Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

Persepsi Masyarakat tentang Pelaksanaan Iddah Wanita Karier karena Cerai Mati di Kec. Blangkejeren Kab. Gayo Lues Soraya Devy; Maryam Maryam
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 3, No 1 (2020): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7659

Abstract

Perkembangan dunia modern dewasa ini, banyak kaum wanita muslimah yang aktif di berbagai bidang, baik itu politik, sosial dan lainnya. Perempuan yang bekerja disebut sebagai wanita karier. Persepsi masyarakat bahwa seorang wanita karier yang tetap berkarier selama menjalani iddahnya karena cerai mati oleh suaminya dianggap menentang hukum islam. Karena menurut pemahaman masyarakat tersebut dalam masa iddah tidak boleh keluar rumah apalagi bekerja diluar rumah, memakai pakaian yang celup dengan warna kecuali hitam dan tidak dibolehkan bersolek. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi masyarakat tentang pelaksanaan iddah wanita karier karena cerai mati di Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap persepsi masyarakat tentang pelaksanaan iddah wanita karier karena cerai mati di Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang dipakai untuk meneliti ini adalah studi kepustakaan dan studi lapangan dengan metode wawancara, angket dan dokumentasi. Hasil yang didapati adalah 98% responden mengetahui bahwa apabila wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya maka wanita tersebut harus beriddah serta masyarakat juga memahami bagi wanita karier yang ditinggal mati oleh suaminya tersebut maka wanita tersebut harus berhenti bekerja selama menjalankan masa tunggunya yakni selama 4 bulan 10 hari, 100% responden menyetujui bahwa wanita karier yang sedang menjalankan iddahnya tersebut dilarang keluar rumah, bersolek, memakai pakaian yang celup dengan warna kecuali hitam dan dilarang menikah. 100% responden menyetujui bahwa persepsi tersebut muncul dari kebiasaan masyarakat setempat. Menurut tinjauan hukum Islam wanita karier yang di cerai mati oleh suaminya tersebut boleh bekerja tetapi memiliki batasan-batasan terhadapnya. Misalnya perempuan tersebut boleh berhias yakni hanya untuk memenuhi syarat dari pekerjaannya, dengan tujuan agar wanita karier tersebut tidak di pecat dari pekerjaanya.
Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Nafkah Anak Pasca Perceraian (Studi Putusan Hakim Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS-MBO) Soraya Devy; Doni Muliadi
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 1 (2019): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i1.7646

Abstract

Nafkah anak adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh anak untuk tumbuh dan berkembang seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kewajiban pemenuhan nafkah anak menjadi tanggungjawab orang tua bersama. Namun jika terjadi perceraian, ayah tetap bertanggungjawab untuk memenuhi nafkah anak walaupun anak berada dalam asuhan ibu. Kadar nafkah anak tidak ditentukan batas minimal maupun batas maksimalnya, akan tetapi standar jumlah nafkah harus sesuai dengan kemampuan finansial ayahnya. Jika ayahnya benar-benar tidak dapat memenuhi nafkah anak tersebut, maka kewajiban nafkah anak  ditanggung oleh ibunya. Putusan Hakim Nomor 0233/Pdt.G/2017/MS_MBO menyatakan bahwa Majelis Hakim mengurangi jumlah nafkah anak yang dituntut oleh termohon kepada pemohon. Nafkah anak yang semula dimintakan sejumlah Rp. 1.600.000,- ditetapkan oleh Majelis Hakim hanya sebesar Rp. 600.000,- dengan penambahan 20% pertahun, sehingga terdapat pengurangan jumlah nafkah anak dari tuntutan awal. Oleh karennya penelitian ini akan menfokuskan tentang apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mengurangi jumlah nafkah anak dan bagaimana penetapan nafkah anak tersebut menurut hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pertama, dasar pertimbangan hakim mengurangi jumlah nafkah anak dari jumlah yang dituntut dikarenakan menimbang ketidakmampuan finansial ayahnya. Kedua, penetapan nafkah anak yang terdapat dalam putusan tersebut telah sesuai dengan hukum Islam dikarenakan aturan hukum Islam menjelaskan bahwa pemenuhan nafkah anak oleh ayah harus sesuai dengan kemampuan finansial ayahnya.
Tanggung Jawab Nafkah Suami Fakir Perspektif Mazhab Mālikī dan Relevansinya dengan Konteks Kekinian Soraya Devy; Suheri Suheri
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 3, No 2 (2020): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v3i2.7725

