Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Hubungan Terpaan Informasi Politik Partai NasDem di Televisi dan Komunikasi di dalam Kelompok Referensi Terhadap Preferensi Memilih Partai NasDem Mufti, Zulfikar; Pradekso, Tandiyo; Santosa, Hedi Pudjo
Interaksi Online Vol 2, No 2: April 2013
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (104.079 KB)

Abstract

PENDAHULUAN Saat ini, kehidupan masyarakat seakan tidak bisa luput dari informasi.Dimanapun tempat beraktivitas, akan selalu ditemui informasi baik dengansengaja ataupun tidak. Informasi hadir dengan beragam bentuk kepadamasyarakat, baik yang melalui media cetak, elektronik, maupun konvensional.Dari sekian banyak pilihan saluran komunikasi yang ada, televisi adalahsalah satu media yang menjadi pilihan favorit masyarakat. Hal itu tidak bisadilepaskan dari kelebihan – kelebihan media televisi yakni dalam segi audiovisual, baik suara, gerak, dan gambar. Kelebihan inilah yang kemudian membuatinformasi yang disampaikan melalui televisi menjadi lebih menarik dan memilikidampak yang lebih besar kepada audiencenya.Seiring perkembangan zaman, media televisi tidak hanya menjadi salurankomunikasi bagi pesan – pesan komersil, tetapi juga pesan – pesan yangmengandung informasi politik pun kini sudah banyak menghiasi layar televisikita. Pesan – pesan politik yang sering muncul di televisi paling sering dikemasdalam bentuk iklan dan berita.Informasi politik yang sering hadir di televisi saat ini adalah informasitentang partai Nasional Demokrat atau yang sering disingkat NasDem, informasiyang ditampilkan dikemas dalam dua bentuk yaitu berita dan iklan politik.Menariknya, partai ini di danai oleh Surya Paloh yang juga merupakanpemilik dari stasiun televisi MetroTV. Bahkan belakangan Harie Tanoesodibyoyang juga pemilik MNC Group yang terdiri dari RCTI, Global TV, dan MNC TVpun merapat ke partai Nasdem dengan jabatan sebagai ketua dewan pakar. Olehsebab itu, tak dapat dihindari bagaimana informasi politik tentang partai NasDemkerap kali bermunculan di beberapa stasiun televisi yang telah disebutkan di atas.Perubahan yang sangat signifikan pada pemilu di era reformasi adalahrakyat langsung bisa memilih para calon wakil – wakilnya yang akan duduk diDPR, kemudian Presiden, Gubernur, Bupati maupun walikota. Sayangnya dilainpihak, angka partisipasi masyarakat dalam setiap perhelatan politik lima tahunantersebut selalu mengalami penurunan. Individu - individu yang tidak ikutberpartisipasi dalam pemilihan umum ini sering disebut dengan sebutan “golput”atau golongan putih. (http://kanalpemilu.net/?q=node/800).\Salah satu kelompok sosial di masyarakat yang rentan untuk menjadigolput adalah mahasiswa, hal ini karena tingkat pendidikan yang dimilikimahasiswa untuk cenderung bertindak secara rasional dalam menentukan sikappolitiknya, sikap golput ini karena tidak ada pilihan calon yang layak dan bersihuntuk dipilih sehingga mahasiswa menentukan untuk golput, selain itu mahasiswacenderung bersikap apatis, apolitis dan kritis terhadap pemilu, serta merupakankelompok yang biasanya teralienasi dari sistem atau proses politik yang ada.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji hubungan terpaan informasipolitik partai NasDem di televisi dan komunikasi di dalam kelompok referensiterhadap preferensi memilih.Tipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe explanatory(penjelasan) yang dimaksudkan untuk mengetahui hubungan diantara variabelbebas dan variabel terikat dari tema penelitian. Penelitian explanatory digunakanuntuk menjelaskan hubungan atau korelasi antara terpaan informasi politik partaiNasDem di televisi sebagai variabel independen pertama, dan komunikasi dalamkelompok referensi sebagai variabel independen kedua, dengan preferensimemilih sebagai variabel dependen.PEMBAHASANDalam berkomunikasi minimal akan tiga unsur yang langsung terlibat,yakni communicator, message, dan communicant. Komunikasi yang dilakukanakan selalu menimbulkan effect seperti apa yang dijabarkan oleh Harold Laswellbahwa komunikasi adalah siapa mengatakan apa, melalui apa, kepada siapa, danapa akibatnya ( Cangara, 2009 : 19). Efek terjadi sebagai dampak atau timbalbalik atas pesan yang diterima individu baik secara sengaja maupun tidakdisengaja. Efek pada komunikasi massa dapat dilihat dari adanya suatu perubahanyang terjadi sebagaimana yang diinginkan komunikator, seperti pengetahuan,sikap, dan perilaku, atau bahkan ketiganya ( Wiryanto, 2000 : 39).Karena dalam penelitian ini media massa tidak menjadi variabel tunggaldalam mempengaruhi sikap, maka diperlukan model efek terbatas yangmenjelaskan ada hubungan faktor lain secara psikologis dan sosial yangmempengaruhi sikap. Penelitian Joseph Klapper melaporkan tentang efek mediamassa dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, yaitu :1. Pengaruh komunikasi massa dikarenakan oleh faktor – faktor sepertipredisposisi persona, proses selektif, keanggotaan kelompok atau disebutjuga faktor personal.2. Karena faktor – faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsimemperkokoh sikap dan pendapat yang ada , walaupun kadang – kadangberfungsi sebagai media pengubah (agent of change)3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecilpada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada ”konversi” (perubahanpada seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain.4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap bidang – bidangdi mana pendapat orang lemah.5. Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentangmasalah – masalah baru bila tidak ada presdiposisi yang harus dipengaruhi(Rakhmat, 2005 : 232).Joseph Klapper dalam buku The Effect of Mass Communicationmenunjukkan temuan yang menarik, bahwa faktor psikologis dan sosial ikutberpengaruh dalam proses penerimaan pesan dari media massa. Faktor – faktortersebut antara lain proses seleksi, proses kelompok, norma kelompok, dankeberaan pemimpin opini (Nurudin, 2003 : 208). Media massa bukan hanya faktortunggal dalam dalam perubahan sikap, kelompok adalah psikologis yang dapatmempengaruhi individu.Dari hasil uji statistik korelasi Rank Kendal diketahui bahwa hipotesisyang menyatakan terdapat hubungan antara terpaan informasi politik partaiNasDem di televisi (X1) terhadap preferensi memilih partai NasDem (Y) di tolak.Artinya bahwa tinggi rendahnya terpaan informasi politik partai NasDem ditelevisi yang menerpa responden, tidak semerta – merta membuat respondencenderung untuk memilih partai NasDem.Bittner ( dalam Nurudin, 2007 : 211) mengungkapkan fokus utama efekmedia adalah tidak hanya bagaimana media mempengaruhi audience, tetapibagaimana juga audience mereaksi pesan – pesan media yang sampai padadirinya. Faktor interaksi yang terjadi antar individu akan mempengaruhi pesanyang diterima. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah bagaimanaresponden memberikan respon terhadap informasi politik partai NasDem yangditerimanya melalui media televisi, responden sebagai individu juga tidak terlepasdari interaksi dengan kelompok referensinya yang membentuk sikap respondendalam mengurai terpaan informasi partai NasDem yang diterimannya.Nurudin ( 2007 : 225 – 226) menyatakan ada dua alasan yangmengakibatkan efek terbatas media massa bisa terjadi, yaitu :1. Rendahnya terpaaan media massaMcQuail (dalam Rakhmat, 2004 : 199) mengatakan bahwa makinsempurna monopoli komunikasi massa, makin besar kemungkinan perubahanpendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dikehendaki.2. Perlawanan individu dalam menerima pesan mediaMcQuail (dalam Rakhmat, 2004 : 199) mengatakan bahwapemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat dankepentingan yang ada dan oleh norma – norma kelompok.Setelah dilakukan pengujian, dapat diinterpretasikan bahwahipotesis yang menyatakan terdapat hubungan komunikasi di dalam kelompokreferensi (X2) terhadap preferensi memilih partai NasDem (Y) diterima. Artinyabahwa tinggi rendahnya komunikasi di dalam kelompok referensi akan ikutmempengaruhi preferensi memilih partai NasDem.Kelompok rujukan adalah alat ukur yang digunakan untuk menilai dirisendiri atau untuk membentuk sikap. konformitas di dalam kelompok membuatkelompok rujukan menjadi sangat efektif dalam membentuk sikap individu(Rakhmat, 2004: 149).Selain media massa, saluran informasi politik dapat melalui komunikasi didalam kelompok (Maran, 2001 : 165). Interaksi yang sering terjadi membuathubungan mereka menjadi lebih akrab satu sama lain. Komunikasi yang terjadidalam kelompok ini adalah menggunakan dua arus komunikasi, yang pada tahappertama pemimpin – pemimpin opini di kelompok akan menguraikan danmenyaring pesan – pesan yang masuk, kemudian disebarkan kepadakelompoknya.Saluran informal dalam kelompok penting karena tiga hal, yaitu pertama :sebagai saluran informasi yang aktual; kedua, sebagai sumber tekanan sosial atasindividu untuk mematuhi berbagai norma tingkah laku; dan ketiga, sebagaisumber dukungan atas norma – norma yang berguna bagi keutuhan dalamkelompok (Maran, 2001 : 166).Setelah dilakukan uji korelasi, dapat diinterpretasikan bahwa hipotesisyang menyatakan terdapat hubungan antara terpaan informasi politik partaiNasDem di televisi (X1) dan komunikasi didalam kelompok referensi (X2)terhadap preferensi memilih partai NasDem (Y) di terima. Artinya bahwa terpaaninformasi politik partai NasDem dan komunikasi dalam kelompok referensi dapatmempengaruhi preferensi memilih partai NasDem, sekalipun kedua variabeltersebut tidak dapat secara mutlak membentuk preferensi memilih.Preferensi memilih dalam pemilihan umum, selain dipengaruhi olehInformasi Politik juga dipengaruhi oleh hubungan interpersonal yang membentukkomunikasi dalam kelompok.Terpaan informasi politik partai NasDem dan komunikasi di dalamkelompok referensi membutuhkan sebuah tahapan atau proses agar sampai padasikap preferensi memilih partai NasDem. Kelman (dalam Azwar, 2005 : 55)mengungkapkan teorinya mengenai organisasi sikap dengan menekankankonsepsinya mengenai proses yang sangat berguna dalam memahami fungsipengaruh sosial terhadap perubahan sikap. Tiga proses sosial yang berperan dalamperubahan sikap adalah kesediaan, identifikasi, dan internalisasi.Pada akhirnya, penelitian ini menunjukkan bahwa variabel terpaaninformasi politik partai NasDem di televisi dan variabel komunikasi di dalamkelompok referensi bahwa memiliki hubungan dengan variabel memilih partaiNasDem, namun kedua varibael tersebut tidak secara mutlak menjadi faktorpenentu bagi individu untuk memilih partai NasDem. Masih terdapat faktor lainjuga yang dapat mempengaruhi preferensi seseorang, yakni sikap, nilai,kepercayaan, bidang – bidang pengalaman dan hubungan – hubunganinterpersonal pada proses penerimaan, pengelolaan, dan penyampaian informasi.Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Klapper (dalam McQuail, 1987 :236) sebagai pendekatan fenomenistik yaitu pendekatan yang memandang mediasebagai pengaruh yang berfungsi di tengah – tengah pengaruh lainnya di dalamsuatu situasi menyeluruh.PENUTUPKesimpulan :1. Tidak terdapat hubungan antara terpaan informasi politik partai NasDemdi televisi terhadap preferensi memilih partai NasDem.2. Terdapat hubungan positif antara komunikasi di dalam kelompok referensi(terhadap preferensi memilih partai NasDem.3. Terdapat hubungan positif antara terpaan infromasi politik partai NasDemdi televisi dan komunikasi di dalam kelompok referensi terhadappreferensi memilih partai NasDem.Saran :1. Partai NasDem harus bisa mendesain ruang komunikasi politik selainmelalui media televisi, agar informasi politik yang disampaikan dapatmempengaruhi preferensi memilih partai NasDem.2. Partai NasDem perlu mentransfer informasi politik kedalam jaringankomunikasi kelompok, karena dari kelompok – kelompok itulah yangterbukti sangat berpengaruh terhadap preferensi individu memilih partaiNasDem.Daftar PustakaAzwar, Saifuddin. 2005. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Praktek. Jakarta :Raja Grafindo Persada.Maran, Rafael Raga. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta.Mc Quail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga.Nurudin. 2007. Komunikassi Massa. Malang : Gespur.Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi. Jakarta : Grasindo.
Memahami Identitas Hibrida pada Komik Indonesia Kontemporer (Analisis Semiotika Komik Garudayana) Ridho, Luthfi Fazar; Santosa, Hedi Pudjo; Suprihatini, Taufik; Lukmantoro, Triyono
Interaksi Online Vol 2, No 2: April 2014
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.964 KB)

