Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN KAIDAH FIQHIYAH DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA Haq, Miftahul; Jumni Nelli; Erman Gani
Jotika Research in Business Law Vol. 2 No. 2 (2023): Juli
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v2i2.93

Abstract

Masih banyak di antara masyarakat yang belum memahami sepenuhnya apa pentingnya melaksanakan Perjanjian Perkawinan dan apakah melaksanakan perjanjian perkawinan dibenarkan dalam islam Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dan pendekatan ushul fikih dan Hukum Positif. Hasil Penelitian melihat Perjanjian Perkawinan dalam persfektif Hukum Islam dan kaidah fiqhiyah terkait perjanjian perkawinan yang ada sedikit perbedaan dari isi perjanjian perkawinan antara regulasi hukum positif Indonesia dan Hukum Islam dan melihat apakah terdapat Kaidah fikih dalam perjanjian perkawinan, dimana kaidah fiqhiyah merupakan dalil hukum dan ijtihad yang bersumber dari al-Qur’an dan As-sunnah yang menjadi instrumen utama didalam pembentukan dan pengembangan hukum islam. Beberapa Kaidah Fiqhiyah Perjanjian Perkawinan adalah sebagai berikut : a. Kebijakan (pemimpin) atas rakyat bergantung pada maslahat, b. Sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan bukti (keterangan) sepadan dengan yang telah ditetapkan berdasarkan kenyataan, c. Perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah mengerjakan sarananya, d. Penetapan suatu hukum diperlukan adanya dalil, e. Kesulitan harus dihilangkan, juga kaidah yang berbunyi Kemudharatan harus dihindarkan selama memungkinkan, f. Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan zaman, juga kaidah : Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat dan keadaan, g. Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada yang hanya sebatas kepentingan sendiri, h. Hukum itu mengikuti kemaslahatan yang paling kuat / banyak, i. Setiap perulangan kemaslahatan karena perulangan perbuatan maka disyariatkan atas setiap orang untuk memperbanyak kemaslahatan dengan perulangan perbuatan itu, namun ada kemaslahatan yang tidak disyariatkan atas perulangan, j. Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka sarana yang menyempurnakan kewajiban itu menjadi wajib diadakan, k. Kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.
HISTORISITAS CABANG QAIDAH FIQHIYYAH YANG DIPERSELISIHKAN PARA ULAMA Basri, Hasan; Jumni Nelli; Erman Gani
Jotika Research in Business Law Vol. 2 No. 2 (2023): Juli
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v2i2.97

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan cabang qaidah fiqhiyyah yang diperselisihkan para ulama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Kaedah Fiqih Cabang yang diperselisihkan Para Ulama itu ada 10 jenisnya, yaitu: Shalat Jum’at itu merupakan shalat Dzuhur yang diringkas, ataukah shalat tersendiri; Shalat di belakang orang yang hadats yang tidak diketahui keadaannya, kalau kita mengagapnya sah, apakah shalat itu merupakan shalat jama’ah ataukah shalat sendirian; Orang yang melakukan hal-hal yang meniadakan fardlu bukan sunnah (seperti meninggalkan syarat atau rukun), baik pada permulaan fardlu atau di tengahnya, maka batallah fardlunya, tetapi apakah kemudian shalatnya menjadi sunnah ataukah batal sama sekali; Nadzar itu apakah berlaku sebagaimana wajib, ataukah jaiz; Apakah yang dihitung itu shighotnya aqad atau ma’nanya; Barang yang dipinjam untuk digadaikan itu dimenangkan aspek dhoman atau aspek ariyyah; Hawalah itu bernama norma jual beli atau membayar hutang; Apakah ibra’ itu menggugurkan atau menjadikan kepemilikan; Iqolah masuk dalam kategori fasakh atau bai’ (jual beli kembali); dan Mas kawin mu’ayan yang masih berada ditangan suami belum diserahkan kepada istrinya apakah disebut madzmun dhoman akad ataukah madzmun yad.
KEDUDUKAN ANAK PASCA-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 Robert Libra; Jumni Nelli
Jotika Research in Business Law Vol. 3 No. 1 (2024): Januari
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v3i1.129

