Bastian Lubis
Departement Of Anaesthesiology And Intensive Therapy, Faculty Of Medicine, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

Published : 24 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

Peran Angiografi Pada Emboli Paru Bastian Lubis; Akhyar H Nasution; Bellinda Magdalena; Dis Bima Purwaamidjaja
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 10, No 1 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1954.568 KB) | DOI: 10.14710/jai.v10i1.20709

Abstract

Latar belakang: Emboli paru sering tidak terdeteksi karena gejalanya tidak spesifik dan tidak dapat dicegah.  Angka kematian PE berkisar 100.000 hingga 200.000 kematian di Amerika Serikat.  Bahkan angka ini dapat bertambah bila tidak ditangani segera.  Dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan alat peneunjang seperti EKG, foto thorak, D dimer, fibrinogen, ekokardiografi dan prosedure yang canggih seperti CT angiografi.Kasus: Ada 4 kasus yang dilaporkan.  Kasus pertama, kedua dan ketiga terjadi emboli paru setelah post operasi.  Kami menggunakan skoring Wells dan Geneva untuk mendukung diagnosis emboli paru.  Sedangkan kasus keempat berbeda, dengan menggunakan D-dimer, desaturasi dan peningkatan jantung kanan merupakan tanda emboli di paru.Diskusi: Angka kecacatan emboli paru dapat menurun dengan diagnosis yang cepat dan pengobatan yang baik. Pengobatan yang tepat menggunakan heparin atau streptokinase bahkan DSA merupakan modalitas bila terjadi emboli massive.
Deteksi Dini Gejala Emboli Paru di ICU Bastian Lubis; Akhyar H Nasution
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 2 (2019): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (476.413 KB)

Abstract

Emboli paru seringkali sulit dideteksi karena gejalanya tidak spesifik dan karakteristiknya yang sukar dicegah. Angka kematian akibat emboli paru berkisar antara 100.000 hingga 200.000 kematian tiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini dapat menjadi lebih besar apabila emboli paru tidak ditangani segera. Angka kematian in dapat ditekan melalui anamnesis yang menyeluruh, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG), foto toraks, D-dimer, fibrinogen, ekokardiografi, dan prosedur mutakhir seperti CTangiografi. Angka kematian akibat emboli paru dapat diturunkan dengan diagnosis yang cepat dan pengobatan yang tepat. Pengobatan yang tepat menggunakan heparin, streptokinase, atau Digital Substraction Angiography (DSA) terkadang diperlukan dalam menatalaksana emboli paru masif.
Hubungan Neutrophil – Lymphocyte Ratio (NLR) Terhadap Mortalitas Pasien Sepsis di Unit Perawatan Intensif RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2018 Bastian Lubis; Ahmad Yapiz Hasby; Alvin Oktomy Putra; Gema Nazri Yanni; Putri Amelia
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 39 No 1 (2021): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.521 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v39i1.213

Abstract

Sepsis adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Sepsis juga merupakan penyebab kematian utama di antara pasien kritis unit perawatan intensif non-koroner di Amerika Serikat. Tahun 2010 tercatat prevalensi pasien rawat intensif yang menderita sepsis di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo adalah 25% dengan derajat mortalitas sebesar 77,3%. Untuk menilai seberapa berat respons inflamasi digunakan biomarker. Salah satu biomarker yang digunakan adalah neutrophil-lymphocyte ratio (NLR). Sampai saat ini masih belum digelar konsensus untuk melihat hubungan antara NLR dengan prognosis pasien sepsis. Melihat hubungan neutrophil-lymphocyte ratio terhadap mortalitas pasien sepsis di ICU RSUP Haji Adam Malik.Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian berupa cross-sectional. Data penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis dan metode pengumpulan data berupa total sampling. Dari hasil penelitian, didapatkan insidensi sepsis di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik sebanyak 97 pasien dan didominasi oleh pasien lansia dan laki-laki dengan jumlah pasien masing-masing sebesar 58 orang. Analisis bivariat menggunakan uji Fisher’s Exact Test didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan secara statistik dengan nilai p value 0,371 antara NLR terhadap mortalitas pasien sepsis. Tidak didapatkan hubungan neutrophil-lymphocyte ratio terhadap mortalitas pasien sepsis.
The Relationship of Renal Resistive Index and Central Venous Pressure As Predictors of Acute Kidney Injury in Critically III Patients of Intensive Care Unit Adam Malik General Hospital Medan Muhammad Apriandi Wira; Achsanuddin Hanafie; Asmin Lubis; Bastian Lubis
Solo Journal of Anesthesi, Pain and Critical Care (SOJA) Vol 2, No 2 (2022): October 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/soja.v2i2.59946

