Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Studi Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tentang Ḥakam dan Relevansinya dengan Mediasi di Pengadilan Agama Hasballah, Khairuddin; Rahmadani, Rahmadani
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 3, No 1 (2019): Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.323 KB) | DOI: 10.22373/sjhk.v3i1.4430

Abstract

Ulama berbeda pendapat tentang maksud ḥakam dan otoritasnya dalam ketentuan QS. An-Nisā’ ayat 35 terkait menyelesaikan perselisihan suami-istri. Masalah yang ingin diteliti adalah bagaimana makna ḥakam menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bagaimana otoritas ḥakam dalam menyelesaikan sengketa suami-istri menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan bagaimana relevansi pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang ḥakam dengan mediasi di Pengadilan Agama. Hasil analisis menunjukkan bahwa makna ḥakam menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yaitu hakim. Maksud ḥakam bukan dimaknai sebagai wakil atau orang kepercayaan dari keluarga laki-laki atau perempuan. Ketentuan QS. An-Nisā’ ayat 35 menunjukkan makna yaitu dua orang ḥakam sebagai hakim yang menyelesaikan perselisihan masing-masing suami-istri. Otoritas ḥakam dalam menyelesaikan sengketa suami-istri  menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yaitu diberi kewenangan untuk tetap menyatukan hubungan pernikahan suami-istri yang berselisih, atau bisa juga memutuskan dengan menceraikan keduanya. Terdapat bagian-bagian tertentu yang tampak sama dan relevan antara pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah tentang ḥakam dengan konsep mediasi di Pengadilan Agama. Kesamaan dan relevansi keduanya adalah terletak dari pihak yang menjadi juru damai, yaitu sama-sama ditentukan bukan dari pihak keluarga. Namun perbadaannya yaitu terkait dengan otoritas mediator dan ḥakam. Menurut Ibn Qayyim, ḥakam diberi kewenangan untuk memutuskan dengan menceraikan keduanya. Sementara dalam konsep mediasi, seorang mediator hanya bertugas mendamaikan dan tidak ada kewenangan untuk menceraikan.
Kajian Terhadap Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan Khairuddin, Khairuddin,; Barnawy, Julius
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Criminal Islamic Law, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i1.5009

Abstract

Abstrak Islam mensyariatkan penyaluran naluri biologis melalui jalan perkawinan yang sah. Selain lembaga perkawinan, maka bentuk penyaluran naluri biologis yang tidak sah tidak dibenarkan dalam Islam. Salah satunya yaitu hubungan homoseksual. Homoseksual merupakan hubungan seks sejenis, baik dilakukan oleh pria maupun wanita. Secara hukum, hubungan homoseksual ini diharamkan dalam Islam, dan pelakunya dihukum dengan berat hingga dibinasakan (hukuman mati) sebagaimana pendapat mayoritas ulama berdasarkan ketentuan umum Alquran dan hadis. Namun, hukuman sebagaimana yang ditetapkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan berbeda dengan pendapat mayoritas ulama tersebut. Untuk itu, permasalahan penelitian yang diangkat adalah apa yang melatar belakangi MUI mengeluarkan fatwa tersebut, dan bagaimana dalil dan metode istinb?? hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum pelaku homoseksual. Adapun jenis penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu menggambarkan permasalahan homoseksual, serta menganalisis ketentuan hukum yang dimuat dalam fatwa MUI. Hasil penelitian dan analisa penulis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan karena homoseksual di Indonesia telah banyak dilakukan oleh masyarakat. Bahkan ada usaha dari sejumlah tokoh dan lembaga untuk memperjuangkan eksistensi homoseksual. Terhadap fenomena homoseksual yang merebak, timbul keresahan dan muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai status hukum berikut hukuman bagi  pelakunya. Adapun dalil dan metode istinb?? hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum pelaku homoseksual yaitu merujuk kepada beberapa ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan hadis terkait adanya larangan melakukan hubungan seks sejenis. Di samping itu, Majelis Ulama Indonesia juga merujuk kepada pendapat-pendapat ulama. Secara spesifik, MUI setidaknya merujuk pendapat 9 (sembilan) ulama, diantaranya yaitu pendapat Imam al-Syirazi, Muhammad ibn ?Umar al-Razi, al-Bujairimi, Imam al-Nawawi, Imam Zakaria, Imam ?Abdur Rauf al-Munawi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Qudamah, dan pendapat al-Buhuuti. Intinya, MUI menyatakan bahwa homoseksual adalah perbuatan yang haram dan pelakunya dikenakan hukuman ta?z?r.   Kata Kunci: Hukuman-Ta?z?r-Homoseksual
HUKUM BERMAIN GAME ONLINE PLAYER UNKNOWN’S BATTLEGROUNDS (PUBG) MENURUT FATWA MPU ACEH NOMOR 3 TAHUN 2019 Khairuddin
DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum Vol 18 No 1 (2020): DIKTUM: JURNAL SYARIAH DAN HUKUM
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35905/diktum.v18i1.1357

