Claim Missing Document
Check
Articles

PENGARUH SUHU UDARA DAN BERAT SAMPEL PADA PENGERINGAN TAPIOKA MENGGUNAKAN PENGERING UNGGUN TERFLUIDAKAN . Suherman; Aprilina Purbasari; Margaretha Praba Aulia
Prosiding SNST Fakultas Teknik Vol 1, No 1 (2012): PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 3 2012
Publisher : Prosiding SNST Fakultas Teknik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Industri tapioka di Kabupaten Pati merupakan kategori industri kecil/rumah tangga, yang cukup memeliki potensi ekonomi yang sangat besar. Kendala utama yang dihadapi adalah teknologi proses pengeringan produk. Selama ini proses pengeringan dilakukan dengan menghamparkan tepung di lantai bak penjemuran. Proses pengeringan memerlukan waktu minimal 6 jam, dan apabila mendung atau akan turun hujan, maka produk akan dikumpulkan kembali walaupun masih basah. Hal inilah yang menyebabkan kualitas produk jauh dari standar SNI dan seringkali proses produksi dihentikan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tepung tapioka dengan kadar air 40% telah dikeringkan menggunakan pengering unggun terfluidakan menjadi tapioka kering dengan kadar air dibawah 14%. Paramater operasi yang diteliti adalah suhu pengeringan (30, 40, dan 60 °C) dan berat tapioka basah (100, 200, dan 250 g). Hasil eksperimen menunjukkkan bahwa tepung tapioka bisa dikeringkan hanya dalam waktu 30 menit dengan suhu 50°C. Kurva pengeringan memperlihatkan adanya periode laju pengeringan konstan di awal pengeringan sampai kadar uap air di padatan 0,3. Semakin tinggi suhu pengeringan, maka laju pengeringan semakin besar dan kandungan air sisa di padatan semakin rendah. Sedangkan, semakin banyak material padatan yang diumpankan, maka laju pengeringan semakin rendah, akan tetapi kandungan air sisa di padatan relatif sama.Kata kunci: pengeringan, tapioka, unggun terfluidakan
BIOPLASTIK DARI TEPUNG DAN PATI BIJI NANGKA Aprilina Purbasari; Ekky Febri Ariani; Raizka Kharisma Mediani
Prosiding SNST Fakultas Teknik Vol 1, No 1 (2014): PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 5 2014
Publisher : Prosiding SNST Fakultas Teknik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penggunaan kemasan plastik dari polimer sintetis dapat menimbulkan masalah lingkungan karena sulit terurai secara alamiah. Oleh karenanya plastik kini banyak dibuat dari bahan alami yang ramah lingkungan seperti polisakarida, protein, dan lemak. Biji nangka mengandung karbohidrat yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat plastik. Pada penelitian ini bioplastik dibuat dari tepung dan pati biji nangka dengan gliserol sebagai plastisizer. Variabel yang dikaji meliputi jenis bahan (tepung dan pati biji nangka), kadar bahan terhadap air (4, 6, 8%), dan kadar  gliserol terhadap bahan (30, 40, 50%). Bioplastik dari pati biji nangka mempunyai warna lebih jernih daripada bioplastik dari tepung biji nangka. Hasil uji mekanik, yaitu tensile strength dan elongation at break, menunjukkan bahwa bioplastik dari pati biji nangka memiliki tensile strength dan elongation at break relatif lebih tinggi dibandingkan bioplastik dari tepung biji nangka. Semakin tinggi kadar bahan terhadap air menyebabkan semakin tinggi tensile strength dan semakin rendah elongation at break pada bioplastik, sedangkan kenaikan kadar gliserol terhadap bahan mengakibatkan penurunan tensile strength dan kenaikan elongation at break. Bioplastik yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pengemas makanan, yaitu buah stroberi, dan menghambat proses pembusukan. Kata kunci:, bioplastik, kekuatan mekanik, tepung dan  pati biji nangka
KAJIAN AWAL PEMBUATAN SURFAKTAN DARI TEMPURUNG KELAPA Aprilina Purbasari; . Hargono
JURNAL ILMIAH MOMENTUM Vol 6, No 1 (2010)
Publisher : Universitas Wahid Hasyim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36499/jim.v6i1.119

