Claim Missing Document
Check
Articles

Found 29 Documents
Search

Analisa penggunaan dan penyaluran pupuk di Kalimantan Barat I Wayan Rusastra; Effendi Pasandaran
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 4, No 2 (1986): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v4n2.1986.8-16

Abstract

IndonesianKajian ini menggunakan data sekunder yang diperkaya dengan informasi kualitatif melalui wawancara untuk menganalisa penggunaan dan penyaluran pupuk di Wilayah Pemasaran Kalimantan Barat. Didapatkan bahwa pengalihan program Bimas ke Inmas mengakibatkan menurunnya secara tajam penggunaan berbagai jenis pupuk Sub Sektor Tanaman Pangan. Penyebabnya antara lain adalah besarnya kendala teknis budidaya, keadaan agroekologi yang kurang menguntungkan perkembangan tanaman pangan dan masih lemahnya persepsi petani tentang penggunaan berbagai jenis pupuk, khususnya TSP. Konsumsi pupuk Sub Sektor Perkebunan dalam jangka pendek akan dapat ditingkatkan dengan memperluas areal Perkebunan Besar Negara, berbagai proyek pengembangan komoditi perkebunan dan memantapkan pembinaan pemasaran komoditi swadaya seperti cengkih, lada dan jeruk. Bidang usaha penyaluran pupuk yang kurang emnarik di daerah ini dapat dirangsang diantaranya dengan meningkatkan margin penyaluran dan mengalihkan penjualan langsung oleh KPW Pusri kepada penyalur. Pemecahan kendala penyaluran pupuk dari Lini IV ke petani secara koordinatif diyakinkan akan dapat memperlancar penyaluran pupuk secara keseluruhan di daerah ini.
Analisa Ekonomi Usaha Ternak Kerbau di Indonesia I Wayan Rusastra; Faisal Kasryno
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 3, No 1 (1984): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v3n1.1984.20-27

Abstract

IndonesianPotensi ternak kerbau secara nasional adalah cukup penting. Pada tahun 1979, jumlah peternak diperkirakan sekitar satu juta petani dengan rata-rata pemilikan 2,4 ekor per usahatani. Proporsinya tercatat 21 persen terhadap total ternak secara keseluruhan, termasuk babi dadn unggas. Permasalahan pokok yang dihadapi peternakan kerbau di Indonesia adalah menurunnya populasi ternak. Secara umum penyebabnya adalah kurang berkembangnya teknologi peternakan, dampak pembangunan ekonomi termasuk pembangunan dalam sektor pertanian, merosotnya daya dukung lingkungan di Jawa, dan faktor sosial budaya masyarakat. Sudah saatnya perhatian yang serius dalam bidang penelitian dan pengembangan ditujukan pada jenis ternak ini yang disesuaikan dengan daya dukung wilayah pengembangannya. Hanya penemuan teknologi yang tetap guna dan tepat sasaran yang akan bisa menyelamatkan ternak kerbau dari kemunduran mutu genetis dan populasinya. Respon positip dari para peternak tidak perlu diragukan, mengingat jenis ternak ini mempunyai fungsi yang luas bagi pemiliknya.
Kajian Permintaan Minyak Goreng pada berbagai golongan pendapatan dan segmen pasar di Indonesia Delima H.A. Darmawan; I Wayan Rusastra; Nizwar Syafa'at
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 3, No 1 (1984): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v3n1.1984.10-19

