Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PERAN HAKIM DALAM MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA WARISAN DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH Asyraf, Muammar; Aidy, Zul; Fazzan, Fazzan
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 7 No. 1 (2024): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v7i1.6640

Abstract

Mediasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Mediasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Namun, dalam undang-undang tidak mengatur secara eksplisit mengenai mediasi sehingga diatur di peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan oleh Mahkamah Agung, Jadi seringkali mediasi yang ditempuh gagal, seharusnya mediasi dalam pengadilan itu berhasil karena sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan tentu telah dimediasikan terlebih dahulu dikampungnya, pada kenyataannya harus kembali diserahkan ke meja persidangan untuk diputuskan secara adil berdasarkan fakta-fakta persidangan oleh hakim yang berwewenang. Tujuan dalam pembahasan ini adalah Untuk mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa warisan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Peran Hakim Dalam Mediasi Penyelesaian Sengketa Warisan dan Kendala-kendala dalam penyelesaian sengketa warisan melalui mediasi. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Yuridis Empiris Merupakan suatu metode penelitian yang dalam hal ini menggabungkan unsur hukum normatif yang kemudian didukung dengan penambahan data atau unsur empiris. Berdasarkan hasil penelitian ini mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa warisan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Untuk Tantangan proses dan penyelesaiannya lebih kepada para pihak yang membuat perkara tersebut berhasil atau tidak, dikarenakan mediator hanya memfasilitasi akan tempat dan memberi solusi yang baik terhadap keduanya. Akan tetapi yang menjadi ketidaksepakatan atau halangan dalam menempuh mediasi yaitu para pihak yang lebih memikirkan egonya masing-masing sehingga sulit bagi seorang mediator untuk mendamaikan kedua belah pihak. Peran Hakim Dalam Mediasi Penyelesaian Sengketa Warisan bahwa mediasi telah berhasil yang di tanda tangani oleh para pihak dan juga mediator, kemudian perkara tersebut diberikan kepada hakim untuk diputuskan dalam bentuk akta perdamaian dengan merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam serta Kendala-kendala dalam penyelesaian sengketa warisan melalui mediasi. berhasil atau tidak, yaitu para pihak yang menentukan setelah diberi masukan atau ide-ide oleh mediator Akan tetapi yang menjadi ketidaksepakatan atau halangan dalam menempuh mediasi yaitu salah satu pihak tidak hadir pada saat mediasi, mengedepankan sikap ego masing-masing, keahlian mediator terbatas dan keterbatasan ilmu mediator dan Faktor yang Mempengaruhi Peran Hakim yaitu terbagi 2 faktor, faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam diri hakim itu sendiri. Jadi faktor internal di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) hakim itu sendiri, yaitu mulai dan rekrutmen/seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim, sedangkan faktor ekternal adalah faktor dimana di pengaruhi sama Peraturan perundang-undangan, Adanya intervensi terhadap proses peradilan Hubungan hakim dengan penegak hukum lain, Adanya berbagai tekanan, Faktor kesadaran hukum serta Faktor sistem pemerintahan (politik). Disarankan Agar Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (Pejabat) lebih mensosialisasikan dan mempublikasikan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 khususnya menyangkut hak serta kewajiban para pihak dalam Penyelesaian Mediasi. Agar sebelum ketahap mediasi hakim harus memberikan informasi tentang manfaat mediasi bagi perkara yang dihadapi para pihak dan Hendaknya, para pihak (principal) diwajibkan untuk menghadiri sendiri proses mediasi atau setidaknya ia dapat didampingi oleh kuasa hukumnya dalam melakukan mediasi. Serta Hendaknya, pada saat mediasi para pihak bersikap lemah lembut dalam mengambil tindakan dengan tidak egois dan tidak mementingkan diri sendiri serta Pengadilan adalah benteng terakhir bagi para pencari keadilan (justiciable) dalam menyelesaikan perkaranya. Jadi lembaga peradilan sebenarnya menjadi tumpuan harapan masyarakat, manakala upaya penyelesaian secara damai dan kekeluargaan