaan secara umum dari kedua istilah kata tersebut, penelitian ini juga menyimpulkan perbedaan makna kedua istilah tersebut menurut pemikiran Hamka dari kitab tafsirnya yaitu al-Azhar yang dituangkan menggunakan tartib nuzuli makkiyah madaniyah dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung makna bahagia. Al-falah dan al-farah  sama-sama dapat dirasakan setelah mendapatkan sesuatu yang dimaksud, namun al-falah diartikan sebagai kebahagiaan yang terpuji sedangkan al-farah  lebih diartikan kepada makna gembira yang condong kurang terpuji.Kata Kunci: Bahagia, al-falah, al-farah , Hamka
KONSEP KEADILAN GENDER DALAM PEMBAGIAN WARISAN (Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali) Ayu Faizah; Adib Adib; Ahmad Faqih Hasyim
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 02 (2016): DESEMBER
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (213.97 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i02.1143

Abstract

The division of inheritance between men and women are often the dispute because their ratio of 2: 1, then the study was conducted with two conflicting opinions with each other, namely the interpretation of the interpretation M. Quraish Shihab al-Misbah and Munawir Sjadzali in Re-actualizing Islamic Teachings , The method used is the comparative method. Quraish explained in the commentary of al-Misbah that the division of inheritance between men and women (2: 1) is a matter that can not be changed. However, in other works Quraish allow equal division of inheritance (1: 1) in accordance with the agreement of all the heirs. While Munawir Sjadzali explicitly requires equal division of inheritance (1: 1) on the condition that women have a role. So in essence M. Quraish and Munawir have the same thought, that justice in the division of inheritance can not be seen from the property, but based on the responsibilities and roles owned. Keywords: justice, inheritance, Quraish, Munawir, tafsir al-Misbah
Interaksi Kyai Dengan Masyarakat Dalam Tafsir Al-Maraghi Ahmad Ali Syauqi; Hartati Hartati; Ahmad Faqih Hasyim
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 02 (2016): DESEMBER
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (194.024 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i02.1152

Abstract

Semakin terkikisnya ulama (kyai) yang menjadi panutan, membuat penulis merasa perlu menelisik lebih jauh relasi dan interaksi seperti apa yang sebaiknya dibangun, menurut al-Qur’an, antara seorang ulama dengan pejabat, masyarakat dan sesama kyai agar kehidupan dunia ini menjadi lebih baik. Tujuan penelitian ini ialah menjelaskan penafsiran al-Marâghî mengenai ayat-ayat interaksi antara: kiai dengan pejabat, kiai dengan kiai, dan kiai dengan masyarakat awam. Metode yang digunakan adalah metode dan library research. Kesimpulan yang didapat dari penulisan skripsi ini antara lain bahwa a.) Berdasarkan penafsiran atas QS al-Baqarah (2): 247, pemuka agama (kiai) tidak boleh termakan ucapan manis pejabat; harus selalu menjadi panutan pejabat, bukan sebaliknya, dan tetap menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Interaksi antara kiai dengan pejabat melalui kisah Nabi Samuel dengan pejabat Bani Israîl. b.) Berdasarkan penafsiran atas QS. Maryam (19): 53, al-Maraghi tidak menjelaskan panjang lebar mengenai interaksi antara Nabi Musa dengan Nabi Harun. Namun dari penjelasan al-Maraghi dapat ditemukan secara tersirat bahwa keduanya sama-sama Nabi yang menentang kezaliman saat itu. Interaksi antara Nabi Musa dengan Nabi Harun saling tolong menolong dalam berdakwah. c.) Berdasarkan penafsiran atas QS al-Taubah (9) 61, al-Maraghi menafsirkan interaksi antara Nabi Muhammad Saw. dengan masyarakat awam, al-Maraghi memberi perumpamaan dalam tafsirnya, bahwa orang yang yang menyakiti Rasulullâh sama dengan orang yang menyakiti kedua orang tuanya dan keluarganya khususnya kaum munafik yang menyakiti beliau. Kemudian, hal ini membuktikan bahwa al-Maraghi menganggap seorang Rasulullâh (baca: kiai) adalah juga orang tua mereka.  Kata kunci: Interaksi, Kiai, Masyarakat.
MEMILIH PASANGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF HADITS (Tinjauan Teori Dan Aplikasi) Aeni mahmudah
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 01 (2016): JUNI
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.417 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i01.886

