Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PERILAKU BUNUH DIRI: INJEKSI PESTISIDA PADA PASIEN ANAK DENGAN SKIZOFRENIA ANTIKA, SINDI; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; WINDIANI , I GUSTI AYU TRISNA; ADNYANA, GUSTI AGUNG NGURAH SUGITHA
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 4 No. 1 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v4i1.2864

Abstract

This research is qualitative research using a case study approach combining observational study and biographical study. A 13 year old girl, NTT domiciled in Bali, 2nd grade junior high school education, not married, not yet working. The patient was diagnosed with Paranoid Schizophrenia, AKI Stage Failure pro HD cito ec Paraquat Intoxication, Secondary hepatic injury, subcutaneous emphysema, electrolyte imbalance. complained of shortness of breath and it was getting worse, there were air bubbles under the skin on the patient's neck, the patient had had an intramuscular injection of pesticide on the right upper arm I week before entering the hospital. The parents did not know about this, so they were only taken to a health care center after 1 week after the patient injected himself with pesticide. Schizophrenia in children consists of early onset schizophrenia and childhood onset schizophrenia, which is a rare chronic neurodevelopmental disease, but can disrupt children's growth and development and cognitive function. The mechanism for the development of childhood schizophrenia is a combination of genetic, environmental and psychosocial factors. Diagnosis of schizophrenia in children requires careful history taking and evaluation of personal and family history because it is prone to misdiagnosis with autism or other developmental diseases. Until now, the criteria for diagnosing childhood schizophrenia use the same DSM-5 criteria as adult schizophrenia. Treatment for schizophrenia in children includes antipsychotics, ECT, and psychoeducation. It should be noted that children are at higher risk of experiencing side effects from antipsychotics, so periodic evaluations should be carried out to assess the effectiveness and side effects of the drug. In addition, child schizophrenia patients, especially those experiencing symptoms of psychosis, are at higher risk of attempting suicide compared to other age groups, so pharmacotherapy and non-pharmacotherapy support in the form of support from the surrounding environment is needed to support children's lives. ABSTRAKPenelitian ini merupakan penelitian kualitatif melalui pendekatan studi kasus menggabungkan antara studi observasi dan studi biografi. Seorang anak perempuan 13 Tahun, NTT domisili Bali, Pendidikan SMP kelas 2, belum menikah, belum bekerja. Pasien didiagnosa dengan Skizofrenia Paranoid, AKI Stage Failure pro HD cito ec Intoksikasi Paraquat, Secondary hepatic injury, emfisema subkutis, imbalance elektrolite. mengeluh sesak dan semakin memberat, terdapat gelembung udara di bawah kulit yang ada di leher pasien, pasien pernah melakukan injeksi pestisida secara intramuskur pada lengan atas bagian kanan I Minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Kedua orang tua tidak mengetahui akan hal tersebut sehingga baru dibawa ke pusat pelayanan kesehatan setelah 1 minggu berselang sejak pasien menginjeksi dirinya dengan pestisida. Skizofrenia pada anak terdiri atas early onset schizophrenia dan childhood onset schizophrenia merupakan penyakit neurodevelopmental kronis langka, namun dapat mengganggu tumbuh kembang dan fungsi kognitif anak. Mekanisme perkembangan skizofrenia anak merupakan kombinasi antara faktor genetik, lingkungan, dan psikososial. Diagnosis skizofrenia pada anak memerlukan ketelitian dalam anamnesis dan evaluasi riwayat pribadi dan keluarga karena rentan terjadi kesalahan diagnosis dengan gangguan autisme atau penyakit perkembangan lainnya. Hingga saat ini, kriteria diagnosis skizofrenia anak menggunakan kriteria DSM-5 yang sama dengan skizofrenia dewasa. Terapi skizofrenia pada anak mencakup antipsikotik, ECT, dan psikoedukasi. Perlu diperhatikan bahwa anak-anak berisiko lebih tinggi untuk mengalami efek samping dari antipsikotik, sehingga evaluasi berkala sebaiknya dilakukan untuk menilai efektivitas dan efek samping obat. Selain itu, pasien skizofrenia anak, terutama yang mengalami gejala psikosis, berisiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan kelompok usia lainnya, sehingga dukungan farmakoterapi dan non-farmakoterapi berupa dukungan dari lingkungan sekitar diperlukan untuk menunjang kehidupan anak.
GANGGUAN KELEKATAN SEBAGAI PENCETUS TERJADINYA SKIZOFRENIA : TINJAUAN PUSTAKA SITANGGANG, AMITA ROULI PURNAMA; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 1 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i1.2867