tidak membawa hasil. Dalam kedudukan yang demikian, maka lembaga peradilan seharusnya dapat memberikan pelayanan hukum sebaik-baiknya kepada masyarakat, dan menghindari tindakan-tindakan yang dapat menurunkan citra baiknya. Mediation is one form of dispute resolution outside of court. Mediation has been regulated by Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution. However, the law does not explicitly regulate mediation, so it is governed by Supreme Court Regulation No. 1 of 2016 concerning Mediation Procedures in Court by the Supreme Court. As a result, mediation is often unsuccessful. Mediation in court should succeed because, prior to filing a lawsuit, mediation should have already been attempted at the village level. However, in reality, the case must still be brought before the court to be adjudicated fairly based on the facts presented by the authorized judge. The purpose of this discussion is to understand the mediation process in resolving inheritance disputes at the Mahkamah Syar'iyah in Banda Aceh, the role of the judge in mediating inheritance disputes, and the obstacles to resolving inheritance disputes through mediation. The type of research used is Empirical Juridical Research, which is a research method that combines normative legal elements supported by additional data or empirical elements. Empirical Juridical Research refers to the procedure used to solve research problems by first examining secondary data, followed by primary data collection in the field. Primary data is obtained by interviewing respondents and informants. Based on the findings of this research, it is clear that the success or failure of the mediation process in resolving inheritance disputes at the Mahkamah Syar'iyah in Banda Aceh largely depends on the parties involved. The mediator’s role is to provide a venue and suggest solutions, but it is the parties themselves who determine whether the mediation is successful. One significant obstacle to successful mediation is the ego of the parties, which makes it difficult for the mediator to bring them to an agreement. The role of the judge in mediating inheritance disputes involves confirming that the mediation was successful by having the parties and the mediator sign the agreement. The judge then issues a decision in the form of a peace deed, referring to the Compilation of Islamic Law. Obstacles to resolving inheritance disputes through mediation include one party not attending the mediation, the parties prioritizing their own interests, the limited skills and knowledge of the mediator, and various other factors. Factors influencing the judge’s role in mediation are divided into two categories. Internal factors are those that affect the judge’s independence in performing their duties and come from within the judge themselves, including recruitment, judicial education, and the judge’s welfare. External factors include legislation, interference in the judicial process, the judge’s relationship with other law enforcement officers, various pressures, legal awareness, and the political system. It is recommended that the Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh (officials) should further promote and publicize Supreme Court Regulation No. 1 of 2008, especially regarding the rights and obligations of the parties in mediation. Before entering mediation, judges should provide information on the benefits of mediation for the parties involved. It is also suggested that the principal parties be required to attend the mediation personally or, at the very least, be accompanied by their legal counsel. Additionally, during mediation, the parties should act kindly, avoiding selfishness and self-interest. The court is the last resort for those seeking justice (justiciable) to resolve their cases. Therefore, the judicial institution is the public’s hope when peaceful and familial dispute resolution efforts fail. In this role, the judiciary should provide the best possible legal service to the public and avoid actions that could damage its reputation.
EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI TINDAK PIDANA BALAP LIAR DI WILAYAH KOTA BANDA ACEH Maulana, Osama Bintang; Astini, Dewi; Fazzan, Fazzan; Aidy, Zul; Rahmah, Siti
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 8 No. 7 (2024): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v8i7.7591

