cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota cirebon,
Jawa barat
INDONESIA
MAHKAMAH: Jurnal Kajian Hukum Islam
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 186 Documents
ANALISIS AKAD NIKAH VIA TELECONFERENCE MENURUT FIQIH MAZHAB DAN HUKUM POSITIF INDONESIA Wardah Nuroniyah
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (394.329 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i1.1671

Abstract

Abstrak Akad nikah melalui media komunikasi teleconference merupakan salah satu bentuk akomodasi kepentingan masyarakat, akad nikah semacam ini merupakan suatu alternatif pilihan efektif dan efesien (dengan tidak meninggalkan syariat Islam) bagi masyarakat modern. Dalam UUP 1974 maupun PP No. 9 Tahun 1975 hanya diatur tentang sahnya pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaannya, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP 1974, lebih lanjut pernikahan tersebut harus dicatatkan ke Kantor Pencatatan Pernikahan (Pasal 2 ayat (2) Jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan dalam fiqih, penerapan syarat dan rukun nikah mempunyai sebuah landasan dan alasan yang rasional dan transanden untuk dilaksanakan. Setiap penetapan syara’harus diikuti dengan berbagai macam alasan, baik dari sisi manfaat, madlarat (dampak negatif), juga hal-hal lain seperti setting social historis yang ada waktu itu. Berkaitan dengan akad nikah via teleconference, ada beberapa point dalam syarat dan rukun nikah yang harus dianalisa yang jika diterapkan bisa menjadi perdebatan. Dengan menggunakan pendekatan normatif, analisis akad nikah via teleconference baik menurut fiqih mazhab dan hukum positif Indonesia,dapat dikaji argumentasi hukumnya. Jika diukur dengan hasil ijtihad para ulama terdahulu, khususnya Imam mujtahid yang empat, ternyata akad nikah via teleconfrence itu memang dapat saja dilaksanakan dengan syarat-syarat tertentu dan dalam keadaan tertentu. Dalam konteks ini berarti akad nikah melalui teleconfrence itu tidaklah dapat dikatakan sah begitu saja, akan tetapi bersifat kasuistis sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. Kata Kunci; Akad Nikah, Teleconfrence, Majlis Akad, Saksi dan Pencatatan Abstract Marriage through teleconference communication media is one form of accommodation of public interest, this kind of marriage contract is an alternative effective and efficient choice (by not leaving Islamic sharia) for modern society. In the UUP 1974 and PP no. 9 of 1975 is stipulated only on the validity of marriages which are conducted on the basis of their religion and belief, namely as provided for in Article 2 paragraph (1) of the UUP 1974, further the marriage shall be registered at the Marriage Registration Office (Article 2 paragraph (2) of Jo. Paragraph (1) of Government Regulation No. 9 of 1975. Whereas in fiqh, the application of the terms and principles of marriage has a rational and transparent basis and reason to be implemented. Each determination should be followed by various reasons, Negative impact), as well as other things like the historical social setting that existed at that time. In connection with the marriage contract via teleconference, there are several points in the terms and pillars of marriage that must be analyzed which if applied can be a debate. Using normative approach, Marriage via teleconference both according to jurisprudence and positive law of Indonesia, can be studied the legal argument. If measured by the results Ijtihad of the previous scholars, especially the four mujtahid Imam, the marriage contract via teleconfrence can indeed be carried out under certain conditions and under certain circumstances. In this context means the marriage contract through teleconfrence can not be said to be legal, but it is casuistic in accordance with the situation at hand. Keywords; Akad Nikah, Teleconfrence, Majlis Akad, Witness and Recording
TALFĪQ DALAM BERMADZHAB (KAJIAN PEMIKIRAN IBRAHIM HOSEN) Mohamad Rana
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (731.099 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i1.1611