Abstract

Schizophrenia is one of the non-fatal diseases that result in a heavy burden for patients, society, and the government, with a prevalence rate of 0.5-1% of the world's population, or more than 20 million people worldwide. In Indonesia, according to the Ministry of Health of the Republic of Indonesia in 2019, it is estimated that there are 450,000 people with mental disorders, including schizophrenia. Although the exact cause of schizophrenia is not yet known, several factors are suspected to influence the occurrence of schizophrenia, one of which is emotional trauma due to attachment disorders. Attachment theory offers a conceptualization of the formation of emotional bonds, social functions, and emotional regulation that can help explain the occurrence of mental disorders, including schizophrenia. A literature review was conducted through data sources such as PubMed, Google Scholar, Medline, and PsycINFO to search for data on attachment theory, attachment disorders, and schizophrenia. Attachment disorders are experienced in the early stages of development in the form of trauma. Trauma experienced in the early stages of development, such as negative events, neglect, or inadequate caregiving, is a factor that can affect brain development, leading to changes in neuroendocrine function, resulting in disturbances in emotional regulation and cognitive function. There is a decrease in the ability to identify and understand one's own and others' mental states, such as beliefs, emotions, and intentions, known as "mentalization" and "theory of mind." Emerging evidence regarding the role of attachment in the development of psychosis has implications for the prevention and treatment of psychosis. Trauma experienced in the early stages of development, such as negative events, neglect, or inadequate caregiving, is considered a factor that can affect brain development and neuroendocrine function. The discussion on the relationship between attachment disorders and schizophrenia still requires extensive review and research in the future. ABSTRAKSkizofrenia termasuk salah satu kelompok penyakit nonfatal yang mengakibatkan beban berat bagi penderita, masyarakat, dan pemerintah dengan kisaran prevalensi antara 0,5-1 % dari populasi dunia, atau lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 diperkirakan ada 450.000 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) termasuk skizofrenia. Meskipun penyebab skizofrenia belum diketahui secara pasti, terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya skizofrenia, salah satunya adalah trauma emosional akibat gangguan kelekatan. Teori kelekatan menawarkan konseptualisasi tentang pembentukan ikatan emosional, fungsi sosial, dan regulasi emosi yang dapat membantu menjelaskan terjadinya gangguan mental termasuk skizofrenia. Dilakukan tinjauan pustaka melalui sumber data yaitu PubMed, Google Scholar, Medline, dan PsycINFO untuk mencari data mengenai teori kelekatan, gangguan kelekatan dan skizofrenia. Gangguan kelekatan dialami pada tahap awal perkembangan dalam bentuk trauma. Trauma yang dialami pada tahap awal perkembangan, misalnya peristiwa negatif, pengabaian atau pengasuhan yang tidak memadai merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan otak, sehingga terjadi perubahan fungsi neuroendokrin sehingga terjadi gangguan regulasi emosi dan fungsi kognitif. Terdapat penurunan kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami kondisi mental diri sendiri dan orang lain, seperti keyakinan, emosi, dan niat, yang disebut sebagai “mentalisasi” dan “teori pikiran”. Bukti yang muncul mengenai peran keterikatan terhadap perkembangan psikosis mempunyai implikasi terhadap pencegahan dan pengobatan psikosis. Trauma yang dialami pada tahap awal perkembangan, misalnya peristiwa negatif, pengabaian atau pengasuhan yang tidak memadai dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan otak serta fungsi neuroendokrin. Diskusi mengenai hubungan gangguan kelekatan dan skizofrenia masih memerlukan banyak telaah dan penelitian di masa depan. 
COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY PADA REMAJA DENGAN PERCOBAAN BUNUH DIRI SUWANDI, NYOMAN DEFRIYANA; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; ADNYANA, I GUSTI AGUNG NGURAH SUGITHA; WINDIANI, I GUSTI AYU TRISNA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3153