Abstract

The Constitutional Court has made a revolutionary decision in MK decision Number 46/PUU-VIII/2010 concerning the status of children outside of marriage which states that, children born outside of marriage not only have a civil relationship with their mother and their mother's family, but also have a civil relationship. with his biological father which can be proven based on science and technology. This decision became controversial among the public, especially Islamic legal figures, because the Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010 concerning the status of illegitimate children resulted in major changes regarding the position of children in marriage law. This Constitutional Court's decision is the basis for the Banten High Court's consideration, that based on the Constitutional Court's decision 46/PUU/2010 as explained by the Plaintiff/Appellant's expert witness Arist Merdeka Sirait that children born out of wedlock have a civil relationship with their mother and their mother's family as well as with their father. those who can be proven based on science and technology or other evidence which according to law have a basic relationship including a civil relationship with their mother; Case Number 109/PDT/2022/PT BTN between Rezky Adhitya Dradjamoko and Wenny Ariani Kusumawardani in deciding the status of Rezky Adhitya's child, Naera Kamita.
an Interpretive Review of Interfaith Marriages and Validity in Indonesia Election Muhammad Hafis; Jumni Nelli
Jurnal Mahkamah : Kajian Ilmu Hukum dan Hukum Islam Vol. 7 No. 2 December (2022)
Publisher : Institut Agama Islam Ma'arif NU (IAIMNU) Metro Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25217/jm.v7i2.2707

Abstract

The issue of interfaith marriage in Indonesia remains a hot issue to be studied from various aspects, and not infrequently we still get interpretations of verses from the Quran and regulations that say, that interfaith marriage is legally permissible and valid, in this case, katakana only, for example, the opinion of Ahmad Nurcholis who is a counselor for interfaith marriage in Indonesia. So, in this journal article, the author will examine the verses of the Quran and the rules that are the basis for the law used whether marriages between different religions are used and how valid they are in Indonesia, then how strong the arguments that allow it is. This journal research is qualitative research using juridical and philosophical approaches, where the author examines the meaning and wisdom contained in the verse and examines the regulations related to interfaith marriage. The results of this study show that interfaith marriage cannot be justified either by using paragraphs or laws and regulations in Indonesia.
DASAR WAJIB PATUH PADA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Husnul Khotimah; Jumni Nelli; Muhammadn Pajri Zullian
Indonesian Journal of Islamic Studies (IJIS) Vol. 1 No. 2 (2025): Vol. 1 No. 2 Edisi Juli 2025
Publisher : JCI Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62567/ijis.v1i2.834

Abstract

Undang-Undang Perkawinan (UUP) merupakan salah satu produk hukum pemerintah Indonesia yang mengikat secara hukum bagi seluruh warga negara. Akan tetapi, dalam praktiknya, banyak masyarakat yang mengabaikan kewenangannya dan menganggap kepatuhan terhadap UUP bukanlah sebagai kewajiban agama, melainkan sekadar kewajiban perdata. Persepsi ini menimbulkan masalah kepatuhan hukum, khususnya di kalangan umat Islam. Penelitian ini bertujuan untuk menegaskan kembali bahwa kepatuhan terhadap UU Perkawinan memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, khususnya dalam kerangka kepatuhan kepada ulil amri (penguasa), sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur'an Surat An-Nisa [4]:59 dan [4]:83. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan analisis isi, dengan fokus pada literatur primer dan sekunder yang terkait dengan hukum Islam dan peraturan-undangan nasional. Temuan penelitian menunjukkan bahwa UUP, sebagai hasil ijtihad pemerintah, merupakan suatu bentuk konteks kolektif (ijma') yang mengikat secara hukum dan agama. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap UUP harus dilihat sebagai bagian dari kewajiban yang lebih luas yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menaati Allah, Rasul-Nya, dan para penguasa. Implikasi dari penelitian ini menggarisbawahi perlunya meningkatkan kesadaran bahwa hukum negara yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam harus dilihat tidak hanya sebagai persyaratan administratif tetapi sebagai bagian dari pengabdian kepada agama.