Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

Konsep tata ruang permukiman Baluwarti Keraton Kasunanan Surakarta Hartanto, Tri; Yuuwono, Abito Bamban
JURNAL ARSITEKTUR PENDAPA Vol 3, No 2 (2020)
Publisher : Universitas Widya Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37631/pendapa.v3i2.162

Abstract

Penelitian terkait permukiman sudah banyak dilakukan oleh para ahli baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Permukiman sebagai obyek penelitian telah lama dilakukan karena terkait dengan sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Penelitian ini memilih lokus permukiman Baluwarti, dan fokus penelitian adalah tata ruang permukimannya  yang memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tata ruang permukiman Baluwarti yang dimaksud adalah bahwa permukiman ini berbeda dengan permukiman tradisional lainya karena permukiman ini berada di dalam kawasan keraton Surakarta. Dimana keraton Surakarta dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa. Sehingga permukiman tradisional lainya yang berada di Jawa, tentunya bersumber dari budaya keraton Surakarta. Paradaigma penelitian adalah Kualitatif dangan metode historical reading dan observasi, sedangkan analisis menggunakan induktif. Kebaharuan dari penelitian ini adalah akan ditemukan konsep tata ruang permukiman Baluwarti yang memiliki kekhasan, dari nilai-nilai tradisi dan budaya Keraton Surakarta Hadiningrat yang kaya akan tradisi dan budaya (budaya Jawa), karena berada di dalam kawasan keraton. Berbeda dengan penelitian-penelitian permukiman yang telah dilakukan sebelumnya dengan lokus penelitian berada di luar keraton. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa konsep tata ruang Baluwarti merupakan konsep yang dipertahankan dari permukiman ini dibangun, yaitu pada masa Paku Buwana III (1745-1788M) adalah  menjaga keharmonisan manusia dengan Tuhan, keharmonisan manusia dengan manusia (masyarakat), dan keharmonisan manusia dengan alam.
PENGARUH ORIENTASI BANGUNAN TERHADAP KEMAMPUAN MENAHAN PANAS PADA RUMAH TINGGAL DI PERUMAHAN WONOREJO SURAKARTA Abito Bamban Yuuwono
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 10 No. 14 (2011): jurnal teknik sipil dan arsitektur
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Orientasi Bangunan untuk daerah tropis lembab seperti di Indonesia pada dasarnya lebih ditujukan guna mendapatkan suatu posisi yang baik terhadap garis edar matahari, hal ini berkaitan dengan masalah pengantisipasian terhadap radiasi sinar matahari yang cukup tinggi. Namun dalam perkembangannya saat ini orientasi bangunan lebih ditujukan pada hal-hal lain yang dianggap lebih penting, antara lain guna memenuhi tuntutan fungsi bangunan maupun tuntutan filosofis tertentu. Rumah tinggal adalah bangunan dengan tingkat pemakaian yang relatif lebih tinggi dibandingkan jenis bangunan lainnya, sehingga adanya pembangunan rumah tinggal terutama di kawasan-kawasan perumahan dengan orientasi yang sangat bervariatif ini sangat menarik untuk diteliti, guna mengetahui seberapa besar pengaruh orientasi bangunan terhadap tingkat kemampuan dalam menahan panas. Obyek penelitian adalah pada rumah-rumah dikawasan perumahan Wonorejo Surakarta, dimana pada perumahan ini terdapat arah orientasi yang sangat bervariatif pada type-type rumah yang sama. Analisis penelitian ini menggunakan mutu kualitatif yang didapatkan dari data-data kuantitatif yang didapatkan dari hasil pengamatan dan pengukuran terhadap perubahan temperature dan kelembaban pada masing-masing arah orientasi bangunan yang kemudian diperbandingkan guna mendapatkan arah orientasi yang paling baik. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa arah orientasi bangunan yang mengarah ke selatan memiliki kemampuan yang paling baik dalam menahan panas.
PERAN, FUNGSI DAN MAKNA ARSITEKTUR RUMAH LAMIN DALAM BUDAYA ADAT SUKU DAYAK DI KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR ABITO BAMBAN YUUWONO
