Hanafie, Achsanuddin
Departemen/ SMF Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Perbandingan Cystatin C Serum dan Kreatinin Serum untuk Deteksi Cedera Ginjal Akut pada Pasien Sepsis di Ruang Rawat Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Kurniawan, Heru; Hanafie, Achsanuddin; Mursin, Chairul M
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 32 No 1 (2014): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perubahan mendadak laju filtrasi glomerulus (LFG) pada pasien sakit kritis dengan sepsis tidak diikuti secara paralel dengan perubahan kreatinin serum. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan kegunaan dari cystatin C serum dan kreatinin serum sebagai penanda biologis fungsi ginjal pada pasien sepsis di ruang rawat intensif (RRI). Sebuah studi cross-sectional dilakukan pada pasien dewasa usia 18–65 tahun di RRI RSUP Haji Adam Malik. Kreatinin serum, cystatin C serum dan creatinin clearance (CrCl) 24 jam urin diobservasi pada 24 pasien sepsis. CrCl 24 jam urin yang disesuaikan dengan luas permukaan tubuh digunakan sebagai “baku emas” untuk menentukan LFG. Kreatinin serum, cystatin C serum dan CrCl 24 jam urin (nilai rata-rata ± standar deviasi [range]) adalah 1,53 ± 1,13 mg/dL (0,3–4,2 mg/dl), 1,71 ± 1,1 mg/L (0,6–4,48 mg/L), dan 66,33 ± 37,77 ml/min/1,73 m2 (4–137 mL/min/1,73 m2). 17 dari total 24 pasien mengalami CGA. Cystatin C serum memilki nilai sensitivitas dan spesifisitas sebesar 82,4% dan 85,7%. Sedangkan kreatinin serum memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas sebesar 52,9% dan 85,7%. Cystatin C secara diagnostik lebih superior dibandingkan kreatinin serum dengan area under the curve (AUC) 0,874 untuk cystatin C serum dan 0,785 untuk kreatinin serum. Cystatin C serum dengan nilai cutt-off 1,03 mg/L dan kreatinin serum dengan cutt-off 1,0 mg/dL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama yaitu 82,4% dan 85,7%. Cystatin C adalah penanda biologis yang akurat dalam mendeteksi perubahan akut pada LFG, dan terbukti lebih superior dibandingkan kreatinin serum dalam mendiagnosa CGA pada pasien sakit kritis. Kata Kunci: Cedera ginjal akut, creatinin clearance 24 jam urin, cystatin C serum, kreatinin serum, sepsis Comparative of Serum Cystatin C and Serum Creatinin for Detection Acute Kidney Injury on Septic Patients in Icu Haji Adam Malik Hospital Medan Sudden changes in glomerular filtration rate (GFR) septic critically ill patients are not instantly followed by parallel changes in serum creatinine. The aim of the present study was to compare the utility of serum cystatin C and serum creatinin as a marker of renal function in these patients.A cross-sectional study was conducted in adult patients among 18-65 years in the intensive care unit Haji Adam Malik hospital. Serum creatinine, serum cystatin C and 24-hour creatinine clearance (CrCl) were observed in 24 critically ill patients with sepsis. Twenty-four-hour body surface adjusted CrCl was used as a control because it is the ‘gold standard’ for determining GFR.Serum creatinine, serum cystatin C and CrCl (mean ± standard deviation [range]) were 1.53 ± 1.13 mg/dL (0.3–4.2 mg/dl), 1.71 ± 1.1 mg/l (0.6–4.8 