Claim Missing Document
Check
Articles

PEMBINAAN KEMANDIRIAN TERHADAP NARAPIDANA LANJUT USIA DI RUMAH TAHANAN KELAS IIB KABANJAHE (Independence Development Against Elderly Prisoners In The Kabanjahe Class IIb Prison) Benny Syahputra Damanik; Umar Anwar
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 10 No. 2 (2022): Mei, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dari pembinaan terhadap Narapidana yakni mengembalikan kesatuan hubungan yang telah hilang dan masyarakat dapat menerima seorang narapidana setelah menjalani pembinaan yang dilaksanakan oleh pemasyakatan. Narapidana Lanjut Usia (lansia) adalah bagian yang sangat rentan untuk menjalani hidupnya serta tidak dapat disamakan dengan narapidana dengan usia produktif lainnya. Dalam hal ini tugas Rutan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana lansia harus memperhatikan Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang kesejateraan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 menjelaskan bahwa narapidana wajib mendapatkan pembinaan, salah satunya yakni pembinaan kemandirian. Tujuan penulisan menjelaskan bahwa Narapidana lansia wajib mendapatkan pembinaan termasuk kedalam pembinaan kemandirian serta akan disesuaikan program kemandirian yang tepat untuk Narapidana lansia. Tujuan penulisan ini untuk membentuk regulasi standar perlakuan terhadap narapidana atau tahanan lanjut usia melalui jakarta statement (Jakarta Rules) akan merubah pembinaan lansia kearah yang lebih baik. Penulisan jurnal ini akan dikaji dengan metode kualitatif yang sifat penulisannya dengan deskriptif serta pendekatan terhadap perundangundangan yang akan menggambarkan secara langsung situasi lapangan yang ada. Hasil penelitian yang ditemukan dilapangan saat ini banyak narapidana lanjut usia yang dalam pembinaannya di samakan dengan narapidana pada umumnya, pelayanan yang belum terlihat untuk lansia seperti pelayanan rohani dan pelayanan fisiknya (kesehatan) dan membutuhkan pembinaan kemandirian yang khusus kerena dapat kita lihat dari kondisi fisik yang sudah tidak sebaik narapidana pada umumnya sehingga narapidana lansia harus mendapat pembinaan yang sesuai Undang-undangnya.
PEMBINAAN KEMANDIRIAN MELALUI KETERAMPILAN KERJA DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEAHLIAN SEBAGAI BEKAL NARAPIDANA KEMBALI KE MASYARAKAT (STUDI PADA RUTAN KELAS IIB KEBUMEN) Muhammad Ghifarri Satya Zaki; Umar Anwar
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 10 No. 2 (2022): Mei, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemasyarakatan ialah tahapan terakhir pada tatanan sistem peradilan pidana. Lembaga Pemasyarakatan adalah lokasi dilaksanakannya pembinaan terhadap Narapidana, yang selanjutnya disebut Narapidana. Tujuan diadakannya pembinaan terhadap Warga Binaan atau narapidana yaitu reintegrasi sosial, antara lain meningkatkan taraf hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan yang diberikan bertujuan untuk memenuhi modal keahlian dan juga keterampilan terhadap narapidana sebagai bekal bagi mereka ketika telah menyelesaikan masa hukuman dan harus kembali kepada masyarakat. Pembinaan narapidana merupakan hak yang harus diperuntukkan kepada narapidana. Pembinaan dilakukan guna meningkatkan kualitas ketaqwaan narapidana kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani yang dimiliki narapidana. Pembinaan kemaandirian diberikan kepada narapidana sebagai usaha pemberian bekal dan keahlian kepada narapidana saat mereka menjalani masa hukuman untuk digunakan ketika mereka kembali ke masyarakat. Pembinaan kemandirian meliputi berbagai macam kegiatan, kegiatan yang dilakukan tentunya akan sangat bermanfaat bagi narapidana untuk meningkatkan keahliannya. Pemberian pembinaan narapidana dilakukan dengan maksimal sebagai upaya memberikan program pembinaan yang terbaik kepada narapidana agar hasil dari pembinaan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan. Pembinaan kemandirian tidak semata-mata hanya dilakukan sebagai pemanis dalam kehidupan narapidana selama mereka menjalani masa pidana mereka, melainkan sebagai wadah narapidana untuk menyalurkan keahlian mereka dan mengasah keahlian mereka agar lebih terampil dalam bidang tertentu. Narapidana yang menjalani masa hukumannya tidak serta merta menjadikan keahlian dan keterampilan mereka terhambat. Dengan adanya pembinaan kemandirian tersebut, bakat yang dimiliki narapidana akan lebih berkembang dan dapat berguna bagi mereka setelah bebas nantinya.
ANALISIS PELAKSANAAN SIDANG ONLINE DI RUTAN KELAS IIB KEBUMEN DI MASA PANDEMI COVID-19 Wijianti; Umar Anwar
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 10 No. 2 (2022): Mei, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Adanya pandemi COVID-19 pada tahun 2020 berimbas pada perubahan sistem persidangan di pengadilan yang menjadikan dilakukan secara daring, yang di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Dengan adanya peraturan tersebut, pelaksanaan persida[1]ngan di Rutan Kelas IIB Kebumen pada masa pandemi COVID-19 dilaksanakan secara daring. Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi terkait pelaksanaan sidang secara online di Rutan Kelas IIB Kebumen. Penelitian pada kali ini menggunakan metode yaitu adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan melalui kualitatif. Sumber data penelitian yang diperoleh dari observasi lapangan, wawancara dan studi literature. Adapun hasil pada penelitian ini yaitu prosedur atau tahapan persidangan perkara pidana yang dilaksanakan secara daring di Rutan Kelas II B Kebumen pada langkah awal dengan melakukan koordinasi dengan Pihak Kejaksaan Republik Indonesia terkait dengan jadwal persidangan secara online, kemudian dilanjutkan dengan meneliti kembali surat panggilsn sidang yang sudah dikirimkan oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Selanjutnya mempersiapkan sarana yang dibutuhkan untuk mendukung jalannya proses persidangan secara online. Sedangkan kendala yang ditemukan pada pelaksanaan persidangan secara online berupa sarana dan prasarana dalam mendukung jalannya persidangan secara online, akses ataupun jaringan internet yang kadang kurang lancar.
Faktor Penahanan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) di LPKA Kelas II Yogyakarta Irwan Arif Rachmanto; Umar Anwar
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 4 No. 3 (2022): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.845 KB) | DOI: 10.31004/jpdk.v4i3.4239

