Claim Missing Document
Check
Articles

KEDUDUKAN HUKUM KETETAPAN MPRS/MPR SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945 Asnawi, Eddy
Ensiklopedia Sosial Review Vol 3, No 2 (2021): Vol. 3 No.2 Juni 2021
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33559/esr.v3i2.788

Abstract

Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap perubahan kekuasaan atau kewenangan kelembagaan MPR yang membawa akibat pada kedudukan hukum ketetapan MPRS/MPR yang dilahirkannya, baik itu sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Kajian penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan. Untuk itu metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktik ketatanegaraan sepanjang berlakunya UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan, cakupan luas materi muatan yang diaturnya tidak hanya terbatas pada hal-hal ditentukan dalam UUD 1945. Jika diklasifikasikan, ada Ketetapan MPR yang memenuhi unsur sebagai peraturan perundang-undangan, Ketetapan MPR sejenis penetapan administrasi Negara (beschikking), Ketetapan MPR berupa perencanaan (GBHN), dan Ketetapan MPR semacam peraturan kebijakan (beliedregels) di bidang administrasi negara. Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan, maka kedudukan hukum Ketetapan MPR menjadi sumir, di satu sisi perubahan pasal-pasal UUD 1945 dan adanya ketentuan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan-Ketetapan MPR (jenis peraturan perundang-undangan) bersifat mengatur (regeling), karena tidak lagi memiliki dasar konstitusioanal dalam UUD 1945. Namun di sisi lain dengan diberlakukannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan hukum Ketetapan MPR menjadi hidup kembali sebagai bentuk peraturan perundang-undangan dengan pembatasan sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf b, yakni Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku sebagaimana ditentukan dalam Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003.
KEDUDUKAN HUKUM KETETAPAN MPRS/MPR SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945 Eddy Asnawi
Ensiklopedia Social Review Vol 3, No 2 (2021): Volume 3 No 2 Juni 2021
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33559/esr.v3i2.788

Abstract

Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap perubahan kekuasaan atau kewenangan kelembagaan MPR yang membawa akibat pada kedudukan hukum ketetapan MPRS/MPR yang dilahirkannya, baik itu sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Kajian penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan. Untuk itu metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktik ketatanegaraan sepanjang berlakunya UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan, cakupan luas materi muatan yang diaturnya tidak hanya terbatas pada hal-hal ditentukan dalam UUD 1945. Jika diklasifikasikan, ada Ketetapan MPR yang memenuhi unsur sebagai peraturan perundang-undangan, Ketetapan MPR sejenis penetapan administrasi Negara (beschikking), Ketetapan MPR berupa perencanaan (GBHN), dan Ketetapan MPR semacam peraturan kebijakan (beliedregels) di bidang administrasi negara. Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan, maka kedudukan hukum Ketetapan MPR menjadi sumir, di satu sisi perubahan pasal-pasal UUD 1945 dan adanya ketentuan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan-Ketetapan MPR (jenis peraturan perundang-undangan) bersifat mengatur (regeling), karena tidak lagi memiliki dasar konstitusioanal dalam UUD 1945. Namun di sisi lain dengan diberlakukannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan hukum Ketetapan MPR menjadi hidup kembali sebagai bentuk peraturan perundang-undangan dengan pembatasan sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf b, yakni Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku sebagaimana ditentukan dalam Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003.
DUALISME MEKANISME PENGUJIAN PERATURAN DESA Eryanto Siagian; Eddy Asnawi; Bahrun Azmi
Borneo Law Review Vol 5, No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v5i2.2319

