Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : MUDRA Jurnal Seni Budaya

Tari Rejang Pala Di Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem: Kajian Bentuk Dan Fungsi I Wayan Adi Gunarta; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 35 No 2 (2020): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v35i2.1049

Abstract

Sejak beberapa tahun terakhir, Rejang mengalami geliat pertumbuhan yang begitu populer. Di tengah suburnya berbagai bentuk tari kreasi rarejangan, di Desa Nongan terdapat tari Rejang yang telah dua kali mengalami rekonstruksi, tahun 1984 dan 2019. Tahun 2019 desa setempat kembali melakukan rekonstruksi merujuk hasil penelitian berjudul Kontinuitas dan Perubahan Tari Rejang Balang Tamak di Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, tahun 2017. Penulisan artikel ini bertujuan untuk meneliti bentuk dan fungsi Tari Rejang Pala, pasca rekonstruksi tahun 2019. Landasan teoritis yang digunakan adalah teori estetika dan teori fungsional. Model penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Tari Rejang Pala ialah tarian sakral dalam upacara Usaba Desa, untuk menyambut Ida Betara Dalem pada prosesi memasar di Pura Pesamuhan Agung. Para penarinya dibagi dalam tiga klasifikasi umur, yaitu: (1) anak-anak disebut Rejang Alit; (2) remaja putri disebut Rejang Daha; dan (3) Ibu-Ibu disebut Rejang Lingsir. Fungsi primer Tari Rejang Pala, yakni sebagai sarana ritual, secara tidak langsung juga sebagai sarana hiburan pribadi, dan sebagai presentasi estetis. Fungsi sekundernya, sebagai pengikat solidaritas dan sebagai sarana komunikasi. Keunikan Tari Rejang Pala dapat dilihat pada gelungannya, yaitu dihiasi dengan berbagai macam buah-buahan.
Reka Ulang Koreografi Rejang Pala, Setelah 100 Tahun Menghilang: Sebuah Rekonstruksi Imajinatif Ida Ayu Wayan Arya Satyani; I Wayan Adi Gunarta
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 36 No 1 (2021): Februari
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v36i1.1108

Abstract

Rekonstruksi Imajinatif merupakan proses reka ulang terhadap koreografi tari yang sudah punah, tetapi masih meninggalkan jejak masa lampau selain jejak koreografinya. Hal ini dialami oleh Rejang Pala di desa Nongan, kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem, yang menghilang akibat gejor Bali 1917. Kisahnya terselip dalam mitos Pan Balang Tamak yang diwarisi di desa ini. Jejak lainnya berupa hiasan kepala (serobong), dan sedikit jejak arkeologis yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai peninggalan Pan Balang Tamak. Minimnya sumber informasi untuk merunut jejak sejarah maupun ke’asli’an koreografi rejang ini mengantarkan peristiwa rekonstruksinya pada rekonstruksi imajinatif. Apa yang dimaksud dengan rekonstruksi imajinatif?, bagaimana prosesnya?, dan bagaimana hasilnya?, menjadi fokus pembahasan artikel ini. Metoda rekonstruksinya mengkombinasikan metoda sejarah dengan metoda konstruksi tari. Metoda sejarah meliputi heuristik (pengumpulan data), kritik (analisis, eksternal dan internal), interpretasi (analisis dan sintesis), dan historiografi (penyampaian hasil). Sedangkan metoda konstruksi tari menurut Jacqueline Smith, tersusun dalam lima langkah yaitu: konstruksi I bertumpu pada rangsang tari, konstruksi II pada motif dan komposisi, konstruksi III pada komposisi kelompok, konstruksi IV pada pengorganisasian bentuk tari, dan konstruksi V pada keutuhan karya. Pengetahuan metoda konstruksi tari menurut pandangan Smith, terhubung dengan imajinasi dan intuisi, pengetahuan tentang materi gerak, serta pengenalan bentuk melalui pengalaman estetis. Hasil pembahasan diperlukan sebagai refleksi terhadap apa yang telah dilakukan selama rekonstruksi imajinatif sejak 2017 hingga makebah (peluncuran) pada 9 April 2019. Butir-butir refleksi ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk menyusun rancangan panyacah awig rejang, sebagai langkah awal penguatan ekosistem Rejang Pala.
Jejak Seni Pertunjukan Bali Kuna Dalam Karya Kesusastraan Usana Bali Mayantaka Carita Hendra Santosa; Dyah Kustiyanti; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 36 No 2 (2021): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v36i2.1247

Abstract

Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian yang berjudul “Inventarisasi Istilah-istilah Seni Pertunjukan Bali dalam Karya Kesusastraan Jaman Gelgel (1401-1687) dan bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana seni pertunjukan pada masa Bali kuno masih bertahan dan berkembang dengan baik pada masa Gelgel, setelah penaklukan Majapahit. Berbagai karya pada masa Raja Waturenggong lahir di Bali, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah masa keemasan bagi seni sastra di Bali. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, yaitu melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Khusus untuk artikel ini karya kesusastraan pada masa Gelgel (1401-1687) dijadikan sebagai sumber primer untuk mengetahui berbagai seni pertunjukan yang lahir pada masa tersebut. Naskah Usana Bali Mayantaka Carita yang diambil dalam buku Karya Sastra Filsafat Kakawin Mayantaka Karya Danghyang Nirartha., karya, I. B. Agastia tahun 2018 terbitan Taman Sastra Wagiswari Dharmasabha karena karya kesusastraan tersebut paling banyak menyuratkan unsur-unsur seni pertunjukan Bali. Metode yang dipergunakan adalah deskripsi analisis dengan interpretasi faktual apa adanya. Berdasarkan Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa pada masa Raja Waturenggong masih terus dipertahankan dan sepertinya terdapat penambahan fungsi serta perubahan istilah terutama pada seni karawitan (instrumen).
Banjuran, Gamelan Prosesi Zaman Bali Kuna Hendra Santosa; Dyah Kustiyanti; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 37 No 1 (2022): Februari
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v37i1.1717

Abstract

This article is part of research entitled "The Evolution of the Balinese Gamelan", which is accompanied by an overview of the changes that occurred after the Gelgel era. This article aims to provide an overview of the Banjuran gamelan form as written in several ancient Balinese inscriptions. Balinese Karawitan experts often associate it with the Balaganjur gamelan, which is now developing in Bali. In order to obtain a comprehensive explanation, this articlewas compiled employing the historical method. The historiography stage in this study was conveyed through the delivery of critical-descriptive analysis. Although the Sukawana A I inscription actually states that Bali's historical era started from 804 AD, the close relationship between Bali and Central Java actually existed around the 7th century, which is proven through various archaeological findings. It certainly opens the suspicion that the Banjuran gamelan image is engraved in the Borobudur Temple’s reliefs. Many asymmetrical shapes of Balinese drums (kendang) are engraved in the reliefs. Furthermore, Balinese drums' shape is also engraved in the Tegawangi Temple’s reliefs in East Java. This form of the Banjuran gamelan is also strengthened by information and data from the Kakawin Nagarakretagama. Gamelan Banjuran is thought to be the forerunner of the development of the Balaganjur gamelan that is currently developing.