Abstract

Tempurung kelapa merupakan limbah dari buah kelapa yang berpotensi untukdijadikan surfaktan karena kandungan lignin sekitar31,9%.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan perebus dan perbandingan reaktan untuk memperoleh hasil surfaktan yang maksimal. Lignin yaitu suatu phenolic polimer yang menyebabkan kekuatan dan rigidity pada dinding sel tanaman berkayu. Surfaktan adalah zat seperti deterjen yang ditambahkan pada cairan untuk meningkatkan sifat penyebaran atau pembasahan dengan menurunkan tegangan muka. Tempurung kelapa kering dihaluskan dan dikumpulkan serbuknya sebagai bahan baku. Serbuk tempurung kelapa direaksikan dengan larutan natrium bisulfit dengan variasi konsentrasi 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30%, dan variasi perbandingan tempurung kelapa dan natrium bisulfit sebesar 1:5, 2:5 dan 3:5 di dalam suatu reaktor menggunakan labu leher tiga dengan operasi suhu 115 0 C, waktu reaksi 20 menit, pH 4 serta kecepatan pengadukan 80 rpm. Hasilnya disaring sehingga dihasilkan residu dan filtrat. Filtrat yang mengandung surfaktan dianalisis dengan metode spektrofotometri UV- Visible. Berdasarkan penelitian didapatkan surfaktan maksimal pada penggunaan natrium bisulfit dengan konsentrasi 30% dan perbandingan reaktan 3:5. Kata Kunci: surfaktan, tempurung kelapa
PEMANFAATAN LIMBAH FURNITURE ENCENG GONDOK (Eichornia crassipes) di Koen Gallery SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN BRIKET BIOARANG Arif Fajar Utomo; Nungki Primastuti; Aprilina Purbasari
JURNAL TEKNOLOGI KIMIA DAN INDUSTRI Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (911.851 KB)

Abstract

Penelitian dilakukan dengan membuat briket dengan campuran enceng gondok (Euchornia crassipes), yang sebelumnya sudah dipirolisa menjadi arang, dengan dua jenis perekat, yaitu tepung terigu dan tepung tapioka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan briket arang dari enceng gondok, jenis perekat, ukuran ayakan, serta konsentrasi perekat yang menghasilkan brikest dengan kualitas terbaik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa briket dengan bahan perekat tepung tapioka lebih baik daripada briket dengan bahan perekat tepung terigu. Briket dengan perekat tapioka memiliki shatter index dengan loss yang paling sedikit serta stability yang lebih baik, meskipun nilai kalornya sedikit dibawah nilai kalor briket dengan perekat terigu. Nilai kalor tertinggi yang didapatkan dari penelitian ini adalah 3748.69 kal/gr, nilai dihasilkan dari briket dengan variabel perekat 20% dan ukuran partikel 20 mesh. Briket paling kuat diperoleh dari variabel 20% perekat dengan ukuran partikel 40 mesh karena hanya kehilangan partikel sebesar 0,11%. Pengujian stability menunjukkan bahwa briket memiliki ukuran yang relatif konstan dari hari ke hari. Dari penelitian ini diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan limbah biomassa seperti Enceng gondok (Euchornia crassipes) sehingga menjadi kontribusi bagi upaya pengadaan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
PEMBUATAN NATA BERBAHAN DASAR ALANG-ALANG SECARA FERMENTASI SEBAGAI KAJIAN AWAL PEMBUATAN EDIBLE FILM Agnesia Permatasari; Hafsah Fajrin Aprilianti; Aprilina Purbasari
JURNAL TEKNOLOGI KIMIA DAN INDUSTRI Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012
Publisher : Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (104.303 KB)