Abstract

IndonesianMasalah kekurangan bahan baku minyak nabati tidak dapat dipecahkan dari segi produksi yang menitikberatkan pada satu jenis komoditi saja karena pada waktu ini telah pula terjadi perubahan-perubahan pada sektor konsumsi. Perubahan ini diterangkan dalam bentuk kebutuhan konsumsi dalam volume dan kualitas yang lebih tinggi. Walaupun terdapat kecenderungan untuk golongan pendapatan tinggi besarnya kenaikan konsumsi minyak goreng tidak sejalan dengan kenaikan pendapatan, namun terlihat bagi golongan ini keinginan mengkonsumsi minyak goreng dengan kualitas yang lebih baik, sekalipun harganya jauh lebih mahal. Dalam pada itu dari sudut penawarannya, kebijaksanaan yang menitikberatkan pada peningkatan produksi kelapa saja tampaknya tidak akan mencarikan jalan keluar masalah kekurangan bahan baku tersebut diatas, karenanya perlu dikaji potensi sumber lainnya yang dapat menunjang tercapainya swasembada kebutuhan minyak goreng di Indonesia.
Pengembangan Padi Hibrida: Pengalaman dari Asia dan Prospek bagi Indonesia nFN Ashari; I Wayan Rusastra
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 32, No 2 (2014): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v32n2.2014.103-121

Abstract

EnglishFood security always occupies top government’s priority in national development due to its huge impact in terms of social, economy, and politics of the country. Regarding the strategic role of food, the policy on increasing food production and farmers' welfare constitute a crucial program, particularly in the Ministry of Agriculture. With the increased demand for food (rice) steadily as well as the rice production levelling off, the government seeks a technological breakthrough, such as hybrid rice introduction. This rice variety is expected to boost production significantly, although its role is still debatable. This paper aims to look at the potential and challenges of hybrid rice development in Indonesia as well as to describe the development in some countries as a comparative study. The result shows both theoretically and factually in some countries, the hybrid rice has a higher potential yield than non-hybrid rice as long as it meets the agronomic requirements. Nevertheless, the development of hybrids (mainly outside of China) still encounters a set of problems, i.e. unstable production, susceptibility to pests and diseases, expensive seed prices, low quality grain, and less-favored rice flavor. Specifically for Indonesia where the hybrid rice is still newly introduced, the hybrid rice development will require a well-planned, gradual, and socialization process. Mass program approaches in hybrid rice which is merely to capture the target oriented, tend to create an ineffectiveness both of output achievement and budget. Agro-ecosystem aspect and the characteristics of farmers in terms of social, economic and cultural sides become a key factor to accomplish the successful hybrid rice development in the future. IndonesianKetahanan pangan selalu menjadi prioritas utama pemerintah dalam pembangunan nasional karena memiliki implikasi yang luas terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik nasional. Dengan peran yang strategis tersebut kebijakan untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani selalu menjadi agenda penting, terutama di Kementerian Pertanian. Dengan terus meningkatnya permintaan akan pangan (beras) serta kecenderungan terjadinya pelandaian produksi maka pemerintah berupaya melakukan sejumlah terobosan di antaranya dengan memperkenalkan padi hibrida. Varietas ini diharapkan mampu mendongkrak produksi beras secara nyata walaupun peran tersebut masih menimbulkan perdebatan. Paper ini bertujuan melihat potensi dan tantangan pengembangan padi hibrida di Indonesia sekaligus memaparkan kondisi pengembangan di beberapa negara sebagai studi perbandingan. Hasil studi menunjukkan bahwa secara teori dan faktual di beberapa negara lain padi hibrida memiliki potensi hasil lebih tinggi dari inbrida asalkan memenuhi persyaratan agronomis. Namun demikian, pengembangan hibrida di luar negara Cina secara umum masih menghadapi sejumlah kendala di antaranya ketidakstabilitan produksi, kerentanan terhadap hama penyakit, harga benih yang mahal, kualitas gabah yang rendah, dan rasa nasi yang belum sesuai dengan keinginan konsumen. Dalam konteks Indonesia, di mana padi hibrida masih menjadi komoditas yang relatif baru (inovasi), maka dalam pengembangan memerlukan tahapan-tahapan yang terencana dan proses sosialisasi yang matang. Massalisasi padi hibrida melalui program dan hanya berorientasi pada target realisasi menyebabkan ketidakefektifan baik dari sisi capaian output maupun anggaran. Kondisi agroekosistem serta karakteristik petani baik aspek sosial, ekonomi dan budaya menjadi faktor kunci bagi keberhasilan pengembangan padi hibrida ke depan.
Keragaan dan Perspektif Sosial Ekonomi Pengembangan Teknologi Transgenik Amiruddin Syam; I Wayan Rusastra; Tahlim Sudaryanto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 19, No 2 (2001): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v19n2.2001.80-90

