Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

HUBUNGAN SINDROMA MATA KERING / DRY EYE SYNDROME (DES) DENGAN GEJALA DEPRESI PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Widiastuti, Ni Sayu Putu Ayu; Sutyawan, I Wayan Eka; Andayani, Ary; Djelantik, AAA Sukartini
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 9 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i09.P03

Abstract

Sindroma mata kering merupakan kumpulan gejala pada lapisan air mata yang mengakibatkan penurunan produksi air mata ataupun penguapan air mata secara berlebihan. Kondisi ini belum mempunyai data pasti mengenai berapa jumlah penderitanya di masyarakat, akibat sulitnya menegakkan diagnosis sehingga pengobatannya menjadi terhambat. Gejala depresi merupakan gangguan yang menunjukan perasaan cemas, bingung serta panik secara simultan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sindroma mata kering dengan gejala depresi pada Mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (PSSKPD FK UNUD). Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dalam rentang waktu Januari – November 2020. Penelitian merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan metode cross-sectional serta menggunakan 217 responden yang dipilih dengan metode konsekutif sampling yang mengisi kuesioner OSDI (Ocular Surface Diseases Index) serta kuesioner BDI-II (Beck’s Depression Inventory II). Hasil penelitian ditemukan adanya hubungan bermakna antara sindroma mata kering terhadap gejala depresi (p = 0.001) dengan hubungan lemah (r = 0.251). Hal ini disebabkan karena sindroma mata kering bersifat kronis sehingga dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Sehingga menyebabkan adanya suatu korelasi negatif antara sindroma mata kering dengan gejala depresi yang muncul. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor lainnya yang dapat mempengaruhi gejlaa depresi yang muncul pada penderita mata kering. Kata Kunci: sindroma mata kering, OSDI, BDI-II, gejala depresi
PROFIL PENGGUNA LENSA KONTAK PADA PELAJAR SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KECAMATAN DENPASAR UTARA Wedayanti, Pande Made Gita; Sutyawan, I Wayan Eka; Handayani, Ariesanti Tri; Triningrat, Anak Agung Mas Putrawati
E-Jurnal Medika Udayana Vol 13 No 6 (2024): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2024.V13.i06.P18

Abstract

Penggunaan lensa kontak khususnya pada remaja semakin meningkat, baik untuk keperluan kosmetik maupun untuk memperbaiki kelainan refraksi. Namun, peningkatan ini tidak diikuti oleh perilaku yang baik sehingga rentan mengalami gangguan pada mata. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil pengguna lensa kontak pada pelajar Sekolah Menengah Atas di Kecamatan Denpasar Utara. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional yang diikuti oleh 35 orang pelajar dengan riwayat penggunaan lensa kontak. Seluruh subjek penelitian mengisi kuesioner mengenai perilaku dalam penggunaan lensa kontak setelah mendapat persetujuan dari orang tua/wali. Diperoleh data yang menunjukkan bahwa populasi pelajar pengguna lensa kontak didominasi oleh perempuan (94.29%). Seluruh responden menggunakan jenis lensa kontak lunak dan sebagian besar responden menggunakan lensa kontak dengan alasan untuk memperbaiki kelainan refraksi (65.71%). Jadwal penggantian lensa kontak didominasi oleh jadwal penggantian bulanan (54.29%). Lebih dari setengah responden pada penelitian ini telah menggunakan lensa kontak selama ?6 bulan (54.29%) dan didominasi oleh durasi penggunaan <6 jam dalam sekali pemakaian (48.58%). Penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 62.86% responden memiliki perilaku penggunaan lensa kontak yang termasuk dalam kategori cukup. Sebanyak 42.86% pelajar memiliki riwayat keluhan terkait penggunaan lensa kontak yang didominasi oleh keluhan mata berair (11.43%). Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar pengguna lensa kontak belum mengikuti standar penggunaan dan perawatan lensa kontak yang benar. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu adanya edukasi kepada pengguna lensa kontak untuk meningkatkan perilaku penggunaan dan perawatan lensa kontak yang baik sehingga mampu mengurangi keluhan dan komplikasi terkait penggunaan lensa kontak.
OVERVIEW OF CONTACT LENS USE IN MEDICAL FACULTY STUDENTS UDAYANA UNIVERSITY Cawis, Ni Luh Suras Amoura; Surasmiati, Ni Made Ayu; Utari, Ni Made Laksmi; Sutyawan, I Wayan Eka
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 4 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i04.P15

