Iwan Abdul Rachman
Department Of Anesthesiology And Intensive Care, Faculty Of Medicine Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung

Published : 25 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Sindroma Apert yang Dilakukan Suturektomi Iwan Abdul Rachman; Iwan Fuadi; Eri Surahman
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.332 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.161

Abstract

Sindroma Apert adalah suatu gangguan genetik yang ditandai dengan penggabungan tulang yang terlalu dini (kraniosinostosis). Penggabungan dini tersebut menghambat pertumbuhan normal tulang dan mempengaruhi pertumbuhan bentuk kepala dan wajah. Penggabungan dini tulang kepala dapat mempengaruhi perkembangan otak bahkan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, dan pada sindroma Apert juga didapatkan penggabungan beberapa jari tangan dan kaki (sindaktili). Seorang anak berusia 2 tahun dengan sindroma Apert. Tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial belum didapatkan sehingga operasi dijadwalkan terencana dan pasien dirawat terlebih dahulu di ruangan. Kemungkinan kesulitan untuk intubasi dengan laringoskopi diantisipasi dengan persiapan intubasi menggunakan optik fiber dan trakeostomi. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,5 mg intravena pada saat pasien akan dibawa ke kamar operasi. Dilakukan anestesi umum, induksi menggunakan propofol 30 mg, fentanil 30 μg diberikan 3 menit sebelum intubasi. Fasilitas intubasi dengan vekuronium 2 mg, pemeliharaan anestesi dengan N2O/O2 dan Sevofluran. Vekuronium diberikan 1 mg /jam. Ventilasi kendali menggunakan ETT no. 5,0. Operasi berlangsung selama 6 jam dengan posisi pasien terlentang. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar 90-110 mmHg, tekanan darah diastolik 50-70 mmHg, laju nadi (HR) 87-110 x/mnt, SaO2 99-100 %. Setelah operasi berakhir pasien bernafas spontan adekuat dan dilakukan ekstubasi di kamar operasi. Pasca operasi pasien di rawat di PICU hingga hari ke-4 pasien dipindahkan ke ruangan. Gangguan penggabungan tulang kepala yang terlalu dini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bentuk kepala, otak dan gangguan pendengaran dan penglihatan. Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Koreksi segera dengan melakukan suturektomi dan dekompresi dapat mencegah kemungkinan-kemungkinan tersebut. Anaesthetic management of patient with Apert syndrome which undergo suturectomy Apert syndrome is a genetic disorder characterized by the premature fusion of certain skull bones (craniosynostosis). This early fusion prevents the skull from growing normally and affects the shape of the head and face. Early fusion of the skull bones also affects the development of the brain and even can increased the intracranial pressure. In apert syndrome there was also fusion of fingers and toes (syndactyly). A 2 years old child with Apert syndrome which undergo suturectomy and decompression. The clinical signs of raised intracranial pressure in this patient has not been obtained yet so the surgery was done as scheduled . Difficulties to perform intubation with direct laryngoscopy were anticipated through the use of fiber optic and preparation of tracheostomy. Patient has been given premedication using midazolam 0,5 mg given intravenously before his admission to the operating room. The surgery is performed with general anesthesia using propofol 30 mg then fentanyl 30mcg, 3 minutes before intubation. Vecuronium 2mg was given to facilitates intubation. Maintenance of anesthesia with Nitroons/O2 sevoflurane and Vecuronium 1mg/hour. Ventilation was controlled by using ETT no 5.0. Patient was in supine position, and it last for 6 hours. There was relatively stable hemodynamics, systolic blood pressure range 90-110 mmHg, diastolic blood pressure 50-70 mmHg, pulse rate 87-110x/minutes, SaO2 99-100%. After the operation, there was adequate spontaneous breathing so extubation was performed in the operating room, then he was referred to PICU. On day 4 patient was moved to the room. Premature fusion of skull bones will cause growth disorders of the head, brain, and hearing and vision impairment. It also can cause increased intracranial pressure. Immediate correction by suturectomy and decompression can prevent this possibility.
Pengelolaan Anestesi untuk Cedera Otak Traumatik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Nency Martaria; Iwan Abdul Rachman; MM. Rudi Prihatno
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2974.56 KB) | DOI: 10.24244/jni.v8i3.235