Abstract

Ulama mazhab pada umumnya sepakat suami tidak dibebani kewajiban untuk memberi nafkah selama ia tidak mampu. Namun, berbeda apakah tanggung jawab nafkah tersebut tetap dibebankan kepada suami dalam bentuk utang ataupun tidak. Dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama. Penelitian ini diarahkan pada pemikiran mazhab Mālikī tentang tanggung jawab nafkah suami fakir. Berdasarkan masalah stersebut, maka rumusan adalah: Bagaimanakah dalil dan metode istinbāṭ yang digunakan mazhab Mālikī dalam menetapkan Tanggung Jawab Nafkah Suami Fakir?, dan Apa saja konsekuensi hukum suami tidak mampu membiayai isteri (fakir) menurut mazhab Mālikī?. Data-data yang dikumpulan dianalisis dengan cara deskriptif-analisis. Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa Dalil yang digunakan mazhab Mālikī yaitu ketentuan QS. al-Ṭalāq ayat 7. Ayat ini digunakan sebagai dalil gugurnya nafkah suami yang sedang mengalami kesulitan harta atau fakir. Dalil lainnya mengacu pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat 231, QS. al-Nisā’ ayat 19, QS. al-Ṭalāq ayat 6, dan hadis riwayat Imām Mālik dalam al-Muwaṭṭa’ dari Sa’īd bin Musayyab. Dalil ini digunakan sebagai dasar hukum bolehnya isteri memilih bercerai dengan suami fakir. Metode istinbāṭ yang digunakan mazhab Mālikī, yaitu metode bayanī dan istiṣlāhī. Metode bayanī digunakan dalam kaitan gugurnya nafkah suami fakir terhadap isterinya. Sementara metode istiṣlāhī digunakan dalam kaitan konsekuensi hukum isteri dibolehkan memilih bercerai dengan suami dengan timbangan kemaslahatannya. Konsekuensi hukum suami tidak mampu membiayai isteri (fakir) menurut mazhab Mālikī ada tiga. Pertama, nafkah yang tidak dipenuhi suami ketika fakir tidak menjadi utang saat ia telah mampu. Kedua, seorang hakim tidak dapat serta merta memutuskan pernikahan suami yang tidak mampu menunaikan nafkah sebab keadaan fakir. Ketiga, isteri diberi peluang untuk memilih bercerai dengan suaminya yang fakir.
Penerapan Dwangsom Terhadap Biaya Pemeliharaan Anak Pascaperceraian di Mahkamah Syar’iyyah Sigli Mansari Mansari; Soraya Devi
Media Syari'ah Vol 21, No 2 (2019)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v21i2.2287