Abstract

Anak merupakan aset bangsa di masa depan, sehingga anak harus mendapatkan hak-haknya demi tumbuh kembang yang optimal. Namun, dalam perkembangannya tidak jarang anak melakukan delinkuensi yang mengarah pada tindak pidana. Proses peradilan pada anak tidak boleh disamakan dengan sistem peradilan pidana dewasa. Dalam penelitian ini akan membahas mengenai penahanan yang dilakukan kepada anak di LPKA Kelas II Yogyakarta. Belum adanya LPAS di Yogyakarta bahkan di tingkat nasional LPAS sangat minim yang mengakibatkan anak yang seharusnya secara undang-undang dapat dilakukan penahanan di LPAS harus ditempatkan di LPKA. Pada penelitian ini akan membahas mekanisme dan faktor penahanan terhadap anak secara yuridis normatif dan yuridis empiris di LPKA Kelas II Yogyakarta.Dalam penelitian ini kami menemukan bahwa terdapat kriteria yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan terhadap anak yaitu, jika anak tidak mendapat jaminan dari Orang tua/Wali dan/atau lembaga yang menjamin anak tidak kabur, anak berpotensi merusak bahkan melenyapkan barang bukti serta residivis, serta anak telah berusia 14 tahun atau lebih dan dugaan ancaman pidana tidak kurang dari 7 tahun. Tingginya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan anak dengan melibatkan geng menjadikan keamanan anak harus dioptimalkan, sehingga penahanan anak dilaksanakan di LPKA Kelas II Yogyakarta mengingat di Yogyakarta belum terdapat LPAS.
Peran Komunikasi Dalam Penyelesaian Perkara Diversi Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH) Dianing Pakarti; Umar Anwar
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 4 No. 3 (2022): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.752 KB) | DOI: 10.31004/jpdk.v4i3.4240

Abstract

Penanganan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak mengalami perubahan drastis, dimana terdapatnya diversi sebagai salah satu upaya dalam penanganan Anak. Diversi sebagai salah satu penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum wajib diupayakan oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan pendekatan restorative justice, dengan tujuan agar kasus Anak dapat diselesaikan diluar jalur hukum dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam pelaksanaan diversinya, peran komunikasi sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan dalam musyawarah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran komunikasi dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan Hukum terutama dalam pelaksanaan diversi. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan dengan menggunakan literatur yang berkaitan dengan topik penyelesaian diversi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dalam pelaksanaan diversi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dilakukan dengan musyawarah yang dilaksanakan di tingkat kepolisian, keluarga, dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, unsur-unsur dalam musyawarah diversi menemukan beberapa kendala dalam pelaksanaan musyawarah diversi diantaranya kesulitan mencari kesepakatan antara korban dan Anak, sulitnya menghadapkan atau mempertemukan kedua belah pihak dalam diversi, tidak dilaksanakannya kesepakatan yang dihasilkan oleh Anak, serta permintaan ganti rugi oleh korban yang besar pada Anak.
PELAKSANAAN NEED AND RISK ASSESSMENT SEBAGAI STRATEGI PENERAPAN TUJUAN SISTEM PEMASYARAKATAN Rama Fatahillah Yulianto; Umar Anwar
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 13, No 1 (2022): APRIL
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jmk.v13i1.7727

