Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

The Role of the Power of the Board of Directors of a Business Entity in the Quality of Government Construction Projects: A Case Study of the Decision of the Maumere District Court Number 16/Pdt.G/2020/PN Mme Kartiwan, Tatang; Sadino, Sadino; Shebubakar, Arina Novizas; Suprijanto, Iwan
Daengku: Journal of Humanities and Social Sciences Innovation Vol. 4 No. 6 (2024)
Publisher : PT Mattawang Mediatama Solution

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35877/454RI.daengku3065

Abstract

Based on Law No. 2 of 2017 on Construction Services and Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies, as well as Presidential Regulation No. 16 of 2018 on Government Procurement of Goods/Services, construction services are an essential part of national development. However, the execution of the authority of the board of directors often becomes a critical point that affects the quality of projects, as occurred in the case of the construction of the Dormitory of the Catholic School of Philosophy St. Paulus Ledalero (Case Study of Court Decision Number 16/Pdt.G/2020/PN Mme dated December 16, 2020). The research method used is juridical-empirical, with a case study approach and interviews with relevant parties, such as the Commitment Making Officer, Head of the Work Unit, and Chairperson of the Advocacy Team. The research findings indicate that existing regulations still have weaknesses in terms of supervision and law enforcement, which negatively impacts the quality and standards of work. It is concluded that a more comprehensive and adaptive regulatory reform is needed, including the establishment of strict criteria for the recipients of authority, as well as more effective supervision and law enforcement mechanisms to address the challenges faced in government construction service procurement.
Praktik Usaha Fiktif dalam Pengajuan Kredit Usaha Rakyat dan Tantangan Pencegahannya Noviansyah, Arie; Lutfi, Anas; Shebubakar, Arina Novizas
Binamulia Hukum Vol. 14 No. 1 (2025): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v14i1.1009

Abstract

Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan program pembiayaan bersubsidi yang bertujuan untuk mendukung pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam mengakses modal guna meningkatkan produktivitas dan daya saing. Namun, pelaksanaan program ini menghadapi tantangan signifikan berupa praktik penyimpangan hukum, seperti pengajuan usaha fiktif dan manipulasi dokumen, yang berpotensi merugikan lembaga perbankan dan mengancam keberlanjutan program. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme penyimpangan hukum dalam pengajuan KUR, mengevaluasi kelemahan dalam sistem pengawasan dan regulasi, serta mengidentifikasi upaya preventif dan penegakan hukum yang dapat diterapkan. Metode penelitian yuridis normatif digunakan dengan pendekatan analisis terhadap peraturan hukum, doktrin, dan prinsip-prinsip yang relevan terkait penyimpangan KUR. Temuan penelitian menunjukkan bahwa lemahnya sistem verifikasi dan pengawasan menjadi celah utama yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha fiktif. Hasil kajian ini memberikan rekomendasi untuk memperkuat regulasi, meningkatkan transparansi sistem pengajuan kredit, serta mengoptimalkan penegakan hukum guna meminimalkan risiko penyalahgunaan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan kebijakan KUR yang lebih efektif dalam memberdayakan UMKM secara berkelanjutan.
Pengaruh Hambatan Kerja Sama Instansi Pemerintah: Studi Atas Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama Yuliana, Risma; Shebubakar, Arina Novizas; Lutfi, Anas
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 5 No. 2 (2025): COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v5i2.3167

Abstract

In government institutions, cooperation agreements are formalized through the signing of a Memorandum of Understanding (MoU), followed by a Cooperation Agreement. However, the process of reaching the signing of the MoU and Cooperation Agreement, as well as the implementation of the agreed activities, does not always run smoothly. Several issues and obstacles may arise. This study aims to analyze the impact of obstacles in cooperation within government institutions based on the MoU and Cooperation Agreement. A descriptive qualitative research method was used, with data collected through questionnaires via Google Forms and interviews. The research findings indicate that the main obstacles in cooperation include communication, coordination, human resources, and activity budgeting. Recommended solutions include forming a coordination team, preparing adequate human resources, and planning a more flexible budget. Understanding these obstacles and their impacts is useful for minimizing errors when renewing or initiating new cooperation agreements with other parties, thus ensuring more effective and optimal cooperation implementation.
Solusi Hukum Atas Deadlock RUPS dalam Kepemilikan Saham 50:50 Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor: 54/Pid.B/2023/PN Lbj dan Nomor: 531/Pdt.P/2022/PN Dps. Gunawan, Abraham; Ahmad, Suparji; Shebubakar, Arina Novizas
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 5 No. 6 (2025): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v5i6.5075