Abstract

Abstract: This study is entitled The Law of Playing Unknown's Battle Grounds (PUBG) Game According to MPU Fatwa Aceh No. 3 of 2019 (Case Study in Gunung Meriah District, Aceh Singkil Regency). This study describes how the factors and the impact of PUBG online game play and what is the view of the MPU Aceh on the law of playing PUBG games ?. To obtain answers to these problems, the authors used three data collection methods; Observation, interview and documentation. The sample in this study was PUBG online gamers in Gunung Meriah Sub-district, Aceh Singkil District. The results of this study indicate that 25% of the community of Gunung Meriah Liking and categories are addicted to the PUBG game. The main factor of playing PUBG games. Playing hobbies online, including PUBG, can reduce boredom and stress. Games that continue to be carried out have unfavorable effects such as tend to be more lazy, addictions that are not fair, less response to the surrounding environment. In Islam, banning PUBG games is in line with the MPU Aceh fatwa no. 3 of 2019, the reason for it is forbidden to use this one game, because it contains elements of violence and brutality and the impact of changing the behavior of users becomes negative; because it has the potential to cause aggressive behavior and addiction at a high level; and contains elements of insult to Islamic symbols. because it contains elements of violence and brutality as well as negative changes in the behavior of users; because it has the potential to cause aggressive behavior and addiction at a high level; and contains elements of insult to Islamic symbols. because it contains elements of violence and brutality as well as negative changes in the behavior of users; because it has the potential to cause aggressive behavior and addiction at a high level; and contains elements of insult to Islamic symbols.
The Milk Al-Yamin Concept as a Validity of Sexual Relationship in a Modern Context: an Analysis of Muhammad Syahrur's Thoughts Hasballah, Khairuddin
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 4, No 2 (2020): Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v4i2.7068

Abstract

In the understanding of fiqh turats, the concept of milk al-yamin is affecting the legal protection for oppressed slaves during the Jahiliyah period. According to Syahrur, the concept of milk al-yamin had similarities and differences with the marriage contract. The similarity lies in the ability to have sexual relations, while the difference is that a marriage contract is not merely a sexual relationship, but it has a legal effect on the production of the rights and obligations of a husband and wife to build a family, and other social activities related to mushaharah. Milk al-yamin does not arrive at the emergence of rights and obligations as husband and wife as a result of a marriage contract. The concept of milk al-yamin that Syahrur understands for the present context is how the legal proposition (the Quran) remains suitable with the current era, not to be eradicated historically because it is no longer relevant. He built a new logic for the concept of milk al-yamin in the present context, which is called ‘aqd ihsan. The concept of milk al-yamin understood by Syahrur enables the authorization of contractual marriages or mut'ah which were abolished according to the Sunni school of fiqh. The concept of contract marriage or mut'ah does not have general marriage conditions, because the purpose is not to build a family, but purely sexual relations, and does not belong to the category of formal marriage, although at the same time it is not haram. In consequence, the concept of milk al-yamin is not becoming a basis for legitimizing nonmarital sexual relations.
Patah Titi and Substitute Heirs: A Study of Legal Pluralism on the Inheritance System in Aceh Community Khairuddin Hasballah; Ridwan Nurdin; Muslim Zainuddin; Mutiara Fahmi
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 21, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v21i2.22792