Abstract

AbstrakTalfīq dalam khazanah hukum Islam mulai populer pada periode ulama muta’akhirin. Kemunculannya dilatar belakangi ketika mewabahnya sikap taqlid dalam madzhab yang melanda oleh umat Islam. Istilah talfīq dalam madzhab menjadi perhatian serius Ibrahim Hosen, seorang pakar Ushul Fiqh dan Fiqh dari Indonesia. Dalam  Penelitian ini, penulis berusaha menelusuri pemikiran Ibrahim Hosen dalam masalah talfīq, baik berkaitan dengan biografinya, maupun landasan pemikirannya. Dari hasil penelitian penulis sendiri, Ibrahim Hosen lebih cenderung membolehkan talfīq, karena sejalan dengan prinsip agama Islam, yang memberikan kemudahan bagi umatnya. Akan tetapi pengamalan talfīq itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, talfīq dapat dilakukan apabila situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan (dharurat). Kata Kunci: talfīq, Madzhab, dan Ibrahim Hosen   AbstractTalfīq in the treasury of Islamic law began to popular in the period ulama muta'akhirin. The emergence of the background when the outbreak of taqlid attitude in schools that hit by Muslims. The term talfīq in the madhhab became a serious concern Ibrahim Hosen, an expert of Ushul Fiqh and Fiqh from Indonesia. In this study, the author tries to trace the thought of Ibrahim Hosen in the matter talfīq, both related to biography, as well as the basis of his thinking. From the results of the authors own research, Ibrahim Hosen more likely to allow talfīq, because in line with the principle of Islam, which provides convenience for its people. However, the exercise of talfīq itself is not absolute, talfīq can be done if situations and conditions are not possible (dharurat). Keywords: talfīq, Madzhab, and Ibrahim Hosen
MAQASHID SYARI’AH DALAM PEMBAHARUAN HUKUM EKONOMI ISLAM samud samud
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (239.562 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v3i1.2750

Abstract

AbstrakPembaruan hukum Islam merupakan suatu keniscayaan, terutama di era yang sangat cepat perubahannya ini sebagai akibat kemajuan di bidang industri, perdagangan, jasa, kontrak perjanjian, teknologi, komunikasi, dan lain-lain. Maqashid syariah adalah untuk melestarikan tatanan dunia dengan jaminan hak-hak asasi manusia sebagai subjek dalam pelestarian dan pemakmuran alam. Perspektif ini berusaha untuk memelihara hak-hak manusia yang terarah pada diekspresikannya amal dan status sosial individu di tengah-tengah masyarakat. Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian.Kata  Kunci: Maqashid Syari’ah, Pembaharuan Hukum, dan Ekonomi IslamAbstractThe reform of Islamic law is a necessity, especially in this era of rapid change as a result of progress in industry, trade, services, contractual agreements, technology, communications, and others. Maqashid shariah is to preserve the world order with the guarantee of human rights as a subject in the preservation and prosperity of nature. This perspective seeks to preserve the human rights that are directed towards the expression of charity and the social status of individuals in the midst of society. Sharia economy must be implemented by maintaining the value of justice and avoiding the elements of injustice. Any form of economic activity that contains elements of oppression is not justified. Every economic activity should pay close attention to the balance between the parties who make the transaction. This principle emphasizes the need for a balance of attitude in conducting economic activities.Keywords: Maqashid Syari'ah, Legal Reform, and Islamic Economics     
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM WAHBAH AZ-ZUH{AILI DALAM PENDEKATAN SEJARAH muhammadun muhammadun
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.125 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i2.2085

Abstract

AbstrakWabhah az-Zuhaili beranggapan kompleksitas masyarakat di abad sekarang ini menuntut adanya ijitihad bersama. Karena ijtihad bersama pembahasannya lebih komprehensif dan representatif. Alasan inilah yang membuat az-Zuhaili menyuarakan adanya tajdid (pembaharuan) dalam hukum. Tujuan dari adanya pembaharuan hukum Islam untuk membuktikan sifat fleksibilitas syari'at Islam dalam bidang mu'amalah yang tidak bertentangan dengan nas-nas syar'i. Kata Kunci: Wahbah Zuhaily, Pemikiran, Hukum Islam, AbstractWabhah az-Zuhaili considers the complexity of society in the present century demanding the existence of joint ijitihad. Because ijtihad together with the discussion more comprehensive and representative. It is this reason that makes az-Zuhaili voice the existence of tajdid (renewal) in the law. The purpose of the renewal of Islamic law to prove the flexibility of Islamic shari'ah in the field of mu'amalah that is not contrary to nas nas nas. Keywords: Wahbah Zuhaily, Thought, Islamic Law,
PENCABUTAN HAK OPSI DALAM PERKARA WARIS BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM leliyah leliyah
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (76.766 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i1.1639

Abstract

Based on the General Explanation of Law No. 7 of 1989 on Religious Judiciary that for the litigants regarding inheritance be given the right to legal option to settle the case. Choice of law arises because of the inheritance law pluralism in Indonesia, namely Customary Inheritance Law, Western (Dutch) Inheritance Law and Islamic Inheritance Law. However, after the enactment of Law No. 3 In 2006, the process of the settlement of inheritance for Muslims should be completed in the Religious Court, so there is no further option rights. This paper reviews the existence of option rights in the Religious Judiciary Law and the developments after the enactment of the 2006 amendments.
PERANAN ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN Asep Saepullah
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (102.947 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v3i1.2748

