Claim Missing Document
Check
Articles

Found 19 Documents
Search

Penegakan Hukum dan Sanksi serta Kendala Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap Balap Liar di Jalanan pada Remaja di Kabupaten Kudus Novendra, Agista Yusuf; Listyarini, Dyah; Saputra, Arikha
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 14, No 1 (2024): Mei
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v14i1.8266

Abstract

Secara umum, balapan liar merujuk pada kegiatan memacu kendaraan bermotor, terutama kendaraan roda dua, di jalan raya tanpa dilengkapi perlengkapan keselamatan. Praktik ini dapat membahayakan pengemudi dan orang lain di sekitarnya. Indonesia telah melarang balapan liar melalui Pasal 115 huruf b Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal tersebut menyatakan, "Pengemudi kendaraan bermotor di jalan dilarang berbalapan dengan kendaraan lain," sedangkan Pasal 297 menjatuhkan sanksi pidana bagi pelanggar, dengan ancaman pidana kurungan maksimal satu tahun atau denda hingga Rp.3.000.000,00. Kepolisian memainkan peran penting dalam menegakkan hukum dan ketertiban. Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Polres Kudus dengan menggunakan metode yuridis sosiologis dan teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan narasumber dari satlantas Polres Kudus serta studi dokumen. Skripsi ini bertujuan untuk mengevaluasi penegakan hukum terkait balapan liar, sanksi yang diterapkan terhadap remaja pelaku balap liar, dan kendala yang dihadapi petugas kepolisian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya kepolisian sangat penting dalam menanggulangi balapan liar di Kudus, mengingat tingginya insiden balapan liar yang dapat membahayakan pengguna jalan dan masyarakat sekitar. Upaya kepolisian harus didukung oleh partisipasi masyarakat guna menjamin keamanan dan ketaatan terhadap aturan Undang-Undang lalu lintas jalan raya. Dengan demikian, kolaborasi antara kepolisian dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang tentram, nyaman, dan tertib sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2013 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan Dan Pengemis Di Kabupaten Kendal Aditya, Rifki; Listyarini, Dyah; Megawati, Wenny
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 14, No 1 (2024): Mei
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v14i1.8378

Abstract

Penelitian ini membahas isu-isu seputar implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2013 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, dan Pengemis di Kabupaten Kendal, dengan fokus pada anak jalanan, gelandangan, dan pengemis sebagai segmen masyarakat yang membutuhkan perhatian. Anak-anak ini memerlukan dukungan dari pemerintah dan masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan yang sesuai, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang layak dan menghindari potensi risiko. Penelitian mencakup evaluasi terhadap efektivitas penegakan hukum dan pelaksanaan sanksi dalam Peraturan Daerah tersebut. Selain itu, penelitian juga mengidentifikasi kendala-kendala yang mungkin timbul dalam pelaksanaan program pembinaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis di Kabupaten Kendal. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan data diperoleh melalui wawancara langsung, dokumentasi, dan observasi studi kasus terkait pelaksanaan hukum oleh Satuan Polisi Pamong Praja di Kabupaten Kendal. Data tambahan diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, internet, literatur, karya-karya relevan, dan dokumen terkait. Hasil riset menunjukkan bahwa penegakan Peraturan Daerah tersebut telah dijalankan melalui pendekatan preventif, represif, dan rehabilitatif. Meskipun demikian, tingkat efektivitasnya belum optimal, dengan masih adanya anak jalanan, gelandangan, dan pengemis di Kabupaten Kendal. Sanksi yang diberlakukan terhadap pelanggaran perlu ditingkatkan agar menciptakan efek jera yang lebih optimal. Hambatan-hambatan yang dihadapi melibatkan keterbatasan jumlah petugas, anggaran operasional yang terbatas, dan adanya rasa simpati dari masyarakat.
Peran Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Hukum Dan Hambatan Nya Pada Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pengendalian, Pengawasan Dan Penertiban Minuman Beralkohol Di Kabupaten Kendal Septiawan, Andi; Listyarini, Dyah; Megawati, Wenny
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 14, No 1 (2024): Mei
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/humani.v14i1.8379

