Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

DARI METOBU HINGGA MEKAMBO: PERTUMBUHAN PEMUKIMAN KOTA KOLAKA PADA ABAD XX Melamba, Basrin
Paramita: Historical Studies Journal Vol 23, No 1 (2013): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v23i1.2497

Abstract

This paper describes the growth of Kolaka city in Bone in XX century. In early XX century, Kolaka became the capital of onderafdeeling Kolaka since 1911. In 1912 indirectly the influence of this policy was the development and repair of city facilities in the form of port medium, warehouse, office of toll and duty, and road network in Kolaka. Those settlement growths in Kolaka affected the economic activity and commerce. The settlement and physical region got much better especially after Dutch government settled the resident settlement with the settlement model following the centripetal roadway pattern with the village (kampung) pattern (o’kambo). The resident settlement pattern also followed the coastline of Mekongga and Bone Bay. Exploiting the nickel mine yielded the urban symptom in the center of area of nickel mining. Key words: growth, settlement, Kolaka city  Makalah ini menjelaskan tentang pertumbuhan Kota Kolaka di Bone pada abad XX. Pada awal abad XX, Kolaka menjadi ibukota daerah setingkat kabupaten (onderafdeeling) Kolaka sejak tahun 1911. Pada tahun 1912 secara tidak langsung pengaruh dari kebijakan ini adalah adanya pengembangan dan perbaikan fasilitas kota dalam bentuk sarana pelabuhan, gudang, kantor tol dan pajak, serta jaringan jalan di Kolaka. Pertumbuhan pemukiman di Kolaka tersebut mempengaruhi kegiatan ekonomi dan perdagangan. Pemukiman dan fisik wilayah menjadi jauh lebih baik terutama setelah Pemerintah Belanda menyelesaikan pemukiman penduduk dengan model pemukiman yang mengikuti pola jalan sentripetal dengan pola kampung (okambo). Pola pemukiman penduduk juga mengikuti garis pantai Teluk Mekongga dan Bone. Memanfaatkan tambang nikel juga menghasilkan gejala urban di tengah area pertambangan nikel.Kata kunci: pertumbuhan, pemukiman, kota Kolaka
SAGU (TAWARO) DAN KEHIDUPAN ETNIK TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA Melamba, Basrin
Paramita: Historical Studies Journal Vol 24, No 2 (2014): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v24i2.3125

Abstract

Sago is closely related to ethnic Tolaki life, because it has historical value for Tolaki. Sago have been known by Tolaki people since the 7th century and developed in the 15th century to the present. Sago has a very vital position. Sago as a symbol of wealth as a measure of economic (hapo-hapo), food reserves, food and other business sources. In the past, sago was also an inheritance (hapo-hapo tiari), and a symbol of prosperity. Sago has a value of philosophy in the form of the social value of family or kinship, unity and integrity values and religious values. Ecologically, there is every residential land of sago (epe) which serves to hold and fertilize the soil, used to make the well as it can save water, the sago ecosystem live in various habitats in the form of fish and plants that can be utilized. Sago ecosystem can provide many kinds of fish life. Thus, sago is one important element of peoples lives in Tolaki.Keyword: Sago, history, TolakiSagu erat  kaitannya dengan kehidupan etnik Tolaki,  karena sagu memiliki nilai sejarah bagi Tolaki. Sagu telah dikenal masyarakat Tolaki sejak abad ke-7 dan berkembang pada abad ke- 15 hingga masa kini. Sagu  memiliki kedudukan yang sangat vital. Sagu sebagai simbol ekonomi Tolaki sebagai ukuran kekayaan (hapo-hapo), cadangan pangan, sumber makan dan usaha lainnya. Pada masa lalu, sagu juga merupakan harta warisan (hapo-hapo tiari), dan simbol kesejahteran.  Sagu memiliki nilai filosofi berupa nilai sosial kekeluargaan atau kekerabatan, nilai persatuan dan kesatuan dan nilai religius. Secara ekologi, setiap pemukiman Tolaki terdapat lahan sagu (epe) yang berfungsi untuk menahan dan menyuburkan tanah, dimanfaatkan untuk membuat sumur karena dapat menyimpan air, pada ekosistem sagu hidup berbagai habitat  berupa ikan dan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan. ekosistem sagu dapat menyediakan kehidupan  berbagai jenis ikan. Dengan demikian, sagu merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan masyarakat Tolaki.Kata Kunci: Sagu, Sejarah, dan Tolaki  
The Lulo Dance from Traditional to MURI Record: Historical Analysis of Tolakinese Culture in Southeast Sulawesi, Indonesia Melamba, Basrin; Syukur, La Ode; Nggawu, La Ode
TAWARIKH Vol 7, No 1 (2015)
Publisher : ASPENSI in Bandung, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (432.306 KB)