Abstract

Abstrak: Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam putusan yang memberikan biaya pendidikan dan penghidupan anak pasca perceraian sering diabaikan. Padahal tidak sedikit anak tidak mendapatkan biaya tersebut setelah perceraian meskipun telah ditetapkan dalam putusan hakim. Putusan tanpa adanya dwangsom memberikan peluang bagi ayah mengabaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya. Kondisi demikian akan merugikan bagi anak yang berakibat pada gagal mendapatkan hak-hak yang seharusnya didapatkan dari orangtuanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi hakim tidak menetapkan dwangsom dalam putusan dan bentuk perealisasian nafkah anak pasca perceraian tanpa dwangsom. Penelitian yuridis empiris ini dilakukan di Mahkamah Syar’iyah Sigli dengan mewawancarai hakim dan panitera yang bertugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang melatarbelakangi hakim tidak menerapkan dwangsom dalam putusan yaitu: tidak adanya permintaan dari ibu, hakim bersifat pasif, ibu menginginkan perkara cepat berakhir, pengetahuan hukum masyarakat rendah. Perealisasian nafkah anak tanpa dwangsom dapat dilaksanakan apabila ayah memiliki kesadaran akan tanggungjawabnya. Untuk mewujudkan itu, makan perlu diberikan pemahaman keagamaan bagi dirinya. Selain itu, kontribusi aparatur gampong dan masyarakat juga sangat diperlukan untuk mengawasi dan memastikan terealisasikan biaya pemeliharaan anak dengan baik.Abstract: The application of dwangsom (forced money) in decisions that provide the cost of education and the livelihood of children after divorce is often ignored. Though not a few children do not get these costs after the divorce even though it has been established in the judge's decision. The verdict in the absence of dwangsom gives an opportunity for my father to ignore all the obligations that have been assigned to him. Such conditions will be detrimental to the child resulting in the failure to obtain the rights that should be obtained from his parents. This study aims to determine the factors behind the judge did not set dwangsom in the decision and the form of realization of the child's income after divorce without dwangsom. This empirical juridical study was conducted at the Syar'iyah Sigli Court by interviewing the judges and the assigned clerks. The results showed that the factors behind the judge did not apply dwangsom in the decision that is: the absence of request from the mother, the judge is passive, the mother wants the case to end quickly, the knowledge of community law is low. The realization of a child's income without dwangsom can be implemented if the father has an awareness of his responsibilities. To realize that, eating needs to be given a religious understanding for himself. In addition, the contribution of gampong and community apparatuses is also needed to monitor and ensure the realization of the cost of child care well.
Status Hukum Pernikahan Yang Dilaksanakan Oleh Wali Hakim Luar Negeri (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Negeri Kelantan) Soraya Devy; Mohammad Syakirin Bin Zahari
Media Syari'ah Vol 20, No 1 (2018)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v20i1.6500

Abstract

Status Hukum Pernikahan yang Dilaksanakan oleh Wali Hakim Luar Negeri adalah salah satu permasalahan dari ketentuan hukum Islam bagaimana status hukum pernikahan tersebut dan bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Rendah Syariah Kota Bharu dalam menjatuhkan putusan terhadap status hukum pernikahan yang dilaksanakan oleh wali hakim luar negeri. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kajian pustaka dan wawancara. Hasil dari kajian pustaka dan wawancara, penulis mendapat dua sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Dari sumber primer yaitu putusan hakim yang berkaitan secara langsung bertempat di Mahkamah Rendah Syariah Kota Bharu, Kelantan. Manakala sumber sekunder yaitu sumber yang mampu atau dapat memberikan informasi atau data tambahan yang dapat memperkuat perbahasan data yang diambil penulis dalam skripsi ini adalah dari wawancara, buku-buku standard, kitab-kitab dalil dan hadist, al-Quran dan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan hakim dalam memutuskan perkara Status Hukum Pernikahan  dilaksanakan oleh Wali Hakim Luar Negeri antaranya adalah pemohon gagal menggunakan wali hakim yang ditunjukkan oleh DYMM Al-Sultan Kelantan, pemohon gagal mengikuti peraturan-peraturan prosedur pernikahan diluar negeri Enakmen Undang-undang Keluarga Islam antaranya seperti masa pendaftaran pernikahan dijalankan diluar negeri di Malaysia, prosedur wali enggan dan wali hakim, sehingga Mahkamah menolak permohonan pemohon. Oleh karena itu, bagi seorang yang ingin menikah haruslah mengikuti prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang. Jangan sampai hal pernikahan seperti ini tidak dapat didaftarkan dan status hukum pernikahan itu dianggap tidak sah dan tidak wujud oleh negara dan hukum Islam.The Legal status of the marriage conducted by the Regent of Foreign Affairs is one of the problems of the provisions of Islamic law on how the legal status of the marriage and how the judges of the Syariah low Court judge Kota Bharu to impose a verdict on the legal status of marriage carried out by foreign trustees. In this study, the authors used a method of literature and interview studies. As a result of the review of the literature and interviews, the authors got two sources: primary and secondary sources. From the primary source, the ruling judge is directly related to the Syariah low court of Kota Bharu, Kelantan. While the secondary source is capable or can provide information or additional data that can strengthen the discussion of the data taken by the author in this thesis is from interviews, standard books, Evidence books, and Hadist, al-Quran, and enactment of the Islamic Family Law in Malaysia. The results of this study show that the view of the judge in deciding the marital legal Status is carried out by the Regent of Foreign Affairs, among others, the applicant failed to use the trustee indicated by HRH Al-Sultan of Kelantan, the applicant failed to follow the rules of marriage procedures abroad enactment of the Islamic Family law such as the period of marriage registration conducted abroad in Malaysia Applicant's application. Therefore, one who wants to marry must follow the procedures established by the law. Do not let this kind of marriage be registered and the legal status of the marriage is deemed invalid and not in existence by the state and Islamic law.
Implementasi Keputusan Gubernur Aceh No. 560/1774/2019 Tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Terhadap Karyawan (Studi Penelitian pada Sejahtera Swalayan dan Disnaker Abdya) Soraya devy; putra yulaisa
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v7i2.15740

