Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Non Bullous Congenital Ichthyosiform Erythroderma Setyowatie, Lita; Zulkarnain, Iskandar
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol 26, No 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty Of Medicine Airlangga University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (901.839 KB) | DOI: 10.20473/bikkk.V26.2.2014.1-8

Abstract

Background: Non bullous congenital ichthyosiform erythroderma (NBCIE) is an inherited genodermatosis, very rare autosomal recessive inflammatory ichthyosis, chronic, characterized by dryness and scaling. Purpose: To describe the clinical manifestations of NBCIE since it is a rare case, occurs in 1 in 300.000 people. Case: Baby MR 5 month old, Javanese boy, with main complaint white scale and redness patches on almost all of his body since 1.5 month old. Born as collodion baby, then the membrane was slowly thinning and became generalized erythroderma on almost all of his body accompanied with fine white scale, large, thick, plate-like scale only on lower leg. No ectropion and eclabium. No relatives in the pedigree suffer from the same disease. Histopathology examination showed non-bullous congenital ichthyosiform erythroderma. Case management: Emollient after bath and pH balance soap. Conclusions: Diagnosis of NBCIE is established from history taking, clinical features, and histopathology examination. Emollient therapy and pH balance soap will eventually lead to improvement.Key words: non bullous congenital ichthyosiform erythroderma, genodermatosis, collodion baby.
Epidermolysis Bullosa Acquisita Occuring In A Patient With Systemic Lupus Erythematosus setyowatie, Lita; Rahmawati, Yustian Devika; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga Vol 15, No 2 (2019): December 2019
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.373 KB) | DOI: 10.22219/sm.Vol15.SMUMM2.9884

Abstract

Epidermolysis Bullosa Acquisita (EBA) is a rare, chronic autoimmune subepidermal bullous disease and has been noted to be associated with systemic lupus erythematosus (SLE). The incidence of EBA and SLE in one patient within the period of 1980-1990 found only 7 published case reports. A 23 years old woman with exfoliate skin since 12 years ago. Initially itchy on her buttock then appeared small blister. Blister spread almost the entire body and rupture. This complaint got worsening in a year accompanied with hair loss, weight loss, and oral ulcer. Dermatological examination showed patch eritematosa, hyperpigmentation, hypopigmentation, erotion with erythematous base, yellow brownish crust. Also obtained sclerodactyli toes and nail fingers. Laboratory examination anemia gravis, hypoalbuminemia, Coombs test +2, ANA Test negatif, dsDNA IgG 32,80. Histopathology examination showed blister subepidermal, no vacuolar degeneration, no superficial and deep infiltrat, and minimal lymphocyte. Patient had diagnosed SLE from Internal Department based on MEX-SLEDAI score. The patient was treated with metylprednisolone intravenous pulse dose 500 mg on 3 days then tappering off and wound care. Epidermolysis Bullosa Acquisita immunogenetically related with MHC class II haplotype in particular  HLA-DR2. This factor suggest playing role in the development of  EBA to express more aggresive SLE. 
Laporan Kasus : PENGGUNAAN BEDAH LISTRIK PADA KASUS KEHAMILAN DENGAN KONDILOMATA AKUMINATA DAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) Pramita, Vina Listy; Setyowatie, Lita
Majalah Kesehatan FKUB Vol 7, No 3 (2020): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2020.007.03.6

Abstract

Kondilomata akuminata (KA) adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa. Kondilomata akuminata pada kehamilan perlu mendapat perhatian karena tidak semua modalitas terapi untuk pengobatan KA dapat digunakan. Dilaporkan pasien perempuan berusia 35 tahun, ibu rumah tangga dengan umur kehamilan 28 minggu. Pasien mengeluhkan benjolan berdungkul di kelamin sejak 5 bulan yang lalu. Benjolan semakin bertambah besar dan terkadang mudah berdarah. Pasien telah terdiagnosis human immunodeficiency virus (HIV) dan rutin minum antiretroviral (ARV) sejak 6 bulan lalu. Pemeriksaan dermatovenereologis di labia mayor, minor dan perineum didapatkan papul, nodul multipel dengan permukaan verukosa, warna keabuabuan, batas tegas, konsistensi padat, bentuk dan ukuran bervariasi. Tes acetowhite menunjukan hasil positif. Permeriksaan histopatologis menunjukan adanya koilosit, sehingga diduga sebagai KA. Pasien dilakukan tutul trichloroacetic acid (TCA) 95% sebanyak dua kali, namun tidak ada perubahan pada lesi sehingga dilakukan tindakan bedah listrik. Pasca bedah listrik didapatkan respons yang baik, yaitu benjolan menghilang, lesi erosi di beberapa area. Penatalaksanaan KA pada perempuan hamil harus mempertimbangkan keamanan ibu dan janin, juga faktor lain seperti jumlah, luas, lokasi, dan kondisi imunitas pasien. Bedah listrik merupakan modalitas terapi yang aman bagi perempuan hamil.
Tinjauan Literatur : PERAN ASTAXANTHIN PADA LUKA BAKAR Pardina, Nathasia Ayunda; Setyowatie, Lita
Majalah Kesehatan FKUB Vol 7, No 4 (2020): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2020.007.04.7