Abstract

ABSTRACT: Southeast Sulawesi is one of the provinces in Indonesia, with a population that inhabit this region divided into several ethnics, such as Tolakinese (consisting Tolaki Konawe and Mekongga), Moronenese, Wunanese (Muna), Wolionese (Buton), Wawonii, Erekenese (Kulisusu), Javanese, and Torajanese. This paper is analyzing “lulo” dance related with cultural activity of the Tolakinese people. The birth of “lulo” dance is really close with the activity of Tolakinese people in agriculture area. “Lulo” dance has been developed and changed since traditional empire era until now, which is this dance success in winning the record of MURI (Musium Rekor Indonesia or Indonesia Record Museum) in Indonesia. The development such as music background, the equipment, meaning and function of the dance, movement, costume, and etiquette, included the types of “lulo” dance itself. “Lulo” always stand and survive to show it existence as a medium of entertainment, because of “lulo” dance is easy to learn. “Lulo” dance typical is relative and flexible, it is not limited by space, time, clothes, music background, included the participant. “Lulo” dance can be performed by anyone that come from different social class in the community. “Lulo” dance is always adaptive with the development of ages. “Lulo” dance has variety in it, it is relating to the music background, movement, region, and the person who created it. The “lulo” dance had became a popular culture, especially dances in Southeast Sulawesi, Indonesia.KEY WORDS: The “lulo” dance, Tolakinese culture, Southeast Sulawesi, agriculture area, medium of entertainment, easy to learn, and historical analysis.    About the Authors: Basrin Melamba is a Lecturer at the Department of History, Faculty of Humanities UHO (University of Halu Oleo) in Kendari 93232, Southeast Sulawesi, Indonesia; La Ode Syukur and La Ode Nggawu are the Lecturers at the Department of Language and Arts, Faculty of Education and Teacher Training UHO in Kendari 93232, Southeast Sulawesi, Indonesia. E-mails address: melambabasrin@yahoo.com and awu_fan@ymail.comHow to cite this article? Melamba, Basrin, La Ode Syukur & La Ode Nggawu. (2015). “The Lulo Dance from Traditional to MURI Record: Historical Analysis of Tolakinese Culture in Southeast Sulawesi, Indonesia” in TAWARIKH: International Journal for Historical Studies, Vol.7(1) October, pp.87-98. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press, ISSN 2085-0980.Chronicle of the article: Accepted (April 21, 2015); Revised (June 17, 2015); and Published (October 28, 2015).
DARI METOBU HINGGA MEKAMBO: PERTUMBUHAN PEMUKIMAN KOTA KOLAKA PADA ABAD XX Melamba, Basrin
Paramita: Historical Studies Journal Vol 23, No 1 (2013): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v23i1.2497