Abstract

Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, apabila perbuatan tersebut telah diatur dalam undang undang, sesuai dengan Asas Legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Tujuan dalam pembahasan ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana balap liar yang dilakukan di wilayah kota Banda Aceh, untuk mengetahui faktor penyebab terjadi balap liar semakin menjadi. Serta untuk mengetahui bagaimana efektivitas dari penerapan sanksi tindak pidana terhadap pelaku balap liar di wilayah kota Banda Aceh. Penelitian ini memperoleh data dalam penulisannya yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris, yaitu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer dilakukan dengan wawancara para responden dan informan. Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa penindakan dilakukan untuk mencegah kegiatan balap liar ini dan memberi pengarahan tentang bahayanya aksi balap liar kepada pelaku dan masyarakat. Dapat diketahui bahwa efektivitas penanggulangan balap liar oleh Polresta Banda Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah terlaksana dengan cukup efektif. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas penanggulangan balap liar antara lain faktor sosialisasi tentang larangan balap liar, faktor masyarakat, faktor patroli di tempat-tempat yang rawan terjadi balap liar, faktor kerjasama antara pihak kepolisian dengan pemerintah kota. Bagi masyarakat, sebaiknya memberi peringatan secara lisan maupun tulisan agar remaja mengetahui bahwa kegiatan mereka mengganggu ketentraman warga masyarakat. Bagi remaja, sebaiknya mendengarkan aspirasi dari masyarakat dan dapat dijadikan pertimbangan, agar kegemaran dan pengembangan bakatnya tidak mengganggu orang lain. Bagi Pemerintah daerah, agar mampu mengatasi masalah tersebut dengan cara yang bijak. Sebaiknya diadakan pertemuan antara warga masyarakat, remaja yang melakukan balap liar dan pemerintah daerah sebagai mediator dan pembuat keputusan.
The Implementation of Islamic Sharia in the Enforcement of Qanun Jinayat in Aceh: A Legal Analysis and Social Impact Juliandika, Adam; Fazzan, Fazzan
Ahlika: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol. 1 No. 2 (2024): Ahlika: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Publisher : Yayasan Abdurrauf Cendekia Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70742/ahlika.v1i2.94

Abstract

The Qanun Jinayat is a regional regulation in Aceh that implements Islamic Sharia within the local criminal justice system. This article analyzes the application of the Qanun Jinayat, examining the legal aspects and social impacts it creates within the Acehnese community. Using normative juridical research methods and literature analysis, this study aims to illustrate the effectiveness of the Qanun Jinayat and the challenges encountered in its implementation, particularly regarding human rights issues and social acceptance. The findings indicate that the application of the Qanun Jinayat plays a significant role in strengthening Islamic identity in Aceh. However, challenges arise, requiring further oversight and harmonization with national legal principles and human rights values. Abstract: Qanun Jinayat merupakan peraturan daerah di Aceh yang mengimplementasikan syariat Islam dalam sistem hukum pidana lokal. Artikel ini menganalisis penerapan Qanun Jinayat dengan meninjau aspek hukum dan dampak sosial yang ditimbulkan di masyarakat Aceh. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yuridis dan analisis literatur untuk menggambarkan efektivitas Qanun Jinayat serta tantangan dalam implementasinya, terutama terkait isu hak asasi manusia dan penerimaan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Qanun Jinayat berperan penting dalam memperkuat identitas Islam di Aceh, meskipun terdapat tantangan yang memerlukan pengawasan dan harmonisasi lebih lanjut dengan prinsip hukum nasional serta nilai-nilai HAM.
Efektivitas Pelaksanaan Pelatihan Kerja Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh Firdausi, Firdausi; Megawati, Cut; Aidy, Zul; Rahmah, Siti; Fazzan, Fazzan
Abdurrauf Science and Society Vol. 2 No. 1 (2025): Abdurrauf Science and Society
Publisher : Yayasan Abdurrauf Cendekia Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70742/asoc.v2i1.387