Abstract

Luka bakar merupakan kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh panas berlebihan atau bahan kimia kaustik. Beberapa faktor seperti iskemia, stres oksidatif, inflamasi, dan kematian sel (nekrosis atau apoptosis), berkontribusi pada konversi luka bakar dini, yang merupakan perubahan progresif pada zona peri lesi yang mencakup zona stasis dan hiperemia. Meskipun inflamasi merupakan faktor penting dalam penyembuhan luka, namun juga dapat menghambat proses penyembuhan. Reaksi inflamasi akut berkepanjangan  didominasi oleh neutrofil dan makrofag, dapat menyebabkan peningkatan level sitokin proinflamasi, yang mengakibatkan degradasi kolagen dan apoptosis keratinosit, perlekatan neutrofil pada endotel vena menghasilkan mikrovaskular yang berbahaya, dan produksi oksigen radikal bebas yang mengakibatkan gangguan membran plasma, ikatan silang dan putusnya ikatan DNA, serta fragmentasi peptida. Stres oksidatif pada luka bakar dapat ditekan dengan senyawa antioksidan seperti astaxanthin.  Astaxanthin merupakan antioksidan alami yang  memberikan efek perlindungan melawan konversi luka bakar dengan menurunkan stres oksidatif terkait radikal bebas, meredakan inflamasi pada tahap awal luka bakar dan mengurangi apoptosis sel di zona stasis. Oleh karena, perlu diulas lebih lanjut mengenai peran astaxanthin pada luka bakar.
PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN HUBUNGAN SEKSUAL BERISIKO TINGGI TERHADAP KEJADIAN INFEKSI GONORE DI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG Wahdah, Rina Auliya; Setyowatie, Lita; Aslam, Achmad Bayhaqi Nasir
Majalah Kesehatan FKUB Vol 7, No 4 (2020): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2020.007.04.5

Abstract

Gonore adalah infeksi menular seksual (IMS) yang dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh bakteri diplokokus Gram negatif, Neisseria gonorrhoeae. Insiden infeksi gonore tahun 2014 di RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang (RSSA) diketahui sebanyak 60 orang dari total 399 pasien IMS. Tahun 2015, tercatat 34 orang pasien infeksi baru gonore. Kejadian ini meningkat karena beberapa faktor di antaranya adalah pengetahuan dan hubungan seksual berisiko tinggi, yang tampak saat ini merupakan sebagian kecil dari keseluruhan pasien IMS. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan terhadap hubungan seksual berisiko tinggi serta terhadap kejadian infeksi gonore di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Populasi adalah pasien laki-laki terinfeksi gonore yang datang ke RSSA berjumlah 93 orang dan berdasarkan formula Lemeshow didapatkan. sampel sebanyak 36 responden. Pengambilan sampel dengan metode consecutive sampling. Path analysis (analisis jalur) dilakukan untuk menemukan penjelasan mengenai pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel tingkat pengetahuan, hubungan seksual berisiko tinggi, dan infeksi gonore berdasarkan beberapa pertimbangan teoritis serta pengetahuan peneliti yang ditampilkan dalam bentuk diagram jalur yang berfungsi untuk membantu dalam melakukan konseptualisasi masalah yang kompleks dan mengenai implikasi empirik dari teori yang sedang diuji. Hasil menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan memiliki pengaruh yang signifikan dan berpengaruh positif terhadap hubungan seksual berisiko tinggi. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan terhadap hubungan seksual berisiko tinggi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap infeksi gonore, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian infeksi gonore. Serta, tingkat pengetahuan tidak berpengaruh signifikan terhadap infeksi gonore melalui hubungan seksual berisiko tinggi, dan  hubungan seksual berisiko tinggi tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian infeksi gonore. 
CORONAVIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DARI PERSPEKTIF DERMATOLOGI Sitaresmi, Adya; Setyowatie, Lita
Jurnal Klinik dan Riset Kesehatan Vol 1 No 1 (2021): Edisi Oktober
Publisher : RSUD Dr. Saiful Anwar Province of East Java