Abstract

Background: Changes in the doppler-based renal resistive index (RRI) occur prior to the changes of glomerular filtration rate (GFR) during the development of acute kidney injury (AKI) and during the healing process from AKI. Central venous pressure (CVP) is not only a marker for resuscitation, but also can determine the microcirculatory perfusion pressure as outflow obstruction.Objective: This study aims to determine the relationship between RRI and CVP as a predictor of AKI in critically ill patients admitted to the intensive care unit (ICU) of Adam Malik General Hospital.Methods: This was an observational study with prospective cohort design and diagnostic test method. This research was conducted at the Adam Malik General Hospital Medan from June to July 2020. Forty patients aging 18-65 years old who met the diagnostic criteria of sepsis and septic shock were examined for RI and CVP when admitted to the ICU.Results: RI had better sensitivity and specificity than CVP in predicting the incidence of AKI (sensitivity 68% vs 59%, specificity 77% vs 55.5%, Receiver operating characteristics (ROC) 0.870 vs 0.321 (95% confidence interval)).Conclusion: Based on the results of this study, the renal resistive index has better sensitivity and specificity than central venous pressure in predicting the incidence of AKI in critical patients in the ICU.
Pengukuran Oksigenasi Otak dengan NIRS Dibandingkan SjvO2 pada Pasien dengan Penurunan Kesadaran di Instalasi Perawatan Intensif Bastian Lubis; Hanafie, Achsanuddin; Lubis, Asmin; Wijaya, Dadik Wahyu; Indrawan, Jhonsen; Bisono, Luwih
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.280

Abstract

Standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak biasanya menggunakan teknik invasif. Penelitian kedokteran telah berkembang dan mencoba untuk mencakup area yang dapat diukur dengan pendekatan non-invasif sesuai dengan prinsip tidak membahayakan. NIRS adalah salah satu teknologi terbaru untuk mengukur oksigenasi otak dalam melengkapi orang lain untuk pemantauan oksigenasi otak. Pemantauan oksigenasi otak untuk pasien tidak sadar di unit perawatan intensif diperlukan untuk merawat pasien dengan masalah medis. Penghapusan beberapa diagnosis banding secara non-invasif, real-time, dan berkelanjutan adalah tujuan utama dari intensifivis sesegera mungkin diagnosis yang akurat diambil, kondisi pasien akan lebih baik. 30 pasien tidak sadar dengan berbagai kondisi medis berpartisipasi dalam penelitian, dengan persetujuan dari keluarga. Pasien diintubasi dengan ventilasi mekanik, dan menggunakan elektroda NIRS yang dipasang di dahi dengan pengukur rSO2, sedangkan penulis mengambil sampel darah untuk analisis gas dari vena jugularis dan arteri karotis. Secara statistik tidak terdapat korelasi yang signifikan, antara SjvO2 dengan rSO2 kanan (p= 0,379), dan rSO2 kiri (p=0,041), serta terdapat perbedaan antara rSO2 kanan dan kiri (p<0,001). Parameter lain yang berkorelasi kuat dengan rSO2 adalah hemoglobin (p=0,009), tekanan arteri rata-rata (p=0,.049), kandungan oksigen vena jugularis (p=0,007) dan arteri karotis (p=0,08). rSO2 saja tidak dapat menggantikan SjvO2 sebagai standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak. Namun, hasil rSO2 juga berkorelasi positif dengan hemoglobin, tekanan arteri rata-rata, kandungan oksigen vena jugularis, dan arteri karotis, yang berarti bahwa penurunan rSO2 dapat disebabkan oleh masalah pengiriman oksigen
Plasmapheresis in Myasthenia Gravis Crisis Rifani Masharto, Alegra; Lubis, Bastian; Lubis, Andriamuri Primaputra; Nadeak, Rommy
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.290