Abstract

Terbitnya Garudayana sebagai bagian dari komik Indonesia kontemporer yang mengadopsi dua identitas budaya berbeda bangsa, yaitu wayang (lokal) dan manga (Jepang), menjadikan komik ini memiliki identitas hibrida dalam gaya penyajiannya, di mana unsur wayang terdapat pada keterlibatan tokoh-tokoh populer wayang. Sedangkan unsur manga menonjol pada gaya gambar dan elemen visual.Penelitian ini bertujuan untuk mencari keterpengaruhan komik Garudayana dari manga Jepang dan mendeksripsikan komik Garudayana sebagai media alternatif. Peneliti menggunakan paradigma konstruktivis dan tradisi semiotika dan sub-tradisi pictorial semiotics untuk mengkaji konten komik Garudayana dan mendeskripsikan setiap tanda intrinsik yang mengandung identitas hibrida pada Komik Garudayana yang memiliki kemiripan/ keserupaan dengan tanda-tanda yang ada pada manga. Teori yang digunakandalam penelitian ini adalah Teori Komik Scott McCloud (2006: 49), Teori Identitas Hibrida dari Keri Lyall Smith (2008: 4-6), dan Teori Pictorial Semiotics dari Goran Sonesson (1998: 1)Hasil penelitian menunjukkan bahwa Garudayana memiliki elemen identitas hibrida berupa: tema cerita wayang lakon carangan Mahabharata; tokoh-tokoh Pandawa, Ponokawan dan Kurawa; konsep dan penggambaran visual latar tempat yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia; konsep tokoh antagonis berupa monster humanoid (yang menyerupai manusia) dari binatang-binatang khas Nusantara; dan panel komik dekoratif khas Nusantara yang memperkuat kesan lokalitas Indonesia. Elemen tersebut bercampur dengan mangasebagai gaya gambar dan identitas kultural Jepang yang memiliki elemen identitas hibrida berupa kode visual dan kode linguistik. Percampuran dua elemen identitas kultural tersebut disebut hibriditas.Dalam rangkaian proses hibriditas, terdapat elemen intertekstualitas dan penokohan berdasarkan jenis kelamin yang dipengaruhi oleh Mahabharata sebagai pakem secara tidak langsung satu sama lain. Keseluruhan proses tersebut menghasilkan Garudayana sebagai komik yang memiliki identitas hibrida dan dianggap sebagai media alternatif karena memiliki Mode of Address dan sifat-sifat Media alternatif.Keywords : Komik, Wayang, Identitas Hibrida, Garudayana
CLICKTIVISM SEBAGAI DRAMATURGI DI MEDIA SOSIAL Zakiyyah, Kuni; Santosa, Hedi Pudjo; Yulianto, Much; Lukmantoro, Triyono
Interaksi Online Vol 3, No 1: Januari 2015
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (107.169 KB)