mg/l), and 66.33 ± 37.77 mL/min per 1.73 m2 (4–137 mL/min per 1.73 m2), respectively. Of the total 24 patients, 17 patients had AKI. Serum cystatin C has a sensitivity of 82,4% and spesificity value of 85,7%. Serum creatinin has a sensitivity and spesificity value of 52,9% and 85,7%. Cystatin C was diagnostically superior to creatinine (area under the curve [AUC] for cystatin C 0.874 and for creatinine 0,785. Serum cystatin C with cutt-off value 1,03 mg/L and serum creatinin with cutt-off value 1,0 mg/dl has the same sensitivity and spesificity of 82,4% and 85,7%, respectively. Cystatin C is an accurate marker of subtle changes in GFR, and it may be superior to creatinine when assessing this parameter in clinical practice in critically ill patients. Key words: Acute kidney injury, serum creatinin, serum cystatin C, sepsis24-hour creatinine clearance Reference 1. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. Changes in the incidence and outcome forearly acute kidney injury in a cohort of Australian intensive care units. Crit Care.2007;11:R68.2. Hoste EA, Clermont G, Kersten A. RIFLE criteria for acute kidney injury areassociated with hospital mortality in criticallyill patients: A cohort analysis. CritCare. 2006;10:R73.3. Mehta RL, Pascual MT, Soroko S. Spectrum of acute renal failure in the intensivecare unit: The PICARD experience. Kidney international. 2004; 66:, 1613–21.4. Uchino S, Kellum JA, Bellomo R.Acute renal failure in critically ill patients:A multinational, multicenter study. JAMA. 2005;294:813–8.5. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D: Anassessment of the RIFLE criteria for acuterenal failure in hospitalized patients. Critcare. 2006;34:1913–7.6. Doi K, Peter ST, Eisner C. Reduced production of creatinine limits its use as a marker of kidney injury in sepsis. J Am Soc Nephrol. 2009;20:1217–21.7. Abrahamson M, Olafsson I, Palsdottir A, Ulvsback M, Lundwall A,Jensson O, dkk. Structure and expression of the humancystatin C gene. Biochem J. 1990;268:287–94.8. Spahillari A, Parikh CR, Sint K, Koyner JL, Patel UD, Edelstein CL, dkk. Serum cystatin C- versus creatinine-based definitions of acute kidney injury following cardiac surgery: a prospective cohort study. Am J Kidneys Dis. 2012;60:922–9.9. Slort PR, Ozden N, Pape L, Offner G, Tromp WF, Wilhelm AJ, dkk. Comparing cystatin C and creatinine in the diagnosis of pediatric acute renal allograft dysfunction. Pediatr Nephrol. 2012;27:843–9.10. Chung MY, Won Jun D, Sung SA. Diagnostic value of cystatin C for predicting acute kidney injury in patients with liver cirrhosis. KASL. 2010; 16: 301–7.11. Le Bricon T, Leblanc I, Benlakehal M, Gay-Bellile C,Erlich D, Boudaoud S. Evaluation of renal function inintensive care: plasma cystatin C vs. creatinine andderived glomerular filtration rate estimates. Clin Chem. 2005;43:953–7.
Equianalgesic Oxycodone, Continuous Intravenous Morphine in Post- Long Bone Surgery Franz Josef Tarigan; Hanafie, Achsanuddin; Arifin, Hasanul; Wijaya, Dadik Wahyu
Sumatera Medical Journal Vol. 2 No. 3 (2019): Sumatera Medical Journal (SUMEJ)
Publisher : Talenta Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32734/sumej.v2i3.1240