Abstract

This research analyzes the issue of the practice of inheritance of patah titi and substitute heirs in Acehnese society according to the Compilation of Islamic Law (KHI), Islamic jurisprudence (fiqh) and local custom (adat). This empirical legal research uses a legal pluralism approach. Legal pluralism is a theory that analyzes the diversity of laws applicable and applied in the lives of society and the state. Data collection techniques include in-depth interviews and literature review. The findings reveal that the people of Aceh practice a religious legal system, which consists of the KHI, fiqh, and adat in the distribution of inheritance. In the customary law, the practice known as “patah titi” concerns the case of inheritance in which an heir predeceases the testator, thus preventing the heirs’ living descendants from receiving inheritance rights. The customary practice in regards to patah titi bears a similarity to fiqh, in which it does not recognize a substitute heir, as fiqh only recognizes the replacement of the heir’s position. According to ulamas and traditional leaders, the practice of patah titi causes a divergent of opinions in which some agree whereas others do not. Those who disagree are more likely to use the term “will”, meaning that even though grandchildren do not inherit, sometimes they get property by way of a will. Furthermore, substitute heirs as confirmed in the KHI, although unavailable in fiqh and adat literature, are still recognized as they are in accordance with maqāṣid sharīah (the objectives of Islamic law), i.e. for justice and benefit purposes. To conclude, such a practice is a consequence of legal pluralism, which prioritizes harmonization and integration between the three legal systems.   Abstrak: Penelitian ini menganalisis persoalan praktik pewarisan patah titi dan ahli waris pengganti dalam masyarakat Aceh menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam), fikih, dan adat setempat. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan pluralisme hukum. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara mendalam dan studi pustaka. Temuan mengungkapkan bahwa masyarakat Aceh menganut sistem hukum agama, yang terdiri dari KHI, fikih, dan adat dalam pembagian warisan. Dalam hukum adat, praktik yang dikenal sebagai patah titi menyangkut kasus pewarisan di mana seorang ahli waris mendahului pewaris sehingga mencegah keturunan ahli waris yang masih hidup untuk menerima hak warisan. Kebiasaan patah titi memiliki kesamaan dengan fikih, yaitu tidak mengenal ahli waris pengganti, karena fikih hanya mengenal pengganti kedudukan ahli waris. Para ulama dan tokoh adat berpendapat bahwa praktik ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat yang ada yang setuju dan ada yang tidak. Mereka yang tidak setuju lebih cenderung menggunakan istilah “wasiat”, artinya meskipun cucu tidak mewarisi, terkadang mereka mendapatkan harta dengan cara wasiat. Selanjutnya ahli waris pengganti yang ditegaskan dalam KHI, meskipun tidak ada dalam fikih dan literatur adat, tetap diakui sesuai dengan maqashid syariah (tujuan hukum Islam), yaitu untuk tujuan keadilan dan kemaslahatan. Kesimpulannya, praktik semacam itu merupakan konsekuensi dari pluralisme hukum yang mengutamakan harmonisasi dan integrasi antara ketiga sistem hukum tersebut.   
Kajian Terhadap Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan Khairuddin Khairuddin; Julius Barnawy
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i1.6436