Abstract

Kebijakan implementasi upah minimum Provinsi (UMP) merupakan kebijakan yang wajib ditaati oleh setiap perusahaan di Indonesia, termasuk semua perusahaan di Kabupaten Aceh Barat daya. Pemberian upah minimum merupakan suatu hal yang paling penting dalam hubungan kerja karena sangat berdampak pada kesejahteraan para pekerja. Pada kenyataanya dari hasil penelitian penulis, kebijakan penetapan gaji karyawan Sejahtera Swalayan Abdya belum sepenuhnya terlaksanakan, hal ini disebabkan oleh pihak perusahaan yang belum mampu menerapkan keseluruhan amanat dan ketentuan yang terdapat pada diktum Kepgub Aceh tersebut secara maksimal. Secara faktual, belum terdapat relevansi antara Keputusan Gubernur Aceh dengan apa yang pihak perusahaan terapkan dalam manajemen kerja pada Sejahtera Swalayan dan para karyawan yang berkerja pada perusahaan tersebut. Adapun proses pengawasan yang dilakukan oleh Disnaker Abdya mengenai pelaksanaan Kepgub terhadap karyawan Sejahtera Swalayan Abdya dilakukan dengan tiga tahapan. Pertama, upaya pembinaan (preventif educatif) yang dilakukan dengan cara menyurati perusahaan dan melakukan sosisalisasi. Tahapan Kedua meliputi tindakan represif non yustisial, dalam tahapan ini Disnaker Abdya memberikan peringatan tertulis melalui nota pemeriksaan kepada pimpinan perusahaan apabila terjadi pelanggaran mengenai pengupahan. Dan tahapan ketiga meliputi tindakan represif yustisial yaitu Tindakan yang dilakukan sebagai alternatif terakhir dan dilakukan melalui lembaga pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif kualitatif yaitu dengan menggambarkan peraturan parundangundangan tentang ketenagakerjaan dan Keputusan Gubernur Aceh No.560/1774/2019 tentang Penetapan UMP Aceh, kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam pelaksanaan praktek hukum dilapangan. Adapun data yang diperoleh dari penelitian ini melalui data kepustakaan dan didukung oleh penelitian lapangan, setelah data diseleksi selanjutnya disimpulkan sehingga memperoleh jawaban permasalahan.Kata Kunci: Implementasi Keputusan Gubernur Aceh, Upah Minimum Provinsi.
The Construction of Islamic Inheritance Law: A Comparative Study of the Islamic Jurisprudence and the Compilation of Islamic Law Mursyid Djawas; Khairuddin Hasballah; Soraya Devy; Muntasir A Kadir; Yusfriadi Abda
JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah) Vol 21, No 2 (2022)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Batusangkar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31958/juris.v21i2.7495