Abstract

Introduction: Myasthenic crisis is the most lethal complication of myasthenia gravis. Referral to an intensive care unit is crucial in managing the myasthenic crisis. Hereby, we report a case of a myasthenic crisis in a 30-year-old female who underwent plasmapheresis. The patient underwent a 12-hour procedure for plasmapheresis and was discharged to a normal ward the next day. Although plasmapheresis is costly, its efficacy should be considered as the main treatment for myasthenic crisis. Case Illustration: Female, 30 years old, weighed 60 kgs, with myasthenia crisis. The patient came to an emergency department and was then intubated before being admitted to the intensive care unit. The physical diagnostic was normal and laboratory findings were leukocytosis. The patient was treated with normal saline, antibiotics, high-dose corticosteroids, and pyridostigmine. The patient was done plasmapheresis with synchronized intermittent mandatory ventilator mode. The patient was examined every 30 minutes. The physical examinations were relatively normal. The plasmapheresis procedure was ended in 12 hours. From the literature, plasmapheresis was found to have significant results for myasthenia gravis compared to conventional therapy because of its blood separation technique to remove autoantibodies. The next day patient was extubated with normal physical examinations and normal laboratory findings. The patient then moved from the intensive care unit to the normal ward and outpatient on the third day of hospital stay. The patient was given oral medicine that included antibiotics, corticosteroids, and pyridostigmine. Conclusion: From this case, we can see that plasmapheresis therapy has a really good outcome compared to other conventional therapy. However this therapy is expensive, so most healthcare providers don’t cover the payment. Hopefully, most hospitals and healthcare providers can cover up for this treatment to save many myasthenia gravis crisis. Keyword: Intensive Care Unit; myasthenic crisis; myasthenia gravis; plasmapheresis; treatment efficacy
Gambaran Trakeostomi terhadap Length of Stay Pasien yang Dirawat di ICU RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2021 Berutu, Veny Putri; Lubis, Bastian
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.305

Abstract

Pendahuluan: Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi pasien yang menderita penyakit berpotensi mengancam nyawa. Kriteria pasien yang berada di ICU adalah pasien sakit kritis dengan ketidakstabilan atau kegagalan sistem organ dan memiliki length of stay (LOS) yang relatif lama serta memerlukan bantuan alat seperti ventilator. Untuk meningkatkan kualitas perawatan medis, tujuan utama dalam perawatan intensif adalah untuk mengurangi LOS. Trakeostomi adalah salah satu prosedur di unit perawatan intensif yang paling umum dilakukan. Keuntungan yang didapat yaitu dapat menurunkan LOS ICU, meningkatkan kenyamanan pasien dan manajemen jalan napas yang lebih baik. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional. Metode pengumpulan data dengan menggunakan data rekam medik. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Hasil: Hasil penelitian terhadap pasien ICU yang terpasang ventilator di RSUP HAM Medan didapatkan sebanyak 46 orang (70,2%) yang tidak ditrakeostomi dan 19 orang (29,2%) yang ditrakeostomi. Rata-rata LOS pasien yang ditrakeostomi yaitu 19 hari dan rata-rata LOS pasien yang tidak ditrakeostomi yaitu 11 hari. Simpulan: Rata-rata LOS pasien ICU yang terpasang ventilator di RSUP HAM Medan lebih besar pada pasien yang ditrakeostomi. Kata kunci: ICU; intubasi; LOS; trakeostomi; ventilator
Hubungan Nilai Platelet Lymphocyte Ratio, D-dimer, dan Fibrinogen Terhadap Tingkat Keparahan Pasien Sepsis Eka Setia Miharja; Lubis, Bastian; Solihat, Yutu
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 1 (2024): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i1.325