Abstract

ABSTRAK Lensa kontak digunakan sebagai alat bantu penglihatan pada gangguan refraksi dan untuk gaya hidup. Penggunaan lensa kontak sering tanpa disertai pengetahuan cara perawatan sehingga menimbulkan komplikasi seperti mata merah. Bertambahnya jumlah pengguna lensa kontak mengakibatkan komplikasi lensa kontak juga meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan lensa kontak berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis lensa kontak, pola penggunaan, intensitas penggunaan, perawatan dan komplikasi. Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang menggunakan data kuesioner dan diolah menggunakan SPSS. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 232 mahasiswa menggunakan lensa kontak. Hasil penelitian menunjukan bahwa usia pengguna lensa kontak terbanyak adalah 20 tahun sebanyak 46,1%, mayoritas adalah perempuan yaitu sebanyak 94,4%. Sebanyak 96,6% mahasiswa menggunakan lensa kontak lunak dengan pola penggunaan harian sebanyak 100%. Intensitas penggunaan lensa kontak paling banyak adalah kurang dari sekali sebulan yaitu 49,1%. Cara perawatan yang banyak dilakukan adalah dibilas, direndam dan dibersihkan menggunakan enzim pembersih protein sebanyak 53,4%. Mahasiswa yang mengalami mata merah sebanyak 61,6% dan keluhan lain yang banyak dialami adalah gatal dan berair sebanyak 19,4%. Pengguna lensa kontak sebanyak 91,8% tidak berkonsultasi ke dokter mata. Dari penelitian disimpulkan bahwa penting dilakukan pemantauan lanjutan terutama pada mahasiswa yang memiliki risiko guna mengurangi komplikasi pada penggunaan lensa kontak. Kata kunci : lensa kontak, mahasiswa, mata merah.
Gambaran Glaukoma Primer Sudut Terbuka Pada Pasien Di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Periode Januari 2020 – Desember 2020 Shanty, Ni Made Ayudia; Triningrat, Anak Agung Mas Putrawati; Sutyawan, I Wayan Eka; Kusumadjaja, I Made Agus
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 4 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i04.P01

Abstract

Glaukoma primer sudut terbuka dikarakterisitikan sebagai suatu neuropati saraf optik yang bersifat kronis dan progresif, dengan morfologi tertentu tanpa disertai penyakit atau kelainan kongenital dengan sudut bilik mata terbuka yang menyebabkan defek penglihatan permanen. Kerusakan saraf optik pada glaukoma primer sudut terbuka terus terjadi walaupun peningkatan tekanan intraokular tidak signifikan atau bahkan normal. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui gambaran glaukoma primer sudut terbuka pada pasien di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Periode Januari 2020- Desember 2020. Penelitian deskriptif retrospektif dengan metode cross-sectional. Data penelitian berupa rekam medis yang masuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi melalui teknik total sampling. Data diolah menggunakan perangkat komputer SPSS versi 21 untuk mencari distribusi frekuensi dan persentase dari karakteristik usia, jenis kelamin, mata yang terlibat, tekanan intraokular, cup/disc ratio, keluhan utama, dan lapang pandang. Penelitian memperoleh 25 sampel terdiri atas 42 mata yang terdiagnosa glaukoma primer sudut terbuka. Hasil penelitian, glaukoma primer sudut terbuka terbanyak berusia 60-80 tahun sebesar 17 orang dengan persentase 68%. Kejadian pada pria lebih tinggi daripada wanita. Sebagian besar glaukoma primer sudut terbuka terjadi secara bilateral (68%). TIO ?21 mmHg normal lebih tinggi (57,2%) dibandingkan TIO >21 mmHg(42,8%). CDR terbanyak dengan nilai 0,6-0,8 dan 0,9-1 (35,7%). Glaukoma primer sudut terbuka dengan keluhan utama pandangan kabur terbesar dengan persentase 72%. Kata kunci: glaukoma primer sudut terbuka, karakteristik, TIO, CDR
GAMBARAN KUALITAS HIDUP PASIEN STRABISMUS MENGGUNAKAN KUESIONER ADULT STRABISMUS 20 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH PERIODE JANUARI 2019 - DESEMBER 2020 Elvira, .; Surasmiati, Ni Made Ayu; Putrawati Triningrat, Anak Agung Mas; Sutyawan, I Wayan Eka; Manuaba, Ida Bagus Putra
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 4 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i04.P07