Abstract

Cedera otak traumatik (COT) merupakan salah satu penyebab utama kematian dan disabilitas di seluruh dunia. Kelompok yang paling berisiko mengalami COT adalah pasien geriatrik, dimana mayoritas disebabkan oleh jatuh. Kejadian jatuh salah satunya dikaitkan dengan hemiparesis akibat riwayat stroke. Seorang laki-laki, 68 tahun dengan Glasgow Coma Scale (GCS) M3V1E4. Pasien mengalami cedera kepala akibat jatuh ketika naik tangga. Pasien memiliki riwayat gangguan keseimbangan akibat stroke iskemik dan mendapatkan terapi clopidogrel. Hasil pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya perdarahan akut sub dural dengan penyimpangan garis tengah 0,9 cm. Operasi pertama yang dilakukan adalah kraniektomi dekompresi dan pemasangan kasa untuk kontrol perdarahan. Perdarahan baru ketika operasi, timbul di midparietal kanan dan diduga berasal dari vena penghubung yang dekat dengan sinus. Perdarahan sulit dihentikan dengan total perdarahan 2500 cc. Tanda vital selama operasi stabil dengan topangan norepinefrin 0,2 mcg/kg/menit. Anestesi dengan menggunakan fentanyl 200 mcg, propofol 100 mg dan vecuronium berkelanjutan. Pemeliharaan dengan oksigen, compressed air dan sevofluran 2%. Pasien ditransfusi pack red cel (PRC) 700 ml. Setelah delapan hari perawatan ICU, kadar fibrinogen dan hemoglobin menjadi normal,dilakukan pengangkatan kassa dari dalam kepala pasien. Saat ini pasien telah dipulangkan dari rumah sakit dengan Glasgow Outcome Scale 3 dan hemiparese sinistra. Pengelolaan anestesi pada operasi pasien memperhatikan kondisi otak akibat COT, stroke iskemik dan efek dari terapi Clopidogrel pada operasi cito. Brain Trauma Foundation memberikan panduan untuk pengelolaan COT yang bertujuan untuk memberikan luaran yang lebih baik. Anesthetic Management for Traumatic Brain Injury in Patient with Ischemic StrokeAbstractTraumatic brain injury (TBI) is one of the leading cause of death and disability around the world. Geriatric being the most vulnerable group, mainly because of falling, of which associated with hemiparesis following stroke. A 68 years old man with Glaslow Coma Scale (GCS) M3V1E4 had brain injury after falling from stairs. The patient is having balance disorder following stroke and receiving clopidogrel afterwards. CT-scan showed acute subdural hemorrhage (SDH) with 0.9cm midline shift. Decompression craniectomy and gauze insertion to stop the bleeding was done on the first surgery. New onset of bleeding occurred in right midparietal. Bleeding was uncontrollable with total volume of 2500cc. Vital signs remained stable with norepinephrine 0.2mcg/kg/min. Anesthesia under fentanyl 200 mcg, propofol 100mg, and continuous vecuronium. Patient was transfused with pack red cel (PRC) total of 700 cc. After eight days in ICU, fibrinogen and hemoglobin returned to normal level, therefore the patient undergone gauze removal. The patient discharged with GOS 3 and left hemiparesis. Anesthesia management in this patient’ surgery focused on brain condition following TBI, ischemic stroke and the effect of clopidogrel therapy in emergency operation. Brain Trauma Foundation issued a management guideline of TBI for better outcome.
Tatakelola Anestesi untuk Dekompresi Kraniektomi pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan Penyulit Obesitas Morbid Fitri Sepviyanti Sumardi; Iwan Abdul Rachman; Bambang J. Oetoro
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 9, No 1 (2020)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2618.353 KB) | DOI: 10.24244/jni.v9i1.247

