Bisono, Luwih
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Pengukuran Oksigenasi Otak dengan NIRS Dibandingkan SjvO2 pada Pasien dengan Penurunan Kesadaran di Instalasi Perawatan Intensif Bastian Lubis; Hanafie, Achsanuddin; Lubis, Asmin; Wijaya, Dadik Wahyu; Indrawan, Jhonsen; Bisono, Luwih
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.280

Abstract

Standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak biasanya menggunakan teknik invasif. Penelitian kedokteran telah berkembang dan mencoba untuk mencakup area yang dapat diukur dengan pendekatan non-invasif sesuai dengan prinsip tidak membahayakan. NIRS adalah salah satu teknologi terbaru untuk mengukur oksigenasi otak dalam melengkapi orang lain untuk pemantauan oksigenasi otak. Pemantauan oksigenasi otak untuk pasien tidak sadar di unit perawatan intensif diperlukan untuk merawat pasien dengan masalah medis. Penghapusan beberapa diagnosis banding secara non-invasif, real-time, dan berkelanjutan adalah tujuan utama dari intensifivis sesegera mungkin diagnosis yang akurat diambil, kondisi pasien akan lebih baik. 30 pasien tidak sadar dengan berbagai kondisi medis berpartisipasi dalam penelitian, dengan persetujuan dari keluarga. Pasien diintubasi dengan ventilasi mekanik, dan menggunakan elektroda NIRS yang dipasang di dahi dengan pengukur rSO2, sedangkan penulis mengambil sampel darah untuk analisis gas dari vena jugularis dan arteri karotis. Secara statistik tidak terdapat korelasi yang signifikan, antara SjvO2 dengan rSO2 kanan (p= 0,379), dan rSO2 kiri (p=0,041), serta terdapat perbedaan antara rSO2 kanan dan kiri (p<0,001). Parameter lain yang berkorelasi kuat dengan rSO2 adalah hemoglobin (p=0,009), tekanan arteri rata-rata (p=0,.049), kandungan oksigen vena jugularis (p=0,007) dan arteri karotis (p=0,08). rSO2 saja tidak dapat menggantikan SjvO2 sebagai standar emas untuk pemantauan oksigenasi otak. Namun, hasil rSO2 juga berkorelasi positif dengan hemoglobin, tekanan arteri rata-rata, kandungan oksigen vena jugularis, dan arteri karotis, yang berarti bahwa penurunan rSO2 dapat disebabkan oleh masalah pengiriman oksigen
The Use of Popliteal and Femoral Blocks for Pedis Amputation in Patient with Congestive Heart Failure Stage III Bisono, Luwih; Tantri, Aida R; Satoto, Darto
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 2 (2016): Volume 3 Number 2 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i2.7245

Abstract

The choice of peripheral nerve blocks for lower extremity operation are popliteal and femoral block. But at the special condition, the patient could not be performed with general anesthesia, subarachnoid block or epidural block anesthesia because various of reasons. In consequense, it is needed the other anesthesia technique by different way for lower extremity operation using peripheral nerve block. There are some recognized peripheral nerve blocks with or without ultrasonography guidance. Some of them are femoral block, sciatik/popliteal block, ankle block and psoas block. In this case report, the patient with congestive heart failure stage III and history of pulmonary edema with ejection fraction 23% was performed by lateral popliteal and femoral block usg guided for pedis amputation.
Anesthesia in Awake Craniotomy Patients Akim, Mhd; Bisono, Luwih; Hamdi, Tasrif; Sitepu, John Frans; Harahap, Awi Tifani Mayandisa
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 17, No 1 (2025): JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.65478