Abstract

ABSTRAK Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem tertutup dan terbatas dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukan secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti. Pembatasan kebebasan juga berlaku bagi hakim dimana hakim tidak bebas dan leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti diluar ketentuan yang ada didalam undang-undang yang mengatur, hakim harus menolak dan mengesampingkanya dalam penyelesaian perkara. Dalam proses perkara dari kelima alat bukti yang dapat diajukan, alat bukti tertulis merupakan alat bukti yang di utamakan, karena karakteristik perkara dan perbuatan hukum sendiri yang bersifat formil. Segala perbuatan hukum yang formil yang dituangkan secara tertulis yang dilakukan secara terang dan konkrit agar dapat mewujudkan hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan agar memberikan kekuatan hukum untuk menjamin hak-hak yang dimiliki seseorang. Kata Kunci: Alat Bukti, Hukum Acara Peradilan, dan Hakim ABSTRACT The legal system of evidence established in Indonesia is a closed and limited system in which the parties are not free to submit any type or form of evidence in the settlement process of the case. The law has clearly defined what is legitimate and valuable as evidence. The limitation of freedom also applies to judges in which the judge is not free and freely accepts whatever the parties have proposed as evidence. If the litigant submits evidence outside the provisions contained in the regulating law, the judge shall refuse and dismiss him in the settlement of the case. In the case process of the five evidences that can be submitted, written evidence is the preferred means of evidence, because the character of the case and the legal act itself is formal. Any formal legal action expressed in writing which is done in a clear and concrete manner in order to realize the law of civil procedure as stipulated in the Civil Code and in order to provide the legal force to guarantee the rights of a person. Keywords: Evidence Instrument, Judicial Procedure Law, and Judge
STATUS HUKUM WAKĀLAH ṬALAK (Studi Komparatif antara Pandangan Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm) Nursyamsudin Nursyamsudin; Burhanudin Burhanudin
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (865.573 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i2.2168

Abstract

AbstrakWakālah talak yaitu pengucapan talak seorang suami dengan menggunakan utusan atau wakil untuk menyampaikan kepada istrinya yang berada di tempat lain, bahwa suaminya telah menalaknya. Dalam kondisi seperti ini, orang yang diutus tersebut bertindak sebagai orang yang mentalak. Mengenai hukum keabsahan dalam mewakilkan talak, para ulama berbeda pendapat. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah a. Bagaimana pendapat Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm mengenai status hukum wakālah  talak, b. Bagaimana istinbāṭ hukum Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm, c. Apa persamaan serta perbedaan dari keduanya. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah penelitian pustaka, dalam menganalisis data penelitian ini bersifat deskriptif analitis-komparatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer yaitu kitab al-Umm dan al-Muhallā Sedangkan sumber data skunder yaitu kitab-kitab lain serta buku-buku yang membahas tentang status hukum wakālah  talak. Imᾱm Syᾱfi’ῑ berpendapat bahwa wakālah talak adalah hukumnya boleh dan sah, dengan alasan bahwa perwakilan merupakan hal yang diperbolehkan agama termasuk didalamnya masalah talak. Karena perkara talak sama halnya seperti perkara muamalah lainnya yang perlu untuk diwakilkan, seperti jual beli, salam, rahn, dan pernikahan. Adapun menurut pendapat Ibnu Hazm bahwa wakālah talak adalah tidak boleh dan tidak sah, dengan alasan bahwa tidak ada naṣ yang menjelaskan tentang membolehkan mewakilkan talak, karena mewakilkan talak mempunyai arti pemberian hak milik, sedang menurut hukum syara’ hak talak itu milik laki-laki (suami). Metode istinbāṭ yang digunakan oleh Imᾱm Syᾱfi’ῑ adalah al-Qur’an, al-Hadīṡ, ijma’ sahabat dan qiyᾱs. Sedangkan metode istinbāṭ yang digunakan oleh Ibnu Hazm adalah al-Qur’an. Dalam analisa akhir, dapat diketahui persamaan dan perbedaan pemikiran Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm yaitu sama-sama mengambil dalil dari sumber utama yakni al-Qur’an. Sedangkan perbedaannya yaitu, dalil yang dijadikan landasan Imᾱm Syᾱfi’ῑ adalah QS. Surat an-Nisā ayat 35, Sedangkan yang dijadikan landasan Ibnu Hazm  adalah QS. al-Baqarāh ayat 229. Kata Kunci: Hukum Perceraian, Talak, Wakālah. Abstract Wakālah divorce is the pronunciation of a husband by using a messenger or representative to convey to his wife somewhere else, that her husband has yelled at her. Under these circumstances, the person who is sent is acting as a bully. Regarding the law of legitimacy in representing divorce, the scholars differed. Formulation of problem in this research is a. What is the opinion of Imᾱm Syᾱfi'ῑ and Ibn Hazm regarding the legal status of wakālah divorce, b. How istinbāṭ law Imᾱm Syᾱfi'ῑ and Ibn Hazm, c. What are the similarities and differences between the two. The method used in collecting data is literature research, in analyzing the data of this study is analytical-comparative descriptive. Sources of data used in this study in the form of primary data is the book of al-Umm and al-Muhallā While secondary                                                                                                                data sources are other books and books that discuss the legal status wakālah divorce. Imᾱm Shᾱfi'ῑ argues that wakālah divorce is law permissible and legitimate, on the grounds that representation is a religious thing, including divorce. Because divorce case is the same as other muamalah matters that need to be represented, such as buying and selling, greetings, rahn, and marriage. In Ibn Hazm's view that wakālah divorce is unlawful and unlawful, on the grounds that there is no naṣ explaining about allowing representation of the divorce, since representing divorce has the meaning of granting property right, while under the law the right of the right belongs to a man husband). The istinbā Metode method used by Imᾱm Shᾱfi'ῑ is al-Qur'an, al-Hadīṡ, ijma 'companions and qiyᾱs. The istinbā metode method used by Ibn Hazm is the Qur'an. In the final analysis, we can see the similarities and differences of thought Imᾱm Syᾱfi'ῑ and Ibn Hazm regarding the legal status of wakālah divorce. The equality of both, that is equally take the proposition from the main source of the Qur'an. While the difference is, the proposition that the foundation of Imᾱm Syᾱfi'ῑ is QS. Surat an-Nisā verse 35, While the basis of Ibn Hazm is QS. Al-Baqarāh verse 229. Keywords: Divorce Law, Divorce, Wakālah.
RELASI SUAMI ISTERI BERBASIS IḤSᾹN Slamet Firdaus
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (507.114 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i2.2033