Abstract

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) is a therapeutic approach that has been proven effective in treating various mental health problems, including suicide attempts in adolescents. The World Health Organization states that suicide is the second leading cause of death in the 15-29 year age group. In adolescents with suicide attempts, CBT can be used to help identify negative thoughts that drive suicidal thoughts and develop healthier coping strategies. It is important to note that CBT is not the only solution, but can be combined with other interventions, such as family support, psychoeducational education, and group therapy. This is a qualitative study using a case study approach combining observational studies and biographical studies. A 15-year-old girl, domiciled in Denpasar, junior high school education, unmarried, unemployed. The patient was diagnosed with a Major Depressive Episode without Psychotic Symptoms complaining of sadness since 1 month ago and felt even sadder when she had to go home. The patient felt more sensitive and felt that no one loved and understood her condition. The stressors felt were getting worse since she was suspended from school for not paying school fees and was reprimanded for dating. There are thoughts of drinking bleach and suddenly thinking about drinking the liquid. The patient also feels a loss of interest and joy, gets tired easily, and has difficulty concentrating. The patient is a stubborn and unruly child. When corrected, the patient will get angry and run away from home. Children with more severe depressive symptoms are more likely to benefit from antidepressants. The patient needs to be given pharmacotherapy and non-pharmacotherapy. Pharmacotherapy in this case is fluoxetine 5 milligrams intraorally every 24 hours (morning). Non-pharmacotherapy can be given supportive psychotherapy, CBT, and psychoeducation. Conflict management is not only done to the patient but also to the patient's family. Family conflict and parenting patterns can be one of the factors that aggravate the patient's current condition. ABSTRAKTerapi Perilaku Kognitif (CBT) merupakan pendekatan terapeutik yang telah terbukti efektif dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan mental, termasuk percobaan bunuh diri pada remaja. Organisasi Kesehatan Dunia mengungkapkan bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak kedua pada kelompok usia 15-29 tahun. Pada remaja dengan percobaan bunuh diri, CBT dapat digunakan untuk membantu dalam identifikasi pemikiran negatif yang mendorong keinginan untuk bunuh diri serta mengembangkan strategi koping yang lebih sehat. Penting untuk dicatat bahwa CBT bukan menjadi solusi tunggal, namun dapat dikombinasikan dengan intervensi lain, seperti dukungan keluarga, pendidikan psikoedukatif, dan terapi kelompok. Merupakan penelitian kualitatif melalui pendekatan studi kasus menggabungkan antara studi observasi dan studi biografi. Seorang anak perempuan 15 Tahun, domisili Denpasar, Pendidikan SMP, belum menikah, belum bekerja. Pasien didiagnosa dengan Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik mengeluh sedih sejak 1 bulan yang lalu dan makin merasa sedih saat harus pulang ke rumah. Pasien merasa lebih sensitif serta merasa tidak ada yang menyayangi dan memahami kondisinya. Stressor yang dirasakan semakin memberat sejak mendapatkan skorsing dari sekolah karena belum membayar uang sekolah dan ditegur karena berpacaran. Terdapat pikiran terlintas untuk minum pemutih pakaian dan secara tiba-tiba berpikir untuk meminum cairan tersebut. Pasien juga merasa kehilangan minat dan kegembiraan, mudah lelah, dan sulit untuk konsentrasi. Pasien merupakan anak yang keras kepala dan sulit diatur. Bila dikoreksi, pasien akan marah dan kabur dari rumah. Anak-anak dengan gejala depresi yang lebih parah kemungkinan besar mendapatkan manfaat dari pemberian antidepresan. Pada pasien perlu untuk diberikan farmakoterapi dan nonfarmakoterapi. Farmakoterapi pada kasus ini berupa fluoxetine 5 miligram intraoral tiap 24 jam (pagi). Nonfarmakoterapi dapat diberikan psikoterapi supportif, CBT, serta psikoedukasi. Penanganan konflik tidak hanya dilakukan kepada pasien saja namun juga kepada keluarga pasien. Konflik keluarga dan pola asuh orang tua bisa menjadi salah satu factor yang memperberat kondisi pasien saat ini.
GANGGUAN SKIZOAFEKTIF DENGAN KOMORBIDITAS DIABETES MELITUS : SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA ARIRAHMAYANTI, I GUSTI AYU EKA; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; SUHARDI, MUHAMAD
KNOWLEDGE: Jurnal Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Vol. 4 No. 3 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/knowledge.v4i3.3679