Abstract

Nata is a kind of food fermented by Acetobacter xylinum bacteria, which is forming a gel which floats on the surface of the media or places that contain sugar. Reed plants contain glucose ± 6.8% so it can be used nata. Nata can be harnessed into goods that have a higher economic value, among which are the edible film. Purpose of this study was to determine the effect of concentration of the added starter (Acetobacter xylinum) and influence the level of acidity (pH) in the process of making nata, furthermore nata can be used for manufacture of  edible film. Major in this prosedur there are two steps, first fermentation nata and the second is the manufacture of edible main film. Variable in this study are the variation of pH of 3, 4 and 5 and starter concentration of 10%, 20% and 30%. Optimal result from this study at pH 4 and concentration 30%. This means the addition of 30% of the activity of bacteria Acetobacter xylinum are on optimal conditions in which the starter to the maximum 30% sufficient for the formation of nata. From the results of experiments conducted, the resulting edible film with a thickness of 0.05 mm, tensile strength of 6.635 N/mm2, edible films can be used as food packaging materials with tensile strength values ​​ranged from 2.89 to 27.26 N/mm2 making edible films nata produced from reeds can be used for food packaging materials.
PENGARUH PERBANDINGAN JUMLAH STARTER TERHADAP PROSES FERMENTASI WINE APEL MENGGUNAKAN NOPKOR MZ-11 Rini Kusumawati; Muhammad Adi Irawan; Aprilina Purbasari
JURNAL TEKNOLOGI KIMIA DAN INDUSTRI Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1745.289 KB)

Abstract

Based on Department of Agriculture and Forestry Batu, Malang, in the 2010, the number of apple productions are 2,574,852 trees with productivity reaching 17 kg / tree. From all of trees only 60-70% of apples that can be harvested and sold in the market. The apple that doesn’t sell in the market, named reject apple. Until now, this apple could not be fully utilized. NOPKOR MZ 11 is multicultural is the main constituent microbes with S. Cerevicea Bolognesis that can convert sugar to alcohol, such as others S. Cerevicea. The advantages of this NOPKOR is its durability very high so it does not die easily. The main objective from this research is to determine the effect of the starter substrate ratio the growth of biomass and the resulting alcohol. The method which used are starter that added and the time of fermentation. And then from the data of refractive index result the phenomena of fermentation process. From the refractive index and using a standard curve, the data is converted. So that the refractive index is known and the amount of biomass levels of alcohol contained in the wine. Based on the research results, alcohol and optimal growth obtained in the ratio of 10% starter volume, it can able because a balanced amount of nutrients obtained by microbes thus more optimal growth and the amount of alcohol that produced is also higher. The longer of fermentation time, the amount of alcohol obtained and the number of microbes continued to increase, until the end of fermentation the increase was not too rapidly and tends to approach a constant, this is because the microbes have entered the stationary phase so that growth is not as fast as the previous phase.
PENINGKATAN KADAR EUGENOL PADA MINYAK ATSIRI CENGKEH DENGAN METODE SAPONIFIKASI-DISTILASI VAKUM Machmud Lutfi H; Wisnu Jati N; Aprilina Purbasari
JURNAL TEKNOLOGI KIMIA DAN INDUSTRI Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (123.676 KB)

Abstract

The purpose of this research is to study the saponification and vacuum distillation process to isolate eugenol from clove essential oils and get the optimum condition from this process.Eugenol is a compound that is used in many industries, such as perfume, flavouring, pesticides and anesthetic. In this era, the clove essential oils are available in market including 70% of eugenol. But the industry needs more than 90% eugenol included. So, we need the efficience process to increase its purity. And the process we use in this research is saponification-vacuum disltilation. The experimental design used in this research is the variation of NaOH normality and the temperature operation of distilllation.The NaOH normalities are from 0,3 to 1,2 N, and the temperature operation of distilllation are 170 o, 195 o, 220o C. The procedure of this research is mixing 70% clove essential oils with NaOH . After the solution has became homogeneous, let it stand into two layers, water and Na-eugenol. Separate the organic layer, and add HCl to the Na-eugenol till the pH down into 3-4. And then separate them. The higher layer that is 80 % eugenol is entered to the distilation tube. Run the distilation process with fixed temperature and vacuum pressure (6x10-2 kPa). After distillation process we got the weightest mass of eugenol at the temperature 220o C that the mass is 33,13 grams and the percentages of the mass is 89,65%.
PEMBUATAN BIOETANOL DARI SINGKONG KARET (Manihot glaziovii) UNTUK BAHAN BAKAR KOMPOR RUMAH TANGGA SEBAGAI UPAYA MEMPERCEPAT KONVERSI MINYAK TANAH KE BAHAN BAKAR NABATI Mira Amalia Hapsari; Alice Pramashinta; Aprilina Purbasari
JURNAL TEKNOLOGI KIMIA DAN INDUSTRI Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1201.81 KB)