Abstract

AbstractThe state recognizes the existence of the village as the lowest unit in the Indonesian government system. The village has a very large influence on the success of the administration of the government system so that the Act guarantees the recognition and protection of the village's traditional rights and provides freedom to organize its own government system. However, in practice, legal problems arise, namely regarding the position of village regulations and the mechanism for canceling village regulations because in their provisions the cancellation of village regulations is not found in Law Number 6 of 2014 and is instead regulated in PP. 43 of 2014. The purpose of writing this scientific paper is to analyze the position of village regulations in statutory regulations, the mechanism for canceling village regulations and the legal implications of village regulations being canceled by the Regent/Mayor. The research method that will be used in this study is a normative legal research method that will examine based on the rules, principles and norms contained in the legislation.Keywords: Village; Village Regulations; Village Autonomy; Laws and Regulations; Cancellation of Village RegulationsAbstrakNegara mengakui keberadaan desa sebagai unit terendah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Desa memiliki pengaruh yang sangat besar akan keberhasilan penyelenggaraan sistem pemerintahan sehingga Undang-Undang menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tradisional desa serta memberikan kebebasan dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan sendiri. Namun dalam praktiknya, problematika hukum muncul yaitu terkait kedudukan peraturan desa dan mekanisme pembatalan peraturan desa karena dalam ketentuannya pembatalan peraturan desa tidak ditemukan didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan justru diatur alam PP No. 43 Tahun 2014. Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisa kedudukan peraturan desa dalam peraturan perundang-undangan, mekanisme pembatalan peraturan desa dan bagaimana implikasi hukum peraturan desa yang dibatalkan oleh Bupati/Walikota. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang akan mengkaji berdasarkan kaidah, asas dan norma-norma yang tertuang didalam peraturan perundang-undangan.Kata Kunci: Desa; Peraturan Desa; Otonomi Desa; Peraturan Perundang-Undang; Pembatalan Peraturan Desa.
URGENCY REKAM MEDIK BAGI DOKTER PRAKTEK BERDASARKAN UNDANG –UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTEK KEDOKTERAN Wilda Masnianti; Dr. Eddy Asnawi; Dr. H. Bahrun Azmi
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 10, No 1 (2022): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : FH Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v10i1.2370

Abstract

Medical records are social data, health demographic data and the results of post-examination doctor diagnoses and complaints faced by patients. So that accuracy, thoroughness and confidentiality become the basis for storing patient data considering the responsibility for medical records. Problems that often arise in the world of health cannot be separated from medical malpractice. Both doctors and hospitals or clinics in defending the operational standards set out in the medical code of ethics usually use medical records as legal evidence in law enforcement processes, medical and dental disciplines as well as medical ethics and dental ethics enforcement. the doctor is a healthy person who is also an expert in the field of disease, while the patient is a sick person who is layman about his illness. In Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practices, the explanation of Article 46 paragraph (1), what is meant by medical records are files containing notes and documents regarding patient identities, examinations, treatment, actions and other services that have been provided to patients. Because of their ignorance, the patient submits the problem or illness he is suffering to to the doctor for his recovery. The doctor-patient relationship, legally, generally occurs through an agreement or contract. Starting with a question and answer (anamnesis) between the doctor and patient, then followed by a physical examination, finally establishing a diagnosis. Keywords: Doctor, Patient, Hospital
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYELENGGARA PELAYANAN KESEHATAN HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT Lilik Fitriana; Dr. Eddy Asnawi; Dr. Yeni Triana
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 10, No 1 (2022): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : FH Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v10i1.2291

Abstract

To ensure legal protection for hemodialysis service providers, both for hospitals as service providers, medical personnel and health workers as service providers, the Government has stipulated Minister of Health Regulation Number 812/Menkes/PER/VII/2010 concerning the Implementation of Dialysis Services in Service Facilities. Health. As long as doctors or health workers in carrying out their duties in providing hemodialysis health services to patients are still guided by professional standards, medical service standards and standard operating procedures, legal protection for the practice of these services is a right guaranteed by law. Furthermore, there are 3 (three) pillars so that doctors and health workers become professionals, namely obeying the law, discipline, and ethics. To ensure the implementation of quality hemodialysis services and provide legal protection for each hemodialysis service provider.Keywords: Hemodialysis; Legal Protection; Service Provider. 
EFEKTIVITAS PENEMPATAN PENGUNGSI LUAR NEGERI DALAM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI Eddy Asnawi; Bahrun Azmi; Sefrika Marni
PROSIDING SEMINAR NASIONAL CENDEKIAWAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL CENDEKIAWAN 2019 BUKU II
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/semnas.v0i0.5871