Abstract

Kepemilikan saham setara (50:50) dalam struktur Perseroan Terbatas (PT) seringkali menciptakan situasi deadlock dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), terutama ketika terjadi perbedaan kepentingan antar pemegang saham. Fenomena ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), khususnya Pasal 146 ayat (1) huruf c, yang menyatakan bahwa pengadilan dapat membubarkan perseroan jika terdapat alasan "perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan" akibat ketidakmampuan RUPS mengambil keputusan sah. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 531/Pdt.P/2022/PN Dps menjadi contoh konkret, di mana PT. Kindo Ritel Prima mengalami kebuntuan operasional karena kepemilikan saham 50:50 antara PT. Mataya Mitra Gaya dan Billy Santoso Lie. Struktur kepemilikan saham 50:50 dalam PT. Kindo Ritel Prima tidak hanya menghambat proses pengambilan keputusan strategis, seperti pemisahan aset (spin-off) dan perubahan susunan direksi, tetapi juga menciptakan vacuum of authority yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum operasional perseroan. Dalam Putusan PN Denpasar No. 531/Pdt.P/2022/PN Dps, majelis hakim mencatat bahwa upaya pemisahan aset melalui Akta No. 24/2022 gagal memenuhi syarat substantif Pasal 135 UUPT, karena tidak disertai dengan pembagian portofolio usaha yang jelas dan pengalihan tanggung jawab hukum kepada entitas baru. Kompleksitas Pengelolaan PT dengan Kepemilikan Saham Setara dalam Putusan PN Labuan Bajo No.54/Pid.B/2023/PN.Lbj. Sementara itu, Putusan PN Labuan Bajo No. 54/Pid.B/2023/PN Lbj mengangkat dimensi lain dari risiko kepemilikan saham 50:50, yakni potensi penyalahgunaan wewenang direksi dalam situasi deadlock. Dalam perkara ini, Terdakwa Romy Kamaluddin selaku Direktur PT. Omsa Medic Bajo didakwa melakukan penggelapan dana perseroan senilai Rp1,9 miliar. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menafsirkan fakta hukum, tanggung jawab direktur, dan penerapan Pasal 374 KUHP (pidana) serta Pasal 1365 KUHPerdata (perdata). Analisis komparatif membandingkan standar pembuktian, sanksi, dan implikasi yuridis antara kasus pidana dan perdata, dilanjutkan dengan sintesis untuk merumuskan pola hukum pencegahan penyalahgunaan wewenang direktur. Perbedaan utama antara Putusan 54/Pid.B/2023 (pidana) dan Putusan 531/Pdt.P/2022 (perdata) terletak pada ranah hukum, tujuan pertanggungjawaban, dan konsekuensi hukumnya. Dalam kasus pidana, dasar hukum Pasal 374 KUHP tentang penggelapan jabatan menekankan sanksi pidana (penjara) dengan pembuktian melalui audit keuangan, indikasi ketiadaan transparansi, dan unsur kesengajaan (mens rea), sehingga implikasinya berupa hukuman penjara dan kerusakan reputasi bagi direktur. Sementara itu, kasus perdata menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata atau UU Perseroan Terbatas, berfokus pada ganti rugi finansial akibat kerugian perusahaan, dengan pembuktian pelanggaran prosedur korporasi dan mismanajemen, yang berujung pada kewajiban restitusi dan sanksi administrasi. Meski berbeda konteks, kedua putusan menegaskan pentingnya kepatuhan direktur terhadap tata kelola perusahaan sebagai inti pertanggungjawaban.
Kebijakan Hukum Perlindungan Lahan Pertanian Pangan : Studi Kasus Alih Fungsi Sawah di Kabupaten Karawang Muzqufa, Reagy; Sadino, Sadino; Shebubakar, Arina Novizas
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 5 No. 6 (2025): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v5i6.5211