Abstract

This article discusses the construction of inheritance law, a comparison between fiqh (Islamic Jurisprudence) and the Compilation of Islamic Law (KHI). This is a normative juridical legal study using a comparative legal approach and the theory of existence as an analytical tool. This article concludes that the fiqh rules regarding inheritance law are based on the understanding of the Qur’an and hadith based on legal construction influenced by the Arabic social and cultural order. This suggests that KHI regulates inheritance law in accordance with the socio-cultural conditions of Indonesian society. The construction of inheritance law in fiqh has both similarities and differences with KHI. The similarity between fiqh inheritance law and KHI is that respectively rely on the Qur’an and hadith as mashadir al-ahkam. Meanwhile, the difference lies in the social reality and the cultural structures of the developing community which affect the two legal systems. The Arab society is patrilineal in its kinship system, whereas in Indonesia it is more bilateral, as a result, the distribution of inheritance tends to be different. Next, when it is seen from the point of view of the existence of this law in Indonesia, the fiqh inheritance law and inheritance law based on KHI still exist. Islamic jurisprudence is recognized as an integral part and raw material for the formation of national law in Indonesia.
Protection of Women in Aceh Qanun No. 6 of 2014 concerning Jinayah Law (Acehnese Perception Analysis) Soraya Devy; Fakhrurrazi M. Yunus
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 2 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i2.15380

Abstract

The presence of Qanun jinayah is a blessing for Acehnese women. Therefore, it is the hope of all parties that the qanun can provide adequate protection for women. Several articles in Qanun no.6 of 2014 which regulate rape substantially encourage legal protection for women, including; with the stipulation that a person who deliberately commits rape is threatened with 'Uqubat Ta'zir flogging at least 125 (one hundred twenty five) times, a maximum of 175 (one hundred seventy five) times or a fine of at least 1,250 (one thousand two hundred and five) twenty) grams of pure gold, a maximum of 1,750 (one thousand seven hundred and fifty) grams of pure gold or imprisonment for a minimum of 125 (one hundred twenty five) months, a maximum of 175 (one hundred seventy five) months. Even if the rape is committed against children, the punishment is even more severe, namely being threatened with 'Uqubat Ta'zir flogging at least 150 (one hundred and fifty) times, a maximum of 200 (two hundred) times or a fine of at least 1,500 (one thousand five hundred) ) grams of pure gold, a maximum of 2,000 (two thousand) grams of pure gold or imprisonment for a minimum of 150 (one hundred and fifty) months, and a maximum of 200 (two hundred) months. Departing from the background of the problems above, this research is more focused on how the forms of women's protection in Qanun Aceh No. 6 of 2014 concerning Jinayah Law and what is the public's perception of the protection of women in the Qanun? The results of this study concluded that the existence of this qanun jinayah has not provided adequate protection for women. One of the reasons is the lack of socialization of the qanun jinayah and the lack of firmness by law enforcers in taking action against perpetrators. So that the perpetrators of harassment and rape are not afraid of the uqubat threat that has been stipulated for the perpetrators of criminal acts of harassment against women in the qanun jinayah.Kehadiran Qanun jinayah adalah sebuah berkah bagi kaum perempuan Aceh. Oleh karenanya menjadi harapan semua pihak bahwa qanun tersebut dapat memberikan perlindungan yang memadai kepada kaum perempuan. Beberapa pasal dalam Qanun no.6 tahun 2014 yang mengatur tentang pemerkosaan secara substansi sangat mendorong perlindungan hukum terhadap perempuan diantaranya; dengan penetapan bahwa bagi orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pemerkosaan diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling sedikit 125 (seratus dua puluh lima) kali, paling banyak 175 (seratus tujuh puluh lima) kali atau denda paling sedikit 1.250 (seribu dua ratus lima puluh) gram emas murni, paling banyak 1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling singkat 125 (seratus dua puluh lima) bulan, paling lama 175 (seratus tujuh puluh lima) bulan. Bahkan jika pemerkosaan dilakukan terhadap anak-anak maka hukumannya lebih berat lagi, yaitu diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan. Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas maka penelitian ini lebih difokuskan pada bagaimana bentuk-bentuk perlindungan perempuan dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah serta Bagaimana persepsi masyarakat tentang perlindungan perempuan dalam Qanun tersebut?. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kehadiran qanun jinayah ini belum memberikan efek perlindungan yang memadai kepada perempuan. Salah satu sebabnya adalah kurangnya sosialisasi terhadap qanun jinayah tersebut dan kurang tegasnya penegak hukum dalam menindak pelaku. Sehingga para pelaku pelecehan dan perkosaan tidak merasa takut dengan ancaman uqubat yang telah ditetapkan bagi pelaku tindak pidana pelecehan terhadap perempuan di dalam qanun jinayah tersebut.
THE PROVISION OF WAGES TO LAUNDRY LABOURERS SEEN FROM THE CONCEPT OF IJARAH BIL 'AMAL CONTRACT Soraya Devy; Nila Vonna Rahmi
JURISTA: Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 3 No. 1 (2019): JURISTA: Jurnal Hukum dan Keadilan
Publisher : Centre for Adat and Legal Studies of Aceh Province (CeFALSAP)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.1234/jurista.v3i1.37

