Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

THE EXISTENCE OF MINORITIES IN THE SPECIFICITY OF ISLAMIC SYIAR IN ACEH, INDONESIA Hasan Basri M. Nur; Syed Sultan Bee Packeer Mohamed; Nor Azlah Sham Rambely
Jurnal Al-Bayan: Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah Vol 26, No 2 (2020): JURNAL AL-BAYAN: MEDIA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN ILMU DAKWAH
Publisher : Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/albayan.v26i2.8433

Abstract

The Majority (98,91%) of Aceh population are Muslims. Other religious followers are hardly in number (minority) in Aceh; Christian (0,79%), Catholic (0,19%), Buddhist (0,11%), and Hinduism (0,00%).  The Muslim majority of Aceh population pushed the Indonesian government to granted special right in order to implement Islamic syi’ar and Islamic law in Aceh. Life of minority of other religious followers, often become an attention from Aceh outsiders. Aceh geographic location on international maritime belt allowed its community to get in touched with different civilizations, stimulated openness and tolerance for its peoples. Islamic mission model without violence in Aceh in early days established humanism that make minority fell safe among syi’ar and sharia (Islamic law) implementation in Aceh. Nevertheless, there is little obstacle among believers’ relationship in Aceh Singkil District. To keep believers live in harmony, minorities who are comers to respect local wisdom which are characterized fully with Islamic nuance and protected by Indonesia law. Keywords: Minority, Islamic Syi’ar, Aceh
Menuju Desentralisasi Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia Hasan Basri M. Nur
Jurnal Al-Bayan: Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah Vol 19, No 1 (2013): Jurnal Al-Bayan: Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah
Publisher : Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/albayan.v19i27.97

Abstract

Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai etnik, budaya, latar belakang sejarah dan agama yang berbeda-beda menyimpan sejumlah potensi yang dapat diarahkan sesuai kehendak. Keberagaman ini dapat diarahkan untuk keamajuan bangsa atau sebaliknya menjadi sumber konfik. Dominasi etnik tertentu yang mayoritas atas etnik-etnik minoritas menjadi sumber malapetaka dan pemicu perlawanan dari etnik tertindas, sebagaimana pernah terjadi pada era Orde Baru yang menimbulkan perlawanan dari berbagai pihak dan daerah. Sebaliknya pemberitaan penghargaan dan pelestarian budaya suatu etnik di suatu daerah akan menciptakan kehidupan yang harmonis. Menghargai perbedaan sesuai kearifan lokal masing-masing etnik adalah fitrah dan sesuai sunnatullah. Ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Ayat ini mengakui adanya perbedaan etnik. Oleh karenanya setiap kelompok manusia perlu memahami dan menghargai kearifan lokal yang ada pada kelompok lain. Ta’aruf (saling kenal-mengenal) dalam ayat di atas adalah anjuran untuk saling mengenal dan mempelajari kearifan lokal kelompok lain dengan menggunakan kaca mata kelompok yang diamati, bukan berpatron pada kultur lain. Setelah mengamati dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, maka akan tumbuh semangat menghargai terhadap kelompok lain. Dengan cara saling memahami dan menghargai itulah pecahnya bentrokan antar-Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA) dapat dihindari. Pemberian hak khusus kepada Aceh melalui Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh perlu mendapat penghargaan dan pengakuan dari semua pihak. Begitu juga daerah-daerah lain di Indonesia berhak menuntut dan diberikan status istimewa sesuai kearifan lokal yang dimiliki. Dengan adanya penghargaan terhadap kearifan lokal seperti ini, maka status NKRI dapat bertahan, dan perlawanan sparatisme akan meredup.
HUBUNGAN SOSIAL MAYORITAS ISLAM DENGAN MINORITAS AGAMA-AGAMA LAIN DI KOTA BANDA ACEH-INDONESIA M. Nur, Hasan Basri; Packeer Mohamed, Syed Sultan Bee; Sham Rambely, Nor Azlah
JURNAL AL-IJTIMAIYYAH Vol 7, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/al-ijtimaiyyah.v7i2.11521

