Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dumping Limbah ke Media Lingkungan Hidup Tanpa Izin di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Muara Bulian Nys. Arfa
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 3 No. 1 (2019): Volume 3, Nomor 1, Juni 2019
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (150.944 KB) | DOI: 10.22437/jssh.v3i1.7139

Abstract

Pembuangan limbah cair beracun pada saat ini masih sering terjadi, salah satunya di wilayah hukum pengadilan Negeri Muara Bulian. Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk perbuatan pencemaran lingkungan, jika hal ini dibiarkan dapat merugikan kesehatan masyarakat, daerah maupun negara. Setiap orang yang melakukan dumping limbahke media lingkungan hidup tanpa izin akan dikenai dengan suatu aturan hukum pidana yang diancam dengan pidana. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tetang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 104 ditentukan bahwa: Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 menentukan bahwa: Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan kemedia lingkungan hidup tanpa izin. Permasalahan mendasar yang tampak adalah dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin tersebut karena dari beberapa kasus yang terjadi hanya sedikit kasus yang sampai diteruskan ke Pengadilan. Oleh karena itu pentingnya mengetahui faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin tersebut.
Pola Pembinaan Terhadap Narapidana Seumur Hidup Dalam Kebijakan Implementasinya Nys Arfa; Syofyan Nur; Yulia Monita
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 3 No. 2 (2019): Volume 3, Nomor 2, Desember 2019
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.754 KB) | DOI: 10.22437/jssh.v3i2.8428

Abstract

Pembinaan narapidana di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pembinaan narapidanaa itu sendiri terdiri dari narapidana waktu tertentu tidak lebih dari 20 (dua puluh) tahun dan narapidana seumur hidup menjalani hukuman sampai meninggal dunia. Permasalahan yang muncul adalah terkait dengan pembinaan narapidana seumur hidup yang pembinaannya bersifat jangka panjang, karena tidak dapat diketahui pasti kapan seseorang meninggal. Sementara pembinaan narapidana berdasarkan paraturan perundang-undangan yang berlaku adalah pola pembinaan secara umum untuk seluruh narapidana taanpa membedakan lama pidana dari narapidanaa itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana pola pembinaan narapidana seumur hidup tersebut dalam kebijakan implementasinya. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dimana dalam penelitian ini nanti akan dikaji mengenai kebijakan hukum pidana dalam pembinaan narapidana seumur hidup, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa pola pembinaan narapidana seumur hidup didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pola pembinaan yang berlaku secara umum untuk seluruh narapidana tanpa membedakan lama pidana yang yang dijatuhkan terhadap narapidana. Terhadap narapidana yang dijatuhi pidana seumur hidup belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terkait dengan pembinaannya. Dengan kata lain pembinaan narapidana seumur hidup mengikuti pada paraturan perundang-undangan yang sudah ada. Sistem pemasyarakatan memberikan pembinaan sesuai tahapan baku. Kebijakan implementatif tetap menempatkan narapidana seumur hidup berada di dalam sistem pemasyarakatan, akan tetapi agak sulit menentukan tahapan-tahapan pembinaannya karena masa pidana dari narapidana seumur hidup tidak terbatas.
Kajian Normatif Tentang Penyitaan Barang Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Yulia Monita; Hafrida Hafrida; Nys Arfa; Elizabeth Siregar
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, Desember 2021
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masih banyaknya permasalahan yang terjadi berkenaan dengan penyitaan barang bukti dalam Tindak pidana korupsi, baik mengenai pengaturan maupun implikasi dari penyitaan barang bukti dalam Tindak pidana korupsi. Hal ini penting untuk di teliti, karena pengaturan akan membawa dampak dari keabsahan alat bukti tersebut. Keabsahan alat bukti ini akan berpengaruh untuk hakim dalam pertimbangan hukum dan memutuskan suatu putusan dari suatu kasus Tindak pidana korupsi. Hal ini harus jelas untuk memberikan kepastian hukum berkaitan prosedur penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi, agar alat bukti yang di sita tersebut memang dilakukan sesuai ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun ada persoalan jika penyitaan dilakukan tidak sesuai prosedur atau bahkan melanggar ham, tapi alat bukti tersebut tetap dijadikan alat bukti dipersidangan dan tetap dipertimbangakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah perangkat hukum untuk penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi sudah cukup memandai, termasuk impilkasi keabsahan dari barang bukti tindak pidana korupsi tersebut. Apakah masih diperlukan aturan hukum lainnya untuk pengaturan penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan paparan tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah Pengaturan penyitaan barang bukti dalam tindak pidana korupsi ? Bagaimana implikasi penyitaan alat bukti dalam tindak pidana korupsi terhadap keabsahan alat bukti dalam sistem peradilan pidana Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif yaitu suatu tipe penelitian yang mengkaji hal-hal yang bersifat teoritis, asas, konsepsi, doktrin hukum serta kaidah hukum yang berhubungan dengan penyitaan barang bukti dalam tindak pdiana korupsi. Sedangkan bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier beserta sumbernya. Dari hasil penelitian menjawab semua permasalahan yang ada dengan cara menganalisis secara yuridis yang dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran-pemikiran secara hukum mengenai pengaturan dan implikasi penyitaaan alat bukti dalam tindak pidana korupsi tersebut.
Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pelacuran Novri Ihda Mursyidah Tanjung; Elly Sudarti; Nys. Arfa
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 6 No. 1 (2022): Volume 6, Nomor 1, Juni 2022
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/jssh.v6i1.19736