Abstract

The prevalence rate is that individuals with schizophrenia and schizoaffective disorder have more than twice the risk of developing type 2 diabetes mellitus (T2DM) compared to the general population. People on the schizophrenia spectrum are genetically predisposed to type II diabetes, accompanied by weight gain as a side effect of treatment, which is a risk factor for developing type 2 diabetes, which will worsen medical outcomes and mortality rates. This literature review involves 21 journal and book literature from the last 10 years regarding schizoaffective with comorbid diabetes mellitus. Different data sources and manual literature search methods were used to find related articles. The increase in comorbid DM in schizoaffective is related to mitochondrial dysfunction, the presence of shared susceptibility genes, and side effects of therapy. Functional proteins translated from shared genetic susceptibility genes are known to regulate neuronal development in the brain and insulin in the pancreas through several key cascades. Quetiapine, Ziprasidone, aripiprazole, and lurasidone have a lower metabolic risk profile. Olanzapine, clozapine and valproate are a high risk group for metabolic disorders. A much lower risk of DM was associated with lithium, lamotrigine, oxcarbazepine and bupropion monotherapy, single class selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) therapy and some drug combinations containing bupropion and SSRIs. Rational use of antipsychotics, metabolic monitoring and pharmacological and lifestyle modifications can also be carried out to reduce the risk of DM. Psychosis is a known risk factor for increasing metabolic syndrome. The existence of shared susceptibility genes between schizophrenia and DM, mitochondrial dysfunction, side effects of antipsychotic medication, antidepressants, mood stabilizers play a role in this. ABSTRAKAngka prevalensi individu penderita skizofrenia dan gangguan skizoafektif mempunyai risiko lebih dari dua kali lipat mengalami diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dibandingkan populasi umum. Orang dengan spektrum skizofrenia secara genetik cenderung mengalami diabetes tipe II disertai peningkatan berat badan sebagai efek samping pengobatan merupakan faktor risiko berkembangnya diabetes tipe 2 yang akan memperburuk luaran medis dan tingkat mortalitas. Tinjauan literatur ini melibatkan 21 literatur jurnal dan buku 10 tahun terakhir mengenai skizoafektif dengan komorbiditas diabetes melitus. Sumber data yang berbeda dan metode pencarian literatur manual digunakan untuk menemukan artikel yang berkaitan. Peningkatan komorbid DM pada skizoafektif berkaitan dengan disfungsi mitokondria, adanya gen kerentanan bersama, serta efek samping terapi. Protein fungsional yang ditranslasi dari gen kerentanan genetik bersama diketahui mengatur perkembangan saraf di otak dan insulin di pankreas melalui beberapa kaskade utama. Quetiapine, Ziprasidone, aripiprazole, dan lurasidone memiliki profil risiko metabolik yang lebih rendah. Olanzapine, clozapine dan valproat merupakan kelompok risiko tinggi terjadinya gangguan metabolisme. Risiko DM jauh lebih rendah dikaitkan dengan monoterapi litium, lamotrigin, oxcarbazepine dan bupropion, terapi kelas tunggal inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) dan beberapa kombinasi obat yang mengandung bupropion dan SSRI. Penggunaan antipsikotik yang rasional, pemantauan metabolik serta modifikasi farmakologis dan gaya hidup juga dapat dilakukan untuk mengurangi risiko DM. Psikosis merupakan faktor risiko yang diketahui meningkatkan sindrom metabolik. Adanya gen kerentanan bersama antara skizofrenia dan DM, disfungsi mitokondria, efek samping pengobatan antipsikotik, antidepresan, penstabil suasana hati berperan dalam hal tersebut.
TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI PADA DEPRESI REMAJA : LAPORAN KASUS ARIRAHMAYANTI, I GUSTI AYU EKA; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; AJI, I PUTU KRISNA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3780