Abstract

Media sosial adalah salah satu medium online yang paling banyak digunakan saat ini dengan angka pengguna yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Media sosial dipercaya telah membawa bentuk baru dalam dunia komunikasi, termasuk sosiologi komunikasi. Di Indonesia dan beberapa negara lainnya, penggunaan media sosial dalam sebuah aktivisme telah menjadi hal yang lumrah. Aktivisme suatu gerakan sosial menggunakan fitur-fitur yang terdapat dalam media sosial untuk mencari anggota/relawan dan mendukung penyebaran awareness dari gerakan agar menyebar luas (viral). Dengan tujuan tersebut, aktivisme dalam suatu gerakan sosial rentan berubah menjadi clicktivism, yaitu kemauan untuk menunjukkan kepedulian dari suatu gerakan sosial melalui aktivitas di dunia maya (click), tetapi tidak diimbangi dengan pengorbanan yang berarti (action) dalam membuat suatu perubahan sosial di dunia nyata. Banyaknya clicktivism yang terjadi di media sosial seakan memberi peluang bagi pelaku (clicktivist) untuk memanfaatkan aktivitas tersebut sebagai upaya unjuk diri, seperti yang dijelaskan dalam konsep dramaturgi oleh Erving Goffman (1959). Penelitian bertujuan untuk mengetahui makna dan gagasan-gagasan clicktivist yang menjadikan clicktivism sebagai dramaturgi di media sosial. Penelitian ini menggunakan model penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotika oleh Roland Barthes (1957). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan beberapa post di media sosial tentang gerakan Ice Bucket Challenge pada Agustus 2014. Data kemudian diinterpretasi menggunakan konsep analisis mitos dalam studi semiotika Barthes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa clicktivist menggunakan aksi dalam gerakan Ice Bucket Challenge sebagai upaya untuk menampilkan diri, seperti yang dijelaskan Goffman dalam konsep dramaturgi. Clicktivist menggunakan front stage untuk mempercantik tampilan dirinya melalui aksi yang dilakukan, atau pakaian dan atribut yang dikenakan. Clicktivist juga menggunakan impression management agar dipersepsikan secara positif oleh penonton sesuai dengan gambaran/image ideal dirinya. Impression management ditunjukkan melalui pakaian/atribut yang dikenakan, juga dari dialog dan gesture yang ditampilkan clicktivist. Sedangkan back stage merupakan fakta-fakta yang terdapat dalam aksi Ice Bucket Challenge yang dilakukan clicktivist. Fakta ini seringkali tidak sesuai dengan apa yang diungkapkan clicktivist pada front stage-nya Kata kunci: media sosial, clicktivism, Ice Bucket Challenge, dramaturgi
Representasi Kekuasaan Kulit Putih Amerika Terhadap Kaum Afrika Amerika Dalam Film A Time to Kill Laurentius, Michael; Santosa, Hedi Pudjo; Yulianto, Muchamad
Interaksi Online Vol 1, No 4: Oktober 2013
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (535.178 KB)