Abstract

Memilih pasangan hidup merupakan tahap pertama yang harus dilalui sebelum pernikahan. Beberapa hal bisa mendorong seseorang, saat menentukan siapa yang pantas untuk dijadikan sebagai pendampung hidup. Hal tersebut tidak hanya berorientasi pada kebaikan lahiriah, seperti kecantikan, kekayaan, status sosial, agama, dan budi pekerti. Kriteria tersebut dalam Adat Jawa juga dikenal dengan istilah bobot, bibit, dan bebet. Akan tetapi, Rasulullah Saw dalam hadisnya, lebih menekankan untuk memilih pasangan hidup berdasarkan agama dan budi pekertinya.Pembahasan dalam skripsi ini mencakup tentang: 1) bagaimana kesahihan hadis memilih calon pendamping hidup? 2) bagaimana makna dan interpretasi terhadap hadis tentang memilih pasangan hidup tersebut? serta 3) bagaimana relevansinya hadis nabi terhadap kehidupan sosial masyarakat pada masa kekinian?Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini tidak lain adalah untuk mengetahui kesahihan hadis, mengetahui pemaknaan dan interpretasi terhadap hadis tentang memilih pasangan hidup, serta untuk mengetahui relevansi hadis terhadap kehidupan sosial masyarakat pada masa kekinian.Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka dengan membahas buku, baik dari buku primer maupun sekunder yang menjelaskan tentang memilih pasangan hidup, terutama yang berkaitan dengan hadis, Hukum Islam, serta Adat Jawa. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, dengan tujuan agar dapat memberi gambaran tentang memilih pasangan hidup, yang berangkat dari teori dalam teks hadis, Hukum Islam, serta Budaya atau Adat Jawa, hingga relevansinya pada masa kini.Hadis pertama yang menjelaskan tentang menikahi perempuan karena kecantikan, keturunan, harta, dan agama, merupakan hadis sahih baik sanad maupun matannya.  Sedangkan hadis kedua tentang menerima pinangan laki-laki yang baik agama serta ahlaknya, pada awalnya merupakan hadis dhaīf, kemudian menjadi hasan lighairihi karena turut menguatkan hadis yang pertama. Dewasa ini dalam memilih pendamping hidup, masyarakat masih senantiasa melangsungkan konsep-konsep tersebut di atas, namun perbedaannya pada masa sekarang ini ada kelonggaran dalam memilih pasangan. Selain itu, baik laki-laki maupun perempuan lebih terbuka dalam menentukan pilihannya. Semua itu sah-sah saja, karena pada dasarnya tujuan atau niat dari memilih pasangan hidup, tidak lain agar kelak rumah tangga yang akan dijalani dapat berbuah kebahagiaan baik di dunia, maupun di akhirat. Kata kunci: pasangan hidup, hadis, teori, aplikasi
MAKNA WALI DAN AULIYĀ’ DALAM AL-QUR’AN (Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu) Ismatilah Ismatilah; Ahmad Faqih Hasyim; M. Maimun
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 02 (2016): DESEMBER
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (305.825 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i02.1144

Abstract

In Indonesia context, the term wali and Auliya 'only have two meanings, those are wali as parents and wali as the close one with Allah and has peculiarity that other people do not have or wali is defined according to tasawuf, such as wali songo. However, in the holy Qur'an the word wali and auliya have different meaning depend on the relation of sintagmatik that is used in a word. So that, the researcher analyze the meaaning wali and Auliya.The formulation of this research are 1) how is the meaning of wali and Auliya 'in the holy Qur’an? And 2) how is the basic meaning and word relational meaning of wali and Auliya 'in the holy Qur'an?The purpose of the research are: 1) to know the meaning of wali and Auliya in the holy Qur'an and 2) to know the basic meaning and relational word meaning of wali and Auliya'.This research is qualitative and what kind of research is a library to discuss the book, both in primary and secondary books that explain the semantic word guardian and Auliya 'in the Qur'an. The approach of this research is the semantic approach offered Toshihiko Izutsu. steps in the research is to determine the word that will be studied the meaning and concepts contained in it, tracing the roots of the word, transformation, and change the meaning, outlining categories of semantic guardian and Auliya 'according to the condition of the wearer, and compose semantic field to obtain an illustration or picture clearer about the meaning of a word.The results of this study is the first meaning of the word meaning guardian pick up close. The second is based on relational meaning, in the Qur'an the word guardian and Saints have various meanings of which are helper, protector, friend, leader, ruler, children, heirs, lover, coreligionists, and the close is righteous. In the development of meaning, the word guardian at the time of the Pre-Qur'anic means master, people who have power over something. At the time of Qur'anic word guardian and Saints have meaning as disbutkan above.The meaning of the word guardian and Auliya 'in the post-Qur'anic evolving in the context Indonesiaan is the first guardian of Sufi pandangn corner meaningful person who received special protection. because obedience to God. God has the absolute right to choose his servant to be a trustee. Both from the standpoint of jurisprudence family, guardian meaningful words the person who has the authority to perform a contract, guardian of marriage. Third from a social standpoint in meaningful parent / father or mother and meaningful leaders, such as mayors. Key words: wali, auliyā’, semantic, Qur’an.
Penafsiran Imam Nawawi al-Bantani Tentang Jin (Kajian Tematik dalam Tafsīr Marāh Labīd) M Amin Mubarok; Didi Junaedi; M. Maimun
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis Vol 4, No 02 (2016): DESEMBER
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (254.427 KB) | DOI: 10.24235/diyaafkar.v4i02.1153

Abstract

All religiouns believe in the existency of the spirit of jin. Long before the existency of Islam, religiouns like Majusi, Yahudi, and Christiany too believe in the existency of the jin. Based on the above believe the mayority of muslim and non muslim will believe the existency named jin. But minority of muslim like of the filosof and a part of mu’tazilah wish the existency of the spiritual creature named jin.  After all, the term jin is always meantioned in the Holy Qur’an. The above meationed term erouse many debate to fine out the actual meaning and to understand accureatly . based on the above  fenomenal the writer feels attracted to investigate the meaning of jin in the al-Qur’an and to compare the translition of the word jin found in tafsir marāh labīd cretion of Imam Nawawi al-Bantani. By understanding the cretion of Imam Nawawi al-Bantani, it is expected to give the meaning of jin more preacisely and to understand  the translition implemented by Imam Nawawi al-Bantani about the jin especially when compared with the present. Keyword: Jin, Tafsir Marāh Labīd, al-Qur’an

Page 2 of 23 | Total Record : 227