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 16 No. 20 (2015): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Arsitektur rumah tinggal secara umum dalam kehidupan manusia memiliki fungsi, peran dan makna universal yang relatif sama, yaitu sebagai tempat berlindung dari kondisi alam dan lingkungan yang tidak bersahabat, sebagai tempat bersosialisasi, berinteraksi dan membina keluarga, sebagai setatus sosial yang mencerminkan pribadi pemilik dalam komunitas masyarakat maupun budayanya, dsb., namun ketika kita telaah lebih dalam teryata ada nilai-nilai yang hanya berlaku pada budaya atau kelompok masyarakat tertentu sementara akan berbeda nilai maupun artinya bagi budaya maupun kelompok masyarakat lainnya, sebagai contoh bagi suku toraja suatu rumah akan memiliki setatus sosial yang tinggi apabila semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang disusun di tiang utama bagian depan dari rumah tongkonannya, sementara rumah joglo akan menjadi identitas bahwa pemilik rumah adalah keluarga ningrat atau bangsawan bagi suku jawa, dan lain-lain, meskipun banyak nilai-nilai yang telah mengalami degradasi maupun pergeseran sebagai akibat perkembangan jaman namun bagi beberapa suku budaya ini masih dipegang teguh dan tetap bertahan hingga sekarang. Pulau Kalimantan dengan suku Dayak yang merupakan penduduk aslinya memiliki bentukan arsitektur rumah tinggal yang sangat unik dan khas yang mencerminkan budayanya, yang biasa disebut rumah panjang atau lamin, suku dayak secara umum dikelompokkan menjadi 6 rumpun yaitu rumpun klemantan, iban, apokayan, murut, ot danum-ngaju, dan punan. ke enam rumpun tersebut tersusun atas 268 suku, di Kabupaten Kutai Barat yang merupakan bagian dari Propinsi Kalimantan Timur terdapat 6 kelompok suku dayak yaitu suku Dayak Kenyah, Toonyoi, Benuaq, Bahau, Aoheng, dan Punan, pada ke enam suku tersebut rumah lamin diperankan selain  sebagai rumah tinggal bersama secara berkelompok yang didasarkan pada kebersamaan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan upacara-upacara ritual maupun persembahan, hal ini dapat terlihat dari patung-patung atau totem yang biasa disebut Blonthang yang di taruh berjajar di depan rumah lamin, demikian pula dengan penggunaan ornamen-ornamen ukiran khas dayak yang berwarna-warni dimana tiap warna melambangkan makna-makna  tertentu.
PENGEMBANGAN POTENSI BAMBU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN RAMAH LINGKUNGAN ABITO BAMBAN YUUWONO
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 18 No. 22 (2016): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dewasa ini planet bumi sedang menghadapi anomali perubahan iklim yang cukup mengancam kelangsungan kehidupan semua makluk di planet ini, sehingga semua pihak dituntut untuk mampu menekan kegiatan yang menimbulkan emisi krbon dengan teknologi, alat, maupun sistem yang lebih ramah lingkungan. Penyumbang terbesar terjadinya global warming atau pemanasan global adalah penggunaan bahan bakar minyak bumi atau bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama untuk menggerakan mesin-mesin industri, kendaraan bermotor, antara lain mobil, motor, kereta api, kapal laut sampai dengan pesawat terbang yang jika diakumulasi penggunaannya diseluruh dunia maka akan menjadi penyumbang sumber emisi karbon yang terbesar, disamping hal tersebut percepatan terjadinya global warming ini dipicu karena semakin menipisnya luasan hutan di muka bumi karena guna memenuhi berbagai kepentingan dan tuntutan kebutuhan manusia sehingga dari tahun ke tahun semakin besar hutan yang di babat sehingga berubah menjadi lahan pertanian, perkebunan bahkan jadi kwawasan hunian. Bertolak dari kondisi tersebut saat ini semua industri telah berlomba-lomba mencari solusi teknologi yang ramah lingkungan, banyak negara telah mengemmbangkan sumber-sumber energy alternatif yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil antara lain dengan solar cell, pembangkit listrik tenaga panas bumi, PLTA, pembangkit listrik Tenaga Angin dsb. Dunia Arsitektur merupakan penyumbang terjadinya percepatan global warming karena setiap tahun dibangun puluhan juta rumah diseluruh muka bumi dan mayoritas rumah -rumah ini dibangun dengan bahan dasar kayu sehingga secara otomatis mempercepat terjadinya perusakan hutan karena kebutuhan sebagai bahan bangunan, meskipun hutan yang dibabat dapat ditanami kembali namun butuh waktu yang sangat lama untuk pulih, paling cepat 30 tahun, sedangkan kayu-kayu tertentu butuh sampai ratusan tahun untuk pulih kembali menjadi hutan, dunia arsitektur juga tidak ketinggalan dengan inovasi-inovasi barunya yang telah melahirkan banyak bangunan maupun kawasan yang telah menerapkan konsep maupun teknologi arsitektur ramah lingkungan Bambu dapat menjadi salah satu alternatif bahan bangunan yang ramah lingkungan,yang dapat menggantikan kayu, karena bambu mudah untuk dibudidayakan, dapat hidup dengan baik hampir disemua jenis tanah, mulai dari dataran rendah hingga tinggi, dan relatif singkat untuk bisa dipanen dan setelahnya  dapat dipanen secara terus-menerus.