Abstract

1ABSTRAKSINama : Michael LaurentiusNIM : D2C007056Judul : Representasi Kekuasaan Kulit Putih Amerika Terhadap Kaum Afrika AmerikaDalam Film A Time to KillAdapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan ilmiah ini adalahuntuk mengetahui adanya representasi kekuasaan dan mengetahui visualisasi rasismemelalui pembagian kelas yang ada di film ini. Pemaknaan kedamaian positif yang ingindisampaikan melalui film A Time to Kill seakan seperti selaput yang menutupi superioritaskulit putih Amerika terhadap masyarakat kulit hitam.Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika.Pengertian dasar semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Untuk mengkaji makna tandayang terkandung pada film, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yangmengacu pada teori C.S. Peirce dengan identifikasi relasi segitiga antara tanda, penggunadan realitas eksternal sebagai suatu keharusan model untuk mengkaji makna. Representasidan semiotika memiliki suatu hubungan dalam pembahasan kebudayaan. Kedua hal inimerupakan sistem yang muncul dalam setiap pembahasan terkait dengan budaya atauculture. Perlu diketahui bahwa budaya terbentuk dari proses pembagian atau pertukarandari banyak makna. Kekuatan dalam representasi (power in representation) menunjukkanbagaimana kekuasaan dapat memberi tanda atau nilai tertentu, menetapkan danmengklasifikasi. Kekuasaan tidak hanya harus dimengerti dalam terminologi eksploitasiekonomi dan paksaan fisik, tapi juga harus dipahami lebih luas dalam sudut pandangkultural dan terminologi simbolik.Oleh karena itu perlu dipahami secara kritis akan cara kerja representasi kekuasaandan rasisme dalam film meskipun film tersebut bertujuan positif dengan menampilkan sisikemanusiaan. Bisa jadi terdapat ketidaksamaan kekuatan (power) yang mencolok antara2kelompok yang satu dengan yang lain, ada pihak yang lemah dan ada pihak yang lebih kuatserta mendominasi banyak hal hingga pada akhirnya terciptalah sebuah konsep pandanganumum tentang adanya perbedaan kekuatan atau kekuasaan.3ABSTRACTIONName : Michael LaurentiusStudent Number : D2C007056Title : Representation of American White Power Against The AfricanAmerican in A Time to Kill MovieThe research objectives to be achieved in scientific writing is to know therepresentation of power and knows racism visualization through class divisions that exist inthis film. Meaning of a positive peace which is to be conveyed through “A Time to Kill”movie as if such membranes covering the white American superiority against the blackcommunity.Method of approach used in this study is semiotics. Basic understanding ofsemiotics is the study of signs. To assess the meaning of the sign is contained in the film, thisstudy uses a semiotic analysis method refers to the CS Peirce theory with the identificationof triangular relations between signs, users and external reality as a necessity model toexamine meaning. Representation and semiotics have a relationship in the discussion ofculture. Both of these are systems that arise in any discussion related to the culture. Keep inmind that the culture formed by the division or exchange of a lot of meaning. Power inrepresentation shows how power can mark or a specific value, specify and classify. Powermust be understood not only in terms of economic exploitation and physical coercion, butalso must be understood in the broader perspective of cultural and symbolic terms.Therefore, it will be critically important to understand how the representation ofpower and racism in the movie even though the movie aims to show the positive side ofhumanity. It could be that there is inequality strength (power) striking between the groupswith each other, there are those who are weak and there are those who are stronger anddominate many things and eventually created a concept of the common view of thedifference in strength or power.4REPRESENTASI KEKUASAAN KULIT PUTIH AMERIKA TERHADAP KAUMAFRIKA AMERIKA DALAM FILM A TIME TO KILL1.1 Latar BelakangLatar waktu pada film tepatnya diatur memasuki tahun 1982. Dimana padawaktu ini sang penulis John Grisham sebelum menjadi novelis yang sebelumnyamerupakan seorang pengacara pernah menangani kasus serupa. Novel pertamanya, ATime to Kill, terinspirasi dari kesaksian seorang perempuan berusia 10 tahun yangdibelanya yang menjadi korban perkosaan dan penganiayaan. Grisham begituterobsesi dengan perkara tersebut. Grisham menuturkan,”Apa yang akan terjadi jikaayah si gadis cilik itu membunuh para pemerkosanya. Saya akan menuliskannyakembali.”(http://sosok.kompasiana.com/2013/05/05/grisham-pengacara-yang-sukses-jadi-novelis-557505.html)Peneliti melihat novel populer ini sangat kontroversial dan sangat beranidengan judul yang sama dengan filmnya. John Grisham berani memutar ceritaberdasarkan pengalamannya dengan memposisikan seorang kulit hitam membunuhdua orang kulit putih karena dendam demi kehormatan dan keadilan. Ada maknayang ingin disampaikan John Grisham melalui novel ini berdasarkan judulnya, yaitumomentum seorang individu (kulit hitam) yang merasa sudah seharusnya membunuhorang kulit putih karena telah menghancurkan masa depan putrinya yang ia sayangi ,tidak akan ada waktu yang tepat bila kita menunggu karena waktu yang tepatditentukan oleh kita sendiri. Pemeran kulit hitam seakan diceritakan oleh JohnGrisham akhirnya sebagai pengambil keputusan, “sudah waktunya saya bertindak dansudah waktunya saya harus membunuh bila kehormatan dan keadilan tidak bisadiselamatkan” (A Time to Kill).Namun dibalik tujuan menggambarkan sebuah kerjasama antar ras terdapatbias yang terjadi dalam film ini yang bukan terkait makna kerjasama antar rasmelainkan ada makna tanda lain yang lebih dominan mengangkat citra kulit putih dansecara visual membentuk sikap rasis yang semuanya itu digambarkan secarakompleks melalui permainan dan kontrol kekuasaan yang didominasi oleh kulit putih.Oleh karena itulah, penulis sangat tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagaibahan pembuatan penulisan ilmiah dengan memberi judul “Representasi KekuasaanKulit Putih Amerika Terhadap Kaum Afrika Amerika dalam Film A Time to Kill”.5Film A Time to Kill juga memunculkan salah satu terminologi sosiologisberupa pembentukan kaum mayoritas dan minoritas. Dalam kehidupanbermasyarakat, hampir dimana ada kelompok mayoritas, baik di bidang agama,ekonomi, moral, politik, dan sebagainya. Minoritas lebih mudah ditindas dan lebihsering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas. Hubungan antarakaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan konflik sosial yang ditandai olehsikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat(Schwingenschlögl, 2007). Secara umum, kelompok yang dominan cenderungmempertahankan posisinya yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosialyang mungkin akan mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangankekuasaan mendorong mereka untuk melakukan penindasan dan menyia-nyiakanpotensi produktif dari kaum minoritas (Griffiths, 2006).1.2 Rumusan MasalahSecara visual umum film A Time To Kill menggambarkan perjuangan seorangkulit hitam, dimana dia harus membunuh dengan cara main hakim sendiri yaitumenembak dengan membabi buta kedua pelaku pemerkosa putrinya. Eksekusi dengandasar dendam ini dilakukan di aula pengadilan di muka umum saat dimana parapelaku pemerkosa tersebut akan diadili. Tindakan tersebut dilakukan oleh kulit hitamyang mengeksekusi dua orang kulit putih yang mana berdasarkan visualisasi latarbelakang waktu film ini digambarkan masih dalam era rasisme Amerika.Penggambaran film ini memperlihatkan bagaimana kasus ini diproses secara hukumdan di dalamnya secara jelas memperlihatkan dominasi tokoh kulit putih dalammenyelesaikan kasus pembunuhan