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1052.946 KB) | DOI: 10.11594/jk-risk.01.1.4

Abstract

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit baru yang terjadi akibat infeksi virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Manifestasi klinis umumnya berupa gangguan sistem respirasi. Namun, COVID-19 juga dapat bermanifestasi sebagai gejala ekstraparu, salah satunya dermatologi. Mekanisme pasti terjadinya manifestasi kulit pada COVID-19 masih belum dipahami secara penuh, namun diduga disebabkan oleh efek langsung virus terhadap sel keratinosit, respon imun berlebihan, maupun karena obat-obatan yang digunakan untuk tatalaksana COVID-19. Manifestasi kulit dari COVID-19 dapat dibagi menjadi lima kelompok lesi, yaitu lesi pseudo-chilblains, vesikuler, urtikaria, makulopapular eritematosa, dan vaskular. Lesi makulopapular eritematosa (44,18%) dan chilblains (19,72%) merupakan lesi yang paling sering ditemukan. Lesi vesikuler dan vaskular lebih jarang ditemukan. Lesi chilblains biasa ditemukan sebelum atau bersamaan dengan timbulnya gejala COVID-19 yang lain, dan seringkali muncul pada pasien kontak erat atau asimptomatik sehingga pengenalan lesi secara dini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya COVID-19.
Peran Centela Asiatica Sebagai Moisturizer Faradila, Anandita; Setyowatie, Lita
Jurnal Klinik dan Riset Kesehatan Vol 1 No 3 (2022): Edisi Juni
Publisher : RSUD Dr. Saiful Anwar Province of East Java

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/jk-risk.01.3.4

Abstract

Moisturizer merupakan komponen utama perawatan dasar kulit harian terutama jika terjadi perubahan sawar epidermal dan berkurangnya kandungan air di lapisan epidermis. Ketika jumlah air menurun hingga di bawah 10%, kulit akan menjadi kering. Beberapa tanaman obat yang berpengaruh terhadap hidrasi kulit salah satunya yaitu Centella asiatica. C. asiatica dikenal di Indonesia sebagai Pegagan dan termasuk dalam famili Umbelliferae/Apiaceae. Ekstrak dari daun C. asiatica telah dilaporkan berpotensi sebagai antioksidan, antimikroba, agen sintesis kolagen dan bahkan berperan sebagai penyembuh luka. Komponen aktif C.asiatica termasuk pentacyclic triterpenes, khususnya asiaticoside, madecassoside, asiatic acid and madecassic acid. C. asiatica digunakan sebagai senyawa aktif pada sediaan perawatan kulit karena bersifat menghidrasi kulit, antioksidan, antiradang, antiselulit, sifat antiinflamasi dan antipenuaan. Suatu formulasi yang mengandung konsentrasi ekstrak C. asiatica menunjukkan khasiat dalam meningkatkan kelembaban kulit dengan meningkatkan keadaan hidrasi permukaan kulit dan menurunkan terjadinya transepidermal water loss (TEWL). Tinjauan pustaka ini bertujuan menambah wawasan mengenai kandungan dan mekanisme kerja C. asiatica yang dapat dimanfaatkan sebagai moisturizer pada kulit. C. asiatica dapat digunakan sebagai formulasi kosmetik yang dapat merawat kulit kering dan sensitif. Lebih banyak penelitian diperlukan untuk mengenal dan menetapkan senyawa kimia C. asiatica yang bertanggung jawab atas berbagai aktivitas terapeutik, khususnya sebagai moisturizer yang efektif, aman, mudah dan murah.
Peran Tanaman Artemisia pada Akne Vulgaris Dharsono, Agita Danaparamita; Setyowatie, Lita
Jurnal Klinik dan Riset Kesehatan Vol 2 No 1 (2022): Edisi Oktober
Publisher : RSUD Dr. Saiful Anwar Province of East Java