Abstract

This paper describes the growth of Kolaka city in Bone in XX century. In early XX century, Kolaka became the capital of onderafdeeling Kolaka since 1911. In 1912 indirectly the influence of this policy was the development and repair of city facilities in the form of port medium, warehouse, office of toll and duty, and road network in Kolaka. Those settlement growths in Kolaka affected the economic activity and commerce. The settlement and physical region got much better especially after Dutch government settled the resident settlement with the settlement model following the centripetal roadway pattern with the village (kampung) pattern (o’kambo). The resident settlement pattern also followed the coastline of Mekongga and Bone Bay. Exploiting the nickel mine yielded the urban symptom in the center of area of nickel mining. Key words: growth, settlement, Kolaka city  Makalah ini menjelaskan tentang pertumbuhan Kota Kolaka di Bone pada abad XX. Pada awal abad XX, Kolaka menjadi ibukota daerah setingkat kabupaten (onderafdeeling) Kolaka sejak tahun 1911. Pada tahun 1912 secara tidak langsung pengaruh dari kebijakan ini adalah adanya pengembangan dan perbaikan fasilitas kota dalam bentuk sarana pelabuhan, gudang, kantor tol dan pajak, serta jaringan jalan di Kolaka. Pertumbuhan pemukiman di Kolaka tersebut mempengaruhi kegiatan ekonomi dan perdagangan. Pemukiman dan fisik wilayah menjadi jauh lebih baik terutama setelah Pemerintah Belanda menyelesaikan pemukiman penduduk dengan model pemukiman yang mengikuti pola jalan sentripetal dengan pola kampung (o'kambo). Pola pemukiman penduduk juga mengikuti garis pantai Teluk Mekongga dan Bone. Memanfaatkan tambang nikel juga menghasilkan gejala urban di tengah area pertambangan nikel.Kata kunci: pertumbuhan, pemukiman, kota Kolaka
SAGU (TAWARO) DAN KEHIDUPAN ETNIK TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA Melamba, Basrin
Paramita: Historical Studies Journal Vol 24, No 2 (2014): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v24i2.3125

Abstract

Sago is closely related to ethnic Tolaki life, because it has historical value for Tolaki. Sago have been known by Tolaki people since the 7th century and developed in the 15th century to the present. Sago has a very vital position. Sago as a symbol of wealth as a measure of economic (hapo-hapo), food reserves, food and other business sources. In the past, sago was also an inheritance (hapo-hapo tiari), and a symbol of prosperity. Sago has a value of philosophy in the form of the social value of family or kinship, unity and integrity values and religious values. Ecologically, there is every residential land of sago (epe) which serves to hold and fertilize the soil, used to make the well as it can save water, the sago ecosystem live in various habitats in the form of fish and plants that can be utilized. Sago ecosystem can provide many kinds of fish life. Thus, sago is one important element of people's lives in Tolaki.Keyword: Sago, history, TolakiSagu erat  kaitannya dengan kehidupan etnik Tolaki,  karena sagu memiliki nilai sejarah bagi Tolaki. Sagu telah dikenal masyarakat Tolaki sejak abad ke-7 dan berkembang pada abad ke- 15 hingga masa kini. Sagu  memiliki kedudukan yang sangat vital. Sagu sebagai simbol ekonomi Tolaki sebagai ukuran kekayaan (hapo-hapo), cadangan pangan, sumber makan dan usaha lainnya. Pada masa lalu, sagu juga merupakan harta warisan (hapo-hapo tiari), dan simbol kesejahteran.  Sagu memiliki nilai filosofi berupa nilai sosial kekeluargaan atau kekerabatan, nilai persatuan dan kesatuan dan nilai religius. Secara ekologi, setiap pemukiman Tolaki terdapat lahan sagu (epe) yang berfungsi untuk menahan dan menyuburkan tanah, dimanfaatkan untuk membuat sumur karena dapat menyimpan air, pada ekosistem sagu hidup berbagai habitat  berupa ikan dan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan. ekosistem sagu dapat menyediakan kehidupan  berbagai jenis ikan. Dengan demikian, sagu merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan masyarakat Tolaki.Kata Kunci: Sagu, Sejarah, dan Tolaki  
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KECAMATAN SAMPARA (1902-2015) Akmal, Andi; Melamba, Basrin
Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO Vol 1, No 2 (2016): Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO
Publisher : Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (587.807 KB) | DOI: 10.36709/jpps.v1i2.6108