Abstract

Abstrak Relasi suami isteri merupakan kebutuhan mendasar dalam mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah (usrah sakīnah). Kondisi ini menjadi manifestasi kedewasaan diri suami isteri menghadapi problematika krusial yang secara alamiah telah melekat pada keduanya, sekaligus menjadi faktor fundamental untuk menyelesaikannya akibat rasa cinta dan kasih sayang yang dianugerahkan Allah swt kepada keduanya. Namun keberadaan relasi tersebut tidak akan terealisasi dengan memadai dan sempurna, bila tidak didasari oleh iḥsān yang menekankan pada aspek spiritualitas yang menumbuhkan semangat dan kesadaran semata-mata ibadah (kehidupan adalah ibadah) kepada Allah swt, rasa takut (khashyah) karena pengawasan-Nya (murāqabah), dan menyuburkan kekuatan kehendak merasakan kehadiran-Nya dalam tatanan berkeluarga yang berakhlak karimah. Kata Kunci :Keluarga, Relasi, Ihsān, Sakīnah, akhlak karimah.     Abstract Marriage through teleconference communication media is one form of accommodation of public interest, this kind of marriage contract is an alternative effective and efficient choice (by not leaving Islamic sharia) for modern society. In the UUP 1974 and PP no. 9 of 1975 is stipulated only on the validity of marriages which are conducted on the basis of their religion and belief, namely as provided for in Article 2 paragraph (1) of the UUP 1974, further the marriage shall be registered at the Marriage Registration Office (Article 2 paragraph (2) of Jo. Paragraph (1) of Government Regulation No. 9 of 1975. Whereas in fiqh, the application of the terms and principles of marriage has a rational and transparent basis and reason to be implemented. Each determination should be followed by various reasons, Negative impact), as well as other things like the historical social setting that existed at that time. In connection with the marriage contract via teleconference, there are several points in the terms and pillars of marriage that must be analyzed which if applied can be a debate. Using normative approach, Marriage via teleconference both according to jurisprudence and positive law of Indonesia, can be studied the legal argument. If measured by the results Ijtihad of the previous scholars, especially the four mujtahid Imam, the marriage contract via teleconfrence can indeed be carried out under certain conditions and under certain circumstances. In this context means the marriage contract through teleconfrence can not be said to be legal, but it is casuistic in accordance with the situation at hand. Keywords; Akad Nikah, Teleconfrence, Majlis Akad, Witness and Recording
GENEOLOGI ILMU FALAK DALAM STUDI HUKUM ISLAM sakirman sakirman
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (508.337 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i1.1503