Abstract

EnglishThe objectives of this paper are: (1) To analysis the performance of transgenic farming system; (2) To assess the socio-economic impact of transgenic farm development, and (3) To describe current status and perspective of transgenic farm development. The review of emperical study indicated that: (1) Transgenic agricultural farming technically is feasible, but economically and environmentally still debatable. For developing countries, the socio-economic impact of transgenic farming development is the widening of technology dependency as well as income distribution, because of the limitation of technology adoption for the small-farmers; (2) For Indonesia, the consquences of foreign exchange earning reduction due to unwillingness of major importer of Indonesian agricultural product such as Japan and Europe Economic Countries (MEE), should be taken into account. In addition, the high dependency of transgenik agricultural technology is consider to be too visky for big country like Indonesia, for massive development in term of commodity coverage and area of development; (3) Transgenic agricultural development can be restricted just for import substitution agricultural commodities, with the prerequisite of having technically, socio-economically, as well as environmentally feasibility. The said development should be conducted on the respective area with the intention to fulfil domestic demand deficit. Strategic Biotechnology research for generation, assessment, and transgenic agricultural development should be inisiated to anticipate transgenic agricultural development in the future. IndonesianTulisan ini bertujuan untuk (1) Menganalisis keragaan usahatani tanaman transgenik, (2) Menganalisis dampak sosial ekonomi pengembangan tanaman transgenik, dan (3) Menganalisis permasalahan dalam pengembangan tanaman transgenik. Berdasarkan pembahasan, kajian ini menyimpulkan bahwa, (1) Usaha pertanian transgenik secara teknis layak di kembangkan, namun belum terdapat bukti secara meyakinkan dapat memberikan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan dan masih diperdebatkan dampaknya terhadap keamanan lingkungan. Bagi negara sedang berkembang dampak sosial ekonomi pengembangan produk transgenik adalah peningkatan kesenjangan penguasaan dan ketergantungan teknologi, melebarnya displaritas pendapatan karena ketebatasan adopsi teknologi oleh petani lapisan bawah (2) Bagi Indonesia konskwensi keruguian eknomi (devisa) sebagai akibat penolakan produk pertanian transgenik oleh negara importif utama seperti Jepang dan Masyarakat Ekonomi Eropa perlu di pertimbangkan secara seksama dalam pengembangan/pertanian transgenik. Disamping itu ketergantungan teknologi biologis (bibit) pertanian transgenik dinilai sangat beresiko bagi negara besar seperti Indonesia, bila pengembangannya dilakukan dalam cakupan komditas yang dan bersekala besar, dan (3) Pengembangan pertanian transgenik dapat dilakukan secara terbatas, khususnya untuk komoditas pertanian subtitusi impor, dengan persyaratan terpenuhinya kelayakan teknis, sosial ekonomi, dan lingkungan pengembangan perlu di lakukan pada wilayah terbatas(terkontrol) dengan sasaran memenuhi defisit kebutuhan domestik. penelitian pemuliaan dengan sasaran penciptaan, pengkajian, dan pengembangan komoditas transgenik yang bersifat strategis perlu dirintis sejak awal untuk mengantisipasi pengembangan pertanian transgenik dimasa depan.
Analisis kelembagaan Perusahaan Inti Rakyat Perunggasan Nasional I Wayan Rusastra; Yusmichad Yusdja; nFN Sumaryanto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 8, No 1-2 (1990): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v8n1-2.1990.1-11