Abstract

Adolescents are a population that is vulnerable to mental disorders, one of which is depressive disorder. Biological and psychosocial factors can influence the occurrence of depression. Psychosocial factors that play a role include family upbringing, life events and environmental stress as well as certain personality factors. In this case report, a 22 year old man, a 7th semester student, has not worked and is not married. The patient was diagnosed with moderate depressive disorder without somatic symptoms. The patient felt sad followed by feelings of annoyance and anger since 4 years ago since the patient started studying at a university. He felt sad and disappointed because he was not in a campus life that met his expectations. The feeling of sadness felt by the patient is followed by feelings of pessimism, failure and loss of self-confidence, feeling that there is no future anymore, often thinking about just dying. The patient has anankastic personality traits with neglected parenting. This patient's neglected parenting style causes the patient's id to become more dominant than the superego, resulting in ego defense mechanisms of projection, introjection and reaction formation. In this parenting style, parents tend not to care or be involved in the child's life. The patient fails to pass the Autonomy vs. Autonomy phase. Shame and Doubt, so that they experience feelings of anxiety or perfectionism. ABSTRAKRemaja merupakan populasi yang rentan mengalami gangguan mental, salah satunya adalah gangguan depresi. Faktor biologis dan psikososial dapat memengaruhi terjadinya depresi pada remaja. Faktor psikososial yang berperan antara lain faktor pola asuh keluarga, peristiwa kehidupan dan stres lingkungan serta faktor kepribadian tertentu. Pada laporan kasus ini, laki laki berusia 22 tahun, merupakan seorang mahasiswa semester 7, belum bekerja dan belum menikah. Pasien terdiagnosis dengan gangguan depresi sedang tanpa gejala somatik. Pasien merasa sedih diikuti oleh perasaan kesal dan marah sejak 4 tahun yang lalu sejak pasien mulai berkuliah di salah satu universitas. Ia merasa sedih dan kecewa karena ia tidak berada dalam kehidupan kampus yang sesuai harapannya. Perasaan sedih yang dirasakan pasien diikuti oleh perasaan pesimis, gagal dan kehilangan kepercayaan diri, merasa tidak ada masa depan lagi, sering terpikirkan untuk mati saja. Pasien memiliki ciri kepribadian anankastik dengan pola asuh neglected. Pola asuh orang tua yang neglected pada pasien ini menyebabkan id pasien menjadi lebih dominan daripada superego sehingga muncul mekanisme pembelaan ego proyeksi, introyeksi dan reaksi formasi. Pada pola asuh ini, orang tua cenderung tidak peduli maupun terlibat dalam kehidupan anak. Pasien gagal melewati fase Autonomy vs. Shame and Doubt, sehingga muncul mereka perasaan kecemasan atau perfeksionisme.
DINAMIKA KONFLIK PSIKODINAMIK, POLA ASUH, DAN STRESOR PSIKOSOSIAL PADA KASUS AGORAFOBIA PASARIBU, IMELDA LOREN M.; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; WARDANI, IDA AJU KUSUMA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4354

