Claim Missing Document
Check
Articles

Found 35 Documents
Search

CANDI PLANGGATAN: BANGUNAN SUCI MILIK KAUM RSI Purwanto, Heri; Titasari, Coleta Palupi
Naditira Widya Vol 11, No 2 (2017): Naditira Widya Volome 11 Nomor 2 Oktober 2017
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v11i2.227

Abstract

Penelitian terhadap Candi Planggatan belum banyak dilakukan oleh para ahli, maka dari itu dengan hadirnya tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih mengenai sejarah maupun aktivitas manusia masa lalu di Candi Planggatan. Secara administratif Candi Planggatan terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Candi ini tersusun atas tiga teras menghadap ke arah barat. Studi ini ingin mengungkap unsur apa saja yang menjadi sebuah penanda bahwa Candi Planggatan merupakan bangunan suci milik kaum rsi. Guna menyelesaikan permasalahan tersebut metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui dua tahap yaitu metode pengumpulan dan analisis data. Pengumpulan data meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan ialah kualitatif dengan menggunakan teori simbol. Hasil dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa Candi Planggatan merupakan tempat suci bagi kaum rsi atau pertapa (karsyan) berbentuk mandala kedewaguruan. Rsi yang sangat mungkin sebagai tokoh agama di mandala Planggatan adalah Rama Balanggadawang dan Hyang Pununduh. Lebih lanjut kaum rsi dan pertapa yang tinggal di mandala Planggatan rupanya melakukan pemujaan terhadap Siwa dan Ganesa.
The Worship of Parwatarajadewa in Mount Lawu Purwanto, Heri; Titasari, Coleta Palupi
Kapata Arkeologi Vol. 14 Iss. 1, July 2018
Publisher : Balai Arkeologi Maluku

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kapata.v14i1.472

Abstract

Bukti-bukti mengenai gunung dianggap sakral dan suci telah didapatkan sejak Masa Prasejarah. Salah Satu gunung yang masih dipercaya sebagai tempat sakral adalah Gunung Lawu. Berdasarkan tinggalan arkeologis Gunung Lawu ini nampaknya mempunyai peranan cukup penting pada masa lalu, bahkan berlanjut hingga sekarang. Studi ini akan menelusuri jejak-jejak pemujaan terhadap parwatarajadewa yang bersemayam di Gunung Lawu. Untuk memecahkan permasahan tersebut digunakan metode pengumpulan data meliputi kajian pustaka, observasi, dan dokumentasi. Setelah itu, data dibedah mengunakan analisis kualitatif dibantu dengan teori Religi. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Gunung Lawu mempunyai nama kuna (Hindu-Budhha) yaitu katong. Walaupun namanya berubah namun makna yang dikandung tetap memiliki persamaan. Komunitas yang beraktivitas di Gunung Lawu saat itu adalah kaum rsi dan pertapa yang tampaknya memuliakan seorang parwatarajadewa (dewa penguasa gunung). Hal ini berdasar atas banyaknya temuan tinggalan arkeologi di kawasan Gunung Lawu dan didukung pula dengan prasasti yang pernah ditemukan di Candi Sukuh. Nama dewa tersebut menurut Serat Centhini adalah Hyang Girinatha.Evidence of the mountain as considered sacred and sanctified have been obtained since the Prehistoric Period. One mountain that is still believed to be a sacred place is Mount Lawu. Based on archaeological remains, Mount Lawu seems to have played a significant role in the past, even persisting up till now. Mount Lawu is used as a place to live and religious activity from the past. This study traces the worship of Parwatarajadeway residing on Mount Lawu. In order to solve the problem, it used data collection methods including literature review, observation, and documentation. The analysis used qualitative assisted by Religious theory. The results of this study indicate that Mount Lawu has an ancient name that is katong. Although the name had changed but its meaning still have a resemblance. Community’ activities that move on Mount Lawu around the 15th to 16th century are the rsi and the ascetic who seem to glorify the Parwatarajadewa (the god of the mountain ruler). This is based on many findings of archaeological remains in the area of Mount Lawu and also supported with inscriptions ever found in Sukuh Temple. The name of the god according to Serat Centhini is Hyang Girinatha.
Situs Arjuna Metapa Di Gianyar, Bali: Sebuah Patirthan? Coleta Palupi Titasari; Rochtri Agung Bawono
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 18 No 2 (2015)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (947.359 KB) | DOI: 10.24832/sba.v18i2.11