Abstract

Oxycodone and morphine are powerful analgesic drugs used for post-operative pain management. There is no studies have been conducted to assess the dose equivalency between the two drugs. To get an equianalgesic dose of Oxycodone and Morphine. This study was using a double-blind randomized clinical trials, 48 samples, ages 21-60 years, PS ASA I-II, which will get an elective orthopedic surgery using general anesthesia tech-niques. Oxycodone (group A) : Morphine (group B) (Initial 5mg than continuous 1 mg/hour : initial dose 4mg than continuous 0,5 mg/hour). Average drug dose for group that takes morphine and oxycodone (3.90 ± 0.46 mg : 1.46 ± 0.51 mg). No significant difference between the average dose (p <0.05). Equianalgesic dosein group Oxycodone and Morphine is 1.4 mg: 3.9mg.
Perbandingan antara Pemberian Diet Oral Dini dan Tunda terhadap Bising Usus Pascabedah Sesar dengan Anestesi Spinal Mohammer Pasha; Achsanuddin Hanafie; Muhammad Ihsan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (793.064 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1422

Abstract

Inisiasi diet pascabedah masih merupakan kontroversi pada pasien pascabedah termasuk pada pasien pascabedah sesar. Penelitian ini bertujuan membandingkan waktu kembalinya fungsi gastrointestinal yang dilihat dari munculnya bising usus antara kelompok yang menerima diet oral dini dan diet oral tunda. Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dilakukan pada periode bulan April–Mei 2017 di RSUP Haji Adam Malik Medan, RS Universitas Sumatera Utara Medan, dan RSU Sundari Medan. Sebanyak 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi diamati waktu munculnya bising usus pascabedah sesar dan keluhan gastrointestinal yang muncul berupa mual, muntah, dan kembung. Dari 40 pasien tersebut, 20 subjek merupakan kelompok diet oral dini dan 20 subjek lagi merupakan kelompok diet oral tunda. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi-square dan Mann-Whitney. Munculnya bising usus tidak berbeda signifikan (p>0,05) antara kedua kelompok dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal keluhan mual, muntah, dan kembung pascaoperasi antara kedua kelompok (p>0,05). Pemberian diet oral dini dapat diberikan 2 jam pascaoperasi bedah sesar tanpa penyulit dengan anestesi spinal tanpa keluhan gastrointestinal yang bermakna.  Kata kunci: Anestesi spinal, bedah sesar, diet oral dini, diet oral tunda, keluhan gastrointestinal Comparison of Peristaltic Sound between Early and Late Oral Diet Administration  in  Post-Caesarean Section Post-with Spinal Anesthesia A controversy still exists for post-operative diet administration, including for post-post-post-caesarean section patients. The aim of this study was to compare the return of gastrointestinal function reflected by the peristaltic sound between groups receiving early oral diets and late oral diets. This was a double blind randomized controlled trial performed from April to May 2017 in Haji Adam Malik General Hospital Medan, North Sumatera University Hospital, Medan, and Sundari General Hospital, Medang on 40 patients who met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were observed to determine the time when bowel movement started as well as for gastrointestinal complaints. Of all 40sujects enrolled in this study, 20 were provided with early oral diet nd the remaining 20 subjects received late oral diet group. Data were then analyzed using chi-square and Mann-Whitney tesst The return of peristaltic sound was not significantly different between both groups (p>0.05). No significant difference found in the occurence of post-operative nausea, vomiting, and post-bloating between the two groups (p>0.05). Oral diet may be administered safely 2 hours after uncomplicated cesarean section under spinal anesthesia without any significant gastrointestinal complaint.Key words: Cesarean section, delayed oral diet, early oral diet, gastrointestinal complication, spinal anesthesia
Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) dengan Skor APACHE II sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan M. Teguh Prihardi; Achsanuddin Hanafie; Soejat Harto
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 3 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (633.233 KB)