Abstract

This article discusses the importance of need and risk assessment to determine the pattern of guidance for Correctional Inmates. The guidance given to Prisoners (WBP) should be individualized, no longer mass, but correctional institutions are still shrouded in the phenomenon of over capacity which affects all lines. These problems can be overcome by conducting a proper need and risk assessment. through this assessment, correctional officers can assess the needs and risk factors of each inmate. Then the right coaching pattern can be formulated for the WBP. This study uses a qualitative method and uses a descriptive approach, then in collecting data, the author uses a literature study. The results of the study indicate that the existence of a need and risk assessment is needed to implement the goals of the correctional system. Need and risk assessment is an assessment that must be done to improve the quality of coaching in correctional institutions, especially in Correctional Institutions that do have cores in the field of WBP development. The quality of the officers who provide assessment must also be considered, they as actors must be able to optimize standardized cores.Keywords: Prisoners; Need and Risk Assessment; Recidivism. ABSTRAKArtikel ini membahas mengenai pentingnya need and risk assessment untuk menentukan pola pembinaan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan. Pembinaan yang diberikan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sudah seharusnya bersifat individualisasi, tidak lagi massal, namun institusi pemasyarakatan masih diselimuti fenomena over capacity yang berdampak pada segala lini. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan need and risk assessment dengan benar. melalui penilaian tersebut petugas pemasyarakatan dapat menilai faktor kebutuhan dan risiko yang dimiliki setiap WBP. Kemudian dapat dirumuskan pola pembinaan yang tepat bagi WBP. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan pendekatan deskriptif, kemudian dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi need and risk assessment sangat dibutuhkan untuk menerapkan tujuan sistem pemasyarakatan. Need and risk assessment merupakan penilaian yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dari pembinaan di institusi pemasyarakatan, utamanya pada Lembaga Pemasyarakatan yang memang memiliki core di bidang pembinaan WBP. Kualitas dari petugas yang memberikan assessment juga harus diperhatikan, mereka sebagai aktor harus dapat mengoptimalkan core yang terstandarisasi.
ERADICATION OF WILD LEVELS IN PUBLIC SERVICES IN BANDUNG CLASS I ROUTINE Umar Anwar
卷 1 编号 1 (2018): Journal of Correctional Issues (JCI)
Publisher : Polteknik Ilmu Pemasyarakatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52472/jci.v1i2.11

Abstract

Illegal levies have been ingrained in the correctional ranks that exist throughout Indonesia. This has become a bad precedent for socialization in the community. With this, it is necessary to improve the integrity and transparent public service system that is provided to service recipient communities to improve public trust in correctional services in prisons and detention centers in Indonesia. Services that can be provided to service recipient communities are services that can be seen directly from the results and transparency in realizing excellent service and quality. Services that are a complaint against indications of illegal levies in prisons and detention are services to visits (bezel), remission proposals, assimilation, conditional leave, free explanatory leave, paid release, and the provision of other services needed by the community and prisoners. To get information that is as clear as possible, this study uses descriptive qualitative research methods by measuring the behavior of officers, prisoners, and prisoners. The research uses in-depth interview methods to visitors (bezel), to prisoners and prisoners as data sampling and direct observation in the Class I Prison in Bandung to find out the actual conditions in the research locus. The results of the study indicate the need for strengthening commitment with all levels of officials and officers in the Bandung Klas I Prison in eradicating illegal levies in providing services, increasing commitment and integrity in services, providing Information technology-based services and strict supervision of the giving of prisoners' rights. Realizing principles and regulations are necessary to provide guidance and training for all Klas I Bandung detention officers to strengthen Integrity in the implementation of tasks. With training and education can provide strength and insight for officers to be able to build integrity and commitment to good service in prison.
TREATMENT OF TRANSGENDER CHARACTERS IN CLASS IIA RESIDENTIAL INSTITUTIONS SUMBAWA BESAR Ahmad Sutoyo; Umar Anwar
卷 2 编号 1 (2019): Journal of Correctional Issues (JCI)
Publisher : Polteknik Ilmu Pemasyarakatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52472/jci.v2i1.23