Abstract

Every archaeological remain is always found in context with certain space and building architecture. This is also the case with the archaeological finds at the site of Arjuna Metapa at Pejeng Village in Gianyar, Bali. Uncovering a holy bathing place is the focus of this research, which is based on supporting data in form of archaeological data found within the location. The methods being used to solve the problem are divided into two: data collection and data analyses. Data collecting involves surface survey, bibliographical study, and interviews, while data analyses include qualitative-artifactual analysis, comparative and correlation analysis, location/spatial analysis, and physical traces analysis. Data obtained from research and analyses reveal that the Arjuna Metapa Site was a patirthan (holy bathing place) with water spouts, indicated by two spouted statues on Arjuna Metapa pedestal, which are meditating Arjuna spouted statue and angel spouted statue. Supporting data in form of an angel statue, which has similar form and size, was also found at the Village Temple (Pura Desa) of Bedulu. Oral tradition also mentions that the area was known by the name of Uma Telaga and is believed to be a rice field that was previously a lake or bathing place. This is confirmed by the discovery of Air Tiga inscription in that location. The name Air Tiga (air means water and tiga means three) is probably refer to the number of statues found in that location, which is one meditating Arjuna spouted statue and two angels spouted statues.
AKTIVITAS RELIGI DI SITUS CANDI PERTAPAN KABUPATEN BLITAR PADA MASA KADIRI HINGGA MAJAPAHIT M Satok Yusuf; I Wayan Srijaya; Coleta Palupi Titasari
Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol 24 No 2 (2021)
Publisher : Balai Arkeologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/bas.v24i2.467

Abstract

Society in the Classical period had view that most sacred buildings were erected in the highlands, such as an Mount Pegat, Blitar Regency. This study seeks to reveal the religious activities that occured at Pertapan Temple Site on Mount Pegat from the Kadiri to Majapahit Kingdom, along with the community’s conception of the mountain. The method used in this study includes data collection in the form of observations and interviews, as well as qualitative descriptive analysis through the help of classification, comparison, and contextual analysis. Semiotic theory is used to assist the analysis. The result of this study indicate that the sacred building at the Pertapan Temple site is use as a place of worship for Sang Hyang Kabuyutan in Subhasita in 1120 Saka, the pendharmaan temple of King Wisnuwarddhana in 1202 Saka, and place of worship of Dewaraja Wisnuwarddhana in 1237 Saka. the community views Mount Pegat as a holy place, because it has several features, such as according to the criteria for a holy place, the location is on the connecting route between Kadiri and Singhasari and Mount Kelud with the South Lime Mountains.
ARCA DI CANDI CETHO: INTERPRETASI BARU SEBAGAI ARCA PANJI Heri Purwanto; Coleta Palupi Titasari
Forum Arkeologi VOLUME 31, NOMOR 1, APRIL 2018
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1470.129 KB) | DOI: 10.24832/fa.v31i1.513

Abstract

One of the influence of Indian culture that developed rapidly in the classical Indonesia period is a manufacute of statues. This remind is not rarely associated with contruction of holy and a particular religion. Talking about the statue not regardless of the a figures in statue. Furthermore, thus study wants to identity the statue which is located in the V terrace of Cetho Temple who contain meaning aesthetic. This statue has a height 99 cm, wide 15 cm, and wearing the head covering some kind of hat/tekes. Data collection was done through observation and literature review. Data analysis was using qualitative and comparative. Result showed that this statue is figure of Panji. It rests upon a comparison with Panji Statue from Selokelir temple and Grogol. The Panji Statue is used as a medium by the rsi who lived in Cetho Temple at that time. Therefore, Panji is considered as special person. For it, to hold the cult the Panji of hope can deliver the rsi to the God. Salah satu pengaruh kebudayaan India yang berkembang pesat dalam periode Masa Klasik Indonesia adalah pembuatan arca. Peninggalan ini tidak jarang berkaitan dengan pembangunan sebuah tempat suci dan agama tertentu. Berbicara mengenai arca tidak terlepas dari tokoh yang diarcakan. Untuk itu penelitian ini ingin mengidentifikasi arca yang terletak di teras ke lima Candi Cetho yang sarat mengandung makna estetis. Arca tersebut memiliki tinggi 99 cm, lebar 15 cm, dan mengenakan penutup kepala semacam topi/tekes. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan kualitatif dan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa arca yang terletak di teras ke lima Candi Cetho merupakan tokoh Panji. Hal ini berdasarkan atas perbandingan yang dilakukan dengan arca Panji dari Candi Selokelir dan Grogol. Sangat mungkin tokoh Panji ini dijadikan sebagai media pemujaan oleh kaum rsi dan pertapa yang tinggal di Candi Cetho kala itu, karena Panji dianggap sebagai sesosok yang istimewa dan mempunyai kelebihan pada dirinya. Untuk itu dengan mengadakan pemujaan terhadap Panji berharap dapat menghantarkan si pemuja kepada Tuhan. Kata kunci: arca, panji, pemujaan.
GUNUNG KAWI TEMPLE TAMPAKSIRING: RELIGIOUS EDUCATION SITE DURING ANCIENT BALI Kadek Dedy Prawirajaya R; Heri Purwanto; Coleta Palupi Titasari
Forum Arkeologi VOLUME 33, NOMOR 2, OKTOBER 2020
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/fa.v33i2.584