Abstract

Perkembangan sains di abad modern ini telah mewarnai berbagai ranah keilmuan, termasuk dalam hal ini ilmu falak dalam studi hukum Islam. Hal ini merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam, karena hukum Islam seyogyanya harus dapat mengakomodir dan mendampingi perkembangan sains. Antara keduanya terdapat hubungan ketergantungan satu sama lainnya, sains memerlukan ilmu hukum Islam begitu pula sebaliknya hukum Islam Islam memerlukan sains. Sains sangat diperlukan dalam ranah keagamaan untuk memberikan pembenaran dan rasionalisasi ilmu keagamaan, walaupun tidak semua hukum Islam bisa dirasionalisasikan. Hukum Islam yang bersumber dari al-Qur`an dan Hadis diperlukan bagi sains sebagai filter dan tolak ukur keberlakuan sains. Apakah sains tersebut selaras dengan agama atau malah bertentangan. Ilmu Falak sebagai ilmu yang oleh sebagian tokoh falak disebut dengan Ilmu Astronomi dan yang merupakan ilmu pengetahuan tertua di dunia merupakan ilmu yang tidak luput dari pengaruh perkembangan sains. Hal ini dapat di maklumi karena Ilmu Falak atau Astronomi -data-data astronomis- akan berubah sesuai perubahan alam semesta atau komos. Selain itu di alam semesta sampai sekarang masih banyak teka-teki yang belum terpecahkan dan hal ini sangat menarik bagi para ilmuan. Bahkan apabila merujuk pada sejarah peradaban Islam tercatat bahwa Ilmu Falak atau Astronomi sempat mencapai masa keemasan seiring dengan masa keemasan peradaban Islam yang memicu perkembangan dalam studi hukum Islam.
PEMBAGIAN HARTA WARIS SEBELUM MUWARIS MENINGGAL DUNIA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM Nursyamsudin Nursyamsudin
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.951 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v3i1.2747

Abstract

ABSTRAK Islam memandang bahwa pembagian harta peninggalan kepada yang berhak mewarisi mewujudkan kasih dan sayang antara keluarga untuk menanggung dan saling menolong dalam kehidupan sesama keluarga. Karena itu Allah telah memberikan ketentuan-ketentuan-Nya yang baik dan adil dalam al-Qur’an yang dapat menimbulkan kemaslahatan dalam keluarga. Hukum waris dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup. Baik mengenai harta yang ditinggalkan maupun orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut. Bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu. Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggalan orang yang hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakkan (al-Qur’an surat al-Nisa ayat 11). Problematika yang muncul sekarang ini adalah banyak orang yang tidak memahami ilmu mawaris, disisi lain banyak anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, ini berakibat pada pembagian harta waris menurut kehendak mereka sendiri dan tidak berpijak pada cara-cara yang benar menurut Islam. Misalnya pembagian harta warisan sama rata antara semua anak. Bahkan anak angkat memperoleh bagian, cucu mendapat bagian walaupun ada anak si mayit dan lain-lain. Kata Kunci: Harta Waris, Hukum Waris, Muwaris Islam considers that the division of inheritance to the inherited rights manifests the love and affection between the family to bear and help each other in the life of the family. Therefore God has given His good and just provisions in the Qur'an which can lead to the welfare of the family. The law of inheritance can be interpreted as a science that discusses the removal of the relics of someone who died to the living. Both about the property left behind and the people who are entitled to receive the relics. Part of each heir, as well as how to settle the division of the estate. Islam regulates the provision of inheritance in detail in order to avoid disputes between fellow heirs left behind people whose property is inherited. Islam wants the principle of justice and justice as one of the joints of community development can be upheld (al-Qur'an letter al-Nisa verse 11). The problems that arise today are many people who do not understand the science of mawaris, on the other hand many members of the community who do not want to know with mawaris science, this result in the distribution of inheritance according to their own will and not based on the right way according to Islam. For example the division of inheritance equally between all children. Even a foster child gets a share, grandchildren gets a share even though there is a son of the dead and others. Keywords: Inheritance, Inheritance Law, Muwaris

Page 4 of 19 | Total Record : 186