Abstract

Islam mensyariatkan penyaluran naluri biologis melalui jalan perkawinan yang sah. Selain lembaga perkawinan, maka bentuk penyaluran naluri biologis yang tidak sah tidak dibenarkan dalam Islam. Salah satunya yaitu hubungan homoseksual. Homoseksual merupakan hubungan seks sejenis, baik dilakukan oleh pria maupun wanita. Secara hukum, hubungan homoseksual ini diharamkan dalam Islam, dan pelakunya dihukum dengan berat hingga dibinasakan (hukuman mati) sebagaimana pendapat mayoritas ulama berdasarkan ketentuan umum Alquran dan hadis. Namun, hukuman sebagaimana yang ditetapkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan berbeda dengan pendapat mayoritas ulama tersebut. Untuk itu, permasalahan penelitian yang diangkat adalah apa yang melatar belakangi MUI mengeluarkan fatwa tersebut, dan bagaimana dalil dan metode istinbāṭ hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum pelaku homoseksual. Adapun jenis penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu menggambarkan permasalahan homoseksual, serta menganalisis ketentuan hukum yang dimuat dalam fatwa MUI. Hasil penelitian dan analisa penulis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan karena homoseksual di Indonesia telah banyak dilakukan oleh masyarakat. Bahkan ada usaha dari sejumlah tokoh dan lembaga untuk memperjuangkan eksistensi homoseksual. Terhadap fenomena homoseksual yang merebak, timbul keresahan dan muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai status hukum berikut hukuman bagi  pelakunya. Adapun dalil dan metode istinbāṭ hukum yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum pelaku homoseksual yaitu merujuk kepada beberapa ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan hadis terkait adanya larangan melakukan hubungan seks sejenis. Di samping itu, Majelis Ulama Indonesia juga merujuk kepada pendapat-pendapat ulama. Secara spesifik, MUI setidaknya merujuk pendapat 9 (sembilan) ulama, diantaranya yaitu pendapat Imam al-Syirazi, Muhammad ibn ‘Umar al-Razi, al-Bujairimi, Imam al-Nawawi, Imam Zakaria, Imam ‘Abdur Rauf al-Munawi, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Qudamah, dan pendapat al-Buhuuti. Intinya, MUI menyatakan bahwa homoseksual adalah perbuatan yang haram dan pelakunya dikenakan hukuman ta’zīr. 
Metode Penyelesaian Hadist Mukhtalif: Kajian Ta'arudh al-Adillah K Khairuddin
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 12, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v12i1.3776

Abstract

Hadits position as law postulation to a certain extent providesperplexities to those arguing by. It happens due the existence ofbodily contradiction (ta’arudh) among the hadits themselves.Mujtahids (Muslim Scholars) have not reached any agreement onwhat solution could be applied to reconcile the contradiction.However, the Mujtahids’ method in solving the contradiction canbe track through four steps. There are: Al Jam’u wa al-Taufik(talfiq), Nasakh, Tarjih and Tauqif. Author argues that althoughthe scholars have not agreed with those four steps, they have to beapplied in a raw. Means that one cannot surpass others. This hasto be applied to gain well understanding about a hadistcomprehensively.
PERLINDUNGAN HAK-HAK PEREMPUAN MELALUI KEPEMILIKAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM Khairuddin Hasballah; Tarmizi M. Jakfar; Mursyid Djawas
Kafa`ah: Journal of Gender Studies Vol 11, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/jk.v11i1.420

Abstract

Islam teaches equality between men and women, without any differences, except in matters of nature alone. The presence of Islam brings goodness to women who were previously oppressed by the jahiliyah culture which did not recognize their position as perfect human beings like men. This research is important to do to answer the views that have been cornering Islam, that women are being looked down on and positioned as dishonorable, but it is the opposite. This research is normative-qualitative in nature by referring to the data of the arguments of the al-Qur`an and Hadith which are then analyzed from the perspective of Islamic law. This study concludes that Islam recognizes women as social creatures just like men, so they are allowed to carry out various social activities. Women are also obliged to perform worship and obedience to Allah as is required of men. Men and women have the same and equal position with Allah, although there are differences but not biologically, for example, women conceive, give birth, and breastfeeding. But both of them can work together to build a harmonious household. Islam gives women the right to own property from their business or from other results such as inheritance. Inheritance rights for women are half the rights of men. This does not mean that the position of women is half male from their human status, but because the problem of responsibility given to men is greater than that of women. Men are burdened with the responsibility of protecting and nurturing the family, including women, both as mothers, wives, and children. For justice, Islam gives more rights to men for this great responsibility, which is not given to women. So giving the inheritance to women is part of the protection of their rights.
Kedudukan Metode al-Qāfah Dalam Penetapan Nasab Anak Menurut Ulama Perspektif Maqashid al-Syariah Agustin Hanapi; Imanuddin Imanuddin; Khairuddin Hasballah
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 14, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v14i1.15875