Abstract

Minuman yang mengandung etanol atau etil alkohol, sering disebut sebagai minuman beralkohol atau Miras, memiliki tingkat kandungan alkohol yang bervariasi sesuai dengan jenisnya. Meskipun istilah "minuman beralkohol" dan "minuman keras" memiliki pen gertian yang berbeda, di Indonesia, kedua istilah ini sering dianggap sama oleh masyarakat, menciptakan kerancuan konsep. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan peran Polisi Pamong Praja dalam menerapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pengendalian, Pengawasan, dan Penertiban Minuman Beralkohol di Kabupaten Kendal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif dengan fokus studi kasus pada penegakan hukum oleh Satuan Polisi Pamong Praja di Kabupaten Kendal. Data yang dikumpulkan mencakup informasi tentang bar, restoran, tempat karaoke, dan/atau penyedia minuman alkohol yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Perda No.4 Tahun 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak tempat yang tidak mematuhi ketentuan yang berlaku. Peran Polisi Pamong Praja terlihat dalam dua dimensi utama, yaitu litigasi dan non-litigasi. Dalam litigasi, mereka melakukan proses penegakan hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Sementara itu, dalam dimensi non-litigasi, mereka melakukan mediasi untuk menutup sementara tempat-tempat yang tidak mematuhi peraturan. Adanya faktor-faktor penghambat dalam penegakan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 di Kabupaten Kendal juga diidentifikasi dalam penelitian ini. Oleh karena itu, pemahaman lebih lanjut terkait dengan perbedaan antara "minuman beralkohol" dan "minuman keras" perlu ditingkatkan, dan upaya harus dilakukan untuk mengatasi hambatan yang mungkin muncul dalam penegakan peraturan tersebut.
PENGATURAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Rochmani, Rochmani; Megawati, Wenny; Listyarini, Dyah
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 12, No 2 (2024): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v12i2.16777

Abstract

Dalam Draf Final UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP Baru)  mengatur penegakan Hukum Pidana Lingkungan pada Pasal 344 dan 345. Dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolalaan Lingkungan Hidup juga  mengatur dalam Pasal; 98, 99, 103, 59, 109,112. Pasal 344 dan 345 RUUHP menghidupkan kembali “syarat melawan hukum” yang sudah dihapuskan oleh UU No. 32 Tahun 2009. Dengan dihidupkan kembali “syarat mealawan hukum”,seolah dimungkinkan adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang tak melawan hukum. Menurut UU No 32 tahun 2009, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Hal tersebut menjadikan penegakan hukum pidana lingkungan bagi pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hampir tidak mengkin ditegakkan. Dengan adanya unsur tersebut, kegiatan yang memiliki izin menjadi tak dapat dipidana meskipun telah menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Dalam perkembangan pembaharuan RUUHP, ketentuan Pasal 344 dan Pasal 345 dihapus dan diserahkan untuk diatur dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009. Adanya unsur ”secara melawan hukum” dalam Pasal 344 dan Pasal 345 RUUHP  berpotensi terhadap  pemrakarsa yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang memiliki izin menjadi tak dapat dipidana meski telah menimbulkan pencemaran dan /atau kerusakan lingkungan. Hal tersebut merupakan kendala dalam pemidanaan. Dengan demikian pengaturan penegakan hukum pidana lingkungan selanjutnya kembali menggunakan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penglolalaan Lingkungan Hidup.
Prismatika Nilai Ekonomi dan Nilai Kepentingan Sosial sebagai Dasar Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional Listyarini, Dyah
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 42 No 2 (2008)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v42i2.116