Abstract

This research aims to discuss the effectiveness of implementing job training programs for prisoners at the Class IIA Banda Aceh Correctional Institution (Lapas), which aims to support the rehabilitation and social reintegration process. Convicts as convicts who are serving a prison sentence have the right to guidance, including job skills training which is important in reducing recidivism rates and increasing economic independence. This research uses an empirical juridical approach by collecting data through interviews and observations at the Banda Aceh Class IIA prison with research informants involving the head of the correctional institution, employees and inmates who are taking part in a job training program. The research results show that even though the job training program has been implemented, its implementation still faces various obstacles such as limited facilities, lack of professional trainers, and low motivation from prisoners. This research also highlights the importance of conforming job training programs to correctional principles regulated in Law Number 22 of 2022 concerning Corrections. The conclusion and suggestion from this research is that the current implementation of industry-based independence programs in prisons does not only focus on providing coaching programs, but also adapts to the resources and market integrity of each prison location. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang efektivitas pelaksanaan program pelatihan kerja bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Banda Aceh, yang bertujuan untuk mendukung proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Narapidana sebagai terpidana yang sedang menjalani pidana penjara memiliki hak atas pembinaan, termasuk pelatihan keterampilan kerja yang penting dalam mengurangi angka residivisme dan meningkatkan kemandirian ekonomi. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan pengumpulan data melalui wawancara dan observasi di Lapas Kelas IIA Banda Aceh dengan informan  penelitian melibatkan kepala lembaga pemasyarakatan, pegawai, serta warga binaan yang mengikuti program pelatihan kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun program pelatihan kerja telah dilaksanakan, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai hambatan seperti keterbatasan fasilitas, kurangnya tenaga pelatih profesional, serta motivasi yang rendah dari narapidana. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kesesuaian program pelatihan kerja dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Kesimpulan dan saran dari penelitian ini adalah pelaksanaan program kemandirian berbasis industri pada Lapas saat ini tidak hanya berfokus pada pemberian program-program pembinaan saja, tetapi juga menyesuaikan dengan sumber daya serta keutuhan pasar pada masing-masing lokasi Lapas.
Efektivitas Pembinaan Keagamaan kepada Narapidana yang Melakukan Kejahatan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Banda Aceh Iqbal, M.; Nur, Muhammad; Fazzan, Fazzan; Rahmah, Siti
Journal of Dual Legal Systems Vol. 2 No. 2 (2025): Journal of Dual Legal Systems
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia Faculty, Stai Syekh Abdur Rauf, Aceh Singkil

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58824/jdls.v2i2.449

Abstract

This research aims to analyze the implementation and effectiveness of religious guidance for inmates at the Class IIB Banda Aceh State Detention Center (RUTAN), as well as the challenges faced in its application. Using a qualitative method with an empirical juridical approach, data were collected through interviews, observations, and documentation involving correctional officers and inmates. The results indicate that religious guidance is conducted through structured programs such as religious lectures, Qur’an literacy and recitation classes, worship habituation, and Islamic holiday commemorations. These programs have shown significant impact on inmates, particularly in improving their ability to read the Qur’an, fostering religious awareness, and encouraging positive behavioral changes that support their reintegration into society. Nevertheless, several obstacles were identified, including the limited number and competence of officers, insufficient facilities, and varying levels of inmates’ motivation and awareness. Despite these challenges, the religious guidance programs at RUTAN Class IIB Banda Aceh are considered effective in promoting spiritual development and moral improvement among inmates. The study concludes that religious guidance plays an essential role in correctional efforts, not only to fulfill inmates’ spiritual rights but also to prepare them to become law-abiding citizens after their release. Strengthening human resources, improving facilities, and enhancing supervision are recommended to optimize the effectiveness of future programs. [Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan dan efektivitas pembinaan keagamaan bagi narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Banda Aceh, serta mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam penerapannya. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris, melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi terhadap petugas pemasyarakatan dan narapidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan keagamaan dilaksanakan melalui program ceramah keagamaan, baca tulis Al-Qur’an dan Iqra’, pembiasaan ibadah, serta peringatan hari besar Islam. Program ini dinilai efektif karena mampu meningkatkan kemampuan membaca Al-Qur’an, menumbuhkan kesadaran beragama, dan mendorong perubahan sikap positif pada narapidana sehingga lebih siap untuk kembali ke masyarakat. Namun demikian, terdapat sejumlah kendala yang dihadapi, antara lain keterbatasan jumlah dan kompetensi petugas, fasilitas yang belum memadai, serta tingkat motivasi dan kesadaran narapidana yang beragam. Meskipun demikian, pembinaan keagamaan di RUTAN Kelas IIB Banda Aceh tetap berperan penting dalam proses rehabilitasi narapidana, baik sebagai upaya pemenuhan hak spiritual maupun pembentukan pribadi yang bermoral. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penguatan sumber daya manusia, peningkatan sarana prasarana, serta pengawasan yang lebih optimal diperlukan untuk mendukung keberlanjutan dan efektivitas pembinaan keagamaan di masa mendatang.]
Mekanisme Penyelesaian Kasus Khalwat Secara Adat di Kabupaten Aceh Besar Fazzan, Fazzan; Fuadi, Zakiul
Journal of Dual Legal Systems Vol. 2 No. 2 (2025): Journal of Dual Legal Systems
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia Faculty, Stai Syekh Abdur Rauf, Aceh Singkil

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58824/jdls.v2i2.450

Abstract

Customary law represents an unwritten set of rules binding social life, enforced through specific sanctions when violated. In Aceh, its existence is formally legitimized by Aceh Qanun No. 9 of 2008 on the Development of Customary Life and Traditions. One of the most highlighted cases is the crime of khalwat, regulated in Aceh Qanun No. 6 of 2014. Khalwat refers to the act of a legally responsible individual who secludes with a non-mahram of the opposite sex without marital ties, based on mutual consent. In Islamic law, this is considered both a moral and social offense. The objective of this study is to comprehensively examine the implementation of customary punishment in Cot Mancang Village, focusing on the types of uq?bah imposed and their alignment with the concepts, theories, and objectives of Islamic penal law. This research employs a normative method supported by field data and literature review. The findings reveal that customary sanctions, namely a goat fine or monetary compensation, are categorized as uq?bah ashliyah and badaliyah. The purposes of these sanctions are not only repressive but also preventive and educative, including deterrence, social harmony, rehabilitation, and community protection. The contribution of this research lies in affirming that Cot Mancang’s customary practices demonstrate normative-theoretical compatibility with Islamic penal principles, making them a relevant model for integrating customary and Islamic law in resolving moral offenses. [Hukum adat merupakan perangkat aturan tidak tertulis yang mengikat kehidupan masyarakat dan diberlakukan melalui sanksi tertentu apabila dilanggar. Dalam konteks Aceh, keberadaan hukum adat mendapat legitimasi formal melalui Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Salah satu kasus yang banyak mendapat perhatian adalah tindak pidana khalwat, sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. Khalwat dipahami sebagai perbuatan seorang mukallaf yang berduaan dengan lawan jenis bukan mahram tanpa ikatan perkawinan atas dasar kerelaan, yang dalam hukum Islam digolongkan sebagai pelanggaran moral sekaligus sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif penerapan pemidanaan adat di Gampong Cot Mancang terhadap pelaku khalwat, dengan fokus pada jenis uq?bah yang diberikan serta kesesuaiannya dengan konsep, teori, dan tujuan pemidanaan dalam hukum Islam. Penelitian menggunakan metode normatif dengan data lapangan dan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemidanaan adat berupa denda seekor kambing atau uang pengganti dikategorikan sebagai uq?bah ashliyah dan badaliyah. Tujuan pemidanaan adat tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan edukatif, yakni memberikan efek jera, menjaga stabilitas sosial, memperbaiki pelaku, serta melindungi kehormatan masyarakat. Kontribusi penelitian ini terletak pada penguatan argumentasi bahwa praktik hukum adat di Cot Mancang memiliki keselarasan normatif-teoretis dengan prinsip pemidanaan Islam, sehingga relevan dijadikan model integrasi antara hukum adat dan hukum Islam dalam konteks penyelesaian perkara moral di masyarakat.]