Abstract

Kajian kelembagaan PIR perunggasan ini dilakukan di tiga kabupaten yaitu Tasikmalaya, Bogor dan Lampung Selatan terhadap 30 poultry shop inti dan 240 peternak plasma petelur dan pedaging. Disamping data primer dari satuan elementer contoh di atas juga digali data sekunder dan kualitatif secara regional dan nasional. Secara makro industri perunggasan dewasa ini mengalami distorsi yang cukup mengkhawatirkan dan sudah di luar jangkauan inti dan plasma untuk dapat mengatasinya. Penyelewengan semangat Keppres 50/1981, ketergantungan bahan baku pakan impor, lemahnya diversifikasi pasar dan permintaan, dan perencanaan produksi yang tidak terkendali, menjadi penyebab lesunya industri unggas nasional. Aspek penyaluran sapronak dan inti ke plasma sebenarnya berjalan cukup lancar, dimana peternak menerima DOC dan pakan di tempat usahanya. Masalah pokok yang dihadapi adalah tingginya harga pakan relatif terhadap keluaran dan tidak lancarnya pembayaran oleh peternak sebagai akibat usaha yang merugi. Aspek pembelian dan penyaluran hasil oleh inti dalam batas tertentu juga berjalan cukup lancar. Masalahnya adalah lemahnya kemampuan inti merintis pasar secara mandiri langsung ke konsumen akhir, rendahnya tingkat harga, dan peternak hanya sebagai penerima harga. Untuk mengatasi masalah diatas, perlu dikembangkan program alternatif, dimana peternak mampu memanfaatkan azas skala ekonomi usaha secara terintegrasi melalui kelembagaan kelompok peternak atau koperasi.
Perspektif Peningkatan Pendapatan Petani di Indonesia Bagian Timur Effendi Pasandaran; I Wayan Rusastra; Victor T. Manurung
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 1 (1991): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n1.1991.1-9

Abstract

IndonesianTulisan ini bersifat deskriptif dan merupakan gagasan yang didasarkan pada data sekunder dan informasi tentang keragaan dan permasalahan pengembangan pertanian di Indonesia Bagian Timur, khususnya di NTB, NTT dan perairan Maluku. Sampai pada tahapan ini dinilai cukup memadai upaya penemuan komponen teknologi (tanaman pangan dan peternakan) di NTB dan NTT, tetapi persoalannya adalah merakitnya menjadi suatu paket dan dapat diadopsi dalam bentuk program pengembangan di masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan beberapa fase dan upaya umum pengembangan. Pada fase pertama pengembangan diperlukan penciptaan pra-kondisi yang meliputi pengadaan sarana dan prasarana fisik dan perekonomian, pembenahan tataguna tanah, perwilayahan pengembangan komoditas dan sistem usahatani, dan rekayasa organisasi dan kelembagaan. Fase pengembangan berikutnya adalah perumusan dan implementasi program, dan fase pemantapan serta pengembangan program di wilayah sejenis. Percepatan pengembangan dan peningkatan pendapatan petani di IBT membutuhkan perluasan pusat-pusat pengembangan baru seperti Ambon untuk bidang perikanan, Kupang (peternakan), Menado (perkebunan) dan Merauke untuk komoditas pangan. Implikasi dengan munculnya pusat pengembangan baru ini diantaranya akan dibutuhkan penyebaran lembaga-lembaga terkait secara nasional, dukungan pengembangan sarana dan prasarana transportasi, dan bahkan penyesuaian perencanaan pembangunan pertanian, dan realokasi dana pembangunan.
Perdagangan Ternak dan Daging Sapi: Rekonsiliasi Kebijakan Impor dan Revitalisasi Pemasaran Domestik I Wayan Rusastra
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 32, No 1 (2014): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v32n1.2014.59-71