interasial ini. Pengacara kulit putih dan timnyayang bersedia membela dan datang sebagai “pahlawan”, pengacara yang cerdas, danpantang menyerah. Berbeda dengan tokoh utama kulit hitam yang digambarkansebagai buruh, main hakim sendiri, emosional, dan pasrah terhadap kasus yangsedang dijalaninya kepada pengacaranya.Dalam merumuskan masalah ini, penulis akan mengemukakan beberapapermasalahan yang berkaitan dengan penjelasan di atas, yaitu sebagai berikut :1. Bagaimana representasi kekuasaan kulit putih dalam film A Time to Kill terjadi ?2. Bagaimana visualisasi rasisme dipraktikkan dalam peran dan tokoh film A Time toKill ?61.3 Tujuan Penelitian1. Untuk mengetahui adanya representasi kekuasaan kulit putih di Amerika dalamfilm A Time to Kill.2. Untuk mengetahui visualisasi rasisme dan pembagian kelas di Amerika yang adadalam film A Time to Kill.1.4 Maanfaat Penelitian1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan danmenggambarkan bagaimana proses terjadinya konstruksi sosial di dalam mediakhususnya dalam film A Time to Kill. Dalam film ini terdapat konstruksi sosialyang divisualisasikan antara kelompok mayoritas dengan minoritas yang jugadikaitkan dengan sebuah permainan kekuasaan serta rasisme disertai pemisahankelas yang secara tidak langsung dilakukan pihak mayoritas di balik tujuan untukmembantu minoritas.2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikankesadaran kepada masyarakat agar dapat memahami bagaimana kekuasaan itudapat dimainkan di dalam kehidupan khususnya melalui media dengan berbagaibentuk baik itu dilakukan secara negatif ataupun di balik perilaku kekuasaan yangpositif. Masyarakat pun harus paham akan bagaimana kekuasaan baik dalam mediaataupun tidak melalui media dapat menciptakan suatu pembedaan dalammasyarakat itu sendiri bisa dalam hal paham, keyakinan atau agama, ras dan lainsebagainya. Khalayak luas pun harus dapat memahami secara kritis dan bijakterhadap pembedaan yang menciptakan perbedaan tersebut.1.5 KERANGKA TEORI1.5.1 State of The ArtPenelitian terkait representasi rasisme dalam penelitian melalui film sudahdilakukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti sebelumnya menjelaskan danmenggambarkan lebih mendalam terkait representasi rasisme dan kelas yangdiceritakan dalam film. Fenomena sosial seperti rasisme memang sering munculdan diangkat dalam media massa khususnya melalui film.7Penelitian sebelumnya hanya fokus pada representasi rasisme dan belumbanyak mengaitkan faktor representasi kekuasaan yangmembentuk pencitraanrasisme dan stereotyping suatu kelas dalam film. Ada hal menarik untuk ditelitilebih lanjut yaitu adanya bentuk representasi kekuasaan tersembunyi yangdilakukan oleh pihak dominan (di dalam film) sehingga menciptakan suatustereotyping kelas dan semuanya itu dicitrakan dalam beberapa film yangumumnya melibatkan tokoh-tokoh yang berbeda latar belakang budaya, agama,warna kulit, dan lain sebagainya.1.5.2 Fungsi Media (Film) Dalam Semiotika KomunikasiFungsi film yang bersifat audio visual atau bahkan dengan tambahan teksakan memudahkan makna dari tanda (sign) muncul ke permukaan sehinggapenonton dapat memahami semiotika komuikasi yang bisa jadi terlalu rumit dansulit dipahami maknanya. Penonton film yang mendengar dan melihat, memilikipemahaman tanda yang lebih cepat dimaknakan dibandingkan seorang pendengaraudio saja (contoh: radio) atau seorang yang hanya melihat secara visual tanpa teks(contoh: gambar poster).1.5.3 Representasi dan SemiotikaRepresentasi dan semiotika memiliki suatu hubungan dalam pembahasankebudayaan. Kedua hal ini merupakan sistem yang muncul dalam setiappembahasan terkait dengan budaya atau culture. Perlu diketahui bahwa budayaterbentuk dari proses pembagian atau pertukaran dari banyak makna (sharedmeanings) (Hall, 1997:1). Dalam pendekatan semiotika, sebuah representasidimengerti sebagai basis jalur kata-kata yang berfungsi sebagai tanda yangterdapat di dalam bahasa (Hall, 1997:42). Representasi dalam semiotika lebihmemikirkan pada representasi sebagai sebuah sumber produksi pengetahuan sosialatau social knowledge. Pengetahuan sosial ini merupakan sistem yang lebihterbuka, serta terhubung lebih banyak dan mendalam di setiap praktek-prakteksosial.Kekuasaan tidak hanya harus dimengerti dalam terminologi eksploitasiekonomi dan paksaan fisik, tapi juga harus dipahami lebih luas dalam sudutpandang kultural dan terminologi simbolik, termasuk juga kekuasaan untukmerepresentasikan seseorang atau sesuatu dengan cara tertentu, hingga dapatdikatakan terdapat „rezim reperesentasi‟ di dalamnya (Hall, 1997:259). Hal initermasuk dalam penggunaan simbol kekuasaan (symbolic power) melalui praktek8praktek representasional. Stereotyping adalah elemen kunci dalam penggunaan„simbol kekejaman‟.1.5.4 Diskursus Dalam MediaSinema atau film dapat dikatakan merupakan salah satu institusi mediatekstual yang berperan menampilkan berbagai bentuk nilai sosial atau tanda dalambentuk imaji audio dan visual hingga dapat memproduksi efek realitas tertentu dimasyarakat. Diskursus dalam media erat kaitannya dengan kekuasaan yang munculdalam percakapan.1.5.5 Stereotype dan KekuasaanStereotype adalah citra mental yang melekat pada sebuah grup ataukelompok. Pengertian lain dari stereotype adalah penilaian terhadap seseoranghanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapatdikategorikan. Stereotype merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secaraintuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks danmembantu dalam pengambilan keputusan secara cepat.Bias dalam film A Time to Kill terlihat mengarah pada penggunaankekuasaan kaum dominan yaitu orang kulit putih Amerika. Ada suatu gambaranpendiktean oleh sebuah kekuasaanyang dianggap lebih pintar dan bijak dalammenyelesaikan masalah rasisme serta dapat menjadi solusi terbaik. Kekuasaanbijak tersebut seakan direpresentasikan melalui tokoh-tokoh orang kulit putih.Dalam psikologi sosial interpersonal dan intergroup terdapat penjelasan dariSusan Fiske yang dibantu oleh kolega-koleganya (berdasarkan pengaruh teoriDacher Keltner) telah mengembangkan teori power as control (PAC) melaluiberbagai penelitian lab, survey, dan bidang neuroscientific (Dowding, 1996:504).Dalam hal ini PAC dapat diteliti berdasarkan gambaran kondisi dan situasi yangmemungkinkan suatu kekuasaan atau power muncul, dan melalui beberapadiskusi terkait bagaimana kekuasaan itu digunakan apakah untuk tujuan yang baikatau untuk menyakiti.91.5.6 Konsep Marxisme Dalam Media (film) Melalui Kode Konsepsi KelasBentuk metodologi Marxis dan kritiknya terhadap formasi sosialmenciptakan sebuah kelas. Berikut ini merupakan penjelasan serta contoh kasuspemetaan kelas yang divisualisasikan dalam sebuah film populer yang bersumberdari buku Marxism and Media Studies.1.5.6.1 Memetakan kelas (mapping class)Pembelajaran sekarang mengenai kelas sosial telah difokuskan padakelas menengah white-collar/kerah putih yang tidak manual dan kelas pekerjablue-collar manual. Kelas-kelas tersebut sering dibagi lagi dalam berbagaitingkatan dalam bentuk kategori-kategori pekerjaan. Klasifikasi khususnyaadalah sebagai berikut:Kelas menengah : profesional yang lebih tinggi, manajerial dan administrative,Ahli/profesional yang lebih rendah, manajerial danadministratifKelas pekerja : kemampuan manual (Skilled Manual) Kemampuan semimanual(semi-skilled manual)  Tidak memiliki kemampuan manual (unskilledmanual) (Haralambos 1985:48)1.6 Metodologi Penelitian1.6.1 Tipe PenelitianPenelitian tentang bias kekuasaan kaum kulit Amerika dalam film A Timeto Kill merupakan studi yang menggunakan pendekatan interpretif (subjektif)kritis dengan desain penelitian deksriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif bertujuanuntuk mempersilahkan pembaca mengetahui apa yang terjadi dalam penelitiantersebut dan bagaimana subjek memandang atau bahkan menilai kejadian tertentu.Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong,2004:3) mengemukakan metode kualitatifsebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kataatau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapatdiamati.101.6.2 Subjek PenelitianSubjek penelitian yang digunakan dalam penelitian berikut adalah film ATime to Kill yang rilis di Amerika tahun 1996. Film ini diangkat dari novel dengandengan judul serupa karya John Grisham yang secara garis besar menceritakankrisis dan konflik rasial antara kulit putih Amerika dengan kaum kulit hitam AfrikaAmerika.1.6.3 Metode RisetMetode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahsemiotika. Pengertian dasar semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studitentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya,hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya olehmereka yang menggunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini menganggapbahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda(Kriyantono, 2006:265). Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita; tandamengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengenalanoleh penggunannya sehingga bisa disebut tanda (Fiske, 2011:61)Fokus penelitiannya adalah bagaimana bias kekuasaan direpresentasikandalam film A Time to Kill. Untuk mengkaji makna tanda-tanda yang terkandungpada film, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yang mengacupada teori Roland Barthes dengan model semiotika berupa signifier(penanda/teks), signified (petanda/konteks), sign (tanda).Stereotype negatif yang dilekatkan pada tokoh kulit hitam di film ini seakansudah menjadi mitos sejarah yang terus terpelihara dan dibenarkan sebagai budakdengan gambaran tanda atau sign kehidupan yang “kumuh”, “kurang terdidik”,“kasar / barbar” dan “sumber masalah”. Sedangkan tokoh-tokoh kulit putih (peranpengacara dalam film ini) secara dominan digambarkan secara lebih positif, “punyakuasa”, “berpenampilan rapih”, “lebih terdidik”, dan “seorang yang dapat mengontrolsituasi”, layaknya gambaran tuan tanah yang berusaha mengatasi aksi protes budakkulit hitam di masa sejarah rasisme.Denotasi yang muncul dari cuplikan gambar berupa seorang kulit hitamdengan penampilan lusuh menembakkan senjata, kemudian berada di penjara.11Ditambah lagi dalam gambar pemeran kulit hitam tersebut sempat berkata keras dankasar di persidangan yang ditujukan pada para pemerkosa yang sudah ia tembaksampai mati, “Yes, they deserve to die, and I hope they burn in Hell” (ya, merekapantas mati, dan saya berharap merek terbakar di neraka). Peran kulit putih adagambar selanjutnya digambarkan rapih, bersih, dan terpelajar (sebagai pengacara).Konotasi positif muncul pada peran kulit putih yang “jas dan berdasi” denganpekerjaan sebagai pengacara sehingga dimaknakan “punya kuasa atau berkuasa”untuk bertindak.1.6.4 Jenis DataSumber data penelitian ini adalah data teks, dimana data kualitatifberasal dari teks-teks tertentu. Penggunaan data ini disesuaikan denganpendekatan sistem tanda di dalam proses penelitian khususnya analisis semiotik.Berdasarkan buku Riset Komunikasi (Kriyantono, 2006:38), dalam kajiankomunikasi segala macam tanda adalah teks yang di dalamnya terdapat simbolsimbolyang sengaja dipilih, di mana pemilihan, penyusunannya, danpenyampaiannya tidak bebas dari maksud tertentu, karena itu akan memunculkanmakna tertentu. Sistem analisis yang dikembangkan yaitu sistem konotasi dandenotasi. Kata konotasi berasal dari bahasa latin “Connotare” menjadi tanda danmengarah kepada makna- makna kultural yang terpisah atau berbeda dengankata dari bentuk-bentuk komunikasi. Kata konotasi melibatkan simbol –simbol,historis dan hal – hal yang berhubungan dengan emosional. Denotasi dankonotasi menguraikan hubungan antara signifier dan referentnya. Denotasimenggunakan makna dari tanda sebagai definisi secara literal atau nyata.Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya dan emosional personal.1.6.5 Sumber DataData yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu :a. Data Primer, data ini diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu dari filmA Time To Kill, yaitu akting, dialog, dan alur cerita.b. Data Sekunder, yang diperoleh dari sumber lain yaitu studi kepustakaandalam bentuk buku atau melalui situs internet, baik teori maupun informasiyang berkaitan dengan film A Time to Kill.121.6.6 Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang dilakukan adalahdengan studi dokumenter(documentary study).Studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan datadengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen,baik dokumentertulis,gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudiandianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasilkajian yang sistematis, padu dan utuh. Dalam penelitian ini film A Time to Killadalah objek utama penelitian yang nantinya akan dibantu dengan data-datapustaka atau dokumen lainnya terkait tujuan pembongkaran tanda-tandarepresentasi kekuasaan dan stereotype yang bersifat rasis.1.6.7 Teknik Analisis DataKode televisi sebuah acara atau film yang ditayangkan sudah dikodekan olehkode-kode sosial dalam beberapa tingkatan (Fiske, 2001:7-13) mulai dari;Tingkat satu:Reality, Tingkat dua : Representation, Tingkat tiga :Ideology (Ideologi)Realitas:Pengaturan Kamera (Camera Work), Pencahayaan (Lightning), Editing, Music,Casting, Setting and Costume, Tata Rias (Make Up), Action, Percakapan(Dialogue), Ideological Codes.1.6.8 Unit AnalisisUnit analisis dalam penelitian ini adalah teks visual dan audio yang ada dalambeberapa adegan dari film yang mencangkup gambar, narasi / copywriting, musik,warna, serta konteks cerita A Time to Kill.KesimpulanSetelah dilakukan penelitian dan kajian pustaka tentang film A Time to Killmemang dapat disimpulkan adanya nilai kemanusiaan yang kental melalui visualisasicerita. Tapi peneliti tidak melihat hanya dari nilai kemanusiaan yang menjadi intisaridari film ini, hal lainnya yang dapat digali lebih dalam untuk mengetahui kenyataanyang terlihat semu. Berdasarkan perumusan masalah maka peneliti dapat mengambil13beberapa kesimpulan bahwa film A Time to Kill secara keseluruhan penuh denganrepresentasi kekuasaan mutlak akan “kekuatan” yang lebih dominan yaitu orang kulitputih terhadap kaum negro. Saat peneliti mengesampingkan nilai kemanusiaan dalamfilm ini dan mencoba melihat lebih dalam dibalik “topeng” kemanusiaan itu sendiri.14DAFTAR PUSTAKABerger, Arthur Asa. 1982. Media Analysis Techniques.California. Sage Publications.Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PTRajagrafindoPersada.Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.Davis, Kenneth C. 2003. Don’t Know Much About History. New York: Harper-Collins Publishers.Dowding, Keith. 1996. Encyclopedia of Power. London: Sage Publications.Fiske, John. 2001. Television Culture. London: The Taylor and Francis Group elibrary.Fiske, John. 2011. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practies.London: Sage Publications.Kriyantono, Rachmat. 2006. Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group.Mulyana, Deddy. 2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja RosdakaryaThwaites, Davis dan Warwick Mules. 2009. Introducing Cultural and Media Studies.Yogyakarta: Jalasutra.Wayne, Mike. 2003. Marxism and Media Studies: Key Concept and ContemporaryTrends. London: Pluto Press.15
Representasi Black Campaign Dalam Spanduk Kampanye Pilkada Jakarta 2012 Anugerah, Sony Kusuma; Santosa, Hedi Pudjo; Rahardjo, Turnomo
Interaksi Online Vol 1, No 3: Agustus 2013
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (256.296 KB)