Abstract

Hukum prismatik merupakan tata nilai hukum yang  khas,  yakni  yang  membedakan  sistem  hukum Indonesia  dengan  sistem  hukum  lainnya.  Sehingga muncul  istilah  hukum  Pancasila  yang,  jika  dikaitkan dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang  karenanya  dalam  konteks  hukum  dapat  disebut sebagai hukum prismatik. Konsep Prismatik merupakan kombinatif  atas  nilai  sosial  paguyuban  dan  nilai  sosial patembayan.  Dua  nilai  sosial  ini  saling  mempangaruhi warga  masyarakat,  yakni  kalau  nilai  sosial  paguyuban lebih  menekankan  pada  kepentingan  bersama  dan  nilai sosial  patembayan  lebih  menekankan  kepada kepentingan  dan  kebebasan  individu. Nilai  prismatik diletakan sebagai dasar untuk membangun hukum yang penjabarannya  dapat  disesuaikan  dengan  tahap-tahap perkembangan  sosial  ekonomi  masyarakat  yang bersangkutan. Ada  empat  hal  supaya  prismtika  hukum  dapat diwujudkan,  pertama,  Pancasila  memadukan  unsur  yang baik dari paham Individualisme dan kolektivisme. Kedua, Pancasila  mengintegrasikan  negara  hukum  yang menekankan  pada  civil  law dan  kepastian  hukum  serta konsepsi negara hukum  the rule of law  yang menekankan pada  common  law  dan  rasa  keadilan.  Ketiga,  Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law  as  tool  of  social  enginering) sekaligus  hukum  sebagai cermin ras keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law).  Keempat,  Pancasila  menganut  paham  relegious  nation state,  tidak mengendalikan agama tertentu (karena bukan negara agama), tetapi juga bukan hampa agama, Di sini negara  harus  melindungi  semua  pemeluk  agama  tanpa diskriminasi.
Pertanggungjawaban Para Pihak terhadap Protokol Notaris sebagai Arsip Negara Listyarini, Dyah
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 53 No 2 (2019)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v53i2.598

Abstract

Abstract: The problem that often arises in connection with the Notary Protocol is when a Notary dies or retires. This paper intends to study and examine the legal rules related to the transition process of the Notary Protocol as State Archives from the heirs of the Notary who passed away to the Substitute Notary Public and the roles and responsibilities of the Notary Supervisory Council in the process of transitioning the Notary Protocol. Based on the study that has been done, it is found that the process of transferring the Notary Protocol from a Notary who died to a Notary Public is carried out by the Notary's heir who died. In this case, the heirs of a Notary are obliged to submit the Notary Protocol to a Substitute Notary who is appointed by the Notary Supervisory Council. The Notary Supervisory Council plays a role and is responsible for providing guidance and supervision to Notaries and at the same time taking Notary Protocols from the Notary's heirs to be submitted to the Substitute Notary Public.Abstrak: Persoalan yang sering muncul berkaitan dengan Protokol Notaris adalah ketika seorang Notaris meninggal dunia ataupun purna tugas. Tulisan ini hendak mengkaji dan meneliti aturan hukum terkait proses peralihan Protokol Notaris sebagai Arsip Negara dari ahli waris Notaris yang meninggal dunia kepada Notaris Pengganti dan peran serta tanggung jawab Majelis Pengawas Notaris dalam proses peralihan Protokol Notaris tersebut. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan diperoleh temuan bahwa proses peralihan Protokol Notaris dari Notaris yang meninggal dunia kepada Notaris Pengganti dilakukan oleh ahli waris Notaris yang meninggal dunia. Dalam hal ini  ahli waris Notaris berkewajiban menyerahkan Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Notaris. Adapun Majelis Pengawas Notaris berperan dan bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Notaris dan sekaligus mengambil Protokol Notaris dari ahli waris Notaris untuk diserahkan kepada Notaris Pengganti.
Membangun Generasi Sadar Hukum: Urgensi Pendidikan Hukum bagi Remaja dalam Penegakan Hukum di Indonesia Listyarini, Dyah; Sholihah, Dwi Imroatus; Hidayat, Fauzan; Raharjo, Sri Budi
Muhammadiyah Law Review Journal Vol 9, No 1 (2025): Muhammadiyah Law Review
Publisher : Universitas Muhammadiyah Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24127/mlr.v9i1.4536