Abstract

ABSTRAKOrientasi dari penelitian ini fokus pada tiga masalah pokok yaitu 1) mengetahui latar belakang sejarah Sampara, 2) menguraikan proses terbentuknya Kecamatan Sampara, 3) Mendeskripsikan faktor-faktor pendukung terbentuknya Kecamatan Sampara.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan Tahapan Heuristik (pengumpulan sumber sejarah), kritik sumber baik kritik eksternal maupun internal, interpretasi dan Historiografi.Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang sejarah Sampara, yaitu Sampara merupakan salah satu wilayah di kerajaan Konawe yang memiliki peranan penting dalam hal pertahanan lautnya. Sampara dikenal memiliki Kapita Lau atau Kapita Bondoala (Panglima Angkatan Laut)  yang juga merupakan salah satu dewan kerajaan Konawe yang disebut “Opitu Dula Batuno Konawe”  yang bertugas menjaga pertahanan di wilayah perairan di Kerajaan Konawe. pada awal masuknya Belanda di Kerajaan Konawe pada tahun 1906.. Sampara pada awal pemerintahan Belanda Berada di bawah onderafdeling Kendari pada masa Kerajaan Laiwui. Pada tanggal 24 januari 1942 Jepang berhasil mengambil alih kerajaan Laiwui dari Belanda, kedatangan Jepang awalnya disambut baik oleh masyarakat dan bangsawan tetapi lama-kelamaan berubah menjadi kebencian karena masyarakat sangat tertekan mereka disuruh bekerja secara paksa jika melawan maka mereka akan di hukum bahkan sampai terbunuh. Akhir kekuasaan jepang yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia. (2) Pembentukan Kecamatan Sampara, Berdasarkan surat keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara yang isinya adalah tentang pembubaran Distrik yang harus disusul dengan pembentukkan  wilayah Kecamatan.  Dengan berdasarkan surat keputusan tersebut dimana Kabupaten Kendari pada waktu itu terdiri 19 Distrik yang direalisir menjadi 7 wilayah administratif Kecamatan. Kemudian dengan surat keputusan Gubernur kepala daerah Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 7 Juli 1964 tentang penambahan jumlah wilayah Kecamatan dan didalamnya termasuk wilayah Kecamatan Sampara dengan ibu kotanya Pohara. (3) Faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya Kecamatan Sampara adalah (a) faktor geografi, (b) faktor sosial budaya, (c) faktor demografi, (d) faktor sejarah. Kata Kunci: Sejarah, Perkembangan, Kecamatan Sampara
Karandu (Gong): History, Functions, and Symbols in the Life of the Tolaki People in 17th -20th Century Southeast Sulawesi Marhadi, Akhmad; Syahrun, Syahrun; Melamba, Basrin; Marwati, Marwati; Hayari, Hayari
Indonesian Historical Studies Vol 7, No 1 (2023)
Publisher : Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ihis.v7i1.17090

Abstract

By applying the historical method, this study aims to explain the history of the development of the gong (karandu) in Southeast Sulawesi and how the gong changes its function and symbol. The karandu entry into Tolaki estimated about the 13th century AD, originated from Java (Majapahit) and then experienced development during the Wolio kingdom. Furthermore, the acquisition of karandu occurred between the 16th and 20th centuries from outside traders as well as through shipping and trade with the natives. Gongs at that time were used as royal and confidential treasures of high value, art, ceremonies, social status, and many more. The gong evolved to communicate in particular situations, such as codes or signs of danger, meetings, grief, etc. The function of adat as a customary object in the moruhu owuku/ mooli anakia custom (buying nobility). The traditional object in marriage was called tawa-tawa sara (traditional gong), then replaced with money (nililima/ nilungga). The religious function was used when the Mokoweadeath ceremony was beaten when death occurs until the body was delivered to the cemetery. This function remained limited to the descendants of the nobility, the rich, or those with positions. In the past, gongs had an economic role with high prices and values as a criterion of prosperity. Several symbols were contained in the gong: social status, classic, unity, religious, and communication. Nowadays, they are no longer considered valuable objects.
EKSISTENSI BENTENG KONTARA TANGKOMBUNO DI PULAU WAWONII ABAD KE-17 Syahrun, Syahrun; Melamba, Basrin; Suraya, Rahmat Sewa; Suseno, Sandi; Sarman, Sarman; Alias, Alias
Journal Idea of History Vol 8 No 1 (2025): Volume 8, Nomor 1, Januari-Juni 2025
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/8z5fvk17