Abstract

Sepsis berat merupakan kondisi umum di unit perawatan intensif (UPI) dan rawat inap yang berhubungan dengan mortalitas, morbiditas, dan biaya perawatan yang tinggi. Tujuan penelitian ini ingin mendapatkan skor alternatif yang lebih sederhana, yaitu nilai mean platelet volume (MPV) sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat selain skor APACHE II. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional pada 76 pasien sepsis berat dewasa di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan pada Oktober 2015–Januari 2016 yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang diambil adalah nilai MPV dan skor APACHE II pada saat pertama sekali terdiagnosis sepsis berat, kemudian dilihat mortalitas pasien tersebut. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi lemah yang signifikan (p=0,006) antara MPV dan APACHE II dengan nilai r (korelasi) = 0,314. Nilai MPV pada penelitian ini tidak memiliki kemampuan dalam memprediksi mortalitas (AUC) ROC 58,2% (IK 95%: 45,1–71,2%; p=0,223); sedangkan skor APACHE II memiliki kemampuan yang sedang dalam memprediksi mortalitas (AUC) ROC 70,4% (IK 95%: 58,6–82,2%; p= 0,002). Didapatkan cut-off point untuk APACHE II adalah 19 dengan sensitivitas 65,9%, spesitivitas 65,7%, NPP 69,2%, dan NPN 62,2%. Simpulan penelitian ini adalah nilai MPV tidak dapat dijadikan prediktor mortalitas pada pasien sepsis beratKata kunci: Mean platelet volume, mortalitas UPI, skor APACHE II Correlation between Mean Platelet Volume (MPV) and Apache II Score as Mortality Predictors in Severe Sepsis Patients at Haji Adam Malik General Hospital MedanAbstractSevere sepsis is a general condition in the Intensive Care Unit (ICU) and inpatient wards which correlates with mortality, morbidity, and high cost hospitalization. The main point of this study was to explore the possibility to use the mean platelet volume (MPV) as an easier alternative score for mortality predictor in addition to APACHE II score in severe sepsis patients. This study used cross-sectional design on 76 adult severe sepsis patients in Haji Adam Malik General Hospital Medan who met inclusion criteria during the periood of October 2015 to January 2016. Data collected were MPV value and APACHE II score, which were collected the first time patient was diagnosed as having severe sepsis which was then observed for their mortality The Spearman correlation tests showed that there was a weak yet significant correlation (p=0.006) between MPV and APACHE II with r (correlation) = 0.314. The MPV values in this study were unable to predict mortality (AUC) ROC 58.2% (95% CI: 45.1–71.2%, p=0.223). whereas the APACHE II score has a moderate ability to predict mortality (AUC) ROC 70,4% (95% CI: 58,6–82,2%, p= 0.002). The cut-off point of APACHE II was 19 with a sensitivity of 65.9% and a specificity of 65.7%, and a PPV of 69.2% and NPV of 62.2%. Therefore, based on this study the MPV score cannot be used as a mortality predictor in severe sepsis patients.Key words: APACHE II score, mean platelet volume, ICU mortality DOI: 10.15851/jap.v4n3.901
Perbandingan Validitas Sistem Penilaian APACHE II, SOFA, dan CSOFA Sebagai Prediktor Mortalitas Pasien yang Dirawat di Instalasi Rawat Intensif RSUP H. Adam Malik Medan Andrias Andrias; Achsanuddin Hanafie; Dadik Wahyu Wijaya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (642.097 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n1.998