Abstract

Manihot glaziovii is a tuber that non-food corps, because it contains cyanide acid (HCN) which are toxic. Carbohydrate content in cassava tubers is 98,5% so it is worth to be converted to bioethanol. Bioethanol is a product of hydrolysis of starch to glucose, followed by enzymatic fermentation of glucose using yeast Saccharomyces cereviceae to ethanol. The purpose of this study is to find the optimum time and mass effect on of yeast to produced ethanol as a fuel household stoves. The research was carried out in several stages, including the enzymatic hydrolysis of cassava starch to glucose and continued fermentation of glucose to ethanol. Bioethanol purification is done by distillation process. The main tool that used is fermentor and distillation tower as a means of separating ethanol from water. Analysis of glucose levels is done by titration using Fehling A and B, while the ethanol concentration measurements with alkoholmeter. The results showed that the optimum volume was 3 mL enzyme that produces glucose level of 18% which is good for fermentation. The results that have been achieved for the fermentation time variable 144, 168 and 192 hours earned the highest ethanol content is 94% at 168 hours fermentation time, while for variable mass 5.10 yeast, and 15 g obtained the highest ethanol content is 94% in mass yeast 15 gr.
PROSES PEMBUATAN BIODIESEL DARI DEDAK DAN METANOL DENGAN ESTERIFIKASI IN SITU Wulandari Dharsono; Y. Saptiana Oktari; Aprilina Purbasari
JURNAL TEKNOLOGI KIMIA DAN INDUSTRI Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (103.828 KB)

Abstract

Kandungan asam lemak bebas (Free Fatty Acid (FFA)) yang tinggi menyebabkan minyak dedak padi dapat dikonversi menjadi Fatty Acid Methyl Ester (biodiesel) dengan esterifikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan dedak sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dengan proses esterifikasi in situ serta mempelajari pengaruh jumlah solvent (metanol) dan waktu operasi dalam pembuatannya. Kandungan asam lemak bebas dalam dedak padi dapat meningkat cepat karena adanya enzim lipase aktif dalam dedak padi setelah proses penggilingan. Metode yang digunakan untuk pembuatan biodiesel pada penelitian ini adalah proses esterifikasi in situ. Di dalam proses ini, dedak dicampur dengan metanol dan katalis asam (H2SO4) di mana metanol berfungsi sebagai solvent sekaligus reaktan. Pada proses ini asam lemak bebas dapat terekstrak dari dedak dan selanjutnya bereaksi dengan metanol membentuk metyl ester (biodiesel). Variabel tetap yang digunakan adalah berat dedak 50 gram, kecepatan pengadukan dengan skala 4, jumlah katalis H2SO4 1% volume. Variabel berubahnya pada proses esterifikasi in situ adalah jumlah methanol  150, 200, 250 ml dan waktu reaksi 1;2;3;4 jam. Proses esterifikasi in situ dedak padi mampu menghasilkan biodiesel,dengan waktu operasi optimum adalah 60 menit dan penambahan jumlah methanol sebesar 200 ml menghasilkan konversi paling tinggi
Kajian Dehidroksilasi Termal Kaolin menjadi Metakaolin menggunakan Analisis Termogravimetri Aprilina Purbasari; Tjokorde Walmiki Samadhi
ALCHEMY Jurnal Penelitian Kimia Vol 17, No 1 (2021): March
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/alchemy.17.1.47337.105-112