Abstract

Background: Awake craniotomy is a neurosurgical procedure performed while the patient is conscious and cooperative, commonly used to remove brain tumors or epileptic foci located close to brain regions that control in real-time critical functions such as speech, movement, or vision.Case: A 26-year-old male presented to Haji Adam Malik Hospital, Medan with progressive blurred vision in both eyes and headaches over three months diagnosed with secondary headache due to intracranial space-occupying lesions (SOL) (thalamic glioma). The patient was referred to a neurosurgical colleague for further treatment in the form of a craniotomy. The craniotomy was performed using awake anesthesia techniques for the excision of diffuse glioma in the thalamic region. The awake anesthesia technique involved intravenous premedication with 0.25 mg atropine sulfate, 5 mg dexamethasone, 50 mg phenytoin, 2.5 mg diazepam, 100 mcg fentanyl, and dexmedetomidine administered at 20 mcg/hour to achieve the desired sedation level. Prior to incision, infiltration was performed in the area to be incised using 0.75% ropivacaine 20 ml mixed with 2% lidocaine 4 ml, and before the burr hole was made in the cranium, 50 mcg fentanyl was administered intravenously. The surgery proceeded according to protocol, and the patient was transferred to the recovery room.Discussion: Awake craniotomy requires clear communication for brain mapping, making severe aphasia and respiratory disorders like sleep apnea contraindications. Dexmedetomidine is favored for sedation due to its minimal respiratory effects. Local analgesia with ropivacaine and lidocaine ensures pain control and hemodynamic stability, reducing opioid use. The lack of bispectral index monitoring to assess sedation depth is a noted limitation.Conclusion: Considering the benefits and challenges associated with awake surgery, the use of this method should be considered on an individual case basis to ensure surgical success and patient safety.
Comparison of The Effectiveness of Use Antiseptic Povidone Iodine 10% And Octenidine Hydrochloride 0.1% in The Action of Neuroaxial Blocks in Patients Who Will Surgery in Haji Adam Malik General Hospital Medan Handayani, Bejo Utomo; Bisono, Luwih; Wijaya, Dadik Wahyu; Amelia, Rina
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 17, No 1 (2025): JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.62613

Abstract

Background: Antiseptics or germicides are chemical compounds used to kill or inhibit the growth of microorganisms on living tissue such as the surface of the skin and mucous membranes.Objective: To determine the comparative effectiveness of povidone iodine 10% antiseptic compared to octenidine hydrochloride 0.1% in neuraxial blockade in patients undergoing surgery at Haji Adam Malik General Hospital, Medan.Methods: This study is an experimental study of the two-group pre-test - post-test study type. This design is a design that groups patients into certain groups that receive different treatments based on group division. There are two groups, with each group containing 10 samples.Result: In group A (povidone iodine 10%), the average value of bacterial growth before aseptic action was 192.20±117.54, and after aseptic action, no bacterial growth was found with a P Value of 0.005. In group B (octenidine hydrochloride 0.1%) before aseptic action was performed, the average bacterial growth value was 212.20 ± 107.21, and after aseptic action, no bacterial growth was found with a P Value of 0.004.Conclusion: There was no significant difference in the bacterial profile after aseptic with povidone iodine 10% and octenidine hydrochloride 0.1%.
Perbandingan Preloading Cairan 20 cc/kgBB dan 30 cc/kgBB setelah One-Hour Bundle terhadap Nilai Laktat pada Pasien Sepsis di Ruang ICU Rendi Sidiq; Hamdi, Tasrif; Bisono, Luwih; Yunanda, Yuki
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 43 No 1 (2025): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v43i1.371

Abstract

Latar Belakang: Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat respons tubuh yang tidak teratur terhadap infeksi. Kadar laktat serum sering digunakan sebagai biomarker kegagalan organ, di mana kadar yang lebih tinggi menunjukkan tingkat kerusakan yang lebih parah. Meskipun preloading cairan 20–30 cc/kgBB direkomendasikan dalam resusitasi sepsis pada periode one-hour bundle, efektivitas dosis yang berbeda masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan dosis preloading cairan 20 cc/kgBB dan 30 cc/kgBB terhadap kadar laktat pada pasien sepsis di RSUP H. Adam Malik. Metode: Penelitian ini merupakan randomized clinical trial dengan metode double-blind, melibatkan 36 pasien sepsis yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 (20 cc/kgBB) dan kelompok 2 (30 cc/kgBB). Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kadar laktat 6 jam setelah loading cairan (p>0,05). Namun, terdapat perbedaan signifikan pada nilai klirens laktat (p=0,002), di mana kelompok 1 (32,55 ± 30,69 mmol/L) memiliki klirens lebih tinggi dibandingkan kelompok 2 (15,62 ± 50,61 mmol/L). Simpulan: Preloading cairan 20 cc/kgBB setelah one-hour bundle meningkatkan nilai laktat klirens pada pasien sepsis.
Teknik Anestesi pada Awake Craniotomy: Sebuah Laporan Kasus Simamora, Fareza Rifki; Bisono, Luwih; Hamdi, Tasrif; Sitepu, John Frans; Harahap, Awi Tifani M
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 43 No 1 (2025): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v43i1.401