Abstract

Anestesi dan pembedahan mungkin meyebabkan risiko yang cukup besar untuk pasien obesitas, apalagi obesitas morbid. Populasi orang gemuk meningkat, baik di negara maju dan berkembang, sehingga para ahli anestesi lebih sering menghadapi tantangan dalam mengelola pasien obesitas. Trauma multipel bertanggung jawab atas 5 juta kematian per tahun di seluruh dunia dan merupakan penyebab kematian utama bagi orang-orang muda di bawah 40 tahun, mewakili peristiwa akut dan tak terduga. Kami akan melaporkan seorang lelaki 36 tahun dengan obesitas morbid, BMI 48,97 kg/m2, yang mengalami multipel trauma akibat kecelakaan lalulintas, yang akan menjalani operasi evakuasi perdarahan subdural dan dekompresi kraniektomi. Pemilihan obat dan dosis aman sangat sulit pada pasien dengan multipel trauma, karena mungkin status volumenya tidak diketahui secara akurat. Rencana anestesi harus mempertimbangkan status resusitasi dan riwayat penyakit penyerta lain. Peran penting lainnya dari anestesiologis adalah pencegahan cedera sekunder yang disebabkan oleh syok berulang atau resusitasi tidak tepat. Anesthesia Management for Craniectomy Decompression on Severe Brain Traumatic Injury with Comorbid Morbid Obesity AbstractAnesthesia and surgery may cause considerable risk for obese patients, especially morbid obesity. Obese populations increase, both in developed and developing countries, so anesthesiologists more often face challenges in managing obese patients. Multiple traumas is responsible for 5 million deaths per year worldwide and is the leading cause of death for young people under 40, representing acute and unexpected events. We will report a 36-year-old man with morbid obesity, a BMI of 48.97 kg/m2, who experienced multiple traumas due to a traffic accident, who will undergo an evacuation operation for subdural hemorrhage and craniectomy decompression. The selection of drugs and safe doses is very difficult in patients with multiple traumas, because their volume status may not be accurately known. Anesthetic plan must consider resuscitation status and history of other comorbidities. Another important role of anesthesiologist is the prevention of secondary injury caused by recurrent shock or improper resuscitation.
Anestesi Posisi Prone untuk Pengangkatan Tumor Torakal Posterior Pasien Pediatri dengan Malnutrisi Kronis dan Gangguan Metabolik Kulsum Kulsum; Iwan Abdul Rachman; MM. Rudi Prihatno; Zafrullah Kany Jasa
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2838.546 KB) | DOI: 10.24244/jni.v8i3.237

Abstract

Malnutrisi kronis adalah suatu keadaan dimana tubuh mengalami gangguan dalam penggunaan zat gizi untuk pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas. Gangguan metabolik yaitu kondisi adanya kelainan proses metabolisme pada tubuh akibat defisiensi enzim atau hormon. Posisi prone pada neuroanestesi pediatrik tulang belakang dilakukan untuk mencapai tekanan perfusi otak dan tulang belakang yang normal. Tujuan kasus ini membahas pengelolaan neuroanestesi pediatrik pada posisi prone dengan adanya kelainan malnutrisi kronis merupakan hal yang rumit sehingga diperlukan manajemen agar menghasilkan outcome yang baik. Anak laki laki, 8 tahun, 15 kg, 102 cm, benjolan di punggung belakang yang keluar merembes cairan dengan diameter 7 cm sejak lahir, kelemahan anggota gerak, buang air besar dan buang air kecil tertahan. Dilakukan VP-shunt 2 minggu lalu. Premedikasi dengan midazolam dan fentanyl. Induksi menggunakan propofol dan ada penambahan saat laringoskopi dan intubasi. Fasilitas intubasi dengan atracurium. Pemeliharaan anestesi dengan O2 + udara + sevofluran 2% dengan fraksi oksigen 50% + propofol dan rocuronium bolus intravena. Monitoring tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, saturasi oksigen, jumlah dan warna urin) serta end tidal CO2. Hasil setelah pengangkatan tumor selama 2 jam hemodinamik relatif stabil, tekanan darah 100–120/60–80 mmHg. Pasien ditempatkan di Pediatric Intensive Care Unit. Simpulan: diperlukan manajemen neuroanestesi pediatrik untuk menangani kasus malnutrisi kronik dan gangguan metabolik pada pengangkatan tumor torakal posterior agar menghasilkan outcome yang baik. Prone Position Anesthesia for Posterior Thoracal Tumor Removal Pediatric Patient with Chronic Malnutrition and Metabolic DisorderAbstractChronic malnutrition is a condition where the body experiences a disruption in the use of nutrients for growth, development and activity. Metabolic disorders are conditions in which there are abnormal metabolic processes in the body due to enzyme or hormone deficiency. The prone position in pediatric spinal neuroanesthesia is performed to achieve normal cerebral and spinal perfusion pressure. The purpose of this case is to discuss the management of pediatric neuroanesthesia in the complicated prone position in order to produce good outcomes. Boy, 8 years old, 15 kg, 102 cm, a lump in the back that came out seeping fluid with a diameter of 7 cm from birth, weakness in limbs, bowel movements and urinary retention. Performed a VP shunt 2 weeks ago. The premedication method uses midazolam and fentanyl. Induction uses propofol and there are additions during laryngoscopy and intubation. Intubation facilities with atracurium. Maintenance of anesthesia with O2 + air + sevoflurane 2% with 50% oxygen fraction + propofol and intravenous rocuronium bolus. Monitoring vital signs (blood pressure, heart rate, respiratory rate, oxygen saturation, amount and color of urine) and end tidal CO2. Tumor removal results for 2 hours hemodynamically are relatively stable, blood pressure 60–80/40–50 mmHg. Patients are admit to the Pediatric Intensive Care Unit. Conclusion: pediatric neuroanesthesia management is needed to handle chronic malnutrition and metabolic disorders in the removal of posterior thoracic tumors in order to produce good outcomes.
Penatalaksanaan Anestesi pada Tindakan Bedah Tumor Fossa Posterior: Serial Kasus Iwan Abdul Rachman; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3346.039 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.57