Abstract

Pendahuluan: Sepsis merupakan suatu kondisi klinis disfungsi organ yang berpotensi mengancam nyawa, yang disebabkan oleh respons pejamu terhadap infeksi. Pada sepsis, jaringan mengalami perubahan dan ditemukan adanya tanda – tanda peradangan berupa vasodilatasi, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, dan akumulasi leukosit. Terdapat beberapa biomarker dalam memprediksi angka kematian yang disebabkan oleh sepsis. Platelet Lymphocyte Ratio (PLR), D-dimer dan Fibrinogen merupakan beberapa biomarker yang dapat dilakukan dengan asumsi memiliki hubungan dengan tingkat keparahan pasien sepsis. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode pengumpulan data secara kohort prospektif dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan priode November 2022 – Maret 2023. Pemilihan sampel dengan consecutive sampling yang memenuhi kriteria inkusi dan eksklusi. Semua sampel akan diambil data PLR, D-dimer dan fibrinogen, serta skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) yang dilakukan perhitungan secara statistik. Hasil: Dengan uji Chi-Square pada PLR dengan skor SOFA hari pertama dan SOFA hari ke-3 terdapat hubungan yang signifikan pada hari ke-3, didapatkan nilai p < 0,05. Hasil serupa didapatkan pada pemeriksaan D-dimer, terdapat hubungan yang signifikan pada hari ke-3 dengan didapatkan nilai p < 0,05. Sedangkan pada pemeriksaan fibrinogen tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik baik pada hari pertama maupun hari ke-3 terhadap skor SOFA. Simpulan: Berdasarkan hasil studi ini, PLR disarankan sebagai indikator inflamasi sistematis alternatif baru pada sepsis. Bukti menunjukkan bahwa peningkatan PLR sangat terkait dengan peningkatan peradangan sistemik yang dapat juga digunakan sebagai prognosis yang buruk pada sepsis.
Korelasi Renal Resistive Index dengan Kejadian Acute Kidney Injury Bejo Utomo Handayani; Lubis, Bastian; Tanjung, Qodri Fauzi
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 1 (2024): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i1.326

Abstract

Pendahuluan: Acute Kidney Injury (AKI) merupakan sindrom klinis akibat penurunan fungsi ginjal yang disebabkan berbagai etiologi seperti azotemia pre-renal, nekrosis tubular akut, nefritis interstisial akut, penyakit glomerulus dan vaskulitis akut ginjal, serta nefropati obstruktif post-renal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa korelasi penggunaan Renal Resistive Index (RRI) dengan kejadian AKI pada pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) RSUP Haji Adam Malik Medan. Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional dengan metode cross-sectional survey Hasil: Berdasarkan hasil analisa didapatkan data sebesar 55% subjek penelitian dengan nilai RRI > 0,7 dan terdapat korelasi yang cukup antara RRI nilai kreatiniin dengan nilai r 0,363. RRI memiliki sensitivitas 91,66%, spesifisitas 62,5%, dan akurasi 80% dengan nilai prediksi positif 78,57% dan nilai prediksi negatif 83,33%. Dengan demikian RRI memiliki AUROC = 0,771 dengan interval kepercayaan sebesar 95%. Kesimpulan: Terdapat korelasi yang cukup antara RRI dengan kejadian AKI pada pasien kritis yang dirawat di ruang ICU RSUP Haji Adam Malik Medan.
Perbandingan Ekokardiografi Transtorakal dan Ultrasonic Cardiac Output Monitor dalam Menilai Respon Terapi Cairan pada Pasien Sepsis Gultom, Andrio Farel Edward; Lubis, Bastian; Wijaya, Dadik Wahyu
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 2 (2024): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i2.328

Abstract

Latar belakang: Pada sepsis terjadi deplesi volume intravaskular, sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang akurat dan non-invasif untuk pemantauan hemodinamik. Ekokardiografi transtorakal (ETT) telah menjadi standar baku. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) adalah alat pemantauan hemodinamik non-invasif, yang menggunakan gelombang ultrasonik Doppler. USCOM dapat mengukur cardiac output (CO), stroke volume (SV), stroke volume respiratory variation (SVV), dan beberapa parameter hemodinamik lainnya. Metode: Penelitian ini merupakan pretest-posttest study dengan total sampel sejumlah 40 pasien yang dilakukan pemeriksaan dengan ETT dan USCOM dalam menilai respon terapi cairan pada pasien sepsis. Hasil: SVV dengan menggunakan TTE sebelum terapi cairan (T0) dengan rerata sebesar 9,45 ± 2,51, dimana pasien yang respon terhadap cairan sebesar 27 pasien (67,5%). SVV dengan menggunakan USCOM sebelum terapi cairan (T0) dengan rerata sebesar 9,14 ± 2,9, dimana pasien yang respon terhadap cairan sebesar 24 pasien (60%). Simpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ETT dengan USCOM untuk menilai respon terapi cairan pasien sepsis yang dirawat di ICU Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.