Articles
Pertentangan Asas Perundang-undangan dalam Pengaturan Larangan Mobilisasi Anak pada Kampanye Pemilu
Meta Suriyani
Jurnal Konstitusi Vol 13, No 3 (2016)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (386.816 KB)
|
DOI: 10.31078/jk1339
Article 32 paragraph (1) letter k Election Commission Regulation No. 15 Year 2013 describes implementers, participants, and officials are prohibited from mobilizing campaigns Indonesian citizens who do not meet syarats as Voters. However, Law No. 8 of 2012 on General Election of DPR, DPD and DPRD itself, does not expressly prohibit the mobilization of Indonesian citizens who do not yet qualify as a selector or exploitation of children in political activities, including campaign. So that the Commission regulation violates the hierarchy of legislation that is in of commencement shall contrary to the Law on Election of Members of Legislative as higher regulations. Therefore, it is also not in line with Law No. 35 of 2014 on the Amendment of Act No. 23 of 2002 on Child Protection. Mobilization of children in the activities of the election campaign is the deprivation of the rights of the child. Intentionally or unintentionally, the actual implementers, participants, and campaign officers have done wrong treatment (exploitation) by mobilizing children who do not qualify as voters in political activities in the activities of the election campaign for the DPR, DPD and DPRD held at central and regional levels occur in almost all parts of Indonesia.
LEGALITAS KEWENANGAN NOTARIS/PPAT DALAM MENAHAN SERTIFIKAT HAK MILIK KARENA ADANYA PEMBATALAN JUAL BELI
Meta Suriyani
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 10 No 2 (2015)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (537.714 KB)
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dijelaskan Notaris berwenang menyimpan Akta, Namun dalam kasus yang berkembang di masyarakat, Notaris/PPAT telah menyimpan atau menahan SHM di luar dari kewenangan dan kewajiban dalam melaksanakan jabatannya karena adanya pembatalan jual beli. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui legalitas kewenangan Notaris/PPAT dalam menahan sertifikat hak milik karena adanya pembatalan jual beli.Untuk mengetahui akibat hukum dan pertanggungjawaban hukum terhadap perbuatan Notaris/PPAT dalam menahan sertifikat hak milik karena adanya pembatalan jual beli. Tidak ada legalitas kewenangan Notaris/PPAT dalam menyimpan atau menahan sertifikat hak milik karena adanya pembatalan jual beli. Notaris/PPAT hanya berwenang menyimpan suatu akta dalam jabatannya adalah akta yang berasal dari akibat suatu perbuatan hukum artinya telah terjadinya suatu pembuatan akta dalam hal ini adalah akta jual beli (AJB) di hadapan Notaris/PPAT yang menyebabkan akta yang dikeluarkan untuk para pihak dan minuta akta yang disimpan oleh Notaris/PPAT adalah sama bunyinya dan dalam bentuk aslinya sebagai bagian dari protokol Notaris. Akibat hukumnya Notaris/PPAT telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum secara pidana, perdata dan administrasi.
EFEKTIFITAS PENGHUKUMAN BAGI PELAKU MAISIR (PERJUDIAN) DI KOTA LANGSA
Siti Sahara;
Meta Suriyani
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 1 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (197.591 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i1.697
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang mengatur tentang maisir ini adalah mempunyai tujuan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan maisir karena maisir yang merupakan salah satu tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat. Akibat yang ditimbulkannya bukan saja mengganggu ketertiban di masyarakat, tetapi akibatnya juga sangat dirasakan oleh keluarga dari si pemain judi. Maisir kerap menimbulkan kejahatan-kejahatan lainnya seperti minuman-minuman keras, pencurian, kekerasan dalam rumah tangga, perkelahian dan lain sebagainya.Penghukuman bagi pelaku maisir (perjudian) di Kota Langsa belum efektif dapat dilihat dari Penghukuman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku diantaranya ‘Uqubat Hudud dan Takzir. Proses peradilan menerapkan asas cepat, sederhana dan biaya ringan Ex Narapidana tidak mengulangi perbuatan yang sama (residivis).Penegak hukum saling berkoordinasi dalam penegakan tidak pidana maisir. Durasi masa hukuman yang singkat.Menghemat pengeluaran Negara. Namun tidak menutup kemungkinan masih terdapat hambatan yaitu menimbulkan efek jera hanya bagi nara pidana dan sebahagian masyarakat di Kota Langsa dan tidak menutup kemungkinan selalu adanya pelaku baru dan belum adanya sumber daya manusia dari WH yang berkapasitas/kompeten sebagai PPNS sehingga belum dapat mandiri dalam melakukan penegakan hukum. Penelitian ini mengunakan penelitian hukum empiris, yaitu dengan cara mengumpulkan data data di lapangan melalui wawancara langsung dengan responden dan informan.