Abstract

Abstract: Assumption from outsiders that Aceh is intolerant is truly disadvantage for Aceh which its majority is Muslims and implement Syria law. Looking on religious perspectives, the composition of Banda Aceh inhabitant is: Islam (97,96%), Buddha (1,13%), Christian (0,70%), Catholic (0,20), and Hindu (0,01). This research to find out how is social relationship between Muslim majority and other religious minority believers in Band Aceh. Social relationship framed in five aspects are religious, social, education, politic, economy and culture. This research used qualitative descriptive approach with observational data collection techniques, interview, and literature review. The finding of research showed that social relationship between believers in Banda Aceh runs in peace and interrelated. The existence of Muslims as great majority and Syria law implementation in Aceh has not been an obstacle in social activities of the minority. Muslims play roles as protectors and back shield for minority. Otherwise, the minorities are capable to adjust themselves and respect the existence of Islam showed on their attitudes, such as doing their formal prayer in designed places, their children wear polite dresses at schools even though not wearing hijab, participate in national and national election, close shops on Friday prayer, Muslim holidays, and mutual sending invitations to wedding party, involve in social work, and other activities.Keywords:  Social; Religion; Majority; Minority; Banda Aceh.Abstrak: Anggapan orang di luar bahwa Aceh tidak toleran sangat merugikan Aceh yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan menerapkan Syariat Islam. Komposisi penduduk Banda Aceh berdasarkan agama adalah: Islam (97,96%), Buddha (1,13%), Kristen (0,70%), Katolik (0,20), dan Hindu (0,01). Penelitian ini hendak mengetahui bagaimana hubungan sosial antara mayoritas penduduk Islam dengan minoritas agama-agama lain di Banda Aceh. Hubungan sosial dibatasi dalam lima aspek, yaitu sosial agama, pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data secara observasi, interview, dan kajian dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan sosial antar agama di Banda Aceh berlangsung damai dan saling mengisi. Keberadaan umat Islam sebagai mayoritas mutlak dan pemberlakuan Syariat Islam di Aceh tidak menjadi penghambat dalam aktivitas sosial umat minoritas. Umat Islam mampu memainkan peran sebagai pengayom dan pelindung bagi umat minoritas. Sebaliknya umat minoritas mampu menyesuaikan diri dan menghormati keberadaan Islam yang terlihat dari beberapa perilaku mereka, seperti beribadah di tempat-tempat resmi yang telah disediakan, anak-anak mereka mengenakan pakaian sopan di sekolah walau tak memakai jilbab, berpartisipasi dalam setiap momen Pemilu/Pilkada, menutup toko menjelang pelaksanaan shalat Jumat, hari raya Islam, serta saling mengundang/menghadiri pada pesta perkawinan, gotong royong dan lain-lain.Kata Kunci: Sosial; Agama; Mayoritas; Minoritas; Banda Aceh.
Kiprah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Dalam Memajukan Pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam Maysarah; Nur, Hasan Basri M.
WATHAN: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 1 No 1 (2024): CALL FOR PAPER
Publisher : Fanshur Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71153/wathan.v1i1.26

Abstract

Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1906) merupakan kekuatan Islam yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Empat sultanah, yaitu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641–1675), Nurul Alam Naqiatuddin (1675–1678), Inayat Zakiatuddin (1678–1688), dan Kamalat Syah (1688–1699), secara berturut-turut memimpin kerajaan ini. Meskipun stereotip bahwa kaum perempuan berada di posisi kedua dan kepemimpinan mereka dianggap lemah, Sultanah Safiatudin berhasil menciptakan terobosan signifikan selama pemerintahannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengulas peran Sultanah Safiatuudin dalam pengembangan pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam. Metode kualitatif dengan pendekatan kajian kepustakaan digunakan, mengandalkan sumber data primer dan sekunder untuk analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sultanah Safiatuddin memberikan kontribusi besar dalam kemajuan pendidikan, melibatkan peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Ia mendatangkan ilmuwan asing sebagai tenaga ahli, mendorong cendikiawan untuk menulis karya ilmiah, dan memberikan beasiswa kepada ilmuwan Aceh untuk studi di luar negeri. Peningkatan pendidikan juga disokong oleh pembangunan infrastruktur seperti meunasah, zawiyah (dayah), dan perpustakaan. Sultanah Safiatuddin menunjukkan wawasan luas dalam pengembangan sektor pendidikan, menciptakan kebijakan yang mirip dengan Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun dari Dinasti Abbasyiah (750-1258), yang dikenal sebagai puncak kejayaan dalam sejarah peradaban Islam.
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Usaha Mikro Apam di Pidie dan Ade di Pidie Jaya, Aceh Hasan Basri M. Nur; Khairuddin Khairuddin; Muhammad Nur
JURNAL EDUKASI EL-IBTIDA'I SOPHIA Vol 3, No 1 (2024)
Publisher : UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32672/jeis.v3i1.7534