Abstract

Indonesia, as a country based on the rule of law, places law at the foundation of every aspect of social, national, and state life. However, reality shows that the level of law violations among teenagers, especially high school students, is still quite high. One of the factors behind this is their lack of understanding of the law and lack of awareness of the consequences of their actions. This study aims to analyze the role of legal education in shaping legal awareness and supporting the law enforcement process from an early age. The research method used is a sociological juridical approach with data collection through direct interviews with high school students. The results show that legal education is not only important to be included in the school curriculum, but also needs to be implemented through legal counseling programs involving law enforcement officials and related agencies. Through the implementation of legal education, students can understand the values of justice, recognize prohibited and permitted acts, and internalize an attitude of legal compliance. Thus, legal education plays a strategic role in shaping a young generation that is legally aware and contributes to the creation of more effective law enforcement in Indonesia.
Implementasi Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 terhadap Perlindungan Hukum dan Kendalanya pada Orang dengan Gangguan Jiwa di Kota Semarang Ibadiyah, Annisa Auwla Fil; Listyarini, Dyah; Saputra, Arikha
As-Syar i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga  Vol. 6 No. 3 (2024): As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Publisher : Institut Agama Islam Nasional Laa Roiba Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47467/as.v6i3.2105

Abstract

The number of people with mental disorders in Semarang City continues to increase. The large number of people with mental disorders in Semarang needs to be addressed seriously to prevent causing discomfort in social activities. Therefore, the author compiled a journal titled "Implementation of Law Enforcement Law Number 18 of 2014 concerning Legal Protection and Constraints on People with Mental Disorders in Semarang City." This journal aims to uncover issues related to how the implementation of Law Number 18 of 2014 on law enforcement against legal protection for people with mental disorders in Semarang City and what factors cause people to experience mental disorders in Semarang City. The research method used in this study is a qualitative method with a socio-legal juridical approach. The data used in this study was obtained using data collection techniques through interviews conducted with Mrs. Lela Dwipayana, S.H. as the Social Rehabilitation Staff of the PMKS Guidance Service Sub-Coordinating Social Welfare Services. The results of this study found that Law Number 18 of 2014 on Mental Health has protected people with mental disorders by being handled by the Social Service in Semarang City.  
Kajian Yuridis Pelanggaran Syarat Calon Kepala Daerah Dalam Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2016 Terhadap Penggunaan Status Kewarganegaraan Ganda Muzayanah, Muzayanah; Listyarini, Dyah; Sukarman, Sukarman
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 7 No 2 (2021): Agustus, Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v7i2.37996

Abstract

The election of regional heads is an activity in the context of implementing a democratic government system and aims to obtain quality regional leaders, able to work honestly, cleanly and with dignity. Among the requirements for a regional head candidate, which is regulated in Law Number 10 of 2016 concerning Regional Head Elections, those who register as regional head candidates are Indonesian citizens (WNI). Considering the principle of citizenship that applies in the Republic of Indonesia based on Law Number 12 of 2006 concerning Citizenship is Monopatride, every citizen of the Republic of Indonesia only has single citizenship status, except for children born after the enactment of the Citizenship Law can have dual citizenship. This study examines the dual citizenship status of the candidate for Sabu Raijua regent who, at the time of registering to participate in the election of a regional head candidate, it turns out that the Sabu Raijua regent does not renounce his American citizenship status, so he remains dual citizenship. This research has a normative juridical specification. Research method with library research (library research). The data collection method uses secondary data in the form of primary legal materials and secondary and tertiary legal materials. The results of the study on violations of the requirements for regional head candidates in regional head elections based on Law number: 10 of 2016 concerning Regional Head Elections against the use of dual citizenship status. Violations committed by the regent of Sabu Raijua against the requirement to register as a candidate for regional head must be a citizen of the Republic of Indonesia, but this was not fulfilled by the person concerned.