Dewi Ayu Wisnu Wardani
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

RITUAL RUWATAN MURWAKALA DALAM RELIGIUSITAS MASYARAKAT JAWA Dewi Ayu Wisnu Wardani
Widya Aksara Vol 25 No 1 (2020)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.575 KB)

Abstract

Ruwatan Murwakala is a ritual tradition that is still preserved by most Javanese people. Javanese society is a society that is rich in treasures and traditions from the ancestors and with this the Javanese people have to maintain Javanese culture. Javanese values ??are stored behind ritual symbols, while some Javanese are no longer able to read and understand the language of these symbols. As a result, Javanese rituals such as Ruwatan Murwakala are increasingly distant from his heir. Ruwatan ceremony is a Javanese traditional ceremony full of meaning. However, explanations and studies that are able to bridge the ritual to the people of Java so far have not understood. The puppet show with the Murwakala play is a depiction of the growth and development of the catastrophe (crime, destruction) and extinction. In order to ward off the threat of the safety of human life, Dalang Kandhabuwana needs to be shown, namely the depiction of Bhatara Vishnu who has the authority to deal with all the disasters waged by Bhatara Kala. Dalang Kandhabuwana is an authorized force and serves as a savior of human life by "breaking" the ferocity of Bhatara Kala. Therefore the Murwakala play is also called the Dhalang Kandhabuwana (murwakala, mastering Bhatara Kala) or Kanalangaru Dhalang. In the traditional ruwatan accompanied by puppet performances. Puppeteer Kandhabuwana is a protector and savior of the world who acts with all excellence: (1) Kandhabuwana is a speaker of the nature of life, (2) is wise and wise, (3) able to read the Kalachakra rajah, (4) can master the Bhatara Kala, and (5) purifier of any interference that threatens humans. Murwakala which to support various participants has various meanings in cultural life and human safety, among others (1) Murwakala ritual ceremony is a sacred custom, (2) Murwakala ruwatan is a pasemon (pralambang) which contains instructions on ceremonies regulating human survival, namely that humans avoid evil (destruction) should be willing to learn about the nature of life through wisdom and policy as illustrated by the qualities of the Dalang Kandhabuwana (Bhatara Vishnu). In a series of ruwatan rituals, Rajah Kalachakra is a way back, it contains a mantra as a repellent or disaster for human safety.
PERAN PASRAMAN ASTIKA SIDHI DALAM MENUMBUHKAN SRADHA DAN BHAKTI GENERASI MUDA HINDU DI KABUPATEN KLATEN JAWA TENGAH Edi Sutrisno; Dewi Ayu Wisnu Wardani
Widya Aksara Vol 25 No 2 (2020)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting, bangsa besar pasti memiliki sistem pendidikan yang baik. Begitu pula dengan pendidikan agama, pemerintah sudah mengatur pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam PP No 55 Tahun 2007 dan PMA No 56 Tahun 2014. Pasraman Astika Sidhi merupakan pasraman pemersatu dari pasraman-pasraman yang ada di daerah dan selalu diminati oleh generasi muda Hindu yang ada di Kabupaten Klaten. Pelaksanaan pasraman Astika Sidhi dilaksanakan di aula gedung pitamaha dan STHD Klaten Jawa Tengah untuk peserta kategori anak dan ditempat yang berbeda-beda setiap tahunnya untuk peserta kategori dewasa dan umum. Peran pasraman Astika Sidhi adalah turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendukung dan menerapkan PP No 55 tahun 2007 dan PMA No 56 tahun 2014, mencetak generasi muda Hindu yang memiliki jiwa kepemimpinan berkualitas, memberikan wadah untuk ajang berkumpul generasi muda Hindu di Klaten Jawa Tengah, dan sebagai ikon tahunan generasi muda Hindu di Klaten Jawa Tengah. Dampak positif dari kegiatan pasraman Astika Sidhi yaitu, membentuk kaderisasi pengurus organisasi PGHD, mewujudkan kerukunan generasi muda Hindu di Klaten, dan memotivasi generasi muda Hindu di Klaten. Harapan kedepan seluruh elemen agama Hindu di Indonesia pada umumnya dan elemen Hindu di Klaten Jawa Tengah pada khususnya untuk memaksimalkan pengelolaan pasraman mingguan di masing-masing daerah bahkan bisa menjadi pasraman formal, sehingga kita mampu bersaing dengan pendidikan keagamaan dari agama lain. .
AKTUALISASI DAN PENCIPTAAN GEGURITAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DI PASRAMAN WISNU SAKTI DESA TAMBAKAN, KECAMATAN JOGONALAN, KABUPATEN KLATEN Supriyadi; Dewi Ayu Wisnu Wardani; Sujaelanto
Widya Aksara Vol 26 No 1 (2021)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pura Wisnu Sakti secara historis memiliki kebudayaan geguritan yang kini sudah jarang digunakan. Padahal, geguritan memiliki fungsi sebagai media transformasi pengetahuan ataupun pendidikan moral kepada anak yang dibacakan. Hal ini menjadi menarik untuk diaktualisasikan kembali. Selain itu, penciptaan menjadi lebih menarik karena pelestarian dan pengaktualisasiannya menjadi lebih efektif. Dalam penciptaannya tentu mempertimbangkan berbagai faktor: daya tangkap anak, penyesuaian zaman, serta penanaman nilai-nilai agama. Dari latar belakang yang hadir, terumuskan dua pertanyaan yang harus dipecahkan, yakni: 1) Kenapa aktualisasi dan penciptaan geguritan dilakukan?, 2) Bagaimana aktualisasi dan penciptaan geguritan dilakukan? Dalam penelitian yang dilakukan, metode partisipatoris menjadi metode yang dirasa paling ideal, karena posisi dari peneliti merupakan insider dari objek penelitian. Selain itu, penelitian yang dilakukan merupakan penelitian terapan, sehingga metode ini sangat mendukung dalam pelaksanaannya. Dalam penelitian yang dilakukan, teori yang digunakan adalah teori konstruktivisme, teori revitalisasi, dan teori penciptaan. Dari penelitian yang sudah dilakukan, terdapat kesimpulan bahwa ada empat faktor yang melandasi aktualisasi dan penciptaan geguritan patut untuk dilakukan: 1) Faktor latar belakang, 2) Faktor Pelestarian, 3) Faktor Geguritan, 4) Faktor Pasraman. Pengaktualisasian dan penciptaan geguritan berhasil dilakukan, meskipun belum sepenuhnya maksimal. Meskipun begitu, penelitian terapan memang tidak secara instan dapat terselesaikan, karena harus melalui proses yang panjang. Tahapan-tahapan dari proses pengaktualisasian dan penciptaan mengacu pada teori-teori yang digunakan. Hasil yang didapatkan menyatakan bahwa teori-teori tersebut terbukti mampu untukdiaplikasikan.
KORELASI NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DENGAN LAKON SEMAR MBANGUN KAHYANGAN Toto Margiyono; Dewi Ayu Wisnu Wardani
Widya Aksara Vol 27 No 1 (2022)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54714/widyaaksara.v27i1.175