Abstract

This research focuses on implementation, benefits, and to find out the problems faced in the treatment of prisoners with a transgender character. In this study raised the issue of how the officers and other prisoners treat transgender inmates in Penitentiary and how they affect the health, safety, and psychological well-being of transgender inmates in the Sumbawa Besar Class IIA Penitentiary. This study uses interview and observation research methods, which describe the treatment of prisoners with a transgender character, then analyzed and concluded using a qualitative approach. Based on the analysis, it was found that the treatment of transgender inmates was considered very necessary to be carried out. Prisoners with transgender characteristics are prisoners who are unique and different from prisoners in general. Generally, prisoners with the transgender character who are spread across prisons throughout Indonesia are men whose gender is women or better known as transvestites. Prisoners with a transgender character are very vulnerable to adverse treatment by other prisoners, and can also have a negative influence on other prisoners. Special treatment of prisoners with transgender character is deemed very necessary, starting from the placement in individual blocks to specific guidance for transgender inmates. There are obstacles encountered in its implementation, including the procurement of individual blocks of prisoners with transgender character and the understanding of Correctional Officers of the problems and irregularities that will be caused by the presence of transgender inmates in prison.
DEVELOPMENT OF TERRORIST INSTITUTIONS IN SUPER MAXIMUM SECURITY (SMS) INSTITUTIONS IN PUBLIC PERSPECTIVE Rachmayanthy Rachmayanthy; Umar Anwar; Zulfikri Zulfikri
卷 3 编号 2 (2020): Journal of Correctional Issues (JCI)
Publisher : Polteknik Ilmu Pemasyarakatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52472/jci.v3i2.31

Abstract

The Super Maximum Scurity Penitentiary is a new Technical Implementation Unit in the ranks of prisons, which functions specifically to foster Terrorist prisoners or other high risk prisoners, the difference between this institution compared to other Correctional UPTs is that the security is very tight with one person and one prisoner cell. and the method of guidance provided to prisoners in Super Maximum Scurity (SMS) Lapas is different from other prison guidance. The issues raised in this researchare: How is the implementation of coaching terrorist prisoners in Super Maximum Security Prison based on Regulation of the Minister of Law and Human Rights No. 35 of 2018? And how is the development of terrorist inmates at Super Maximim Security Prison from a prison perspective? The theory used is by using coaching theory and descriptive qualitative research methods by direct interviews with officers of the Super Maximum Security (SMS) prison. Based on the results of the research, it is found that in the development of Terrorist inmates at the Super Maximum Security Prison, because in the implementation of the guidance, the difficulty of the prisoners' movement cannot be directly fostered by the officers having to regulate. Then coaching in terms of the goals of the correctional system can be reviewed because it is different from the goals of different systems, so it requires the best thinking and solutions so that coaching can be carried out in accordance with the objectives of the correctional system, namely prisoners are aware of mistakes, improve themselves and no longer commit acts that violate the law , are accepted by the community and can be active and productive in development and able to live their lives as good and responsible citizens.
THE DEVELOPMENT OF TERRORISM PRISONERS IN THE EFFORT OF DERADICALIZATION IN SUPER MAXSIMUM SECURITY PENAL INSTITUTIONS Andhika Yovaldi Salas; Umar Anwar
卷 4 编号 1 (2021): Journal of Correctional Issues (JCI)
Publisher : Polteknik Ilmu Pemasyarakatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52472/jci.v4i1.51

Abstract

Dari segi struktural, kita dapat mengatakan bahwa satu dari sekian penyebab kemunculan terorisme di Indonesia adalah globalisasi yang mendapat sambutan begitu luas di Indonesia. Negeri ini cepat sekali mengalami modernisasi ekonomi, budaya, dan politik. Berbagai modernisasi tersebut kerap kali dianggap sama seperti westernisasi , di mana kemudian memicu reaksi penolakan semu yang menjadi landasan ideology kelompok kekerasan.Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana kejahatan serius yang penanganan dan penanggulangannya membutuhkan metode pembinaan khusus. Upaya pembinaan bagi tindak pidana terorisme merupakan salah satu program Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yakni Deradikalisasi Program untuk Narapidana Tindak Terorisme khususnya di lembaga Pemasyarakatan Super Maksimum Security. Pembinaan Narapidana Terorisme Dalam Upaya De-radikalisasi Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Super Maximum Security adalah dengan tujuan untuk memberikan pembinaan yang tepat kepada narapidana khusus terorisme dan implementasi upaya De-radikalisasi pemasyarakatan pada pelaksanaan pembinaan narapidana khusus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Super Maximum Security, yang mana model pembinaan narapidana terorisme merupakan salah satu poin dari pilot project implementasi revitalisasi pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan Super Maksimum Security. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, teknik pengumpulan data dalam penilitian ini menggunakan studi literature dari berbagai sumber data yang terdiri dari buku artikel jurnal dan penelitian lain yang berkaitan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa belum optimalnya pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana khusus narapidana terorisme sesuai dengan Permenkumham No 35 tentang Revitalisasi Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan karena masih terkendalanya pada pedoman pelaksanaan narapidana khusus terorisme dari segi sosialisasi peraturan, sumber daya manusia serta infrastuktur dan media pelaksanaan pembinaan khusus narapidana terorisme.