Abstract

EnglishFor the last decade, average national consumption of beef increases by 4.5 percent/year, with a high trend of import i.e. 21.6 percent/year compared to that of domestic beef production rate of 2.6 percent/year. Development of beef cattle need long-term investment, therefore disincentive of import policy will give substantial impact, psychologically and economically, to the farmers. The objective of this paper is to formulate the harmonization of import policy and domestic marketing in order to support the development and sustainability of beef cattle agribusiness. In the context of the Food Law No.18/2012, the import policy of feeder cattle and beef cattle is the last resort policy and should be conducted with the principle of cautiously. Coordination and consolidation between the logistic institution (Bulog) and the importer association is needed in relation to implementation of price stabilization policy effectively and efficiently. The implementation of import policy based on price reference have to be conducted in conjunction with the powerful logistic system development. The respective policy should be complemented with the enhancement of domestic marketing efficiency for the benefits of increasing beef cattle population, beef production, and the welfare of the farmers. Policy direction of livestock and beef cattle domestic marketing is to maintain meat consumption diversification, deregulation of retribution and marketing system, enhancement of the institutional and bargaining position of the farmers, as well as gradual reducing of beef cattle inter-regional trade quota complemented with production development policy of beef cattle farming. IndonesianDalam satu dasa warsa terakhir ini, rataan konsumsi nasional daging sapi meningkat dengan laju 4,5 persen/tahun, tetapi dengan laju impor yang tinggi yaitu 21,6 persen/tahun vs laju peningkatan produksi domestik hanya 2,6 persen/tahun. Pengembangan sapi potong membutuhkan investasi jangka panjang, sehingga disinsentif kebijakan impor akan memiliki konsekuensi psikologis dan ekonomi yang besar bagi peternak. Tujuan tulisan ini adalah merumuskan harmonisasi kebijakan impor dan pemasaran domestik untuk mendukung pengembangan dan keberlanjutan agribisnis sapi potong. Dalam konteks UU Pangan No.18 Tahun 2012 kebijakan impor ternak dan daging sapi adalah pilihan terakhir dan harus dilakukan dengan prinsip penuh kehati-hatian. Dibutuhkan koordinasi dan konsolidasi antar institusi parastatal (Bulog) dan asosiasi importir dalam eksekusi kebijakan stabilisasi harga secara efektif dan efisien. Kebijakan impor berbasis harga referensi harus dalam satu paket kebijakan dengan kebijakan pengembangan sistem logistik yang handal dan perbaikan efisiensi pemasaran domestik, sehingga memberikan insentif yang memadai bagi peningkatan populasi, produksi, dan kesejahteraan peternak. Arah kebijakan pemasaran ternak dan daging sapi domestik adalah menjaga diversifikasi konsumsi daging, deregulasi sistem retribusi dan tataniaga, penguatan kelembagaan dan posisi tawar peternak, dan pelaksanaan penghapusan kuota perdagangan sapi antar pulau secara terpadu dengan penguatan kebijakan pengembangan produksi usaha ternak sapi potong.
Growth, Equity and Environmental Aspects of Agricultural Development in Indonesia I Wayan Rusastra; nFN Erwidodo
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 16, No 1 (1998): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v16n1.1998.32-41