PERGESERAN KEWENANGAN MUI DALAM MEMBERIKAN JAMINAN PRODUK HALAL PASCA LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
Meta Suriyani
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 14 No 1 (2019): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33059/jhsk.v14i1.914
Upaya Pemerintahan Indonesia dalam memberikan jaminan kehalalan produk yang beredar di masyarakat, telah melahirkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan Produk Halal. Namun Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan Produk Halal telah terjadi pergeseran kewenangan, dimana sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) memilki kewenangan yang sangat besar (super body) meliputi pemeriksaan pangan, penetapan danpenerbitan sertifikat halal dan lainnyaberdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/MENKES/SK/VIII/1996, Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaandan Penetapan Pangan Halal, dan Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 Tanggal 30 Nopember 2001 tentangLembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, sehingga telah bergeser menjadi kewenangan pemerintah yaitu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementrian Agama yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia
ANALISA HUKUM TENTANG SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH YANG TIDAK MEMILIKI KEKUATAN HUKUM
Bahlian Nurmansyah;
Cut Elidar;
Meta Suriyani
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 2, No 1 (2020): Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33059/ma.v2i1.49
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Adalah sebagai dasar Pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan. Praktek dilapangan banyak alat bukti Sertipikat Hak Atas Tanah yang dipermasalahkan sampai di Lembaga Peradilan yang menghasilkan putusan yang tidak memiliki kekuatan hukum sertipikat Hak Atas Tanah. Sebagaimana kasus di Kota Langsa, penggugat pemilik sah sebidang tanah bersertipikat di desa Pondok Kemuning merasa tanahnya telah dikuasai oleh pemerintahan Kota langsa digunakan sebagai lahan Tempat pembuangan Akhir sampah oleh pemerintahan Kota Langsa. Pertimbangan hakim dalam putusan bahwa surat hak milik tanah milik pengugat tidak mempunyai kekuatan hukum karena dalam memperoleh sertipikat hak milik dengan cara yang bertentangan dengan hukum. Akibat hukum yang timbul terhadap sertipikat hak milik atas tanah yang dinyatakan tidak berkekuatan hukum oleh putusan pengadilan adalah beralihnya hak milik tanah dari penggugat ke tergugat. Solusi yang dilakukan oleh penguggat adalah mengajukan upaya hukum banding, Kasasi maupun Peninjauan Kembali dan gugatan ke PTUN.
Penengakan Hukum Terhadap Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue
Safrizal Nurdin;
Wilsa Wilsa;
Meta Suriyani
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 2, No 1 (2020): Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33059/ma.v2i1.43
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b.ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebangai mana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUPidana. Dugaan korupsi Dana Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) dari tahun 2002 hingga 2012 terus dikembangkan oleh Tim Penyidik Kejaksaan Sinabang dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Hasilnya, mantan Bupati Simeulue, yang juga tersangka dalam kasus tersebut menerima aliran hasil korupsi sebanyak Rp 2,5 miliar. Dalam kasus ini, penyidik Kejati Aceh menemukan kerugian negara senilai Rp 51 miliar dalam penyertaan modal PDKS,Tahun 2002-2012 senilai Rp 227 miliar yang bersumber dari APBK Simeulue Tahun 2002-2012.. Metode yang digunakan adalah menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukan bahwa Keterlibatan mentan bupati itu karena hasil dari pengembangan dari tersangka berinisial AU mantan direktur utama (dirut) Perusahaan dengan nomor putusan 35/PID.SUS/TPK/2013/PN.BNA. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat lamban karena kasus terjadi sejak tahun 2002 dan baru dilakukan penyelidikan, penuntutan serta selesai diadili sejak pada tahun 2019, hanbatan penegak hukum kurangya alat bukti dan kondisi mantan bupati itu seringnya masuk rumah sakit,upaya penegakan hukum dilakukan sebangai aparat penegak hukum di lembanga peradilan mempunyai peran yang sengat penting dalam memberantas kejahatan khususnya tindak pidana korupsi
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN TIDAK MELAPORKAN ADANYA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Pendekatan Kasus Putusan Nomor 148/Pid.Sus/2019/PN-Lgs dan Putusan Nomor 244/Pid.Sus/2019/PN-Ksp)
Dwi Peryanda Alfian Lubis;
Fuadi Fuadi;
Meta Suriyani
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 2, No 2 (2020): MEUKUTA ALAM : JURNAL ILMIAH MAHASISWA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33059/ma.v2i2.52
Berdasarkan Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur setiap orang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Putusan Nomor 148/Pid.Sus/2019/PN-Lgs menyatakan para terdakwa yang merupakan istri dan anak tersangka utama yang masih DPO dipidana atas perbuatan tidak melaporkan tersebut. Namun dalam Putusan Nomor 244/Pid.Sus/2019/PN-Ksp, istri dan anak tersangka yang mengetahui dan tidak melaporkan tidak dikenakan Pasal 131 Undang-Undang Narkotika. Metode digunakan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan Pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika dalam Putusan Nomor 148/Pid.Sus/2019/PN-Lgs yaitu terdakwa I dan terdakwa II dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tidak melaporkan adanya tindak pidana Narkotika dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) bulan, sedangkan dalam Putusan Nomor 244/Pid.Sus/2019/PN-Ksp istri dan anak tidak dijatuhkan pidana. Analisis perbandingan pertanggungjawaban pidana dalam Putusan Nomor 148/Pid.Sus/2019/PN-Lgs yaitu istri dan anak tersangka yang masih DPO dijadikan sebagai terdakwa karena pelaku tidak ditemukan, sementara dalam kasus Putusan Nomor 244/Pid.Sus/2019/PN-Ksp istri dan anak tidak dijadikan terdakwa, ini keadaan yang tidak berkeadilan dan diskriminatif dalam penegakan hukum.