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan (1) sejarah Benteng Kontara Tangkombuno diPulau Wawonii, dan (2) fungsi pembangunan benteng tersebut pada masa lampau. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yang meliputi tahapan heuristik, kritik sumber,interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Benteng Kontara Tangkombunomerupakan benteng utama masyarakat etnis Wawonii yang dibangun dengan memanfaatkan konturalam serta susunan batu besar sebagai sarana pertahanan. Sejarah benteng terbagi dalam dua periode,yaitu masa praaksara dan masa kerajaan tradisional (Mokole). Di dalam area benteng terdapat GuaUpasi dan Gua Jin yang berfungsi sebagai tempat pertemuan, serta ditemukan tinggalan arkeologisseperti makam, sisa dapur, dan tengkorak manusia maupun hewan. Fungsi utama benteng ini adalahsebagai tempat perlindungan dari ancaman luar, termasuk dari kelompok bajak laut yang disebutberasal dari Tobelo. Meskipun secara geografis letak benteng tidak berada di bibir pantai, posisinyayang strategis di dataran tinggi memberikan perlindungan alami. Akses masyarakat ke pantai melaluialiran sungai yang cukup deras juga menunjukkan adaptasi lingkungan yang kompleks dankemampuan mereka mengelola medan untuk tetap terhubung dengan wilayah pesisir tanpamengorbankan aspek keamanan.
Ijtihad Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al Buthuni: Akulturasi Islam dan Budaya Kesultanan Buton Melamba, Basrin; Siti Hafsah, Wa Ode
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 16, No 1 (2014): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/el.v16i1.2768

Abstract

The coming of Islam in the Buton Sultanate has brought a change in the social, political, even in the intellectual aspects. It produced scholars with the thought or ijitihad as a blend of Islamic and local cultures. One of the scholars as well as Buton Sultan was Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al Buthuni (1824-1851). His thought or ijitihad found the essence of the concept of manners according to the teachings of the ancestors in kabanti Bula Malino. His several works became the guidance of the public and court authorities in the Sultanate of Buton which were basically rooted from the teachings of Islam. Kaimuddin’s thought in terms of ethics, morals, manners, or advice showed his horizons of knowledge and the depth of leadership thought. The magnitude of Islamic influence in some of his works proves the enduring process of Islamic acculturation done continuously and deeply since the era of Buton Islamic empire. Kaimuddin’s thought is essentially a formation process of Buton’s civilization centered on the palace and passed to Buton society in general through the process of cultural dialogue between Buton culture (Wolio) and Islam. Masuknya agama Islam di Kesultanan Buton, telah membawa perubahan dalam bidang sosial, politik, bahkan dalam aspek intelektual. Hal ini melahirkan ulama-ulama yang memiliki pemikiran atau ijitihad yang merupakan perpaduan budaya Islam dan budaya lokal. Salah satu ulama di Buton sekaligus sebagai Sultan yaitu Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al Buthuni (1824- 1851). Pemikiran atau ijitihad Sultan Kaimuddin menemukan esensi konsep tata krama menurut ajaran leluhur dalam kabanti Bula Malino. Beberapa karyanya menjadi tuntunan masyarakat dan penguasa kraton di Kesultanan Buton yang banyak bersumber dari ajaran Islam. Pemikiran dalam hal etika, moral, tata krama, maupun nasehat Sultan Kaimuddin menunjukkan cakrawala pengetahuan dan mendalamnya pemikiran seorang pemimpin. Besarnya pengaruh Islam dalam beberapa karya Sultan Kaimuddin membuktikan berlangsungnya proses akulturasi Islam secara berkesinambungan dan mendalam dari masa kerajaan Islam Buton. Hasil pemikiran Sultan Kaimuddin pada hakekatnya merupakan sebuah proses pembentukan peradaban Buton yang berpusat pada kraton dan ditularkan pada masyarakat Buton secara umum melalui dialog kebudayaan antara kebudayaan Buton (Wolio) dengan Islam.