Abstract

Latar Belakang: Strabismus merupakan keadaan posisi kedua mata tidak sejajar yang disebabkan oleh abnormalitas penglihatan binokuler atau anomali kontrol neuromuskuler terhadap motilitas okuler. Seseorang dengan strabismus dapat mengalami penurunan kualitas hidup, memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan keterbatasan dalam pengembangan diri. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tatalaksana pada pasien strabismus. Tujuan: Mengetahui karakteristik kualitas hidup pasien dengan strabismus sebelum dan sesudah operasi strabismus dengan menggunakan kuesioner Adult Strabismus (AS-20). Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Data dikumpulkan restrospektif berdasarkan rekam medis dan kuesioner AS-20 di Poliklinik Mata Divisi Strabismus RSUP Sanglah. Data karaktristik pasien menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuesioner AS-20 menggunakan uji T tes berpasangan dan tes wilcoxon sign rank. Hasil: Subjek penelitian berjumlah 15 orang, terdiri atas delapan (53,3%) laki-laki dan mayoritas berusia 20-29 tahun. Sembilan (60%) subjek penelitian mengeluhkan penglihatan buram dan empat (26,7%) mengeluhkan diplopia. Mayoritas subjek memiliki deviasi lebih besar dari 20 prisma dioptri dengan diagnosis terbanyak adalah eksotropia intermiten (46,7%). Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner AS-20 didapatkan peningkatan signifikan antara sebelum dan setelah operasi secara umum, aspek psikososial, dan fungsional (P<0,05). Tidak didapatkan hubungan jenis kelamin atau jenis strabismus dengan kualitas hidup pasien. Simpulan: Pasien strabismus mengalami penurunan kualitas hidup pada aspek fungsional dan psikososial. Terapi pembedahan dapat memperbaiki manifestasi strabismus. Berdasarkan kuesioner AS-20 didapatkan peningkatan kualitas hidup pasien seiring dengan perbaikan manifestasi klinis setelah pasien menjalani operasi strabismus.
PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK USIA REMAJA DI SMP NEGERI 3 DENPASAR PADA TAHUN 2021 Arianingtyas, Ni Made Dwitya; Triningrat, Anak Agung Mas Putrawati; Utari, Ni Made Laksmi; Sutyawan, I Wayan Eka
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 11 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i11.P06

Abstract

Refractive error is a condition in which a firm image is not formed on teh retina but on the front or back of the yellow spot and is not located at a sharp poiyn. There are three refractive errors, namely myopia, hypermetropia, astigmatism or a mixture of these disorders. Among these refractive errors, myopia is the most common. The purposes of this study was to find study was to find out how the prevalence and characteristik of refractive errors in adolescent children at SMP Negeri 3 Denpasar in 2021. The design of this study used a cross sectional method where the sample collection in this study was conducted non-randomly (non-probability sampling) with purposive technique sampling. Data analysis was carried out descriptively by looking at the percentageand frequency values. In this study, as many as 232 students filled out the questionnaire, but only 46 studentd uses glasses. The characteristics of adolescents with refractive error at SMP Negeri 3 Denpasar were 36 children (78.3%) aged 14 years, which weredominated by women as many as 27 children (58.7%). In children, refractive errors are more common in the growth period where increased activity coincides with increased eye activity through near vision activities. The conclusion of this study is that the prevalence of the use of glasses in adolescents with refractive errors at SMP Negeri 3 Denpasar is 46 children (19.8%) of the 232 adolescent students who filled out the questionnaire.
Terapi Pseudoexfoliation Glaucoma Wirananda Setiawan, Nyoman Budhi; Suryaningrum, I Gusti Ayu Ratna; Sutyawan, I Wayan Eka; Mendala, Deasy Sucicahyati
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 3 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i03.P17