UNGKAPAN BENTUK DAN MAKNA FILOSOFI DALAM KAIDAH ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL JAWA DI ERA MODERNISASI ABITO BAMBAN YUUWONO
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 17 No. 21 (2015): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Budaya jawa telah dikenal dunia sebagai budaya yang adiluhung, hal ini tidak lepas dari pandangan hidup dalam budaya jawa yang memahami hidup sebagai hanya semata karena tuhan yang maha kuasa (uriping manungso mung sakdermo), dan hidup itu hanya singkat (uriping menungso ibarat mung mampir ngombe) hal ini melebur dan mendasari semua aspek dalam kehidupan sosial budaya masyarakat jawa, dimana karya-karya budaya jawa didedikasikan kepada pemahaman akan dari mana asal kehidupan, apa yang harus dilakukan dalam kehidupan ini, hingga akhirnya akan kembali lagi kepada tuhan, hal ini terlihat dalam mengekspresikan pikiran kedalam karya-karya seni (wayang, bathik, tosan aji, tarian, tembang-tembang, dll.), bentuk arsitektur rumah tradisional jawa, maupun prilaku sebagai individu maupun dalam tatanan bersosial dan bermasyarakat, dimana semua itu ditujukan kepada pengagungan kepada tuhan dan penghormatan kepada nilai-nilai kehidupan. Karya budaya jawa dapat dilihat dlam dua aspek yaitu aspek fisik dan aspek yang menjiwai, sehingga semua ditampilkan dalam bentuk fisik yang serba indah, cantik, dan merdu agar orang tertarik untuk melihat, mendengar,atau membaca kemudian dapat menikmati dan menghayati sehingga akan menemukan makna atau pesan- pesan simbolik yang terkandung didalamnya hingga pada akhirnya dapat mengingatkan, menyadarkan, dan dpat menjadi sarana membentuk tatanan dalam kehidupan sosial masyarakat jawa, sehingga dapat disimpulkan bahwa karya budaya jawa dituntut untuk dapat memenuhi tiga unsur yaitu sebagai sesuatu yang menarik, mengandung pesan-pesan/ajaran, dan dapat membentuk pola aturan dalam masyarakat (tontonan, tuntunan dan tatanan). Bertolak dari pemahaman tersebut maka dapat diulas bagaimana makna bentuk arsitektur rumah tradisional jawa, apa yang melandasi bentuk-bentuk tersebut, pesan-pesan simbolik apakah yang akan disampaikan dan apa tujuan yang hendak dicapai. Waktu terus berjalan kemasa depan sehingga kita dituntut untuk bisa arif dan bijaksana dalam menghadapi modernisasi dan perkembangan tuntutan jaman,  kemudian bagaimana kita memahami dan mensikapi nilai-nilai arsitektur tradisional jawa dalam era modern ini.
KARAKTER ARSITEKTUR RUMAH LAMIN DAYAK TUNJUNG SEBAGAI SALAH SATU IDENTITAS KABUPATEN KUTAI BARAT A.BAMBAN YUUWONO
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 14 No. 18 (2013): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Globalisasi telah memberikan dorongan kemajuan yang pesat bagi kehidupan manusia, namun disisi lain juga membawa dampak negatif yang telah mengikis batasan-batasan ruang dan waktu, salah satunya adalah telah terjadi pengikisan dan hilangnya kekayaan karakter budaya suatu daerah dan bentuk Arsitektur merupakan salah satu unsur pembentuk karakter budaya suatu daerah. Kabupaten Kutai Barat merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai Karta negara, meski baru berusia empat belas tahun namun perkembangan pembangunannya sangat pesat karena didukung oleh posisi yang strategis, tanah yang subur dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kondisi ini perlu diimbangi dengan upaya-upaya pelestarian akan kekayaan keanekaragaman dan kekhasan budaya-budaya setempat salah satunya adalah bentuk arsitekturnya. Kabupaten Kutai Barat tersusun atas enam kelompok suku Dayak yaitu Dayak Tunjung, Dayak Kenyah, Dayak Benuaq, Dayak Bahau, Dayak Punan dan Dayak Aoheng. Bentuk dasar arsitektur dari ke enam suku Dayak tersebut adalah sama namun setelah di cermati dan diteliti lebih lanjut ternyta dari setiap suku Dayak tersebut memiliki detail-detail ornamen arsitektur yang berbeda-beda, dari ke enam suku Dayak tersebut suku Dayak tunjung merupakan suku dengan jumlah populasi penduduk dan wilayah  yang paling besar sehingga mampu memberikan warna yang khas dan dominan bagi terbentuknya karakter identitas Kabupaten Kutai Barat.
DEGRADASI FUNGSI RTH KAWASAN PERUMAHAN WONOREJO SURAKARTA PADA KONDISI THERMAL LINGKUNGAN ABITO BAMBAN YUUWONO
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 23 No. 27 (2018): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (162.586 KB)