Abstract

Sistem penilaian APACHE II dan SOFA masih digunakan sebagai instrumen objektif untuk memprediksi mortalitas pasien di Instalasi Rawat Intensif (IRI), namun masih kurang praktis. Sistem penilaian CSOFA dengan parameter serta biaya pengeluaran yang lebih sedikit dan praktis diharapkan memiliki akurasi yang lebih baik. Tujuan penelitian ini mendapatkan alternatif yang lebih sederhana, mudah dan murah, namun tetap memiliki akurasi yang baik sebagai prediktor mortalitas pasien selain APACHE II dan SOFA. Penelitian uji diagnostik cross sectional dilakukan pada bulan Februari–April 2016 di IRI RSUP H. Adam Malik. Subjek penelitian 71 pasien dewasa yang memenuhi kriteria inklusi dinilai APACHE II, SOFA, dan CSOFA setelah dirawat 24 jam pertama, kemudian dilihat mortalitasnya pada akhir masa rawatan. Analisis statistik menggunakan tabel 2x2 serta receiving operating curve (ROC), dihitung juga sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi negatif dan positif, serta likelihood ratio dengan SPSS ver.23. CSOFA memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memprediksi mortalitas dengan luas area under ROC (AuROC) 87,6%. APACHE II memiliki kemampuan yang baik dalam memprediksi mortalitas dengan luas AuROC 84,7%. SOFA memiliki kemampuan yang cukup dalam memprediksi mortalitas dengan luas AuROC 79,1%. Simpulan, sistem penilaian CSOFA dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas pasien selain APACHE II dan SOFA di IRI RSUP HAM.Kata kunci: APACHE II, CSOFA, mortalitas, SOFA Comparison of APACHE II, SOFA, and CSOFA Scoring System Validity as Mortality Predictor in ICU Patients in H. Adam Malik General HospitalThe APACHE II and SOFA scoring systems are still used as the objective instruments for predicting mortality in patients admitted to the Intensive Care Unit (ICU); however, the two are still considered less practical. CSOFA, with more practical parameters as well as a lower cost, is expected to provide better accuracy. The purpose of this study was to get a simpler, easier, and cheaper alternative, but with good accuracy, to APACHE II and SOFA as a predictor of mortality in patients admitted to the ICU of H. Adam Malik (HAM) Hospital. A cross-sectional diagnostic test study was conducted in February–April 2016 at the ICU of H. Adam Malik General Hospital. A sample of 71 adult patients that met the inclusion criteria was assessed by APACHE II, SOFA, and CSOFA at the first 24 hours after treatment. The mortality was then observed at the end of treatment. Statistical analysis using 2x2 tables and receiving operating curve (ROC) were used to calculate the sensitivity, specificity, positive, and negative predictive values, as well as the likelihood ratio using SPSS ver.23. CSOFA in this study presented a very good ability in predicting mortality with an Area under ROC (AuROC) of 87.6% while APACHE II had a good ability in predicting mortality with an AuROC of 84.7%. SOFA had sufficient ability in predicting mortality with an AuROC of 79.1%. In conclusion, CSOFA scoring system can be used as a patient mortality predictor as an alternative to APACHE II and SOFA in the ICU.Key words: APACHE II, CSOFA, mortality, SOFA 
Perbandingan Nilai Analisis Gas Darah, Elektrolit, dan Laktat Setelah Pemberian Ringer Asetat Malat dengan Ringer Laktat untuk Early Goal Directed Therapy Pasien Sepsis Muhammad Fikri; Achsanuddin Hanafie; Nazaruddin Umar
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (720.214 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n1.1291

Abstract

Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di instalasi rawatan intensif dan merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia. Menurut Survival Sepsis Campaign 2012 penanganan awal pada pasien sepsis dengan pemberian cairan memberikan respons yang lebih baik dengan pemberian 30 mL/kgBB cairan kristaloid. Penelitian ini bertujuan membandingkan jenis cairan kristaloid mana yang merupakan pilihan lebih baik untuk resusitasi atau early goal directed therapy (EDGT) pada pasien sepsis. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang dilakukan pada periode bulan Desember 2016–Januari 2017 di RSUP Haji Adam Malik Medan. Empat puluh pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi dinilai perubahan analisis gas darah, elektrolit (natrium, kalium, klorida), dan laktat sebelum dengan sesudah resusitasi cairan Ringer asetat malat dan Ringer laktat. Dari 40 pasien yang memenuhi kriteria, pemberian Ringer asetat malat yang dibandingkan dengan Ringer laktat pada pasien sepsis, nilai analisis gas darah (AGDA) mengalami perbaikan pada nilai HCO3 (p=0,001), TCO2 (p=0,002), base excess (BE) (p=0,048). Pemberian cairan ringer asetat malat menunjukkan peningkatan nilai analisis gas darah, natrium, dan laktat yang lebih baik daripada Ringer laktat. Simpulan, pemberian cairan Ringer asetat malat pada EGDT pasien sepsis lebih baik dalam menjaga keseimbangan asam basa di dalam tubuh dibanding dengan pemberian Ringer laktat.Kata kunci: Early goal-directed therapy, keseimbangan asam basa, Ringer asetat malat, Ringer laktat, sepsis
Perubahan kadar albumin dan prealbumin etelah suplementasi ekstrak ikan gabus metode freeze dryer pada pasien sepsis Ahmad Fiza Putera; Achsanuddin Hanafie; Dadik Wahyu Wijaya
Majalah Kedokteran Nusantara The Journal Of Medical School Vol 50, No 2 (2017): The Journal of Medical School
Publisher : Fakultas Kedokteran USU