KESADARAN HUKUM PENUMPANG SEPEDA MOTOR YANG TIDAK MENGGUNAKAN HELM DI WILAYAH HUKUM LANGSA KOTA
Nurmala Hayati;
Muhammad Nurdin;
Meta Suriyani
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 3, No 1 (2021): Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33059/ma.v3i1.83
Berdasarkan Pasal 106 ayat (8) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi “ Setiap orang yng mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia”. Namun di Langsa Kota kesadaran hukum penumpang sepeda motor masih rendah. Terbukti penumpang sepeda motor melakukan pelanggaran tidak menggunakan helm saat berkendara. Berdasarkan data pelanggaran dari Satlantas Langsa Tahun 2017 berjumlah 679 pelanggaran, Tahun 2018 berjumlah 661 pelanggaran, Tahun 2019 berjumlah 1240 pelanggaran. Pengaturan berkendara Sepeda Motor tentang helm bagi penumpang diatur dalam Pasal 106 ayat (8) dan Pasal 291 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kesadaran hukum penumpang sepeda motor yang tidak menggunakan helm pada saat berkendara masih rendah dikarenakan masyarakat masih kurang patuh terhadap penggunaan helm dua dalam berkendara. Upaya penegakan hukum dalam meningkatkan kesadaran hukum penumpang sepeda motor yang tidak menggunakan helm di Langsa Kota seharusnya pelanggar lalu lintas dijatuhi sanksi pidana kurungan atau pidana denda maksimal supaya ada efek jera dan selama ini belum pernah penumpang yang tidak menggunakan helm dijatuhi sanksi. Namun, upaya yang telah dilakukan yaitu melakukan sosialisasi, himbauan melalui spanduk, pemberian nasehat/teguran pada saat razia dan tilang
Pertentangan Asas Perundang-undangan dalam Pengaturan Larangan Mobilisasi Anak pada Kampanye Pemilu
Meta Suriyani
Jurnal Konstitusi Vol 13, No 3 (2016)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (386.816 KB)
|
DOI: 10.31078/jk1339
Article 32 paragraph (1) letter k Election Commission Regulation No. 15 Year 2013 describes implementers, participants, and officials are prohibited from mobilizing campaigns Indonesian citizens who do not meet syarats as Voters. However, Law No. 8 of 2012 on General Election of DPR, DPD and DPRD itself, does not expressly prohibit the mobilization of Indonesian citizens who do not yet qualify as a selector or exploitation of children in political activities, including campaign. So that the Commission regulation violates the hierarchy of legislation that is in of commencement shall contrary to the Law on Election of Members of Legislative as higher regulations. Therefore, it is also not in line with Law No. 35 of 2014 on the Amendment of Act No. 23 of 2002 on Child Protection. Mobilization of children in the activities of the election campaign is the deprivation of the rights of the child. Intentionally or unintentionally, the actual implementers, participants, and campaign officers have done wrong treatment (exploitation) by mobilizing children who do not qualify as voters in political activities in the activities of the election campaign for the DPR, DPD and DPRD held at central and regional levels occur in almost all parts of Indonesia.
LEGAL STANDING LEMBAGA NEGARA YANG DIBENTUK DENGAN UNDANG-UNDANG TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Ade Lista Keumala Rambe;
Zaki Ulya;
Meta Suriyani
Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan Vol 5, No 2 (2021): Oktober
Publisher : Prodi Ilmu Hukum, Universitas Teuku Umar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35308/jic.v5i2.3129
Kedudukan Lembaga Negara yang dibentuk Undang-Undang merupakan lembaga Negara pendukung yang menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang, namun dalam sengketa kewenangan lembaga Negara, lembaga Negara tersebut dibatasi oleh Undang-Undang Dasar khususnya Pasal 24 C. Terkait legal standing lembaga Negara yang dibentuk Undang-Undang dapat bersengketa dengan lembaga Negara lainnya sepanjang subjectum litis dan objectum litis memiliki nilai kepentingan konstitusionalnya. Adapun kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PMK/2006 sebagai tindak lanjut dari Hukum Acara sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, namun terkait sengketa kewenangan lembaga Negara, lembaga yang dibentuk Undang-Undang masih dibatasi berdasarkan lembaga Negara yang dapat beracara hanya lembaga Negara yang kewenangannya dibentuk oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945