Abstract

translator Afrikaans Albanian - shqipe Arabic - ??????????? Armenian - ??????? Azerbaijani - az?rbaycanca Basque - euskara Belarusian - ?????????? Bengali - ????? Bulgarian - ????????? Catalan - català Chinese - ???????? Chinese - ?? (????) Croatian - hrvatski Czech - ?eština Danish - dansk Dutch - Nederlands English Esperanto - esperanto Estonian - eesti Filipino Finnish - suomi French - français Galician - galego Georgian - ??????? German - Deutsch Greek - ???????? Gujarati - ??????? Haitian Creole - kreyòl ayisyen Hebrew - ????????? Hindi - ?????? Hungarian - magyar Icelandic - íslenska Indonesian - Bahasa Indonesia Irish - Gaeilge Italian - italiano Japanese - ??? Kannada - ????? Korean - ??? Latin - Lingua Latina Latvian - latviešu Lithuanian - lietuvi? Macedonian - ?????????? Malay - Bahasa Melayu Maltese - Malti Norwegian - norsk Persian - ????????? Polish - polski Portuguese - português Romanian - român? Russian - ??????? Serbian - ?????? Slovak - sloven?ina Slovenian - slovenš?ina Spanish - español Swahili - Kiswahili Swedish - svenska Tamil - ????? Telugu - ?????? Thai - ??? Turkish - Türkçe Ukrainian - ?????????? Urdu - ???????? Vietnamese - Ti?ng Vi?t Welsh - Cymraeg Yiddish - ????? Double-click Select to translate Latar Belakang: Pseudoexfoliation glaucoma adalah salah satu jenis secondary open-angle glaucoma yang disebabkan oleh akumulasi protein fibril pada trabecular meshwork. Obat, bedah, laser, atau kombinasi terapi merupakan pilihan terapi yang tersedia saat ini. Review sistematik ini bertujuan untuk membandingkan beberapa terapi-terapi tersebut terhadap tekanan intraokular serta komplikasi/efek samping pada pasien dengan pseudoexfoliation glaucoma. Metode: Kami mengambil sumber data berupa studi primer dari database elektronik yaitu MEDLINE dan Cochrane dalam rentang tahun 2010-2020, berbahasa Inggris, dengan desain studi clinical trial atau observasional. Setelah dilakukan ekstraksi data maka dilanjutkan dengan penilaian terhadap abstrak, desain studi, partisipan, outcome, risk of bias, dan strength of evidence. Hasil: Outcome dalam penelitian sangat bervariasi yang kami kelompokkan menjadi dua variabel yaitu tekanan intraokular dan komplikasi/efek samping. Rata-rata penurunan TIO berkisar antara 4,71 mmHg (dengan SLT pada perilimbus) hingga 14,00 mmHg (dengan trabekulektomi + bevacizumab). Komplikasi yang umum ditemui yaitu inflamasi pada anterior chamber. Limitasi: Banyak studi memaparkan outcome yang heterogen dan beberapa partisipan penelitian tidak murni menggunakan pasien pseudoexfoliation glaucoma. Kesimpulan: Beberapa terapi obat, bedah, laser, maupun kombinasi untuk pseudoexfoliation glaucoma efektif dalam menurunkan tekanan intraokular. Meskipun demikian, perlu adanya perhatian untuk dokter umum maupun dokter spesialis mata terkait beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat terapi-terapi tersebut.
Congenital Orbital Teratoma of the Newborn: A Rare Case Report Yuliawati, Putu; Wetarini, Krisnhaliani; Sutyawan, I Wayan Eka; Surasmiati, Ni Made Ayu; Utari, Ni Made Laksmi; Sunariasih, Ni Nyoman
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 33 No. 2 (2024)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2024.033.02.19

Abstract

Congenital orbital teratoma is a rare and complex congenital anomaly due to abnormal tissue growth within the orbit. This case report aims to highlight the significance of early prenatal screening in identifying congenital orbital teratoma and its potential complications. A 6-day-old male newborn presented with macrocephaly and a unilateral massive protrusion of the left eye. Prenatal ultrasonography performed at 36 weeks gestation showed a suspicion of fetal craniofacial mass. Further brain CT scan revealed an orbital heterogeneous mass, with calcified components dominantly in the anterior and middle cranial fossa into the left orbit, which was subsequently diagnosed as congenital orbital teratoma associated with non-communicating hydrocephalus. This finding prompted an urgent ventriculoperitoneal (VP) shunt. Unfortunately, despite prompt intervention, the patient passed away after the procedure. Pathological examination was compatible with an immature teratoma. Multidisciplinary management is warranted to improve diagnostic screening and refine management strategies for better outcomes in such cases.
Effect in Pain Scale of Trocar Insertion, Onset, and Duration of Anesthesia of Subtenon Anesthesia without Premedication Compared with Premedication in Pars Plana Vitrectomy: A Randomized Controlled Trial Andayani, Ari; Agrasidi, Putu Anindya; Sutyawan, I Wayan Eka; Widiana, I Gde Raka; Widnyana, I Made Gede; Pemayun, Cok Istri Dewiyani
International Journal of Psychology and Health Science Vol. 3 No. 2 (2025): International Journal of Psychology and Health Science (April - June 2025)
Publisher : Greenation Publisher & Yayasan Global Research National