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Introduction : Septic is the second highest cause of death in Intensive Care Unit and 10 highest cause of death in the world overall. Mortality and Morbidity of sepsis in relation with hypoalbuminemia, with the number incidence 60-70%. The principal of nutritional management in septic patient is how to manage calories and high protein to balance the catabolic process. Extract of snakehead fish is the source of high protein in compare with other sources. The purpose of this study is to know the level of albumin and prealbumin after the sumplementation of extract of snakehead fish with the freezy dryer methode. Methodes : The Randomized Control Trial double blinded which done in Mei-June 2016 in Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. The total of 38 Patients whose included in inclusive and exclusive criteria for this research. Level of albumin and preabulmin was measuring after the suplementation extract of snakehead fish with the methode of freezy dryer as suplementation of protein as a enteral nutrition in 3 days intervention. In a group with suplementation extract of snake head fish with the methode of freezy dryer increased the level of albumin 0.26 gr/dL (p<0.001) and the level of prealbumin 9.36 mg/dL (p<0.001). In difference with the group given placebo, the level of albumin decreased 0.32 gr/dL (p<0.001) and the decreased of prealbumin 4.58 mg/dL (p<0.001).Result : Extract of snakehead fish with the freezy dryer extraction could increase 0.26 mg/dL albumin level and 11.26 mg/dL prealbumin level.Conclussion : suplementation of snakehead fish with the freezy dryer methode could increase albumin and prealbumin level efectively.Keyword : additional protein intake, hypoalbuminemia, nutrition, sepsis
Pengukuran Oksigenasi Otak dengan NIRS Dibandingkan SjvO2 pada Pasien dengan Penurunan Kesadaran di Instalasi Perawatan Intensif Bastian Lubis; Hanafie, Achsanuddin; Lubis, Asmin; Wijaya, Dadik Wahyu; Indrawan, Jhonsen; Bisono, Luwih
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.280

Abstract

Standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak biasanya menggunakan teknik invasif. Penelitian kedokteran telah berkembang dan mencoba untuk mencakup area yang dapat diukur dengan pendekatan non-invasif sesuai dengan prinsip tidak membahayakan. NIRS adalah salah satu teknologi terbaru untuk mengukur oksigenasi otak dalam melengkapi orang lain untuk pemantauan oksigenasi otak. Pemantauan oksigenasi otak untuk pasien tidak sadar di unit perawatan intensif diperlukan untuk merawat pasien dengan masalah medis. Penghapusan beberapa diagnosis banding secara non-invasif, real-time, dan berkelanjutan adalah tujuan utama dari intensifivis sesegera mungkin diagnosis yang akurat diambil, kondisi pasien akan lebih baik. 30 pasien tidak sadar dengan berbagai kondisi medis berpartisipasi dalam penelitian, dengan persetujuan dari keluarga. Pasien diintubasi dengan ventilasi mekanik, dan menggunakan elektroda NIRS yang dipasang di dahi dengan pengukur rSO2, sedangkan penulis mengambil sampel darah untuk analisis gas dari vena jugularis dan arteri karotis. Secara statistik tidak terdapat korelasi yang signifikan, antara SjvO2 dengan rSO2 kanan (p= 0,379), dan rSO2 kiri (p=0,041), serta terdapat perbedaan antara rSO2 kanan dan kiri (p<0,001). Parameter lain yang berkorelasi kuat dengan rSO2 adalah hemoglobin (p=0,009), tekanan arteri rata-rata (p=0,.049), kandungan oksigen vena jugularis (p=0,007) dan arteri karotis (p=0,08). rSO2 saja tidak dapat menggantikan SjvO2 sebagai standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak. Namun, hasil rSO2 juga berkorelasi positif dengan hemoglobin, tekanan arteri rata-rata, kandungan oksigen vena jugularis, dan arteri karotis, yang berarti bahwa penurunan rSO2 dapat disebabkan oleh masalah pengiriman oksigen
Perbandingan Efektivitas Efedrin dengan Ondansetron dalam Mencegah Kejadian Hipotensi dan Bradikardi pada Anestesi Spinal Simanjuntak, Ikrar Rananta; Hanafie, Achsanuddin; Tanjung, Qadri Fauzi
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 2 (2024): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i2.330