Abstract

Fossa posterior atau fossa infratentorial merupakan kompartemen yang padat serta kaku dan tidak dapat melakukan penyesuaian terhadap penambahan volume isinya. Sedikit penambahan volume isi misalnya akibat tumor atau hematoma, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang signifikan di dalam kompartemen tersebut sehingga terjadi penekanan pada batang otak yang mengancam kehidupan. Tindakan operasi pada fossa posterior memberikan tantangan bagi ahli anestesiologi dikarenakan risiko tinggi terjadinya disfungsi batang otak, posisi pasien, pengawasan neurofisiologis intraoperatif, dan risiko potensial terjadinya emboli udara vena (venous air embolism/VAE). Berikut ini serial kasus mengenai pasien yang dilakukan tindakan kraniotomi pengangkatan tumor atas indikasi tumor infratentorial pada cerebellopontine angle (CPA) dan serebellar astrositoma. Data telah menunjukkan risiko terjadinya VAE pada posisi duduk yaitu antara 40%–45%, sedangkan pada posisi lateral, telungkup, park bench lebih rendah yaitu antara 10%–15%. Pada serial kasus ini posisi ketiga pasien diposisikan dengan posisi park bench dan tidak terjadi adanyaVAE. Kasus ini dapat memperkuat data dalam penurunan resiko terjadinya VAE adalah dengan posisi park bench. Oleh karena itu, pencegahan dari terjadinya VAE sangatlah penting diketahui oleh ahli anestesiologi untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan tindakan bedah fossa posterior.Anesthesia in Surgical Management Measures Posterior Fossa Tumors: Serial CaseThe posterior fossa or infratentorial fossa is a compact and rigid compartment with poor compliance. Small additional volumes (e.g. tumour, haematoma) within the space can result in significant elevation of the compartmental pressure resulting in life-threatening brainstem compression. Surgery in the posterior fossa presents the significant challenges in addition to special problems related to brain stem dysfunction, patient positioning, intraoperative neurophysiologic monitoring, and the potential for venous air embolism (VAE). This serial case present anaesthetic management in tumor removal surgeries (infratentorial in cerebello pontine angle/CPA and cerebellar astrocytoma). Data have shown the risk of VAE in the sitting position 40% - 45%, lateral and park bench position 10% – 15%. In these three cases all the patient with park bench position. This case can strenghthen data in a decrease in the risk of VAE is the park bench position. Therefore, prevention of the occurrence of VAE is very important to be known by the anesthesiologist to reduce mortality in patients with posterior fossa surgery.
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika Iwan Abdul Rachman; Sri Rahardjo; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2682.511 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i2.110