Abstract

Hingga saat ini, satu-satunya pengaturan tentang pengungsi luar negeri di Indonesia, hanya diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (P2LN 2016). Oleh karena itu, para pengungsi tersebut ditampung tanpa payung hukum yang jelas/memadai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas penempatan pengungsi luar negeri dan idealnya penanganan pengungsi di Indonesia. Jenis penelitian ini tergolong ke dalam Penelitian Hukum Normatif dengan menggunakan dua jenis pendekatan, yaitu conceptual approach dan statute approach. Efektivitas penempatan pengungsi luar negeri dalam P2LN 2016 adalah tidak tercapainya tujuan dalam bentuk pemerintah daerah kabupaten/kota menentukan tempat penampungan bagi mereka. Idealnya penanganan pengungsi tersebut adalah pemerintah daerah kabupaten/kota menentukan tempat penampungan bagi pengungsi. Selain itu, dibentuk aturan dalam bentuk undang-undang. Selanjutnya, terdapat sanksi bagi pemerintahan di daerah yang melanggarnya. Realitas pada hari ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota yang tidak menentukan tempat penampungan, tidak dikenakan sanksi apapun. Oleh karena itu, hendaknya negara membentuk kebijakan tertulis (undang-undang) yang secara khusus mengatur masalah pengungsi yang berasal dari luar negeri. Dengan demikian, para pengungsi dari luar negeri ditampung dengan dasar hukum yang jelas/memadai seperti batas waktu bagi para pengungsi tersebut berada di Indonesia. 
OTONOMI KHUSUS TERHADAP EKSISTENSI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA birman simamora; Eddy Asnawi; Andrizal Andrizal
Jurnal Analisis Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.987 KB)

Abstract

dilihat dari perbedaan kewenangan antara status Otsus dan status otonomi biasa, seperti penggunaan bendera sebagai simbol budaya, pembentukan partai politik lokal Aceh, himne/lagu daerah meskipun bukan merupakan ekspresi simbol. kedaulatan sebagai negara merdeka, tetapi sesuatu yang sangat berbahaya dan dapat melemahkan/memperpanjang Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika pemerintah pusat tidak konsisten dalam melaksanakan otonomi khusus maka akan berdampak negatif terhadap eksistensi NKRI, karena dikhawatirkan Aceh dan Papua akan mudah lepas dari NKRI. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Bagaimana Otonomi Khusus Menuju Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia? 2). Apakah Otonomi Khusus Memperkuat atau Memperlemah Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menjelaskan secara komprehensif tentang “Otonomi Khusus Untuk Adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. “Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal atau penelitian kepustakaan atau studi dokumen karena ditujukan pada peraturan perundang-undangan tertulis atau bahan hukum lainnya. Menurut Fiter Mahmud Marzuki: “setiap jenis penelitian hukum selalu “normatif”..Hasilnya Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Otonomi Khusus Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, menegakkan supremasi hukum, menghormati hak asasi manusia, mempercepat pembangunan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka pemerataan dan seimbang dengan kemajuan provinsi lain. Pengaturan dan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua, penulis berpendapat bahwa tujuan utamanya adalah sebagai landasan hukum yang mengikat bagi penyelesaian konflik (mengakhiri kekerasan) di kedua provinsi. Otonomi Khusus berdasarkan landasan filosofis adalah untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi khusus berdasarkan landasan yuridis tersebut dalam konstitusi yaitu Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dinyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau khusus yang diatur oleh hukum. Pendapat Peneliti bahwa Otonomi Khusus jika dilihat dari Peraturan Norma Dapat Memperkuat Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun jika dilihat dari substansi kewenangan yang diberikan kepada daerah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua, inilah Emberio Terbentuknya Negara Federasi Indonesia
Pengungkapan Identitas Pasien Covid-19 Kepada Publik dalam Perspektif Kewenangan Kerahasian Pasien dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Medis Armen Sosialisa Sihotang; Eddy Asnawi; Bahrun Azmi
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (372.334 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v7i5.7117