Abstract

This qualitative study utilizes a case study approach that combines observational and biographical studies. The subject is a 26-year-old Balinese woman with a high school education, unmarried, and self-employed. The patient was diagnosed with agoraphobia and panic disorder, reporting anxiety that arises in crowded places, public settings, while waiting in line, or when alone at home. She had experienced these symptoms for three years, with significant worsening in the five months before she visited the psychiatric clinic. This condition has subsequently limited her daily activities and work. The findings of this study indicate that the patient’s mental health disorder stems from complex internal conflicts involving the interplay of biopsychosocial and cultural factors. Ambivalent parenting styles, economic difficulties and prolonged parental relationship conflicts contribute to the patient’s mental health condition. If left unmanaged, these issues may lead to additional problems and stressors for both the patient and her family. Overall, this case underscores the importance of understanding psychodynamic conflicts rooted in parenting patterns, family environment, and psychosocial stressors in the diagnosis and treatment of agoraphobia. It enriches the clinical perspective in designing holistic therapeutic interventions. ABSTRAKPenelitian ini merupakan penelitian kualitatif melalui pendekatan studi kasus menggabungkan studi observasi dan studi biografi. Seorang perempuan 26 tahun, Bali, pendidikan SMA, belum menikah, wiraswasta. Pasien didiagnosa dengan agorafobia dengan gangguan panik, mengeluhkan cemas yang muncul ketika berada di keramaian, di tempat umum, sedang mengantri atau ketika di rumah sendirian. Hal ini sudah dialami selama 3 tahun ini dan memberat dalam 5 bulan sebelum datang ke poliklinik jiwa. Kondisi ini kemudian membatasi aktivitas dan pekerjaan pasien. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa gangguan jiwa yang dialami pasien merupakan akibat dari konflik internal yang kompleks, yang melibatkan interaksi faktor biopsikososiokultural. Pola asuh ambivalensi, masalah ekonomi, konflik hubungan orang tua yang berkepanjangan berperan dalam kondisi gangguan jiwa yang dialami pasien. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik maka akan memunculkan masalah dan stresor baru bagi pasien dan keluarga. Secara keseluruhan, kasus ini menyoroti pentingnya pemahaman terhadap konflik psikodinamik, yang berakar pada pola asuh, lingkungan keluarga, dan stressor psikososial dalam diagnosis serta penanganan agorafobia. Hal ini memperkaya perspektif klinis dalam merancang intervensi terapeutik yang holistik.
GANGGUAN MOOD PADA ANAK DENGAN IBU KEPRIBADIAN AMBANG: LAPORAN KASUS NEGARA, NI WAYAN WIRAYANTI PUTRI; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; WINDIANI, I GUSTI AYU TRISNA; ADNYANA, I GUSTI AGUNG NGURAH SUGITHA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4355

Abstract

ABSTRACT Childhood is an important phase in personality formation, but it is often accompanied by psychological problems that affect child development. Child development is greatly influenced by various factors, including parenting patterns. Data in this case study were obtained through in-depth interviews, medical records and psychometric examinations and projection tests aimed at seeing how mood disorders in children who have mothers with borderline personality. The patient is a 9-year-old boy who shows symptoms of aggression, hallucinations, unstable moods, and feelings of emptiness and loneliness. The child in this case shows problems with emotional dysregulation due to inconsistent parenting and environmental stress. The patient's mother has a borderline personality characterized by difficulty controlling emotions, extreme mood swings, and unstable behavior, which negatively affects parenting patterns. Studies show that mothers with borderline personality tend to create unstable environments, increase the risk of insecure attachment in children, and affect their emotional regulation. This case study highlights the importance of understanding the relationship between parental personality disorders and parenting, and their impact on child development. Interventions in parenting and support for families at risk of psychopathology can be preventive steps to reduce the incidence of mood disorders in children. ABSTRAKMasa kanak-kanak adalah fase penting dalam pembentukan kepribadian, namun sering disertai masalah psikologis yang memengaruhi perkembangan anak. Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya pola asuh orangtua. Data dalam studi kasus ini diperoleh melalui wawancara mendalam, catatan rekam medis dan pemeriksaan psikometri dan tes proyeksi yang bertujuan untuk melihat bagaimana gangguan mood pada anak yang memiliki ibu dengan kepribadian ambang. Pasien adalah anak laki-laki 9 tahun yang menunjukkan gejala agresivitas, halusinasi, mood yang tidak stabil, serta rasa hampa dan kesepian. Anak dalam kasus ini menunjukkan masalah disregulasi emosi akibat pola asuh yang tidak konsisten dan tekanan lingkungan. Ibu pasien memiliki kepribadian ambang yang ditandai dengan kesulitan mengendalikan emosi, perubahan suasana hati yang ekstrem, dan perilaku tidak stabil, yang memengaruhi pola pengasuhan secara negatif. Studi menunjukkan bahwa ibu dengan kepribadian ambang cenderung menciptakan lingkungan yang tidak stabil, meningkatkan risiko kelekatan yang tidak aman pada anak, dan memengaruhi regulasi emosinya. Studi kasus ini menyoroti pentingnya memahami hubungan antara gangguan kepribadian orang tua dan pengasuhan, serta dampaknya pada perkembangan anak. Intervensi pada pola asuh dan dukungan bagi keluarga dengan risiko psikopatologi dapat menjadi langkah preventif untuk menurunkan kejadian gangguan mood pada anak.
ASPEK SPIRITUAL DAN PENGGUNAAN ‘SPIRITUAL HEALTH ASSESSMENT SCALE’ DALAM RAWATAN HOSPICE: ARTICLE REVIEW JIMMY, JIMMY; ARIANI, NI KETUT PUTRI; SUTRISNA, I PUTU BELLY; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; KURNIAWAN, LELY SETYAWATI; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4357