Abstract

Cedera otak traumatika merupakan kasus yang sering ditemukan yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hipertensi intrakranial dan edema serebral adalah manifestasi utama dari cedera otak berat, keduanya dikenal sebagai kontributor utama pada cedera otak sekunder dan memiliki luaran neurologis yang buruk. Tatalaksana pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebral akibat cedera otak traumatika yaitu mengontrol ventilasi, mempertahankan homeostasis otak dan fungsi tubuh, pemberian sedasi, serta terapi hiperosmolar. Manitol dikenal secara luas sebagai terapi utama pada terapi hipertensi intrakranial, namun larutan salin hipertonik dan natrium laktat hipertonik juga merupakan terapi alternatif yang potensial untuk terapi hipertensi intrakranial. Pemberian obat hiperosmolar pada pasien cedera kepala berat bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam daerah interstisial otak akibat efek hiperosmolarnya sehingga terjadi penurunan tekanan intrakranial meskipun terdapat beberapa mekanisme lain yang kemungkinan juga terlibat dalam terjadinya penurunan tekanan intrakranial. Sekarang ini efektivitas cairan hiperosmotik dalam mengurangi edema pada jaringan yang pembuluh darahnya mengalami kerusakan masih dipertanyakan. Bahkan penggunaan obat-obatan tersebut sebagai terapi hiperosmolar diduga malah meningkatkan angka kematian karena dapat memperluas edema sehingga semakin memperburuk peningkatan tekanan intrakranial. Hyperosmolar Therapy in Traumatic Brain InjuryTraumatic brain injury is a common case and related with high morbidity and mortality. Intracranial hypertension and cerebral edema are the main manifestation from severe brain injury and known as main contributor for secondary brain injury, with detrimental neurological outcome. Management of elevated intracranial pressure and cerebral edema are controlling ventilation, maintaining brain homeostasis as well as body function, sedation, and hyperosmolar fluid therapy. Mannitol has been widely known as the main therapy for intracranial hypertension, showever, hypertonic saline and hypertonic sodium lactate are considered as potential alternative therapy for intracranial hypertension. The provision of hyperosmolar theraphy for severe head injury patients aims to reduce water content in the interstitial of the brain for its hyperosmolar effect that would decrease intracranial pressure, even though there probably other mechanism which involve for the decrease of intracranial pressure. In present day, the effectiveness of hyperosmolar fluid in reducing edema in the damaged tissue with impared blood vessel remains questionable. Moreover, the usage of those medication as hyperosmolar therapy allegedly increases mortality because it could adjuct the edema which would exacerbate extension of edema which exacerbate the increase of intracranial pressure.
Gambaran Jumlah Perdarahan pada Seksio Sesarea Spektrum Plasenta Akreta di RSUP Hasan Sadikin Bulan Januari 2020-Desember 2021 Okky Harsono; Dewi Yulianti Bisri; Iwan Abdul Rachman
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 6 No 2 (2023): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v6i2.135

Abstract

Latar Belakang: Masalah morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan spektrum plasenta akreta (SPA) berkaitan erat dengan perdarahan masif perioperatif, sehingga diperlukan strategi pemberian transfusi darah yang tepat.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran jumlah perdarahan pada seksio sesarea atas indikasi dengan spektrum plasenta akreta.Subjek dan Metode: Penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dari Januari 2020 sampai Desember 2021 dengan sampel penelitian berjumlah 50 orang yang terbagi dua berdasarkan skor Placenta Accreta Index (PAI), yaitu kelompok skor PAI <5 dan >5. Dicatat kadar hemoglobin pra dan pascabedah, jenis tindakan penjepitan aorta dan yang tidak dilakukan penjepitan, jumlah perdarahan, serta jumlah pemberian transfusi darah.Hasil: Penelitian ini memperoleh hasil perdarahan rata-rata sebesar 3.135 cc dan Hb pascaoperasi rata – rata 8,32 pada kelompok skor PAI <5 dan 8.186 cc dan Hb pasacaoperasi rata – rata 7,73 pada skor PAI >5.Simpulan: Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pasien dengan gangguan spektrum plasenta akreta dengan skor PAI ≥ 5 memiliki jumlah perdarahan yang lebih banyak dan tindakan penjepitan aorta dilakukan lebih dari 80% pasien
Tatalaksana Anestesi pada Pasien Geriatri dengan Hematoma Subdural, Intraserebral, dan Subarahnoid yang Menjalani Kraniotomi Evakuasi Hematoma Widiastuti, Monika; Rachman, Iwan Abdul; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.391 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i2.449