Abstract

Melihat kondisi wabah COVID-19 saat ini, terjadi dorongan akan keterbukaan arsip rekam medis secara akurat dan transparan dengan target guna menghentikan rantai penebaran virus, oleh sebab itu rekam medis pasien Covid-19 boleh dibuka apabila hal tersebut menyangkut kepentingan umum, atas dasar perintah undangundang, atas izin pasien yang bersangkutan serta dalam proses penegakkan hukum. Adapun Jenis riset yang dipakai adalah riset hukum normatif dengan pendekatan perUUan dan pendekatan konseptual. Hasil riset ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya pasien tak terkecuali pasien positif Covid-19 memperoleh kewenangan guna merahasiakan dan mempunyai kepastian agar tetap merahasiakan penyakitnya serta kondisi medis terkait sebagai bagian dari aspek hukum privat. Pada aspek kesenjangan norma yang terjadi antara UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Arsip Publik dalam hal transparansi arsip rekam medis pasien Covid-19, maka dipakai asas hukum yaitu asas Lex Spesialis Derogat Lex Generali. Dengan begitu keberlakuan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Arsip Publik akan dikesampingkan karena regulasi ini merupakan aturan yang umum terkait dengan pengaturan rekam medis pasien.
Peningkatan Pemahaman Mengenai Larangan Rangkap Jabatan bagi Pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 di Kecamatan Kulim Eddy Asnawi; Andrizal; Birman Simamora; Alexsander Yandra
Dinamisia : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 5 No. 5 (2021): Dinamisia: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Lancang Kuning

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31849/dinamisia.v5i5.7999

Abstract

The partner problem is that many administrators of Community Empowerment Institutions in the Kulim sub-district do not yet know and understand the prohibition of concurrent positions for the management of Community Empowerment Institutions based on Minister of Home Affairs Regulation Number 18 of 2018 concerning Village Community Institutions and Village Traditional Institutions. The target of community service is to increase knowledge and understanding of Duties, Functions and Prohibitions for administrators. The output plans for this service activity are from drafts of scientific articles and mass media publications. The solution offered and agreed upon by the proposer and partners in overcoming the problem is that socialization needs to be conducted in legal counselling and discussion. The implementation method uses lectures and discussions. Lecturers deliver material, and participants are freed to have an interactive dialogue to obtain input in the form of problems, aspirations, proposals, ideas and solutions. Partners' participation in this activity is willing, provides time and place, and mobilizes the community as the target audience. The outputs that will be produced according to this community service activity plan are: for partners, of course, increasing knowledge and understanding of the duties, functions and prohibitions of management, for proposing the output to be achieved is in drafts of scientific articles.
ARRANGEMENT OF AUTHORITIES AND MECHANISM FOR CANCELLATION OF VILLAGE REGULATIONS IN THE FRAMEWORK OF VILLAGE AUTONOMY IN INDONESIA Eddy Asnawi; Yasrif Yakub Tambusai; Andrew Shandy Utama
JCH (Jurnal Cendekia Hukum) Vol 7, No 1 (2021): JCH (JURNAL CENDEKIA HUKUM)
Publisher : STIH Putri Maharaja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33760/jch.v7i1.413

Abstract

Village regulations are statutory regulations established by the village headman after being discussed and agreed with the Village Consultative Body. This study aims to explain the arrangement of authority and the mechanism for canceling village regulations within the framework of village autonomy in Indonesia. The method used in this research is normative legal research, using a statutory approach. Law Number 6 of 2014 concerning Villages regulates the formation of village regulations, but does not regulate the cancellation of village regulations. The cancellation of village regulations is instead regulated in Article 87 of Government Regulation Number 43 of 2014 concerning Implementing Regulations of Law Number 6 of 2014 concerning Villages, which states that village regulations and village head regulations are contrary to the public interest and/or the provisions of laws and regulations that higher is canceled by the regent/mayor. This provision is contrary to Article 9 paragraph (2) of Law Number 12 of 2011 concerning the Establishment of Legislation and is not in accordance with the village autonomy framework as regulated in Law Number 6 of 2014 concerning Villages. The mechanism for canceling village regulations should be carried out through an expanded Village Consultative Body meeting because it is considered to have a sense of justice and the spirit of democracy and is a form of implementation of village autonomy.