Abstract

Wages represent the entitlements of labourers that are procured and represented monetarily by the employer as just and suitable compensation. Wage disbursement is regulated and executed in accordance with a labour contract or agreement. The concept of ijarah bil 'amal, which pertains to the utilisation of an individual's labour in exchange for compensation for completed work, encompasses remuneration. The practise in Gampong Ulee Lueng Aceh of compensating labourers for laundering and ironing garments A situation in which the employee is required to bathe at the employer's residence without spending the night in exchange for the agreed-upon wage constitutes a besar. Wage determination is subject to variation contingent upon the location of employment. Nonetheless, some employees are assigned additional work without receiving additional compensation while they are at work. The purpose of this study is to determine how Islamic law evaluates the wage practises of ironing and washing labourers in Gampong Ulee Lueng. The findings of an investigation concerning the remuneration of garment laundering and ironing labourers in Gampong Ulee Lueng indicate that the prevailing method of compensating these individuals does not align with the principle of ijarah bil 'amal. Certain employees engaged in the linen and pressing industry perceive the remuneration as inequitable. According to the initial agreement, employees who engage in laundry and ironing duties are obligated to do so solely for the agreed-upon wage. In the future, however, the employees receive additional work without receiving additional compensation or similar benefits. Despite the fact that wages in Islam are dictated by the principles of equity and justice, this entails that one must be remunerated commensurate with the effort expended for each task accomplished, regardless of its magnitude. It is necessary for the obligations performed in conjunction with the rights acquired to be equitable in nature, ensuring that no party experiences disadvantage or injustice.
ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGGUNAAN SEMPADAN JALAN DI WILAYAH GUNUNG GERUTEE DALAM PERSPEKTIF HAQ AL-MURUR Soraya Devy; Wahyu Juanda
Al-Mudharabah: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol 1 No 2 (2020): Al-Mudharabah : Jurnal ekonomi dan Keuangan Syariah
Publisher : Prodi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/al-mudharabah.v2i2.1292

Abstract