Abstract

Kajian terhadap bangunan suci yang berfungsi sebagai tempat pendidikan agama masa lalu yang sering disebut dengan mandala kadewaguruan jarang disentuh oleh peneliti. Candi Gunung Kawi Tampaksiring sebagai salah satu bangunan suci keagamaan masa lalu telah memberikan petunjuk bahwa kemungkinan tempat ini difungsikan juga sebagai ruang belajar-mengajar. Untuk itu studi ini ingin menelusuri bukti-bukti yang memperkuat dugaan tersebut dan ingin menjelaskan kehidupan masyarakat pendukungnya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung ke lapangan (observasi) dan studi pustaka. Analisis data yaitu mengunakan analisis kualitatif, kontekstual, dan komparatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Candi Gunung Kawi Tampaksiring merupakan sebuah bangunan suci yang berstatus sebagai mandala kadewaguruan. Hal ini buktikan dengan beberapa variabel yakni tempat yang luas, ditemukan berbagai tinggalan arkeologi keagamaan, ditemukan gerabah, dan diberitakan dalam prasasti. Kehidupan yang dilakukan oleh kaum ṛṣidan pertapa menunjukkan aktivitas yang kompleks yakni memenuhi kebutuhan sosial yang berkenaan dengan kegiatan estafet pendidikan agama, memenuhi kebutuhan religius yang senantiasa mengadakan berbagai upacara keagamaan, dan memenuhi kebutuhan hidup yang berkaitan dengan makanan dan minuman. The study of sacred buildings that served as religious education sites in the past or often called as rarely carried out by researchers. Gunung Kawi Temple Tampaksiring as one of the sacred religious buildings in the past has given hints of the possibility of this place used as learning and teaching space. For this reason, this study aims to find out the evidence that reinforce the assumption and to explain the life of the supporting community. Data was collected through observations and literature reviews. The data was analyzed by using qualitative, contextual and comparative analysis. The results of this study show that Gunung Kawi Temple is a sacred building with a Mandala Kadewaguruan status. It is proven by evidences such as, i.e. its wide place, variety of religious remains findings, ceramics findings, and inscription reports. The life of the rṣi dan hermits showed complex activities meeting social needs related to learning and teaching,fulfilling religious needs by conducting various ceremonies as well as fulfilling the needs life related to foods and drinks.
KESETARAAN ORNAMEN KALA-MAKARA DENGAN KARANG BHOMA: STUDI KASUS DI PURA DALEM DESA TAMAN POHMANIS Dewa Gede Yadhu Basudewa; Coleta Palupi Titasari
Forum Arkeologi VOLUME 28, NOMOR 3, NOVEMBER 2015
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/fa.v28i3.84

Abstract

CANDI KETHEK: KARAKTER DAN LATAR BELAKANG AGAMA Heri Purwanto; Coleta Palupi Titasari; I Wayan Sumerata
Forum Arkeologi VOLUME 30, NOMOR 2, OKTOBER 2017
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1704.012 KB) | DOI: 10.24832/fa.v30i2.226