Abstract

Pidie dan Pidie Jaya adalah dua kabupaten di Aceh yang penduduknya dianggap memiliki kegigihan dan kreativitas tinggi. Pemerintah Kabupaten Pidie, khususnya pada periode 2017-2022, gencar mengampanyekan kuliner lokal bernama “apam” melalui festival tahunan “tet apam”. Sementara di Pidie Jaya terdapat kuliner lokal bernama “ade” (ada yang menulis adee). Ade dengan berbagai merek dagang dengan mudah dapat ditemui di outlet-outlet di pinggiran jalan nasional di Pidie Jaya. Penelitian ini hendak melihat bagaimana bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di sektor usaha mikro apam di Pidie dan ade di Pidie Jaya. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Dari penelitian diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten Pidie tidak melakukan pemberdayaan yang terencana kepada masyarakat dalam pembuatan, pengemasan, promosi dan pemasaran apam untuk penduduk Pidie sehingga apam tidak menjadi kuliner yang menjadi pendongkrak ekonomi masyarakat Pidie. Sementara di Pidie Jaya, keberadaan kuliner ade mendapat perhatian dari pemerintah setempat dengan memberikan pelatihan, pengemasan, promosi hingga pemasaran. Ade telah menjadi oleh-oleh khas Pidie Jaya. Ade dengan berbagai merek dagang dengan mudah dapat ditemui di Pidie Jaya. Tidak hanya itu, saat ini terdapat pelaku usaha mikro ade dari Pidie Jaya yang sudah melakukan ekspansi besnis ke luar daerah. Usaha mikro ade Pidie Jaya berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja, pengurang pengangguran dan penambah sumber pendapatan masyarakat setempat.
Studi Netnografi Akun Instagram @Quranreview dalam Menyampaikan Dakwah Kepada Gen Z Ulfa Azkia; Hasan Basri M. Nur; Zainuddin T
Da'watuna: Journal of Communication and Islamic Broadcasting Vol. 5 No. 4 (2025): Da'watuna: Journal of Communication and Islamic Broadcasting
Publisher : Intitut Agama Islam Nasional Laa Roiba Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47467/dawatuna.v5i4.9060

Abstract

This study aims to examine the forms of da'wah message delivery and the patterns of digital social interaction found on the Instagram account @quranreview targeting Generation Z. The research employs a qualitative descriptive approach using netnography as the main method, and the AIDA model (Attention, Interest, Desire, Action) as the analytical framework to assess the effectiveness of digital da'wah communication. Data were collected through observations of content and comment interactions published between January and April 2025. The findings reveal that @quranreview successfully applies the full AIDA model in its content, starting with distinctive visuals and relevant topics to attract attention, reflective narratives that sustain interest, empathetic language that evokes spiritual desire, and finally encouraging real actions such as sharing content, engaging in discussions, and joining online da'wah activities. The digital social interactions show active, empathetic, and reflective two-way communication. Audiences are not merely passive recipients of messages but actively construct meaning through comments, personal stories, and spiritual discourse. This study concludes that @quranreview delivers relevant, engaging, and participatory digital da'wah and successfully creates a dialogical space that aligns with the communication characteristics of Generation Z on social media.
Preserving Cultural Heritage in Aceh: Legal Frameworks and Community Initiatives in Gampong Pande Hasan Basri M. Nur; Abdullah, Munawiah; Husda, Husaini; Mukhtar, Marduati; Armia, Muhammad Siddiq
Lentera Hukum Vol. 12 No. 2 (2025): LENTERA HUKUM
Publisher : University of Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/ejlh.v12i2.53740

Abstract

This paper examines the efforts to preserve cultural heritage in Aceh, Indonesia, with a specific focus on Gampong Pande, one of the oldest and most historically significant areas in Banda Aceh, Indonesia. As a site of early Islamic civilization in the region, Gampong Pande holds valuable tangible and intangible cultural assets, including ancient tombs, artifacts, oral traditions, and Islamic scholarly heritage. However, these cultural resources face increasing threats due to urban development, environmental degradation, and a lack of comprehensive preservation strategies. The study explores how the legal frameworks at the national and regional levels, particularly the implementation of Qanun (Acehnese regional regulations), are employed to protect and manage cultural heritage. These legal instruments provide a foundation for cultural governance, yet their effectiveness often depends on enforcement mechanisms and institutional coordination. In parallel, this study emphasizes the critical role of local communities in cultural preservation. It highlights how the residents of Gampong Pande have initiated grassroots movements to protect historical sites, resist commercial encroachment, and revive cultural practices. These initiatives demonstrate the importance of community participation, local wisdom, and intergenerational knowledge transfer in heritage conservation. This research underscores the need for a more integrated and participatory approach that combines top-down legal policies with bottom-up community action. It calls for stronger collaboration among government agencies, civil society, academic institutions, and local leaders to ensure the sustainable preservation of cultural heritage in Aceh. In conclusion, the preservation of Gampong Pande’s heritage means protecting physical structures and maintaining the region’s historical identity, spiritual legacy, and cultural continuity amid ongoing modernization and change. Keywords: Cultural Heritage, Aceh, Gampong Pande.