Abstract

Representasi Black Campaign Dalam Spanduk Kampanye Pilkada Jakarta2012SkripsiDisusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikanPendidikan Strata 1Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas DiponegoroPenyusunNama : Sony Kusuma AnugerahNim : D2C008103JURUSAN ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG2013Nama : Sony Kusuma AnugerahNIM : D2C008103Judul : Representasi Black Campaign Dalam Spanduk Kampanye Pilkada Jakarta 2012AbstrakKampanye merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukan, saat menjelang suatupemilihan umum. Berbagai cara dilakukan dalam kampanye untuk menarik simpati masyarakat.Banyak cara berkampaye yang dilakukan tim sukses dari partai atau calon untuk bisamemperoleh dukungan dari masyrakat, bahkan kampanye hitam. Kampanye hitam dianggapmampu membentuk opini publik untuk menciptakan citra buruk pihak lawan politik. Sepertiyang terjadi pada Pilkada Jakarta 2012 kemarin, banyaknya temuan pelanggaran terutama dalamkaitan kampanye hitam. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bentuk kampanye hitamyang terjadi pada Pilkada Jakarta 2012 melalui konstruksi makna pada salah satu mediaberkampanye, yaitu spanduk.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisissemiotika untuk menganalisis objek penelitian. Teknik analisis yang dilakukan denganmenggunakan teori semiotika Roland Barthes. Teks atau kata dalam spanduk diuraikan dalamdua tahap untuk mencari makna-makna yang terkandung didalamnya. Tahap pertamapembahasan kata melalui makna denotasi, dan tahap kedua pembahasan kata melalui maknakonotasi yang selanjutnya akan didapat mitos yang berkembang dimasyarakat.Kata-kata pada teks dalam spanduk penelitian ini, merupakan sesuatu yang ambigu.Dibutuhkan kedalaman makna yang dilanjutkan dengan mengkonstruksikan makna, sehinggaakan didapat suatu cerita atau fenomena yang terjadi didalamnya. Black campaign merupakansalah satu bentuk kegiatan propaganda politik, yang berkonotasi negatif dalam penilaian publik.Black campaign bertujuan untuk membentuk opini publik untuk citra yang buruk terhadap lawanpolitiknya.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam spanduk kampanye Pilkada Jakarta ini,Black campaign digunakan sebagai kampanye yang menyerang sisi pribadi, kebijakan-kebijakanpolitik, dan dilakukan oleh pelaku yang anonim.Kata kunci: Representasi, Black Campaign, Kampanye.Name : Sony Kusuma AnugerahNIM : D2C008103Title : Black Campaign Representation Inside The Banner Campaign From Elections ofRegional Heads Jakarta 2012AbstractThe campaign is one of the routine activities performed, the eve of a general election.Various methods are used in a campaign to draw public sympathy. Many ways to conducted asuccessful team of the party or candidate to earn the support of the community, even blackcampaign. Black campaign is considered capable of forming public opinion to create a badimage of the political opposition. As happened in Jakarta 2012 elections yesterday, the numberof findings of violations, especially in relation to black campaign. This research aims to describethe shape of a black campaign that occurred in Jakarta Election 2012 through the construction ofmeaning in one of the media campaign, the banner.This research used a qualitative approach using semiotic analysis to analyze the researchobject. Engineering analysis performed using Roland Barthes' semiotic theory. Text or words inthe banner outlined in two stages to find the meanings contained therein. The first stage of thediscussion of the meaning of words through denotation, and the second stage through thediscussion of connotations which would then be obtained myths that developed in thecommunity.The words on the banner text in this research, is something that is ambiguous. It takes adepth of meaning that continue to construct meaning, to get up a story or phenomena that occurtherein. Black campaign is one form of political propaganda activities, which is a negativeconnotation in the public assessment. Black campaign aims to shape public opinion to a badimage against his political opponents.Results of this research indicate that in the Jakarta election campaign banners, Blackcampaign is used as a campaign attacking the personal, political policies, and conducted by theanonymous perpetrator.Key Word: Representation, Black Campaign, Campaign.PENDAHULUANIndonesia telah menjadi salah satu negara yang menganut demokrasi sebagai sistempemerintahannya. Salah satu instrumen terbesar dari sistem demokrasi di Indonesia adalahadanya proses pemilu. Pada tahun 2005, Indonesia mengalami kemajuan proses demokrasikarena rakyat Indonesia mendapatkan haknya untuk memilih langsung calon pemimpin wilayahatau daerahnya melalui PILKADA, yang pada awalnya Kepala Daerah dicalonkan oleh DPRDdan dipilih atau diputuskan oleh Presiden.Kegiatan Pilkada tentu saja tidak lepas dari kegiatan berkampanye. Charles U Larson(dalam Ruslan, 2008:25-26) membagi jenis kampanye menjadi tiga jenis, yaitu kegiatan menjualproduk, gagasan perubahan sosial, dan kandidat. Kampanye kandidat merupakan kampanye yangberorientasi bagi calon untuk kepentingan kampanye politik. Hal ini tentu saja berkaitan untukmendapatkan dukungan dari pemilih atau pemegang hak suara. Namun pada kenyataannyasekarang ini banyak kegiatan kampanye yang dilakukan untuk menyerang lawan politiknya(attacking campaign).Kampanye menyerang terdapat dua jenis kampanye, yaitu black campain dan negativecampaign. Black Campaign merupakan model kampanye dengan cara membuat suatu isu ataugosip yang ditujukan kepada pihak lawan, tanpa didukung fakta atau bukti yang jelas (fitnah).Sedangkan Negative Campaign merupakan model kampanye yang lebih menonjolkan dari segikekurangan lawan politik, dan dari apa yang telah disampaikan mempunyai bukti atau fakta yangjelas.Black campaign terlihat seperti dibawah ini yang terdapat pada spanduk kampanyePilkada untuk menjatuhkan salah satu pasangan Cagub dan Cawagub Jokowi-Ahok.Gambar 1.1 Spanduk Pilkada 2012Gambar 1.2 Spanduk Pilkada 2012Pada dasarnya, black campaign merupakan kampanye yang terselubung. Pelaku blackcampaign biasanya juga tidak memperlihatkan identitas seseorang ataupun kelompok politik. Isidari black campaign pun tidak irasional dan tidak dapat dibahas secara terbuka, sehinggakebanyakan khalayak akan menerima isi kampanye ini secara “bulat”, tanpa memproses dari isikampanye hitam ini. Berdasarkan hal tersebut diatas peneliti tertarik untuk meneliti Bagaimanabentuk black campaign melalui konstruksi makna dalam spanduk kampanye Pilkada Jakarta2012?.ISIPenelitian ini menggunakan perspektif interpretif yaitu untuk mencari sebuahpemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melalui interaksi dan bagaimana kitaberperilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. (Ardianto & Q-Anees,2007:124-150Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai makna suatu tanda dengan menggunakananalisis semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotika Roland Barthes.Barthes menggunakan istilah konotasi (makna ganda) dan denotasi (makna tunggal) yangmenunjukan tingkatan-tingkatan makna. Maka denotasi adalah tingkat pertama yang bersifatobjektif yang dapat diberikan.Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan,namun juga mengandung makna kedua bagi tanda denotatif yang melandasi kebenarannya.Barthes menyebut denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yangdigunakan barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Tanda konotatif menggambarkaninteraksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilainilai dari kebudayaannya (Sobur, 2009:128). Signifikasi tahap kedua yang berhubungan denganisi tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan ataumemahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.Secara denotatif kalimat “Endonesa Tercina” (spanduk 1) merupakan kalimat penegasan,untuk cinta Indonesia namun dengan cara penyampaian yang sedikit kasar atau dengan caramenyindir. Endonesa Tercina berarti bangsa yang tecinta. Spanduk ini sebenarnya bermaksuduntuk membangkitkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia namun dengan penyampaian yangberupa sindirianSedangkan spanduk 2 Secara denotatif kalimat “Haram...!!! Orang Kafir MenjadiPemimpin Orang Islam” mempunyai arti berupa himbauan ataupun penegasan larangan bagiyang membacanya. Kata-kata yang dipakai dalam teks ini merupakan kata-kata yang tegas,karena pada akhir kata pertama yaitu “haram” diakhiri dengan tanda seru “!”.Kalimat pada teks spanduk 2 ini merupakan kalimat dengan pesan persuasif. Pesanpersuasif adalah pesan yang berisikan bujukan, yakni mengingatkan kepada khalayak bahwatelah terdapat hukum yang mengatur orang (agama Islam) untuk memilih pemimpinnya.Sedangkan untuk makna konotasi representasi black campaign dalam spanduk EndonesaTercina! (spanduk 1) ini ditujukan kepada calon wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atauyang lebih dikenal dengan panggilan Ahok. Spanduk ini bertujuan untuk mempersuasipembacanya agar tidak memilih pasangan Jokowi – Ahok. Ahok yang merupakan orangketurunan Cina, pada dasarnya akan berpihak, menguntungkan, dan lebih mendahulukankaumnya. Latar belakang Ahok yang sebagai pengusaha, juga akan memuluskan pengusahapengusahanon-pribumi untuk mencari keuntungan di kota Jakarta.Sedangkan spanduk 2 ini bertujuan untuk mempersuasi pembacanya agar tidak memilihJokowi sebagai pemimpin (Gubernur) pada Pilkada Jakarta 2012. Spanduk ini mengatakanbahwa Jokowi merupaka sosok orang kafir, hal ini dikarenakan Jokowi merupakan anak dariperkawinan yang berbeda agama yaitu bapak dari Jokowi beragama Islam dan Ibu dari Jokowiberagama Nasrani. Perkawinan berbeda agama terutama bagi seorang muslim sangat terlarangdiajaran agama Islam.PENUTUPBlack campaign menjadi suatu cerminan politik di Indonesia pada saat ini, dimanakampanye dilakukan tidak didasari sesuai dengan undang-undang dan etika yang berlaku.Kampanye merupakan suatu kegiatan dari calon, tim sukses partai atau kelompok-kelompokyang mendukung untuk meyakinkan masyarakat agar mau memilihnya untuk menjabat, denganmenawarkan atau menjanjikan apa yang akan dilakukan dalam program kerjanya. Kampanyeyang positif tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku, agama, golongancalon atau peserta pemilu serta menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupunmasyarakat.Kenyataan pada saat ini, black campaign bisa menjadi bumerang bagi pihak pengirim isukarena masyarakat akan bersimpati terhadap korban kampanye ini. Gambaran ini tercermindengan terpilihnya pasangan Jokowi-Ahok untuk menjabat sebagai Gubernur dan WakilGubernur dengan banyaknya terpaan black campaign pada diri mereka.KESIMPULANBlack campaign pada spanduk ini, digambarkan sebagai kampanye yang menyerang sisipribadi, dan cenderung tidak ada hubungannya dengan kampanye serta mengesampingkan etikaundang-undang dalam berkampanye, seperti pada pasal 78 ayat 2 dan 3.Black campaign dianggap sebagai salah satu strategi yang jitu untuk menjatuhkan pihaklawan, serta tidak membutuhkan dana yang besar sehingga black campaign sangat mudah untukdilakukan. Orientasi semata-mata hanya untuk kekuasaan, sehingga berbagai cara dilakukan agartujuannya yaitu terpilih dalam pemilu tercapai.DAFTAR PUSTAKAArdianto, Elvinaro, dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:Simbiosa Rekatama MediaBudiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka UtamaBudiman, Kris. 2011. Semiotika Visual – Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta :JalasutraEmzir. 2010. Analisis Data : Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. RajaGrafindoPersadaFiske, John. 1992. Introduction to Communiation Studies. Bandung : Citra Aditya BaktiFiske, John. 2011. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta : JalasutraMulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT RemajaRosadakaryaNasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : TarsitoRuslan, Rosady. 2008. Kiat dan Strategi Public Relations. Jakarta : PT. RajaGrafindoPersadaSobur, Alex. 2003. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, AnalisisSemiotik dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja RosadakaryaSobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja RosdakaryaSunardi, St. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta : Penerbit Buku Baik YogyakartaVan Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Nonfiksi Dalam Kajian Semiotik. Jakarta : IntermasaWibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis BagiPenelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana MediaLain-lain :Laely Wulandari, S.H., M.Hum. Makalah “Black campaign sebagai tindak pidana politik”Internet :http://megapolitan.kompas.com/read/2012/05/09/12403053/Ini.Jenis.Kampanye.yang.Menyerang.Lawan. (diakses 13 oktober 2012, 16:00)http://id.wikipedia.org/http://abisyakir.wordpress.com/2012/09/17/prediksi-jokowi-menang-di-pilkada-dki-putaran-2/ (diakses 12 februari 2013, 22:08)http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=2319 (diakses 19 februari 2013, 00:51)http://www.merdeka.com/jakarta/tata-pkl-ahok-lirik-pengusaha-pribumi.html (diakses 1 mei2013, 01:00)http://finance.detik.com/read/2013/02/27/144925/2181170/4/ahok-tak-ada-lagi-pengusahadapat-proyek-cuma-karena-kedekatan (diakses 1 mei 2013, 01:10)http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/03/19/mjwfr1-ahokkeberatan-dengan-ump-perusahaan-silakan-minggir (diakses 1 mei 2013, 01:13)http://www.wartamerdeka.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2472:waktu-ahok-bupati-belitung-timur-banyak-hajikan-guru-ngaji&catid=77:dki-jakarta&Itemid=420(diakses 1 mei 2013, 01:23)http://www.republika.co.id/berita/menuju-jakarta-1/news/12/08/08/m8g2ta-fitnah-ibujokowi-rhoma-terancam-dipidanakan (diakses 23 april 2013, 18:35)http://ahok.org/berita/news/ini-komentar-ibunda-jokowi-soal-isu-sara/ (diakses 27 april 2013,00.25)
Parental Mediation : Komunikasi Orang Tua dan Fenomena Cyberbullying pada Anak Primada Qurrota Ayun; Hedi Pudjo Santosa
SOSFILKOM : Jurnal Sosial, Filsafat dan Komunikasi Vol 15 No 02 (2021): Volume 15 No 02 Juli-Desember 2021
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) - Universitas Muhammadiyah Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32534/jsfk.v15i02.2298