Abstract

Kaolin merupakan mineral yang banyak dimanfaatkan di berbagai industri. Kaolin dapat diubah menjadi metakaolin yang lebih reaktif melalui proses dehidroksilasi termal. Pada penelitian ini, proses dehidroksilasi termal kaolin dari Bangka Belitung menjadi metakaolin dikaji menggunakan analisis termogravimetri pada rentang suhu 30 – 900 °C dengan laju pemanasan 10 °C/menit dalam lingkungan atmosfer udara. Kaolin mengalami empat tahap dekomposisi dan dehidroksilasi kaolin menjadi metakaolin terjadi pada suhu sekitar 450 – 600 °C. Berdasarkan metode Coats dan Redfern, dehidroksilasi kaolin mengikuti model reaksi order satu dengan energi aktivasi 271,66 kJ/mol dan faktor pre-eksponensial 6,13×1015 s-1. Hasil analisis menggunakan spektroskopi X-ray diffraction (XRD) dan Fourier Transform Infrared (FTIR) pada kaolin setelah dipanaskan pada suhu 550 °C selama 3 jam menunjukkan bahwa sebagian besar kaolin telah berubah menjadi metakaolin.Study of Thermal Dehydroxylation of Kaolin to Metakaolin using Thermogravimetric Analysis. Kaolin is a mineral that is widely used in various industries. Kaolin can be converted into metakaolin which is more reactive through thermal dehydroxylation processes. In this study, thermal dehydroxylation process of Bangka Belitung kaolin into metakaolin was studied using thermogravimetric analysis in a temperature range of 30 – 900 °C with a heating rate of 10 oC/min in an air atmosphere condition. Kaolin underwent four stages of decomposition and dehydroxylation of kaolin into metakaolin occured at temperatures around 450 – 600 °C. Based on the Coats and Redfern method, kaolin dehydroxylation followed first order reaction model with activation energy of 271.66 kJ/mol and pre-exponential factor of 6.13×1015 s-1. The analysis using X-ray diffraction (XRD) dan Fourier Transform Infrared (FTIR) spectroscopy on kaolin after heating at temperature of 550 °C for 3 hours showed that most of the kaolin had turned into metakaolin.
Co-Authors . Suherman Afiatin Afiatin Afri Yenni Agnesia Permatasari Alice Pramashinta Andri Cahyo Kumoro Anissa Ardanti Wulandari Ariestya Meta Devi Arif Fajar Utomo Aulia Beta Safira Ayyubi, Shalahudin Nur Budi Ismadi Budiyono Budiyono Darmaji, Timothius Adrian Christantyo Dessy Ariyanti Dessy Ariyanti Didi Dwi Anggoro Ekky Febri Ariani Erwan Adi Saputro Faleh Setia Budi Fikri Mudzakir Marasabessy Hafsah Fajrin Aprilianti Hamzah, Fazlena Hapsari, Farida Diyah Hargono Hargono Heny Kusumayanti Heny Kusumayanti Herry Santosa Heru Susanto Kristinah Haryani Laeli Kurniasari Lesdantina, Dina Lukman Atmaja Lulluil Mahsunnah Luqman Buchori M. Djaeni Machmud Lutfi H Margaretha Praba Aulia Mira Amalia Hapsari Muhammad Adi Irawan Muslim, Aristianto Nita Aryanti Nita Aryanti Noer Abyor Handayani Noer Abyor Handayani Nungki Primastuti Pratama, Pambudi Pajar Pratiwi, Wahyu Zuli Purwanto Purwanto Purwanto Purwanto Pury Diana Shintawati Raizka Kharisma Mediani Ratnawati Ratnawati Restu Kusumawardani Rini Kusumawati Samadhi, T Walmiki Saputra, Erwan Adi Sary, Cindy Nella Setia Budi Sasongko Shalahudin Nur Ayyubi Silviana Silviana Silviana Silviana Siswo Sumardiono Slamet Priyanto Sri Rukiyawati Suherman Suherman Titik Istirokhatun Tjokorde Walmiki Samadhi Tjokorde Walmiki Samadhi Tjokorde Walmiki Samadhi Tkokorde Walmiki Samadhi Tutuk Djoko Kusworo Vitus Dwi Yunianto Vitus Dwi Yunianto Budi Ismadi Wei Gao Wisnu Jati N Wulandari Dharsono Y. Saptiana Oktari Yazid Bindar Yazid Bindar Yustina Linasari