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/ijphs.v3i2.810

Abstract

Effect in Pain Scale of Trocar Insertion, Onset, and Duration of Anesthesia of Subtenon Anesthesia without Premedication Compared with Premedication in Pars Plana Vitrectomy: A Randomized Controlled Trial. Background: Pars plana vitrectomy (PPV) has traditionally been performed under general anesthesia. However, in recent years, regional anaesthetic techniques such as subtenon block have gained popularity due to their safety and effectiveness, reducing the risk of severe complications associated with needle-based blocks. Patients and Methods: This randomized controlled trial (RCT) was conducted between November 2023 to March 2024 at a tertiary teaching hospital in Indonesia. A total of 30 patients undergoing vitrectomy were randomized assigned to one of two groups: with premedication or without premedication. The primary outcomes evaluated were the pain scale during trocar insertion, the onset of anesthesia, and the duration of anesthesia. Statistical analyses were performed using the Mann-Whitney U test and ANCOVA. Results: No significant differences were observed between the two groups regarding the pain scale during trocar insertion, the onset of anesthesia, or the duration of anesthesia (p<0.001). However, after adjusting for diagnosis and type of the therapy, the group without premedication demonstrated a significantly longer duration of anesthesia. Conclusion: Subtenon anesthesia without premedication represents a viable alternative for pars plana vitrectomy. It offers practical benefits, such as eliminating the need for fasting and intravenous line placement, while maintaining patient and operator comfort.    
Emerging Challenges of Acute Bilateral Diabetic Cataract in Pediatric: Insight to Early Detection and Management– A Case Report Valentina, Clara; Sutyawan, I Wayan Eka; Surasmiati, Ni Made Ayu; Kusumadjadja, I Made Agus; I Wayan Gede Jayanegara
Majalah Oftalmologi Indonesia Vol 51 No 2 (2025): Ophthalmologica Indonesiana
Publisher : The Indonesian Ophthalmologists Association (IOA, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35749/journal.v51i2.101671

Abstract

Purpose: To report rare case of acute bilateral cataract in pediatric with Type 1 Diabetes Mellitus as ocular complication despite of good glycaemic controls and its management. Methods: A 17-year-old male patient complained of blurry vision and glare in both eyes(BE) since 3 months in newly diagnosed T1DM (HbA1c 10% --> now 6.3%). Visual Acuity (VA) was 6/45PH6/21f2, with correction S-1.50 advancing to 6/18 in BE. Slitlamp examination of BE revealed lens opacity (P3),central position, 3mm in diameter, retinometri 0.32. Posterior segment evaluation and intraocular pressure (IOP) were within normal limits. Right eye (RE) was underwent lensectomy and IOL insertion under GA. Results:  Postoperative RE with final VA of 6/18 PHNI and IOP of 43 mmHg. Patient was given antiinflammation eyedrops, oral and topical antiglaucoma, and received controlled final IOP of 8mmHg within 3 days and remain stable until now without antiglaucoma. Result was satisfying despite of uncomplicated secondary glaucoma as short-term complication that resolved with therapy. Evaluation and close monitoring postoperatively is needed and play significant role in visual outcome. Conclusions: Early detection for ocular complication in DM is needed as cataract genesis process still progressing despite of good glycaemic control. Ocular manifestation may present as early sign of undiagnosed T1DM or as its complications. Comprehensive and holistic multidicipline treatment, glycaemic control,  and routine evaluation is essential and play significant role in the success of metabolic cataract therapy and progression of microvascular complications due to DM. Lensectomy + IOL implantation still the mainstay therapy in pediatric cataract.  Awareness play vital role as it possibly cause decreased vision and or amblyopia, leading to blindness.