Abstract

Latar Belakang: Awake craniotomy adalah prosedur bedah saraf yang dilakukan pada pasien kondisi sadar yang umumnya dilakukan pada fokal epilepsi dan pengangkatan tumor otak di daerah vital. Prosedur ini memungkinkan pengangkatan lesi sambil menilai gejala yang dialami pasien secara real-time. Ilustrasi Kasus: Laki-laki 33 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP H. Adam Malik Medan dengan keluhan nyeri kepala yang dirasakan sejak satu minggu yang lalu. Gejala ini semakin memberat dalam 12 jam terakhir disertai riwayat muntah dua kali. Pasien memiliki riwayat penyakit space-occupying lesion (SOL) intrakranial, riwayat kemoterapi 11 kali, dan riwayat operasi VP shunt. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis SOL intrakranial dengan masa residu tumor. SOL ini juga mengobliterasi ventrikel lateralis bilateral. Setelah mendapat penanganan awal, pasien kemudian dirujuk ke sejawat bedah saraf untuk penanganan lebih lanjut, sejawat bedah saraf memutuskan untuk melakukan tindakan kraniotomi stereotatik biopsi. Tindakan ini difasilitasi dengan teknik anestesi awake. Tindakan anestesi pada awake craniotomy ini menggunakan premedikasi intravena yaitu sulfas atropin 0,25mg, dexamethasone 5mg, fenitoin 50mg, diazepam 2,5mg, fentanil 100mcg, dexmetomidin 20mcg/jam. Sebelum dilakukan insisi diberikan infiltrasi di daerah yang akan diinsisi menggunakan ropivikain 0,75% 20ml yang dicampur dengan lidokain 2% 4ml dan sebelum dilakukan burr-holl tengkorak di daerah kranium diberikan fentanil 50 mcg secara intravena. Simpulan: Dalam prosedur awake craniotomy, menjaga kesadaran pasien selama operasi memungkinkan tim medis untuk memantau fungsi vital di otak secara langsung, sehingga meminimalkan risiko kerusakan pada area otak yang kritis.
Perbandingan Efektivitas Phenylephrine sebagai Pencegahan Spinal Anesthesia-Induced Hypotension pada Pasien Seksio Sesarea Thibri, Muhibbut; Wijaya, Dadik Wahyu; Bisono, Luwih
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 43 No 2 (2025): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v43i2.407

Abstract

Latar Belakang: Spinal anesthesia-induced hypotension (SAIH) adalah respons fisiologis selama seksio sesarea dengan anestesi spinal berkontribusi terhadap mual, muntah, pusing, dan bahkan kolaps kardiovaskular pada ibu. Phenylephrine adalah agonis-reseptor-α-adrenergik telah dikaitkan pencegahan hipotensi maternal dan variabilitas tekanan darah. Dengan dosis yang tepat dapat mengurangi resiko hipotensi dan mempertahankan aliran uteroplasenta sehingga mengurangi resiko efek samping hipotensi pada ibu dan neonatal.Metode: Penelitian ini menggunakan desain randomized clinical trial dengan double blind. Sampel dibagi berdasarkan dosis phenylephrine: kelompok 1 (50μg), kelompok 2 (75μg), dan kelompok 3 (100μg). Data akan dianalisis uji Annova atau uji Kruskal Wallis. Kemudian dilakukan uji post hoc untuk melihat perbedaan antar kelompok.Hasil: Terdapat 47 sampel dengan distribusi 16 sampel kelompok 1, 16 sampel kelompok 2, dan 15 sampel kelompok 3. Pada analisis variabel usia, tinggi badan, berat badan, dan IMT diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antar kelompok perlakuan (p=0,950, p=0,468, p=0,763, dan p=0,647). Didapati bahwa data tekanan darah sistolik dan diastolik memiliki perbedaan yang signifikan pada pengukuran T1 (p=0,020 dan p=0,004) dan T2 (p=0,018 dan p=0,046). Didapati bahwa data MAP memiliki perbedaan yang signifikan pada pengukuran T1 (p=0,004), T2 (p=0,046), dan T6 (0,035). Didapati bahwa data nadi pada pengukuran T5 (p=0,017) memiliki perbedaan yang signifikan.Simpulan: Dalam penelitian ini ditemukan dosis phenylephrine yang paling efektif dalam mencegah kejadian SAIH secara klinis adalah dosis 75 μg, 50 μg, dan 100 μg.