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai tindak pidana pelacuran dalam prespektif hukum pidana serta mengetahui dan menganalisis mengenai kriminalisasi terhadap pelacur dan pelanggan pelacuran dalam prespektif kebijakan hukum pidana. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil dari penelitian ini adalah adanya kekosongan hukum dalam pengaturan mengenai tindak pidana pelacuran dalam hukum pidana Indonesia yang mana aturan yang sudah ada saat ini yakni Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP hanya mengatur mengenai pidana terhadap muncikari nya saja, sedangkan mengenai pelacur dan pelanggan pelacurannya belum diatur. Perlunya dibuat suatu aturan hukum yang mengatur mengenai semua pihak yang terlibat di dalam tindak pidana pelacuran ini agar tercapainya suatu keadilan dan kepastian hukum dan juga agar dapat mengurangi adanya pelacuran di Indonesia.
Pemidanaan terhadap Pelaku yang Bersama-sama Melakukan Tindak Pidana Narkotika dengan Permufakatan Jahat Ratna Hidayati; Herry Liyus; Nys Arfa; Aga Anum Prayudi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.20036

Abstract

This study aims to analyze the Prosecution of Perpetrators Who Jointly Commit Narcotics Crimes with Malicious Settlement based on The Analysis of Court Decision No. 156 / Pid.Sus / 2018 / PN. TLC. The results of this study show that criminal charges against the defendants in Court Decision No. 156 / Pid.Sus / 2018 / PN. KLT based on the role carried out by each defendant with the proven actions of the defendants in accordance with Article 18 of Law No. 35 of 2009 on Narcotics with the imposition of criminal penalties under Article 114 Paragraph (2) Jo. Article 132 Paragraph (1) of Law No. 35 of 2009 on Narcotics that is that the defendants act as people participate in (medeplegen), and the person who is persuaded to commit a criminal act (uitlokken) and as a basis for the judge's consideration in the giving of the weight or lightness of the sentence of the accused judge must pay attention to several considerations. In criminal proceedings against the accused shall be proportionate to the weight of the guilt made by the accused and the prosecution shall not reflect the arbitrariness of the sentence itself. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pemidanaan Terhadap Pelaku Yang Bersama-sama Melakukan Tindak Pidana Narkotika Dengan Permufakatan Jahat berdasarkan Analisis Putusan Pengadilan Nomor 156/Pid.Sus/2018/PN. KLT. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penjatuhan pidana terhadap para terdakwa dalam Putusan Pengadilan Nomor 156/Pid.Sus/2018/PN. KLT berdasarkan dengan peran yang dilakukan oleh masing-masing terdakwa dengan terbuktinya tindakan para terdakwa yang sesuai dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan penjatuhan hukuman pidana berdasarkan Pasal 114 Ayat (2) Jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu bahwa para terdakwa berperan sebagai orang turut serta melakukan (medeplegen), orang yang membantu melakukan (medeplichtige) dan orang yang dibujuk melakukan tindak pidana (uitlokken) serta sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam pemberian berat atau ringannya hukuman terdakwa hakim harus memerhatikan beberapa pertimbangan. Dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa harus sebanding dengan bobot kesalahan yang dibuat oleh terdakwa dan pemidanaan tidak boleh mencerminkan kesewenang-wenangan dari hukuman itu sendiri.
Ultra Petita Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Chanifah Chanifah; Elly Sudarti; Nys. Arfa
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 4 No. 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v4i1.24075

Abstract

In the criminal realm there are no provisions that explicitly state the permissibility or inability of judges to decide beyond what is required. Where this indirectly becomes the limit of the judge in deciding the case. The panel of judges can pass a lower, equal or even higher decision than the public prosecutor's requisitor. Judges have freedom and independence in deciding cases, in this case it can be found in the trial facts that the thing that weighs on the defendant is that when the Panel of Judges is convinced that a sentence is higher than the demands of the Public Prosecutor, then in fact the sentence does not violate the criminal procedure law. So according to the author, the Ultra Petita decision of the panel of judges is in line with the provisions of laws and regulations because it does not at all go beyond the maximum legal limits set out in Article 285 of the Criminal Code. Abstrak Dalam ranah pidana tidak ada ketentuan yang menyatakan secara eksplisit mengenai kebolehan atau ketidakbolehan hakim dalam memutuskan melebihi apa yang diminta. Dimana hal tersebut secara tidak langsung menjadi batasan hakim dalam memutus perkara. Majelis hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama atau bahkan lebih tinggi dari rekuisitor penuntut umum. Hakim memiliki kebebasan dan indepedensi dalam memutus perkara, dalam kasus ini dapat ditemukan dalam fakta persidangan bahwa hal yang memberatkan terdakwa adalah ketika Majelis Hakim berkeyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka sebenarnya hukuman itu tidak melanggar hukum acara pidana. Sehingga menurut penulis, putusan Ultra Petita majelis hakim telah sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena sama sekali tidak keluar dari batasan maksimal hukum yang telah ditetapkan dalam Pasal 285 KUHP.