Abstract

Eksistensi Wayang Kulit tetap bertahan meskipun masyarakat kita telah berada dalam masa globalisasi. Hal ini terbukti dengan dipentaskannya wayang kulit dalam berbagai jenis acara. Cerita yang ditampilkan secara garis besar berasal dari epos Ramayana dan Mahabharata. Cerita Carangan merupakan cerita yang digali dari tempat dimana wayang itu dipentaskan. Lakon Semar Mbangun Kahyangan salah satu cerita carangan yang berkembang dan masih dipentaskan oleh dalang – dalang di Jawa. Lakon ini mengisahkan Ki Lurah Semar akan membangun kahyangan dengan sarana Jimat Kalimasada. Maksud Ki Lurah Semar membuat marah Bhatara Guru sebagai penguasa kahyangan mengira bahwa Ki Lurah Semar akan melengser kedudukannya sebagai Raja di Kahyangan. Ki Lurah Semar membantah semua tuduhan Bhatara Guru, dan menyampaikan bahwa kahyangan yang akan dibangun adalah kahyangan bathinnya. Struktur lakon Semar Mbangun Kahyangan terdiri dari Tancep Kayun,Jejeran Raja dan Kedhatonan, paseban jawi,jaranan,perang gagal, goro goro, adegan bambangan, perang kembang, jejer manyuro, jejer sintren dan perang brubuh. Nilai pendidikan Agama Hindu terdiri dari nilai pengabdian, nilai keadilan, nilai kerukunan, nilai etika dan nilai religius. Lakon Semar Mbangun Kahyangan pada intinya mengandung amanat bahwa antara dunia lahir dan dunia bathin memerlukan keseimbangan. Oleh sebab itu perlu penyelarasan sehingga kehidupan manusia akan mendapatkan ketentraman, kebahagiaan dan kemakmuran sesuai dengan tujuan Agama Hindu Mokshartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.
ANALISIS SWOT DALAM PENCANANGAN CANDI PRAMBANAN SEBAGAI PUSAT RITUAL UMAT HINDU I Nyoman Warta; Dewi Ayu Wisnu Wardani; I Nyoman Santiawan; Widhi Astuti; Ni Luh Putu Wiardani Astuti; Talang Dewayanti
Widya Aksara Vol 27 No 1 (2022)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54714/widyaaksara.v27i1.183