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/jk-risk.02.1.4

Abstract

Akne vulgaris merupakan masalah yang sering kali menjadi alasan pasien berobat. Akne vulgaris dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya karena dapat menurunkan rasa percaya diri, terutama pada derajat berat. Terapi yang ada saat ini seperti retinoid dan antibiotik sering kali memicu masalah lain seperti iritasi akibat penggunaan retinoid dan resisten akibat penggunaan antibiotik topikal jangka panjang. Saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk mencari terapi alternatif pilihan untuk akne vulgaris, salah satu alternatif yang sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan ekstrak dari tanaman Artemisia atau lebih banyak dikenal dengan Mugwort. Tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman obat tradisional karena memiliki berbagai aktivitas, seperti antioksidan, anti bakteri, anti jamur, dan anti parasit. Peran anti bakteri pada ekstrak tanaman Artemisia dapat menghambat pertumbuhan berbagai bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acnes. Penggunaan ekstrak tanaman ini dilaporkan memiliki efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia. Pemanfaatan ekstrak tanaman Artemisia pada terapi akne vulgaris dapat dipertimbangkan karena kemampuan anti bakteri yang dimilikinya.
Trends in Sexually Transmitted Infection Cases in HIV Populations in Indonesia: Need Firm Roadmaps and Actions Setyowatie, Lita; Widasmara, Dhelya
Asian Journal of Health Research Vol. 3 No. 1 (2024): Volume 3 No 1 (April) 2024
Publisher : Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jawa Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55561/ajhr.v3i1.153

Abstract

Human immunodeficiency virus (HIV) infection and sexually transmitted infections (STIs) remain a public health problem and extend to social, economic, and cultural issues. HIV cases in the Southeast Asia region account for 10% of the total global HIV burden. In Indonesia, there are five provinces with the highest number of HIV cases as of December 2021, including DKI Jakarta (73,442), East Java (68,112), West Java (49,435), Central Java (42,012), and Papua (40,277). In Indonesia in 2021, the number of people living with HIV (ODHIV) reported was 36,902 and in 2022 up to the third quarter (July - September 2022) there were 34,213 people. New HIV infections in Indonesia continue to decline, in line with the global decline in new HIV infections. However, this decline has not been as large as expected.
RECCURENT GIANT CONDYLOMATA ACUMINATA CAUSED BY HUMAN PAPILLOMA VIRUS IN HIV WITH HOMOSEXUAL MALE Kusumaningsih, Emy; Setyowatie, Lita
Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease Vol. 8 No. 2 (2020)
Publisher : Institute of Topical Disease Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/ijtid.v8i2.8375

Abstract

Perianal giant condylomata acuminate (GCA) is a rare clinical condition associated with low-risk Human papillomavirus (HPV) type 6 and 11 infections. Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection is one of the risk factors for GCA, that can increase the condylomata acuminate incidence and spread caused by HPV. A 28-year-old man came with a cauliflower-like mass complaint in his perianal and anal since 2 months ago. The patient did not complain of pain or itching on the mass but often bled when defecating. The patient is a male who has sex with men (MSM) and often changes partners. He has been diagnosed with HIV since 11 months ago and regularly taking anti-retroviral drugs, Efavirenz 600 mg daily. He was also diagnosed having lung tuberculosis at the same time, got 6 months treatment and was declared cured. The venereological examination of the perianal and anal region revealed erythematous and grayish stem-shaped vegetation and papules, verrucous surface, multiple, well defined, with 3 x 1.5 x 2 cm in size. A positive act of white examination was obtained. Blood tests revealed CD+4 230 cells /μL. Polymerase chain reaction (PCR) examination for HPV obtained HPV types 6 and 11 infections. Histopathologic examination revealed acanthosis, papillomatosis, and hyperkeratotic epidermis and koilocytotic cells. The patient was treated with electrodesiccation three times but obtained mass in anal getting bigger with a size of 6 x 3 x 3 cm. Therefore, he agreed to be referred to the surgical department with an extensive surgical excision plan. Screening of GCA using PCR is not a routine examination but PCR has high sensitivity and specificity for determining the type of HPV, is useful for determining GCA prognosis and therapy, and is recommended for malignant and possible GCA recurrence detection