Abstract

Ruang terbuka hijau (RTH) pada kawasan perumahan sesuai amanat undang-undang wajib disediakan pertama bertujuan guna menjaga keseimbangan alam dan lingkungan antara lain dapat digunakan sebagai daerah penyangga guna penyerapan/peresapan air tanah, sebagai sarana penyerapan karbon dioksida sekaligus sebagai sarana penyediaan oksigen melalui proses fotosintesis oleh tanaman penghijauan yang ditanam pada ruang terbuka hiajau (RTH), guna menyerap radiasi sinar matahari / mengurangi tingkat kesilauan, sebagai ruang publik masyarakat sekitarnya yang dapat menjadi sarana ruang interaksi sosial, sebagai sarana berolah raga, berrekreasi atau hanya sekedar bersantai dsb. Kawasan perumahan pasca huni secara umum akan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, Seiring perkembangan jumlah penduduk, peningkatan kebutuhan akan ruang, peningkatan kondisi sosial ekonomi, dan sebagainya hal ini seringkali telah mendorong terjadinya pergeseran / perubahan fungsi ruang terbuka hijau pada kawasan perumahan, hal ini sangat menarik untuk diteliti guna mengetahui seberapa besar dampak pengaruhnya terhadap penurunan kualitas lingkungan hunian. Obyek penelitian adalah RTH pada dikawasan perumahan Wonorejo Surakarta, dimana kawasan  perumahan ini telah dihuni lebih dari lima belas tahun, dan setelah limabelas tahun pasca huni ini telah banyak sekali terjadi / mengalami perubahan / pergeseran yang sangat nyata, terutama perubahan / pergeseran fungsi pada ruang terbuka hijaunya yang tidak sesuia amanat undang-undang.. Guna mengetahui perubahan kondisi thermal pada Penenelitian ini akan dilaksanakan dengan mengkomparasikan data hasil pengamatan kondisi lingkungan pada tahun 2018 dengan hasil pengamatan lingkungan pada tahun 2003 kemudian dianalisis guna mengetahui seberapa besar perubahan kondisi thermal lingkungan yang terjadi. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa degradasi perubahan fungsi ruang terbuka hijau (RTH) pada kawasan perumahan wonorejo telah memicu terjadinya perubahan kondisi thermal lingkungan.
POSISI ORIENTASI BANGUNAN PERMUKIMAN TEPI SUNGAI PADA PENGEMBANGAN POTENSI PARIWISATA KOTA Ismadi; Abito Bamban Yuuwono
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 25 No. 2 (2020): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36728/jtsa.v25i2.1068