Abstract

The goal of hospice care is to relieve patient’s physical, psychological, social, and spiritual stress who are nearing the end of life, thereby ultimately improving the quality of life because hospice care views humans from a holistic perspective. Spirituality is a dynamic and essential aspect of humanity that includes the search for highest meaning, purpose in life, transcendence and connection with oneself, family and others which is manifested in beliefs, values, traditions and practices. This has had a positive impact that includes spiritual well-being, quality of life, adaptation, physical and psychological health which ultimately meets the needs of patients and families in finding meaning and purpose in life, restoring relationships and love and being able to accept death and maintain hope and support a dignified death. Mean center and Dignitiy psychotherapy has been tested as a psychotherapy that focuses on the patient's meaning and dignity. Spirituality is a concept that is not limited to religion and is a key concept in the care of terminal illness. Therefore, spiritual care is an important element of hospice care that significantly influences the quality of all care provided. The spiritual care guidance and assessment model was developed as a care guide in the fundamental and spiritual aspects of human beings in hospice care. Spiritual Health Assessment Scale (SHAS) is a scale developed to assess spiritual health that is used for the entire community and is not based only on religion which contains 3 domains in the form of self-development, self-actualization and self-realization. ABSTRAKTujuan dari perawatan hospice adalah untuk meringankan tekanan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual pasien yang mendekati akhir hidup sehingga pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup karena rawatan hospice memandang manusia dari sudut pandang holistik. Spiritual adalah aspek dinamis dan essensial dari kemanusiaan yang mencakup pencarian makna tertinggi, tujuan hidup, transendensi dan hubungan dengan diri sendiri, keluarga dan orang lain yang terwujud dalam keyakinan, nilai, tradisi dan praktik. Hal ini telah memiliki dampak positif yang mencakup kesejahteraan spiritual, kualitas hidup, adaptasi, kesehatan fisik dan psikologis yang akhirnya memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga dalam menemukan makna dan tujuan hidup, memulihkan hubungan dan cinta serta bisa menerima kematian dan mempertahankan harapan serta mendukung kematian yang bermartabat. Mean center and Dignitiy psychotherapy telah diuji sebagai psikoterapi yang berfokus pada makna dan martabat pasien. Spritual adalah konsep yang tidak terbatas pada agama dan konsep kunci dalam tanda penting dalam perawatan penyakit terminal. Oleh karena itu , perawatan spiritual merupakan elemen penting dari perawatan hospice yang secara signifikan mempengaruhi kualitas seluruh perawatan yang diberikan.Model panduan perawatan spiritual dan penilaian dikembangkan sebagai panduan perawatan dalam aspek fundamental dan spiritual manusia dalam perawatan hospice. Spiritual Health Assessment Scale (SHAS) merupakan skala yang dikembangkan untuk mengkaji kesehatan spiritual yang digunakan untuk seluruh masyarakat dan tidak berdasarkan hanya pada agama yang berisi 3 dormain berupa pengembangan diri, aktualisasi diri dan realisasi diri
GANGGUAN EMOSI PADA ANAK ADOPSI WEDASTRA, I MADE; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; PRAMAYANTI, NI NYOMAN TRI
Jurnal Hasil Penelitian dan Pengembangan (JHPP) Vol. 1 No. 3 (2023): Juli
Publisher : Perkumpulan Cendekia Muda Kreatif Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61116/jhpp.v1i3.161