Abstract

Advances in technology and communication have influenced how people's consumption patterns use media, one of which is internet media. Internet media is currently also used by children to access social media. Unfortunately, the use of internet media by children is not accompanied by their parents. Bullying behavior on social media is a vulnerable thing for children. For this reason, it is important to have parental mediation for children to avoid being perpetrators or victims of cyberbullying. This study uses phenomenological analysis, to see individual experiences. The results of this study indicate that parental mediation carried out by parents can be in the form of how parents have good media literacy, especially internet media which is the ability to access, analyze, and evaluate the power of images, sounds, and messages in communicating and assisting children in accessing digital media. The phenomenon of cyberbullying is understood by respondents by the presence of intimidating behavior, in the form of mocking expressions at other individuals. Even so, the child feels that this behavior is just a joke, not to bully.
Meaning Of Youth In The 2019 Presidential Election Campaign News On Social Media Sri Budi Lestari; Hedi Pudjo Santosa; Primada Qurota Ayun
Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 2 No 2 (2019): Contemporary Societies
Publisher : Progdi Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Jawa Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33005/jkom.v2i2.45

Abstract

The development of technology makes the lives of adolescents integratedwith social media and digital. The ease of accessing information through digitalmedia, makes teens fall into the trap of being over-communicated, and even tendsto only share information without being filtered first. How teenagers interpret thenews about the 2019 Presidential Election campaign that they received is importantto be observed so that youth do not get lost in the information rush. This qualitativestudy uses a reception analysis approach through depth interviews with 14 seniorhigh school student informants in Semarang, aimed at knowing how teenagersinterpret the 2019 Presidential Election campaign news information on socialmedia. The results inform that the informants are media literate and are able tointerpret political information according to their understanding. Even though someof them stated that they did not like political news, during the presidential andpresidential elections in April 2019, all took part in making their choices.
Strategi Komunikasi Iklan dalam Masa Pandemi Covid-19 (Iklan Campaign KFC Stay At Home) Syam Alam Sasmito; Hedi Pudjo Santosa
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (79.952 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v7i2.6334

Abstract

Permasalahan peneletian ini berawal dari sebuah perusahaan waralaba seperti KFC ini mendapati sebuah tantangan, dan dampak pada regulasi - regulasi masa pandemi ini. Tampaknya redaksi restoran ini juga telah menerapkan protokol kesehatan. Dalam penulisan ini media yang akan di observasi dari perusahanan KFC mempunyai sebuah kampanye iklan yang dibuat untuk dalam masa pandemi ini. lebih tepatnya pada kisaran bulan Mei, 2020. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi literatur, karena suatu kasus ini sebagai suatu event unik dalam dunia periklanan dan menyambungan dalam keterusan untuk mempertahankan suatu bisnis dengan komunikasi krisis, visual dan pemasaran. Tercipta nya sebuah kepercayaan, solidaritas dan kemauan untuk maju bersama. Penelitian ini menunjukkan dimana komunikasi dalam pemasaran dan merek dapat berubah dan bereaksi terhadap kelalaian dalam situasi kritis dengan iklan. Dapat diambil bahwa compasionate act dan pengambilan konten, dan sosial media sebagai salah satu cara strategic untuk mengkomunikasikan dengan bantuan social media, hal ini menjadi suatu booster yang cepatIklan seperti ini adalah salah satu cara strategic komunikasi dalam pandemi atau menghadapi sebuah tantangan. jadi berharap merek seperti ini akan terus menghasilkan dan mengkalibrasi sumber daya untuk berbisinis, memasarkan, dan komunkasi secara sehat
Omnibus Law Discourse on Television: Support Elite or Public? Hedi Pudjo Santosa; Nurul Hasfi; Triyono Lukmantoro; Himmatul Ulya; Yofiendi Indah Indainanto
Jurnal ASPIKOM - Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24329/aspikom.v7i1.1017

Abstract

The mass media construct discourses with major impact on the formation of public opinion. This study identifies mass media discourse of the Job Creation Law produced in the 22 television dialogue programs aired by TV One, Metro TV, Kompas TV, and CNN Indonesia. By focusing on indicators of discourses, sources, and duration of speakings this study finds the dominant discourse of positive sentiment towards the Job Creation Law – which is mainly brought by the government elite and businessmen – namely economic improvement and investment. In contrary, television program shaped negatif sentiment of the Law in narrower space – which was brought mainly by activists, academics and laborers – including the Job Creation Law disserve labours, endangers the environment and sighned in unprocerudal mecanism. The data shows that the television dialogue has provide more space for the elite than the public in discussing the controversial issue of the Job Creation Law.
Representasi Kepemimpinan Calon Presiden di Twitter Nurul Hasfi; Sunyoto Usman; Hedi Pudjo Santosa
Jurnal ASPIKOM - Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 3, No 2 (2017): Januari 2017
Publisher : Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (571.251 KB)

Abstract