Abstract

Rekam jejak sejarah nusantara menunjukan bahwa sebagian besar kota-kota di indonesia berada pada daerah tepi laut dan tepi sungai besar, hal ini terjadi dikarenakan pada awal mula terbentuknya permukiman maka infra strukturnya belum tersedia sehingga masyarakat memanfaatkan sungai sebagai sarana jalur transportasi yang paling mudah dan sudah tersedia secara alami. Permukiman yang semula berada dan berkembang di sepanjang tepi pantai dan tepi sungai pada perkembangannya akan menjadi kota yang pada akhirnya semakin mendorong wilayah permukiman semakin jauh merambah ke daerah yang semakin jauh dari pantai dan sungai sehingga sarana transportasi yang semula mengandalkan sungai telah berkembang dengan sistem transportasi darat dan perkembangan ini telah mendorong sebagian besar masyarakat mulai meninggalkan sarana transportasi melalui sungai karena semakin lengkapnya infrastruktur jaringan jalan.Perkembangan sistem transportasi darat lambat laun akhirnya telah merubah pola orientasi bangunan pada permukiman tepi sungai yang semula berorientasi ke sungai telah berubah menjadi ke arah darat/jalan sehingga sungai yang pada mulanya menjadi muka kawasan permukiman yang berarti wajah dan halaman berubah menjadi arah belakang dari kawasan permukiman yang dapat di artikan arah yang buruk, kotor dan kurang diperhatikan dan hal tersebut juga telah merubah prilaku dan pandangan masyarakat terhadap nilai dan eksistensi sungai. Mengembalikan arah orientasi permukiman kembali menghadap kearah sungai tentunya akan memberikan dampak positif yang kompleks bagi pengembangan dan penataan kawasan mulai dari semakin terjaga kebersihannya, menghidupkan kembali sebagai sarana transportasi air yang dapat mengurangi kepadatan lalu lintas darat dan dapat menjadi obyek pariwisata melalui olahraga air, pasar terapung dan sebagainya. Kata kunci: Orientasi, Pemukiman, Tepi Sungai, Pariwisata, Kota
PERPADUAN WISATA SEJARAH DENGAN WISATA AIR DI KAWASAN BENTENG VASTENBURG SURAKARTA Ismadi; Bamban Yuuwono
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 26 No. 2 (2021): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36728/jtsa.v26i2.1279