Abstract

Latar Belakang: Anestesi spinal menyebabkan hipotensi. Berbagai metode telah dilakukan untuk mencegah konsekuensi kardiovaskular dari blok subarachnoid. Efedrin adalah suatu zat stereoisomer dari pseudoefedrin yang bekerja pada stimulasi pada reseptor alfa dan beta-adrenoreseptor, yang umumnya digunakan sebagai vasopressor pada kondisi hipotensi selama anestesi. Ondansetron bekerja pada sentral dan perifer, efek sentralnya dimediasi oleh efek antagonis reseptor serotonin 5-HT3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas efedrin dengan ondansetron dalam mencegah hipotensi dan bradikardi pada anestesi spinal.Metode: Penelitian ini dilakukan pada 57 pasien yang menjalani prosedur pembedahan abdomen bawah, ginekologi, ekstremitas bawah yang terjadwal elektif dengan anestesi spinal. Sampel dipilih menggunakan metode consecutive sampling. Analisis data dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi variabel yang diteliti dan korelasi antar variabel.Hasil: Sebanyak 29 pasien dikelompokan dalam grup efedrin dan sebanyak 28 pasien dikelompokkan dalam grup ondansetron. Dari hasil analisis data, tidak didapatkan hasil yang bermakna dalam perbedaan antara kedua grup efedrin dan ondansetron pada variabel sistol, diastol, maupun mean arterial pressure (MAP) (p > 0,05).Simpulan: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ondansetron dan efedrin dalam mencegah bradikardia dan hipotensi pada pasien dengan anestesi spinal. Tidak terdapat hipotensi dan bradikardi dengan pemberian efedrin dan ondansetron sebelum pemberian obat spinal pada pasien anestesi spinal.
Hubungan Ketebalan Dinding Diafragma Dengan Keberhasilan Weaning pada Pasien Kritis di ICU RSUP Haji Adam Malik Medan Soleh, Muhamad; Lubis, Andriamuri Primaputra; Hanafie, Achsanuddin
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 74 No 5 (2024): Journal of The Indonesian Medical Association - Majalah Kedokteran Indonesia, Vo
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47830/jinma-vol.74.5-2024-1508

Abstract

Introduction: Critically ill patients are at risk of developing persistent organ dysfunction that can deteriorate the patient's clinical outcome. This leads to patients in life-threatening conditions that require intensive care. Patients in the Intensive Care Unit (ICU) mostly require mechanical ventilation. Prolonged mechanical ventilation can cause a decrease in the contractile ability of the diaphragm along with diaphragmatic muscle atrophy. This is known as Ventilator Induced Diaphragm Dysfunction (VIDD). Diaphragm dysfunction remained a major cause of weaning difficulty or failure. Ultrasonography measurement of diaphragm function can be used to predict the outcome of weaning from mechanical ventilation. Methods: This study used a prospective observational study with a cross-sectional method. The total sample consisted of 36 critical patients on mechanical ventilators in the ICU who were planned for weaning. Patients were measured for diaphragm wall thickness fraction using ultrasonography. Result: In the diaphragm thickness fraction less than 30%, the successful weaning group was 3 people (8.3%), and failed weaning as many as seven people (27.8%); in the diaphragm thickness fraction greater than 30%, the successful weaning group was 24 people (66.7%) and failed weaning as many as two people (5.6%). The mean diaphragm thickness fraction in the successful weaning group was 40.77 ± 10.12, while in the weaning failure group, it was 24.50 ± 6.89. There is a relationship between diaphragm wall thickness as a predictor of successful weaning in critical patients in the ICU with a p-value = 0.001. Conclusion: Measurement of diaphragm wall thickness using ultrasonography can be used to predict weaning success in critically ill patients on ventilators in the ICU.