Abstract

Abstract:This study attempts to identify the position of Qāfah method in determining the child's lineage based on the scholars’ perspective using a qualitative approach through descriptive analysis. The results show that the al-qāfahmethod is important in Islam, particularly in certain cases of denial or claims against children. It is because not all people are willing to do a DNA test due to its complicated mechanism and unpreparedness of the parents to admit the child when the DNA test proves positive. Sholars’ views on the position of the al-qāfahmethod in determining the child’ lineage are varied. First, Hanafiyyah scholars absolutely reject this method because it prioritizes the theory of li'an law when the husband denies the lineage of his child. Second, most other scholars (Maliki, Shafi'i, Hambali, Al-Zahiri, and Al-Auza'i) accept the method by referring to Umar’s decision of engaging lineage experts (qā'if) in determining the child claims. Third, the Zahiri school believes that al-qāfah method can be used as a benchmark in determining the case of lineage and atsar (tracing the traces). The last, Ibn Qayyim considers that al-qāfahmethod as one of the laws established by the Prophet Muhammad.Keywords: Al-Qafah; fiqh; child’s lineage.Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk melihat kedudukan metode al-qāfah dalam menetapkan nasab anak menurut ulama dan perspektif maqasid syariah melalui pendekatan kualitatif dengan cara dekriptif-analisis. Data diperoleh dengan cara mencari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analitik, metode komparatif, dan metode analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa ulama fikih termasuk di antaranya jumhur ulama menyepakati metode al-qāfah sebagai cara untuk menetapkan nasab anak dengan merujuk tindakan Umar yang menghadirkan ahli nasab (qā’if) dalam perkara sengketa klaim anak. Juga mazhab Zahiri yang mengatakan bahwa al-qāfah dapat dijadikan patokan dalam putusan perihal nasab dan atsar (menelusuri jejak), serta Ibnu Qayyim yang meyakini al-qāfah menjadi salah satu di antara hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW). Dalam perspektif maqasid syariah metode al-qāfah penting dilakukan terutama pada kasus pengingkaran atau klaim terhadap anak, lantaran tidak semua masyarakat bersedia melakukan tes DNA karena biaya yang mahal, mekanisme yang rumit juga ketidaksiapan untuk mengakui seandainya diketahui bahwa itu adalah anaknya.Kata Kunci: Al-Qafah; fikih; nasab anak.
Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Nafkah Pasca Perceraian (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor 01/Pdt.G/2019/MS.Aceh) Khairuddin Khairuddin; Badri Badri; Nurul Auliyana
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 3, No 2 (2020): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v3i2.7700

Abstract

Aturan tentang nafkah pasca perceraian telah diatur dalam Pasal 80 KHI Ayat (4) huruf (a) disebutkan bahwa “sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri”. Dalam hal biaya pengasuhan anak (hadhanah) pasca perceraian menjadi tanggungan suami berdasarkan kemampuannya sebagaimana yang telah diatur dalam KHI Pasal 156 huruf (d) yakni “Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)”. Dalam praktiknya hakim di Mahkamah Syar’iyah Aceh memutuskan terhadap nafkah iddah, mut’ah, kiswah dan serta biaya hadhanah terhadap anak yang belum mumayyiz di luar batas kemampuan suami. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap nafkah pasca perceraian dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap nafkah pasca perceraian. Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yang bersifat kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, Adapun dasar pertimbangan majelis hakim terhadap putusan nafkah pasca perceraian pada kasus perkara cerai talak putusan Nomor 01/Pdt.G/2019/MS-Aceh, diantaranya dalam menentukan hak nafkah terhadap istri dan anak setelah terjadinya perceraian dapat dilihat dari kepatutan atau kemampuan suami yaitu diukur dengan melihat penghasilan suami setiap bulan, melihat usia perkawinan yang telah dijalankan oleh kedua belah pihak, melihat apakah istrinya nusyuz dan apakah suaminya pernah melakukan kezaliman terhadap istrinya, selain itu hakim juga melihat dan menyesuaikan kebutuhan dan kemampuan suami sesuai dengan kondisi suatu daerah. Ditinjau melalui hukum Islam, dalam menetapkan jumlah nafkah pasca perceraian untuk istri dan anak-anaknya hakim telah melakukan pertimbangan yakni demi kemaslahatan kedua belah pihak yang berperkara dan anak-anaknya yang dikenal dengan al-maslahah al-mursalah yaitu memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatan.