Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PPPK YANG DILAKUKAN DI SMP NEGERI 15 PEKANBARU Fahmi, Sudi; Faridhi, Adrian; Hendayana, Nikko
Jurnal Hukum Respublica Vol. 20 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Respublica
Publisher : Faculty of Law Universitas Lancang Kuning

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31849/respublica.v21i1.7229

Abstract

Bagaimana Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap PPPK yang dilakukan di SMP Negeri 15 Pekanbaru. Bagaimana hambatan dan upaya dalam Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap PPPK yang dilakukan di SMP Negeri 15 Pekanbaru. Metode yang dilakukan adalah metode sosiologis. Pelaksanaannya belum berjalan maksimal dikarenakan anggaran yang belum memadai, hambatan antara lain kurangnya anggaran,tidak linearnya pendidikan, durasi waktu mengajar dan kewajiban yang tidak berbeda dengan PNS sedangkan upayanya antara lain menyiapkan anggaran, memberikan gaji yang layak dan jumlah formasi juga harus ditambah.
The Government Responsibility for Oil and Gas Management Based on Constitution of Indonesia Ardiansah, Ardiansah; Asnawi, Eddy; Fahmi, Sudi; Ismail, Syaimak
Al-Risalah Vol 23 No 2 (2023): December 2023
Publisher : Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30631/alrisalah.v23i2.1391

Abstract

On September 3, 2022, fuel prices were raised by President Joko Widodo, with advocates arguing that the increase is necessary to safeguard the State Revenue and Expenditure Budget. Dissenting groups contended the hike was inappropriate, citing a dissonance between the identified problem and the proposed solution. Therefore, this study aims to analyze the legal aspects, policies and the role of the government in ensuring the welfare of Indonesian citizens through oil and gas management. Using a normative legal study methodology, the study used both statutory and analytical methods. The results showed a discrepancy between the increase in fuel price and the principles outlined in Article 33 and the Preamble of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The government, as the representative of the state, holds the authority to manage the mining sector's economy, aiming to maximize prosperity for citizens. Adhering to the ideology of a welfare state, the responsibility to provide basic social needs and foster prosperity is assigned to the government.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR MINYAK BERSUBSIDI Prakasa, Surya; Fahmi, Sudi; Ardiansah
The Juris Vol. 8 No. 1 (2024): JURNAL ILMU HUKUM : THE JURIS
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/juris.v8i1.1272

Abstract

In the explanation of Article 55, it is stated that abuse refers to activities aimed at gaining individual or corporate profits in a manner that harms the interests of the public and the state, such as through fuel adulteration, misallocation of subsidized fuel, and transportation and sale of subsidized fuel abroad. The purpose of this research is to analyze Law Enforcement Against Abuses in the Transportation of Subsidized Fuel Oil Offenders in Rokan Hilir based on Law Number 22 of 2001 concerning Oil and Natural Gas, and to analyze the obstacles and efforts to overcome obstacles in law enforcement against offenders in the transportation of subsidized fuel oil in Rokan Hilir based on Law Number 22 of 2001 concerning Oil and Natural Gas. The method used is socio-legal research. Based on the research results, it is found that law enforcement against offenders in the transportation of subsidized fuel oil in Rokan Hilir based on Law Number 22 of 2001 concerning Oil and Natural Gas has not been fully effective, as there are still traders who transport subsidized fuel oil by modifying vehicles or using jerry cans at every gas station in the Rokan Hilir region. Obstacles in law enforcement against offenders in the transportation of subsidized fuel oil in Rokan Hilir based on Law Number 22 of 2001 concerning Oil and Natural Gas include lack of coordination among relevant agencies, weak supervision over the misuse of subsidized fuel oil transportation, difficulty in gathering sufficient evidence, lack of public understanding regarding the misuse of subsidized fuel oil transportation in Rokan Hilir, and the need to evaluate and strengthen existing regulations. Implementing a more open reporting system and active participation in oversight programs by authorities are necessary to support more effective law enforcement.
Implementasi Pembuatan Sumur Resapan Air Untuk Penanggulangan Banjir Di Kota Pekanbaru Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Sumber Daya Air Dan Sumur Resapan Hendri, Hendri; Ardiansah, Ardiansah; fahmi, sudi
JURNAL TERAPAN PEMERINTAHAN MINANGKABAU Vol 4 No 2 (2024): Juli - Desember 2024
Publisher : Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kampus Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33701/jtpm.v4i2.4234

Abstract

Regional Regulation Number 10 of 2006 contains policies regarding the obligation to build infiltration wells, it is clearly regulated that the obligation to construct infiltration wells is addressed to every person in charge. Responsible for the construction covering the ground surface and the number of infiltration wells made in accordance with the total land surface covered by the building. This rule is contained in Article 19 paragraph (4) of Regional Regulation Number 10 of 2006 which reads: "Every building that has been established and does not yet have an infiltration well is obliged to make a follow-up infiltration well". Region Number 10 of 2006 concerning Water Resources and Infiltration Wells is not implemented properly, there are still many building owners in Pekanbaru City who do not build infiltration wells. Barriers to the implementation of the construction of water infiltration wells in Pekanbaru City are the low level of public knowledge, lack of supervision and no sanctions and efforts to overcome obstacles to the implementation of water infiltration wells for flood prevention in Pekanbaru City based on Regional Regulation Number 10 of 2006 concerning Water Resources and Wells. The absorption is to carry out socialization and legal counseling, improve supervision and cooperate with related agencies.
IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL Nurliatin, R.; Fahmi, Sudi; Ardiansah
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1443

Abstract

Perekonomian Suku Duanu dicirikan dengan ketidakpastian, terutama dalam jumlah hasil tangkapan ikan dan kemampuan membeli kebutuhan pokok dari uang yang dihasilkan. Sektor pendidikan di kalangan Suku Duanu masih rendah, dengan sebagian kecil yang berhasil mencapai jenjang SMA/SMAK dan masih banyak yang mengalami buta huruf atau putus sekolah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh Suku Duanu di Kabupaten Indragiri Hilir terkait dengan isolasi geografis, kesulitan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, dan perlunya integrasi sosio-kultural dengan masyarakat lain. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis Implementasi, Hambatan dan Upaya Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Komunitas Adat Terpencil. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis, yaitu yaitu pendekatan yang mengintegrasikan ilmu hukum dengan ilmu sosiologi untuk memahami bagaimana hukum berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Implementasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Komunitas Adat Terpencil adalah belum berjalan sebagaimana mestinya hal ini dikarenakan faktor geografis di Kabupaten Indragiri Hilir, yang memiliki banyak wilayah terpencil dengan akses yang terbatas. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam menjangkau komunitas adat yang berada di daerah-daerah terpencil, sehingga program pemberdayaan yang direncanakan sulit untuk dilaksanakan secara menyeluruh dan tepat sasaran. Selain itu, faktor budaya dan kepercayaan masyarakat adat juga mempengaruhi sejauh mana program pemberdayaan dapat diterima dan diimplementasikan. Masyarakat adat sering kali memiliki cara hidup yang sangat berbeda dengan masyarakat umum, sehingga perlu pendekatan yang sensitif terhadap nilai-nilai adat mereka. Jika program pemberdayaan tidak mempertimbangkan aspek-aspek budaya ini, maka hasilnya mungkin tidak sesuai dengan harapan dan bahkan dapat menimbulkan resistensi dari masyarakat adat itu sendiri. Hambatan dan upayanya adalah hambatan pertama adalah aksesibilitas geografis, wilayah tempat Komunitas Adat Terpencil berada sering kali terpencil dan sulit dijangkau, sehingga menyulitkan distribusi bantuan maupun pelaksanaan program pelatihan. Hambatan kedua adalah keterbatasan anggaran juga menjadi kendala signifikan yang memengaruhi skala dan keberlanjutan program pemberdayaan. Hambatan ketiga adalah minimnya data akurat mengenai jumlah dan kondisi komunitas adat terpencil. Hambatan keempat adalah keterbatasan pengorganisasian dan koordinasi antara lembaga adat dengan pemerintah daerah. Upayanya adalah upaya pertama adalah pemerintah juga menginisiasi pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan untuk meningkatkan akses ke daerah-daerah terpencil, upaya kedua adalah pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan alokasi anggaran melalui koordinasi dengan pemerintah pusat dan memanfaatkan potensi kerja sama dengan pihak swasta. Upaya ketiga adalah Dinas Sosial berupaya melakukan pendataan ulang secara menyeluruh dengan melibatkan masyarakat setempat dan menggunakan teknologi informasi untuk mempermudah prosesnya. Upaya keempat adalah pentingnya membangun hubungan yang lebih erat antara lembaga adat dan instansi pemerintah, melalui pertemuan rutin dan forum komunikasi yang melibatkan tokoh adat, pemerintah, dan masyarakat, guna memastikan bahwa kebutuhan komunitas adat dapat tersampaikan dengan baik dan diprioritaskan dalam perencanaan program pemberdayaan. Sarannya adalah Sebaiknya pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan jembatan sudah menjadi salah satu upaya penting, pemerintah juga perlu mengembangkan infrastruktur komunikasi dan teknologi informasi. Penyediaan akses internet di daerah-daerah terpencil dapat mempermudah proses komunikasi, koordinasi, dan pelaksanaan program pemberdayaan.
Perlindungan Hak terhadap Anak sebagai Korban Ekploitasi Narkotika di Provinsi Riau Sihotang, Febrian Tamara; Fahmi, Sudi; Ardiansah, Ardiansah
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 9 No. 1 (2025)
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jika seseorang dengan sengaja melibatkan anak dalam penyalahgunaan atau peredaran narkotika, mereka dapat dikenai sanksi pidana yang berat. Pasal 76A undang undang ini menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, atau memanfaatkan anak dalam situasi yang melanggar hukum, termasuk dalam kasus narkotika. Hukuman bagi pelaku ini merupakan bentuk penegakan hukum yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dan kejahatan narkotika. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis Perlindungan, hambatan, dan upaya mengatasi hambatan dalam hak terhadap anak sebagai korban ekploitasi narkotika di Provinsi Riau. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berdasarkan pada kaidah hukum yang berlaku. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Perlindungan Hak Terhadap Anak Sebagai Korban Ekploitasi Narkotika Di Provinsi Riau adalah belum berjalan sebagaimana mestinya, karena masih adanya kasus anak yang menjadi korban eksploitasi narkotika di Provinsi Riau sehingga anak berada dalam posisi yang sangat rentan karena mereka tidak hanya mengalami dampak fisik dan psikologis akibat penyalahgunaan narkotika, tetapi juga menghadapi stigma sosial yang menghambat proses pemulihan mereka. Akibatnya, perlindungan terhadap hak-hak anak korban sering kali terfokus pada aspek hukum, seperti penangkapan pelaku eksploitasi, tanpa memberikan perhatian yang memadai pada pemulihan psikologis dan sosial anak. Hal ini menyebabkan banyak korban merasa diabaikan dan sulit untuk kembali menjalani kehidupan normal. Hambatannya adalah minimnya sinergi antar-lembaga terkait, adanya kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dalam menangani anak korban eksploitasi narkotika, terbatasnya fasilitas rehabilitasi yang khusus menangani anak-anak, kendala dalam mengungkap jaringan sindikat narkotika yang melibatkan anak-anak, ketakutan akan ancaman dari pelaku, dan kurangnya koordinasi antara lembaga penegak hukum dan lembaga rehabilitasi. Upaya mengatasi hambatan adalah aparat penegak hukum bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk lembaga pendidikan dan lembaga sosial untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai hak-hak mereka sebagai korban memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada anak-anak korban, Program pemulihan yang melibatkan lembaga penegak hukum, lembaga sosial, dan lembaga rehabilitasi, koordinasi yang lebih baik antara berbagai instansi terkait seperti Kepolisian, BNN, Dinas Sosial, dan lembaga rehabilitasi anak, peningkatan koordinasi antar lembaga penegak hukum dan lembaga sosial, menciptakan ruang aman bagi anak-anak untuk berbicara dan melaporkan apabila mereka menjadi korban, agar mereka merasa dihargai dan didengar, dan pendekatan yang lebih proaktif dari pemerintah dan lembaga terkait sangat penting untuk mengatasi hambatan dalam perlindungan hak anak sebagai korban eksploitasi narkotika. Sarannya adalah sebaiknya Aparat penegak hukum, bersama dengan lembaga pendidikan dan lembaga sosial, perlu memperkuat program penyuluhan dan edukasi mengenai hak-hak anak dan bahaya narkotika. Program ini dapat dilakukan melalui kampanye kesadaran di sekolah-sekolah, komunitas, dan tempat-tempat umum, untuk memastikan anak-anak dan masyarakat tahu bahwa mereka berhak atas perlindungan. Selain itu, sosialisasi ini juga harus melibatkan orang tua, karena mereka berperan penting dalam mendukung anak anak dalam mengenali potensi bahaya narkotika dan eksploitasi.
LAW ENFORCEMENT AGAINST PLACEMENT OF INDONESIAN MIGRANT WORKERS IN RIAU PROVINCE BASED ON LAW NUMBER 18 OF 2017 ON PROTECTION OF INDONESIAN MIGRANT WORKERS Maesyarifah, Agesti Absah; Fahmi, Sudi; Ardiansah, Ardiansah
EKSEKUSI Vol 7, No 1 (2025): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v7i1.35255

Abstract

ABSTRACT Pasal 81 Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, mengatur sanksi hukum bagi orang perseorangan yang melaksanakan penempatan Pekerja Migran Indonesia dengan pidana maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 15.000.000.000,00. Metode penelitiaan ialah penelitian hukum sosiologis dengan pendekatan perundang–undangan, kasus dan analitis lokasi penelitian: Kepolisian Daerah Riau; populasi dan sampel dari narasumber relevan; sumber data: primer, sekunder dan tersier; teknik pengumpulan data: observasi, wawancara terstruktur dan studi dokumen/kepustakaan; analisis data: kualitatif dengan  kesimpulan induktif.  Hasil penelitian adalah penegakan hukum yang dimaksudkan belum terlaksana dengan baik Kesimpulannya adalah Penegakan hukum terhadap pelaku penempatan Pekerja Migran Indonesia di Provinsi Riau berdasarkan regulasi tersebut belum terlaksana dengan baik tahun 2021 sampai 2023 karena beberapa pelaku belum tertangkap. faktor penghambatnya ialah faktor aparat penegak hukum/ pmerintah, faktor sarana/ fasilitas dan faktor masyarakat.Kata Kunci: TPPO, Pekerja Migran Indonesia, Riau ABSTRAK Article 81 of Law Number 18 of 2017 on the Protection of Indonesian Migrant Workers regulates legal sanctions for individuals who engage in the placement of Indonesian Migrant Workers, with a maximum penalty of 10 years imprisonment and a fine of up to IDR 15,000,000,000. The research method employed is sociological legal research using statutory, case-based, and analytical approaches. The research location was the Riau Regional Police; the population and sample consisted of relevant resource persons. Data sources included primary, secondary, and tertiary data. Data collection techniques included observation, structured interviews, and document/library studies. Data analysis was conducted qualitatively, with conclusions drawn inductively. The research findings reveal that law enforcement as intended has not been effectively implemented. The conclusion is that law enforcement against individuals involved in the placement of Indonesian Migrant Workers in Riau Province based on the stated regulations has not been adequately carried out from 2021 to 2023, as several offenders have yet to be apprehended. The inhibiting factors include law enforcement/government personnel, inadequate infrastructure/facilities, and societal factors. Kata Kunci: TIP, Indonesian Migrant Workers, Riau
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI KOTA PEKANBARU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Putri, Darma; Fahmi, Sudi; Ardiansah, Ardiansah
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 13, No 1 (2025): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v13i1.19039