Abstract

Each temple building has style and character building its own and built on background a reliegion. As submitted by Soekmono that the temple located in central Jawa with temple in eastern Jawa has style that is different, foundation worship of different. This article presented characters and religious background of Kethek Temple. Goal was to provide information about history of Gunung Lawu. Data collection was done through observation and literature review. Data analysis was using qualitative, comparative, and kontekstual with symbol theory. Result showed that Kethek Temple has special characteristic; is structured from unprocessed andesite. It utilized the wide natural rock order for terrace border, likes was seen on second and third terrace. Religious background Kethek Temple is Hindu. This was based from finding of turtle sculpture in which is symbol Vishnu. Elements worships toward accentors were still visible, considering terraces is form mountain in which was believed as place where the soul of ancestors live. Setiap bangunan candi memiliki gaya dan karakter bangunan tersendiri dan dibangun atas latar belakang agama tertentu. Salah satunya Candi Kethek, yang juga memiliki gaya, karakter, dan latar belakang agama tertentu. Atas pernyataan itu, maka penelitian ini berusaha mengungkap karakter bangunan dan latar belakang agama yang mendasari pendirian Candi Kethek. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan ialah kualitatif, komparatif, dan kontekstual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Candi Kethek mempunyai karakter yang khusus, yaitu tersusun oleh batuan andesit yang tidak mengalami pengerjaan secara menyeluruh. Memanfaatkan tatanan batuan alam yang cukup besar untuk memberi batas teras, seperti yang terdapat pada teras dua dan tiga. Latar belakang agama Candi Kethek bersifat Hinduistik. Hal ini bersandar pada temuan arca kurakura yang merupakan simbol dari Wisnu. Anasir pemujaan terhadap roh nenek moyang juga masih terlihat. Mengingat teras berundak merupakan wujud dari gunung, yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya leluhur yang telah meninggal.
IDENTIFIKASI DAN PEMAKNAAN RELIEF FLORA PADA TINGGALAN ARKEOLOGI DI LERENG BARAT GUNUNG LAWU Heri Purwanto; Coleta Palupi Titasari
Forum Arkeologi VOLUME 32, NOMOR 2, OKTOBER, 2019
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4581.043 KB) | DOI: 10.24832/fa.v32i2.580

Abstract

The holy building religious in the past founded in Indonesia equipped with various componens. One of the componens that to interesting for talking is relief. the temples is locatated in western slope Mount Lawu much to contain various kinds of relief, but this study want to identify the kind of type of flora that enshrined in the form of relief as well as looking for the functions and benefits. Data collection was done through observation and literature review. Data analysis was using qualitative and contextual. This research managed to identify twelve the kinds of relief is coconut, jackfruit, eggplant, areca nut, durian, lotus, banyan tree, wine, plants spread, silk cotton tree, bulging, banana?. This flora reliefs carved in different places is in the housing, the grave, and the forest. The function showed is for beautify temple building, showed environment in the past, and function link to religious. The past peoples that lived in research site to using flora to the foods, medicine, and holy ritual. Bangunan suci keagamaan masa lalu yang ditemukan di Indonesia dilengkapi dengan berbagai komponen. Salah satu komponen yang menarik untuk dibicarakan adalah relief. Candi-candi yang terletak di Lereng Barat Gunung Lawu mengandung berbagai jenis relief, namun studi ini lebih memfokuskan terhadap relief tumbuh-tumbuhan. Untuk itu penelitian ini ingin mengidentifikasi jenis-jenis flora yang diabadikan dalam bentuk relief serta menelusuri fungsi dan manfaatnya. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan ialah kualitatif dan kontekstual. Penelitian ini berhasil mengindentifikasi duabelas jenis flora yaitu kelapa, nangka, terung, pinang, durian, teratai, beringin, anggur, tumbuhan menjalar, randu, kepuh, dan pisang?. Relief-relief flora ini dipahatkan diberbagai lokasi baik di perumahan, kuburan, maupun hutan. Fungsi yang ditunjukkan adalah untuk memperindah bangunan candi, menunjukkan lingkungan masa lalu, dan fungsi dalam kaitan keagamaan. Masyarakat masa lalu yang hidup di situs penelitian memanfaatkan berbagai jenis flora untuk bahan makanan, obat-obatan, dan upakara.
Analisis Prasasti Tumbu (Kajian Epigrafi) Made Aris Kristianti; I Ketut Setiawan; Coleta Palupi Titasari
Humanis Vol 17 No 3 (2016)
Publisher : Udayana University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (250.558 KB)

Abstract

Tumbu inscription is one of the cultural heritage in Tumbu Village, Karangasem District, Karangasem Regency. This inscription issued by one of the kings during Ancient Bali Period i.e Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmmotungga Warmadewa in 1247 Saka (1325 AD). This study aimed at describing the results of a study on the inscription of Tumbu related to the aspects of language and contents in Tumbu inscriptions as well as the public perception of Tumbu village in relation to the existence of the inscriptions in their territory. The data collection methods applied in this research were observation, interviews and literature studies as well as data processing method through morphological and qualitative analysis. Some theories were applied such as the theory of structuralism, structural functionalism and power. Based on the analysis results it could be seen that the paleography aspect of Tumbu inscription used the ancient Javanese characters and language. The contents in Tumbu inscription namely political aspects, economic aspects, and religious aspects. Meanwhile, the perception of Tumbu community about the existence of the inscription in their village that the inscription was the cultural heritage of their ancestor which was believed to provide welfare to the village and also an honor for them because their village has an inscription, so that the inscription was still preserved and sacred.