Abstract

Abstrak Taman benteng Vastenburg merupakan bagian tak terpisahkan dari destinasi wisata sejarah di kota Surakarta. Salah satu bagian terpenting taman benteng Vastenburg adalah keberadaan Parit/Selokan yang berbentuk melingkar. Fungsi Parit yang sebenarnya pada jaman kolonial belanda dulu adalah untuk pengamanan Pemerintahan Belanda dari serangan musuh. Fungsi itu saat ini sudah tidak ada lagi seiring tidak berfungsinya benteng sebagai bangunan pertahanan. Kondisi parit saat ini sudah tidak terpelihara lagi, talut banyak yang rusak, dasar parit sudah kering ,tidak berair, banyak sampah, dan ditumbuhi semak. Lokasi Benteng yang berada di pusat kota (pusat perkantoran dan perdagangan) sangat strategis untuk dikembangkan menjadi pusat wisata kota. Disamping wisata sejarah, komplek benteng Vastenburg bisa juga dikolaborasikan dengan wisata yang moderen, salah satunya ialah wisata air. Wisata air banyak macamnya, diantaranya adalah wisata perahu, pasar apung, kolam pancing, kolam renang, dan kolam luncur. Untuk lokasi parit benteng vastenburg yang paling cocok adalah wisata perahu. Wisata perahu ini bisa digabung dengan wisata kolam renang dan kolam luncur yang bisa dibangun disekitar bangunan benteng. Dengan dihidupkannya wisata sejarah benteng dengan wisata air dan sekaligus didukung oleh fasilitas perdagangan dan perkantoran di sekelilingnya, komplek benteng vastenburg akan bisa menjadi pusat rekreasi kota yang hidup dan ramai pengunjung. Kata kunci: kolaborasi, wisata sejarah, wisata air Abstract Vastenburg Fort Park is an integral part of historical tourist destinations in the city of Surakarta. One of the most important parts of the Vastenburg Fort Park is the existence of the Moat / Gutter which is circular in shape. The actual function of the Trench in the Dutch colonial era was to protect the Dutch Government from enemy attacks. This function is now no longer in existence due to the dysfunction of the fort as a defensive building. The condition of the ditch is no longer maintained, the gutters are damaged, the bottom of the trench is dry, no water, lots of garbage, and overgrown with shrubs. The location of the fort, which is in the city center (the center of offices and trade), is very strategic to be developed into a city tourism center. Besides historical tourism, the Vastenburg Fort complex can also be collaborated with modern tours, one of which is water tourism. There are many kinds of water tourism, including boat tours, floating markets, fishing ponds, swimming pools, and sliding pools. For the location of the vastenburg fort moat it is most suitable for a boat tour. This boat tour can be combined with a swimming pool tour and a slide that can be built around the fort. With the historical fortifications turned on with water tours and at the same time supported by the surrounding trade and office facilities, the vastenburg fort complex will become the center of the city's vibrant recreation and bustling with visitors. Keywords: collaboration, historical tourism, water tours
KAJIAN PELESTARIAN DAN PEMELIHARAAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI SURAKARTA Wahyu Prabowo; Abito Bamban Yuuwono
Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 26 No. 2 (2021): JURNAL TEKNIK SIPIL DAN ARSITEKTUR
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36728/jtsa.v26i2.1486

Abstract

Konservasi merupakan tindakan pelestarian dalam sebuah bangunan cagar budaya. Sasaran tindakan pelestarian dapat berupa bangunan (tangible) maupun non bangunan (intangible). Bangunan cagar budaya yang merupakan objek konservasi mempunyai value yang tinggi dalam proses konservasi, tidak hanya pada objek bangunannya saja namun juga terhadap sejarah, dan peradaban manusia itu sendiri. Bangunan cagar budaya yang tersebar di beberapa wilayah kota Surakarta merupakan bangunan peninggalan masa penjajahan yang mempunyai nilai arsitektur yang penting dalam perjalanan perkembangan ilmu arsitektur di Indonesia. Seiring perkembangan jaman bangunan-bangunan tersebut akan termakan usia dan mengalami degradasi kualitas material atau bahkan struktur bangunan. Sehingga dirasa perlu dilakukan pendataan atau kajian mengenai tingkat keterawatan bangunan cagar budaya tersebut, harapannya supaya dapat dilakukan langkah perawatan yang tepat guna melestarikan bangunan cagar budaya yang ada di kota Surakarta. Berdasarkan deskripsi diatas, penelitian ini dibuat untuk melihat sejauh mana tingkat keterawatan beberapa preseden bangunan cagar budaya di kota Surakarta. Kata kunci: konservasi, bangunan cagar budaya, keterawatan, degradasi, cagar budaya