Abstract

Cedera otak traumatik pada geriatri memiliki insiden 734% dengan penyebab utama adalah jatuh. Perdarahan subdural merupakan jenis cedera yang paling sering terjadi pada populasi geriatri. Hal ini sesuai dengan proses penuaan yang terjadi pada jaringan otak sehingga menyebabkan populasi ini sering mengalami perdarahan subdural jika mengalami cedera. Pasien perempuan berusia 72 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala pasca terjatuh 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran E3M5V6, tanpa adanya kelainan dan defisit neurologis dan hemodinamika stabil. Dari pemeriksaan penunjang Computed Tomography (CT) scan ditemukan subdural hematoma di regio frontotemporoparietalis dextra dan regio frontalis et temporalis sinistra yang menyebabkan midline shift ke arah sinistra, perdarahan subarahnoid di regio frontalis sinistra, perdarahan intraserebral di lobus temporalis sinistra. Operasi kraniotomi evakuasi hematoma dilakukan selama 3 jam dengan anestesi umum. Pertimbangan anestesi pada pasien ini adalah neuroanestesi dan anestesi geriatri dengan memperhatikan proses penuaan yang mempengaruhi perubahan fisiologi dan farmakologi pada pasien geriatri, riwayat komorbiditas dan polifarmasi. Tatalaksana perioperatif yang baik penting untuk mencegah cedera sekunder pada jaringan otak.Anesthetic Management of Geriatri Patient with Subdural, Intracerebral, and Subarachnoid Hemorrhage Underwent Craniotomy for Hematoma EvacuationAbstractWorldwide, the incidence of traumatic brain injury in geriatrics is 734%, with falls as the most common cause. Subdural hemorrhage is the most common injury that occur and is associated with the aging process of the brain, making geriatric patients prone developing subdural hemorrhage. A 72-years-old female came with a headache after fell to the ground 6 days before hospital admission. Physical examination revealed E3M5V6 without neurologic deficits and hemodynamically stable. A computed tomography scan resulted in subdural hematoma in right frontotemporoparietal region causing midline shifting to the left, subarachnoid hemorrhage in the left frontal region, intracerebral hemorrhage in the left temporal lobe. The patient underwent craniotomy evacuation of hematoma and lasted for 3 hours under general anesthesia. Anesthetic concerns are neuroanesthesia and geriatric patient considering the aging process affects physiologic and pharmacologic changes, comorbidities and polypharmacy. Comprehensive perioperative management is essential to prevent secondary brain injury and improve the outcome.
Penatalaksanaan Anestesi pada Perdarahan Intraserebral dengan Hidrosefalus dan Diabetes Melitus Longdong, Djefri Frederik; Rachman, Iwan Abdul; Bisri, Dewi Yulianti; Sudadi, Sudadi; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2509.245 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i1.355

Abstract

Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah ekstravasasi darah yang masuk kedalam parenkim otak, yang dapat berkembang ke ruang ventrikel dan subarahnoid, terjadi spontan dan bukan disebabkan oleh trauma (non traumatis) dan merupakan salah satu penyebab tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan kritis saraf. Kejadian PIS 10-15% dari semua stroke dengan tingkat angka kematian tertinggi dari subtipe stroke dan diperkirakan 60% tidak bertahan lebih dari satu tahun. Kasus: Laki-laki 57 tahun, datang dengan keluhan penurunan kesadaran yang terjadi pada saat mau makan. Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran GCS E1M4V1 dengan hemodinamik stabil, dan terdapat hemiplegi sinistra. Pasien diintubasi dan memakai ventilator di ruangan Instalasi Gawat Darurat Disaster sambil menunggu hasil skrining Covid 19 dengan swab polymerase chain reaction (PCR). Pada CT-scan ditemukan adanya PIS 48,93 cc di basal ganglia, capsula eksterna sampai periventrikel lateralis kanan, terjadi distorsi midline sejauh 1 cm ke kiri. Ventrikulomegali disertai perdarahan intraventrikel yang mengisi ventrikel lateralis kanan dan kiri, ventrikel III dan IV. Laboratorium menunjukkan gula darah di atas 200 mg/dl setelah dilakukan koreksi gula darah diputuskan untuk dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi segera dengan pemeriksaan penunjang yang cukup. Tindakan kraniotomi evakuasi pada pasien PIS menjadi tantangan bagi seorang anestesi, sehingga diperlukan pengetahuan akan patofisiologi, mortalitas PIS dan tindakan anestesi yang harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan tepat.Anesthesia Management in Intracerebral Hemorrhage with Hydrocephalus and Diabetes MellitusAbstractIntracerebral hemorrhage (ICH) is the extravasations of blood into the brain parenchyma, which may develop into ventricular and subarachnoid space, there was spontaneous and not caused by trauma (nontraumatic), and one of the most common cause in patients treated in the neurological critical care unit. ICH represents perhaps 1015% of all strokes with the highest mortality rates of stroke subtypes and about 60% of patients with ICH do not survive beyond one year. Case: a man 57 years, came with complaints of loss of consciousness when he just want to eat. On examination of consciousness obtained GCS E1M4V1 with hemodynamic was stable, there left hemiplegic. Patients is intubated and connected with ventilator at Emergency Room Disaster while waiting for result from PCR. From the CT Scan we found 48,93 cc at basal ganglia, capsula externa until lateral periventricle dextra there is a midline distortion 1 cm to the left. Ventriculomegali with intraventricle hemorrhage wich is fill the lateral ventricle right and left, third ventricular and fourth ventricular. The laboratorium result show the glucose up to 200 mg/dl. After glucose correction, it was decided to evacuate immediately craniotomy action with adequate investigation. Procedure of craniotomy evacuation in ICH patients be a challenge for an anesthesiologist, so knowledge of the pathophysiology, mortality ICH and anesthetic procedure that should be prepared and done properly.
Diagnosis dan Manajemen Anestesi pada Pituitary Apopleksia Tidak Fatal dengan Manifestasi Schizofrenia Cahyadi, Arief; Rachman, Iwan Abdul; Jasa, zafrullah Khany; Mafiana, Rose
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2401.668 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i1.393