Abstract

Pencanangan candi Prambanan sebagai tempat ibadah umat Hindu merupakan harapan besar bagi umat Hindu. Dengan terbitnya Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Nomor 26 tahun 2021 tentang Tim Kerja Pencanangan Candi Prambanan sebagai tempat ibadah Hindu Indonesia dan Dunia, maka akan terbuka lebar peluang itu bisa diwujudkan. Penelitian ini bertunjuan untuk mengetahui SWOT analisis candi Prambanan sebagai pusat ritual umat Hindu. Penelitian ini merupakan tracer study, tetapi berkaitan dengan pendeskripsian, penguraian dan penggambaran suatu masalah yang sedang terjadi. Hasil penelitian menujukan Kekuatan: Umat Hindu terbesar nomor 3 di dunia, Candi Prambanan terletak di tengah-tengah umat Hindu Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten, Candi Prambanan telah digunakan sejak lama sebagai tempat kegiatan ritual umat Hindu, kegiatan Tawur Kesanga mendapatkan pengakuan, kegiatan di Candi Prambanan didukung oleh pemerintah pusat dan daerah. Kelemahan: Belum ada definisi dan rumusan yang jelas terkait apa arti Candi Prambanan sebagai tempat ibadah Hindu Indonesia dan dunia, belum ada legal formal yang mengijinkan pelaksanaan ibadah di Candi Prambanan, dan perbedaan pandangan. Peluang: Pusat pariwisata spiritual baru di Indonesia, terjadi pertumbuhan perekonomian, terserapnya tenaga kerja, dan terciptanya kesejahteraan. Ancaman: Perubahan kebijakan setiap kepemimpinan, persaingan dengan negara lain dan pemikiran/pandangan yang berbeda.
Implementasi Pendidikan Agama Hindu Dalam Membentuk Karakter Anak Pada Pratama Widya Pasraman Cahaya Saraswati Di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karangayar Dewi Ayu Wisnu Wardani; Krisni Prema Ayu Apsari
Widya Aksara : Jurnal Agama Hindu Vol 29 No 1 (2024)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54714/widyaaksara.v29i1.267

Abstract

Pendidikan karakter bertujuan untuk menciptakan individu masa depan yangmemperkuat nilai-nilai filosofis dan menginternalisasi karakter bangsa secara komprehensif. Tujuan utama pendidikan adalah membentuk karakter yang lebih baik. Pendidikan agama memainkan peran penting dalam pembentukan karakter manusia karena banyak mengandung ajaran etika yang membantu peserta didik dalam mengembangkan karakter positif dalamkehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter sebaiknya dimulai sejak usia dini, seperti saat anak masuk taman kanak- kanak atau Pratama Widya Pasraman. Sayangnya, pada kenyataannya, pendidikan karakter yang seharusnya ditanamkan pada anak-anak usia dinibelum cukup mendalam, terutama dalam konteks pendidikan agama Hindu. Saat ini, pendidikandi TK cenderung lebih fokus pada aspek akademik seperti membaca, menulis, danberhitung daripada pengembangan karakter berdasarkan ajaran agama Hindu. Jika pendidikan karakter bukan menjadi prioritas utama di usia dini, baik di keluarga maupun di sekolah, tidakmengherankan jika anak-anak usia dini cenderung menunjukkan perilaku yang tidak patuh terhadap orang tua atau guru, serta terlibat dalam konflik fisik dengan teman-teman mereka. Untuk mengatasi fenomena ini, penting untuk memasukkan pendidikan karakter ke dalampendidikan anak usia dini guna mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Pratama Widya Pasraman Cahaya Saraswati, sebagai salah satu TK dengan latar belakang Hindu,menekankan pendalaman ajaran agama Hindu dalam kegiatan sehari-harinya. Salah satutujuannya adalah menanamkan nilai-nilai budi pekerti kepada anak-anak didiknya melaluipelajaran pendidikan agama,sehingga mereka dapat mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka.
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA MOMONG, AMONG, NGEMONG MELALUI AJARAN TRI KAYA PARISUDHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 1 KARANGNONGKO, KABUPATEN KLATEN Putu Budiadnya; Dewi Ayu Wisnu Wardani; Liya Apriayani
Jawa Dwipa Vol. 5 No. 1 (2024)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54714/jd.v5i1.89

Abstract

Ini adalah artikel tentang bagaimana pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang mengusungkonsep "momong, among, ngemong" dan ajaran Tri Kaya Parisudha diterapkan untukmembentuk karakter siswa di SMP Negeri 1 Karangnongko, Kabupaten Klaten. Konsep"momong, among, ngemong", yang berasal dari nilai-nilai kebudayaan Jawa, sangat pentingdalam proses pendidikan secara keseluruhan. Untuk membangun karakter siswa, Tri KayaParisudha terdiri dari tiga prinsip utama: berpikir benar (manacika), berkata benar (wacika),dan berbuat benar (kayika). Metode ini digunakan dalam penelitian ini untuk menyelidikibagaimana penggabungan nilai-nilai ini ke dalam kurikulum dan kegiatan sekolah dapatberdampak positif pada perkembangan karakter siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwametode ini bekerja dengan baik dalam membangun siswa yang baik hati, jujur, dan bertanggungjawab. Penelitian ini mengumpulkan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan model pendidikan karakterdi Indonesia.