Abstract

Adopsi merupakan pengangkatan seorang anak yang diperlakukan sebagai anak kandung atau anak sendiri sehingga anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak kandung. Praktik adopsi sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, digunakan sebagai suatu cara untuk tetap mempertahankan garis keturunan, budaya dan agama serta dapat memberikan perawatan dan perlindungan pada anak yang tidak memilki orang tua biologis. Proses adopsi bukanlah solusi yang mudah dan sederhana, dibutuhkan kesiapan dari orang tua calon anak adopsi memahami tantangan dan tanggung jawab yang terkait perkembangan emosional dan sosial anak, serta membantu mengatasi potensi gangguan emosi yang mungkin terjadi. Perubahan dalam pengasuhan dan pola asuh sebelumnya dapat mempengaruhi perkembangan emosi dan psikologis anak adopsi. Proses adaptasi ini dapat menimbulkan stres dan tantangan bagi anak, yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas, kepercayaan diri, serta hubungan sosialnya. Desain penelitian ini adalah tinjauan pustaka. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak adopsi memiliki risiko yang sedikit lebih tinggi untuk mengalami masalah emosional dan perilaku dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami adopsi. Beberapa gangguan mental yang telah dikaitkan dengan anak adopsi termasuk ADHD, gangguan perilaku, cemas perpisahan, cemas fobik/sosial, sibling rivalry hingga gangguan depresi, bipolar, dan gangguan psikotik seperti skizofrenia.
EFEKTIVITAS COGNITIVE AND BEHAVIORAL INTERVENTIONS DALAM MENGURANGI RASA TAKUT JATUH (FEAR OF FALLING) PADA PASIEN LANJUT USIA: SEBUAH LAPORAN KASUS BERBASIS BUKTI Putri, Dewa Ayu Dwi Megantari; Widyarini, I Gusti Agung Ayu; Aji, I Putu Dharma Krisna; Ardani, I Gusti Ayu Indah; Ariani, Ni Ketut Putri
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i1.4991

Abstract

Elderly individuals have a high risk of falling along with declining physical condition. This decline in physical condition can result in the emergence of a fear of falling which then has an impact on various psychological problems. This can reduce the quality of life of individuals, so further intervention is needed to reduce psychological problems related to falling. Therefore, this evidence-based case report was compiled to determine the effectiveness of cognitive and behavioral therapy interventions in elderly individuals who have a fear of falling. Methods: Article searches were conducted in five scientific journal databases, namely PubMed, Wiley Online Library, Google Scholar, EbscoHost, and Cochrane. Article searches were conducted with specific keywords to obtain appropriate results. Study selection was carried out using predetermined inclusion and exclusion criteria. Results: From the selection process, 1 systematic review study was obtained that was in accordance with the clinical question. The study showed moderate but significant results in reducing fear after short-term intervention (SMD: ?0.30, 95% CI ?0.50, ?0.10) and in the long term (SMD: ?0.29, 95% CI (?0.49, ?0.09). Conclusion: Cognitive and behavioral interventions can be an intervention option to overcome fear of falling in the elderly. ABSTRAKIndividu lanjut usia memiliki resiko jatuh yang tinggi seiring dengan menurunnya kondisi fisik. Penurunan kondisi fisik ini dapat mengakibatkan munculnya rasa takut jatuh yang kemudian berdampak pada berbagai masalah psikologis. Hal tersebut dapat menurunkan kualitas hidup pada individu, sehingga sangat diperlukan intervensi lebih lanjut untuk mengurangi masalah psikologis terkait dengan jatuh. Oleh karena itu, laporan kasus berbasis bukti ini disusun untuk mengetahui efektivitas intervensi terapi kognitif dan perilaku pada individu lanjut usia yang memiliki rasa takut jatuh (fear of falling). Metode: Pencarian artikel dilakukan di lima database jurnal ilmiah yaitu PubMed, Wiley Online Library, Google Scholar, EbscoHost, dan Cochrane. Pencarian artikel dilakukan dengan kata kunci spesifik untuk mendapatkan hasil yang sesuai. Seleksi studi dilakukan dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditentukan. Hasil: Dari proses seleksi didapatkan 1 studi tinjauan sistematis yang sesuai pertanyaan klinis. Studi menunjukan hasil pengaruh sedang namun signifikan di dapatkan pada penurunan rasa takut setelah dilakukan intervensi jangka pendek (SMD: ?0.30, 95% CI ?0.50, ?0.10) dan pada jangka panjang (SMD: ?0.29, 95% CI (?0.49, ?0.09). Kesimpulan: Intervensi kognitif dan perilaku dapat menjadi pilihan intervensi untuk mengatasi rasa takut jatuh pada lanjut usia.