Abstract

EnglishThe challenge of sustaining agricultural development consists of three complementary and synergies dimensions, i.e. maintaining economic growth, promoting equity and protecting the environment. Price support policy is essential for enhancing technological adoption, increasing output and farmer income. In addition, dynamic institutional and vision of agricultural development, efficiency improvement and technological generation played an important role in the production strategy. Off-Java wetland rice farmers have greater opportunities to gain production through enhanced technical or economic efficiency by improving their managerial skills. In contrast, for dry land rice and secondary crops' farmers, only research and technological breakthrough can solve the low productivity problems and increase farmers' income. Poverty alleviation requires comprehensive efforts that should be conducted in a simultaneous manner. However, the monetary and economic crisis recently faced by the government, provides strong reasons to focus attention on agriculture and rural development availing the best chance to stimulate sustainable growth that address food security, poverty and income distribution concerns. The government has implemented some programs dealing with sustainable agricultural development. Some of those programs were successfully implemented such as integrated pest management (IPM) and Brantas watershed resource management. On the other hand, soil conservation technologies such as alley cropping and timber-food crops farming system (TFS) have difficulties for wider implementation. To promote the implementation of those technologies, the farmer have to be facilitated with better economic environment and land ownership rights for legal certainty on cultivated land. IndonesianTantangan pembangunan pertanian berkelanjutan mencakup tiga faktor yang bersifat sinergis dan komplementer yaitu mempertahankan laju pertumbuhan, pengurangan kemiskinan dan mencegah kerusakan lingkungan. Kebijaksanaan harga yang diterapkan selama ini dinilai telah berhasil mendorong adopsi teknologi, peningkatan produksi, dan pendapatan petani. Disamping itu pengembangan kelembagaan dan visi pembangunan pertanian secara dinamis, peningkatan efisiensi dan penciptaan teknologi baru telah memainkan peranan penting dalam strategi peningkatan produksi. Bagi petani padi sawah khususnya di luar Jawa masih terbuka peluang cukup besar untuk mendapatkan tambahan produksi melalui perbaikan efisiensi usahatani dengan memperbaiki kemampuan manajemen petani. Bagi petani lahan kering dan palawija, hanya penelitian dan terobosan teknologi baru yang dapat memecahkan masalah peningkatan produksi dan pendapatan petani. Upaya pengentasan kemiskinan membutuhkan program yang komprehensif dan perlu dilaksanakan secara simultan. Namun dalam situasi krisis moneter dan mampu mempertahankan keberlanjutan pembangunan dengan sasaran utama peningkatan ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, dan perbaikan distribusi pendapatan. Pemerintah telah menerapkan beberapa program yang berkaitan dengan proteksi sumberdaya alam dan lingkungan> Beberapa program telah berhasil dilaksanakan secara memadai seperti pemberantasan hama terpadu (PHT) dan pengelolaan daerah aliran sungai seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Di lain pihak program konservasi tanah dan air seperti teknologi tanaman lorong dan sistem usahatani tumpang sari tanaman keras dan komoditas pangan menghadapi tantangan dalam pengembangannya. Dalam mendorong implementasinya di lapangan petani perlu difasilitasi dengan kredit, ketersediaan sarana produksi, penyuluhan dan pembinaan, serta kepastian hukum dalam penguasaan lahan.
Telaahan aspek produksi dan pemasaran kedelai di Jawa Timur I Wayan Rusastra; Rosmijati Sayuti; Chaerul Muslim
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 2-1 (1992): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n2-1.1992.67-77

Abstract

IndonesianDewasa ini sedang diupayakan reorientasi program pembangunan pertanian dari peningkatan produksi kepada upaya peningkatan pendapatan petani. Upaya ini diantaranya ditempuh melalui pengembangan program diversifikasi pertanian, dimana komoditas kedelai mendapat prioritas utama diantara komoditi palawija. Berkenaan dengan hal tersebut dilakukan kajian sistem komoditas kedelai yang meliputi aspek produksi dan pemasaran di daerah sentra produksi utama di Jawa Timur. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampai pada tahapan ini usahatani kedelai masih membutuhkan proteksi untuk memantapkan adopsi teknologi, memperluas partisipasi pengusahaannya, dan meningkatkan daya saing kedelai terhadap komoditi alternatif. Kendala pengembangan aspek produksi yang dihadapi petani diantaranya adalah rendahnya persepsi dan tingkat adopsi beberapa komponen teknologi seperti benih berlabel, sistem tanam larikan, penggunaan pupuk secara lengkap dan berimbang (khususnya KCl), dan penyiangan tanaman secara lebih baik. Untuk mengatasi masalah ini perlu lebih diperluas pola kerjasama petani dan swasta disamping program intensifikasi kedelai. Secara umum aspek pemasaran kedelai berjalan cukup baik, yang ditunjukkan oleh pangsa harga yang diterima petani cukup besar (80-95 persen) dan tidak terdapat fluktuasi harga bulanan yang tajam baik di tingkat produsen maupun konsumen. Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pemasaran adalah rendahnya kualitas kedelai di tingkat konsumen, karena pedagang memanipulasi kualitas dengan melakukan pencampuran, untuk memenuhi permintaan pedagang besar propinsi dan Jakarta. Pemerintah diperkirakan dapat berperanan dalam menetapkan harga jual dan beli pedagang besar menurut kualitas dikaitkan dengan penyaluran kedelai impor.