Abstract

Tumor hipofisis dapat disertai gejala neuropsikiatri. Apopleksia pituitari (AP) merupakan kejadian jarang akibat infark dan perdarahan tumor hipofisis. Pemulihan total masih mungkin terjadi walaupun pada kasus berat dengan terapi pembedahan maupun konservatif. Terapi pembedahan dipilih bila adanya tanda peningkatan intrakranial dengan kondisi klinis dan neurologis yang tidak stabil. Seorang laki laki, umur 36 tahun dengan keluhan gangguan bicara mendadak sehari sebelum masuk RS, dengan riwayat terapi skizofrenia selama 8 bulan. Pasien mengalami penurunan kesadaran dalam perawatan dan didiagnosis tumor hipofisis anterior dengan komponen apopleksia dari CT-scan kepala. Pasca operasi transphenoid urgensi diterapi vasopresin intramuskular akibat poliuria. Penatalaksanaan anestesi pada pembedahan AP tidak berbeda dengan tumor hipofisis lainnya, hanya saja kondisi AP dapat bersifat urgensi. Satu bulan pasca pembedahan, pasien sudah lebih mudah berbicara, mulai beraktifitas fisik, dan halusinasi suara sudah tidak ada. Tatalaksana AP memberikan tantangan dalam manajemennya. Keluhan yang ditemukan dapat berupa halusinasi. Hingga kasus ini dilaporkan, ada satu publikasi kasus AP dengan psikosis akut dan keterlambatan diagnosis masih mungkin terjadi. Kecurigaan gangguan organik tetap perlu dipikirkan pada gangguan neuropsikiatri. Gangguan produksi urin bisa terjadi pasca operasi yang disebabkan beberapa hal sehingga memerlukan pemantauan ketat status hidrasi untuk menghindari morbiditas dan mortalitas yang mungkin terjadi.Anesthesia Management in Urgency Transsphenoidal Tumor Resection with Pituitary Apoplexy Presenting and SchizophreniaAbstractPituitary tumors may be accompanied by neuropsychiatric symptoms. Pituitary Apoplexy (PA) is a rare condition due to infarct or bleeding in pituitary tumors. Complete recovery is still possible even in severe cases with either surgical or conservative therapy. Surgery is a choice if there is evidence of increased intracranial pressure with unstable clinical and neurological conditions. Adult man, 36 yo, with sudden difficulty to speak a day before, with history of schizophrenia since 8 months ago. The patient suffered a decrease in consciousness in hospitalization and was diagnosed with anterior hypophysis tumor with apoplexy by CT-scan results. Post transsphenoidal urgency surgery, the patient was treated with vasopressin IM due to polyuria. Anesthesia management in PA surgery is the same as other pituitary tumor surgery, however, PA can be urgent. One month after surgery, the patient is more easier to talk, start physical activities, and auditory hallucination is not heard again. Management PA had its own challenge. Symptoms can be hallucinations. Until this case was reported, there was one published case of AP with acute psychosis and delay in diagnosis is still possible. Suspicion of organic disorders still needs to be considered in neuropsychiatric disorders. Impaired urine production might occur postoperatively due to several reasons so it requires close monitoring of hydration status to prevent possible morbidity and mortality.