Abstract

Perlindungan terhadap anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan tanggung jawab kolektif antara negara, masyarakat, dan keluarga. Fenomena meningkatnya angka kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Kota Pekanbaru menjadi latar belakang pentingnya dilakukan kajian hukum dan sosial terhadap implementasi perlindungan yang seharusnya diberikan kepada korban. Anak sebagai korban memiliki hak-hak yang secara hukum dijamin oleh Undang-Undang, termasuk hak untuk memperoleh rehabilitasi dan restitusi. Namun dalam praktiknya, banyak korban yang belum mampu mengakses hak-hak tersebut secara maksimal akibat berbagai hambatan struktural dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis upaya perlindungan hak anak perempuan korban kekerasan seksual di Kota Pekanbaru berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sekaligus mengidentifikasi berbagai hambatan yang menghalangi pemenuhan hak-hak tersebut. Dengan menggunakan metode pendekatan sosiologis dan teknik wawancara, ditemukan bahwa hambatan utama berasal dari masih kuatnya stigma sosial, rumitnya prosedur hukum, serta lemahnya koordinasi antarlembaga yang seharusnya memberikan perlindungan dan layanan kepada korban. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah konkret dan kolaboratif antar pemangku kepentingan untuk memperkuat mekanisme perlindungan, memperluas akses layanan pemulihan, serta membangun sistem yang responsif terhadap kebutuhan korban agar perlindungan hukum terhadap anak benar-benar dapat diwujudkan secara nyata dan menyeluruh.
Perlindungan Hak Anak Perempuan Kekerasan Seksual di Kota Pekanbaru Berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Putri, Darma; Fahmi, Sudi; Ardiansah, Ardiansah
SAKOLA: Journal of Sains Cooperative Learning and Law Vol 2, No 1 (2025): April 2025
Publisher : CV. Rayyan Dwi Bharata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57235/sakola.v2i1.5167

Abstract

Perlindungan hak anak kekerasan seksual dalam konteks ini mencakup berbagai tindakan yang harus dilakukan oleh negara, masyarakat, dan keluarga untuk melindungi anak perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual. Dengan semakin meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual di Kota Pekanbaru khususnya yang menargetkan anak perempuan sebagai sasaran empuk karena kelemahan mereka, mendorong dilakukannya penelitian ini. Anak sebagai Korban kekerasan seksual harus dilindungi undang-undang dan dapat menggunakan hak-haknya. Namun korban tidak berhasil memperoleh hak-hak tersebut.  Akibat penderitaan yang dialami korban, rasa sakit, teror, trauma jangka panjang, dan dampak buruk lainnya pasca kekerasan seksual. Tidak seorang pun boleh meninggalkan seorang korban, apalagi orang yang menjadi korban, untuk memperjuangkan apa yang terjadi pada mereka. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis Perlindungan Hak anak perempuan kekerasan seksual anak perempuan Di Kota Pekanbaru berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dan untuk menganalisis hambatan dan upaya Perlindungan Hak anak perempuan kekerasan seksual terhadap anak perempuan Di Kota Pekanbaru berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.  Metode penelitian yang digunakan adalah Hukum sosiologi dengan teknik wawancara. Adapun hasil dari penelitian ini adalah Perlindungan hak anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan tanggung jawab yang harus diemban oleh negara, masyarakat, dan keluarga. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perlindungan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari hak untuk mendapatkan rehabilitasi psikologis dan medis, perlindungan fisik, hingga akses keadilan yang sensitif terhadap kebutuhan anak serta hak mendapatkan restitusi. Meskipun undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang jelas, dalam praktiknya, banyak anak perempuan yang masih merasa hak-hak mereka tidak dilindungi sepenuhnya. Banyak korban yang mengalami kesulitan dalam mengakses layanan rehabilitasi yang memadai, dan proses hukum yang panjang serta rumit sering kali menambah beban psikologis mereka. Selain itu, stigma sosial yang melekat pada korban kekerasan seksual sering kali membuat mereka enggan untuk melapor atau mencari bantuan, sehingga hak-hak mereka untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan sering kali terabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada regulasi yang mendukung, penerapan perlindungan hak anak perempuan korban kekerasan seksual masih jauh dari harapan, dan banyak yang merasa terpinggirkan dalam proses pemulihan mereka.Meskipun terdapat regulasi yang mendukung perlindungan hak anak perempuan, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai hambatan yang signifikan. Stigma sosial yang kuat terhadap korban kekerasan seksual sering kali menghalangi mereka untuk melapor dan mencari bantuan. Banyak anak perempuan yang merasa takut akan penilaian negatif dari masyarakat, yang membuat mereka merasa terasing dan tidak berdaya. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak dan cara melindungi mereka juga menjadi faktor penghambat. Keterbatasan sumber daya dalam memberikan layanan rehabilitasi yang memadai, baik dari segi finansial maupun tenaga ahli, juga menjadi tantangan yang harus dihadapi serta hak anak dalam mendapatkan restitusi tentunya ini harus menjadikan agar pemerintah serta aparat penegak hukum dan juga lembaga harus ikut andil dan berkolaborasi agar terciptanya perlindungan hak terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual.Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan upaya kolaboratif antara berbagai lembaga, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) dan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan Anak (UPT PPA), serta Perlindungan Perempuan Anak atau PPA Polresta serta DPRD Kota Pekanbaru khsusnya Komisi III DRPD ikut serta partisipasi aktif dalam masyarakat meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan hak anak. Upaya tersebut meliputi penyuluhan, pelatihan, dan penyediaan sumber daya yang memadai untuk mendukung perlidungan hak kobran. Selain itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung anak perempuan, sehingga mereka merasa dihargai dan didengarkan. Dengan langkah-langkah yang terintegrasi dan komprehensif, perlindungan hak anak perempuan korban kekerasan yang diharapkan dapat ditingkatkan. Namun, saat ini, banyak korban yang masih merasa hak-hak mereka tidak sepenuhnya terlindungi, dan mereka bisa mendapatkan keadilan serta pemulihan yang layak. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen yang lebih kuat dari semua pihak untuk memastikan bahwa perlindungan hak anak perempuan tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga dapat dirasakan secara nyata oleh para korban.
Penerapan Sanksi Terhadap Pengendara Motor Yang Tidak Wajar Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Di Kota Pekanbaru Saputra, Lisno; Fahmi, Sudi; Ardiansah
Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 9 No. 2 (2020): Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum
Publisher : Universitas Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34304/fundamental.v1i2.20

Abstract

Pada kenyataannya banyaknya kendaraan, baik roda empat maupun roda dua, yang menggunakan ponsel atau telepon genggam pada saat berkendara/ karena pada saat berkendaraan dapat mengganggu konsenterasi pengendara. Seperti yang dapat kita lihat di kota pekanbaru dimana pengendara kendaraan roda dua yang menggunakan ponsel seperti ojek online salah satu nya Grab, Gojek dan Maxim. Hal tersebut sangat berbahaya bagi si pengendara atau pun orang lain dan bisa terjadi kecelakaan serta di dalam Pasal tersebut sudah dengan jelas mengatakan setiap pengendara yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi dan penerapan sanksi terhadap pelanggar Pasal tersebut tidak ada diberikan sanski serta efek jera oleh pihak yang berwajib dan sampai pada saat sekarang ini pengendara kendaraan masih tetap menggunakan telepon pada saat berkendaraan. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan identifikasi hukum bagaimana efektivitas hukum itu berlaku dalam masyarakat. Kesimpulan adalah Penerapan Sanksi Terhadap Pengendara Kendaraan Bermotor Yang Tidak Wajar Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan di Kota Pekanbaru adalah belum terlaksana dengan secara efektif karena penerapan denda yang dibuat dalam surat kesepakatam bersama tersebut belum memberikan efek jera kepada si pelanggar dan akibat dari penerapan denda yang ada didalam surat kesepakatan tersebut membuat si pelanggar melakukan kesalahan itu berulang-ulang. Upaya Mengatasi Kendala Dalam Penerapan Sanksi Terhadap Pengendara Kendaraan Bermotor Yang Tidak Wajar Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan di Kota Pekanbaru adalah dari faktor subtansi hukum dimana peraturan terkait hanya mengenakan pidana denda bagi pelanggaranya, hal ini dirasa tidak mengakibatkan efek jera bagi para pelanggar terutama bagi masyarakat yang berasal dari golongan mampu. Faktor masyarakat pun turut berperan penting, yakni para pengendara sepeda motor masih banyak sekali yang tidak mengetahui fungsi dan tujuan dari adanya ketentuan mengenai lalu lintas. Upaya Dalam Penerapan denda tersebut adalah upaya pre-emtif dengan memberikan penyuluhan di seluruh lapisan masyarakat tentang pencegahan dan dampak dari ketidakpatuhan terhadap peraturan lalu lintas, upaya preventif (pencegahan) yaitu pemasangan rambu-rambu lalu lintas di sepanjang jalan sebagai petunjuk bagi para pengguna jalan demi terciptanya keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, dan melakukan patroli secara rutin, upaya represif (penindakan) yang bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas, serta dengan meningkatkan faktor Internal dan faktor Eksternal diantaranya adalah memberikan tidakan pembinaan, pengawasan kepada anggota serta melakukan koordinasi dengan pihak lain yang berwenang.