Abstract

Pemerintah Kabupaten Karawang telah menetapkan dalam Peraturan Daerah tentang LP2B bahwa 87.000 hektare lahan sawah akan dialokasikan dan tidak boleh dialihfungsikan. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2010 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) memiliki tujuan untuk memperkuat ketersediaan serta menjaga ketahanan pangan di wilayah Jawa Barat. Upaya ini dilakukan dengan cara mengendalikan alih fungsi lahan sawah serta memperluas areal persawahan. Dalam Pasal 3 Peraturan Daerah tersebut, ditekankan pentingnya pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap perubahan fungsi lahan, disertai dengan pemberian insentif kepada petani yang mempertahankan lahan sawah dan disinsentif bagi pihak yang mengalihfungsikan lahan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan metode studi kasus untuk mengkaji dinamika kebijakan perlindungan lahan sawah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Pemilihan lokasi didasarkan pada status Karawang sebagai kawasan persawahan strategis yang tengah menghadapi tekanan kuat akibat alih fungsi lahan menjadi kawasan industri dan pemukiman. Dengan memberikan dukungan finansial dan sumber daya, petani akan lebih termotivasi untuk mempertahankan lahan sawah mereka daripada menjualnya untuk kepentingan industri. Di sisi lain, penerapan pajak progresif bagi pemilik lahan yang mengalihfungsikan sawah secara ilegal dapat menjadi disinsentif yang efektif, mendorong pemilik lahan untuk mematuhi peraturan yang ada. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan perlindungan lahan sawah. Dengan melakukan analisis secara menyeluruh, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam mendukung upaya pelestarian ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan.
Aspek Hukum Yang Mengatur Tanggung Jawab Owner Skincare Terhadap Retur Produk Atas Overclaim Produk Daviena Skincare di Tangerang Selatan Setiyawati, Della; Hidayat, Yusup; Shebubakar, Arina Novizas
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 5 No. 6 (2025): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v5i6.5537

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum owner skincare terhadap overclaim pada produk kecantikan. Praktik overclaim tidak hanya menjadi permasalahan etika bisnis, tetapi juga menyangkut aspek hukum yang fundamental. Melalui pendekatan Kualitatif ini menggabungkan analisis yuridis empiris dengan mengambil dari merek daviena skincare yang klaimnya terbukti tidak konsisten dengan hasil uji laboratorium. Data dianalisis melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hukum perlindungan konsumen serta regulasi kesehatan di Indonesia. Temuan penelitian menunjukkan bahwa praktik overclaim masih marak terjadi di kalangan pemilik produk skincare, di mana pernyataan pemasaran sering kali melebih-lebihkan keberadaan dan efektivitas bahan aktif. Hingga saat ini, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur periklanan, terutama yang berkaitan dengan iklan yang dapat menyesatkan dan merugikan konsumen. Tindakan ini menyesatkan konsumen dan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum, khususnya yang diatur dalam UUPK dan peraturan periklanan produk kesehatan. Pemilik produk skincare dapat dimintai pertanggungjawaban hukum melalui sanksi administratif, tanggung jawab perdata, atau pidana, tergantung pada sifat dan tingkat pelanggarannya.  
Analysis of the Mediator's Role in Resolving Default Cases: A Case Study of Loan Agreements Secured by Land Title Certificates Maksum, Muhammad Amir; Shebubakar, Arina Novizas; Rifai, Anis
Business Economic, Communication, and Social Sciences Journal (BECOSS) Vol. 7 No. 3 (2025): BECOSS (In Press)
Publisher : Bina Nusantara University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21512/becossjournal.v7i3.13578

Abstract

This study examines the effectiveness of mediation in resolving breach of contract disputes arising from loan agreements secured by land title certificates. The primary focus of this research is to analyze the impact of mediation on both disputing parties and to identify the legal implications of the mediation outcomes. The methodology employed is a normative legal approach, supported by descriptive-analytical analysis of primary data in the form of legal regulations concerning mediation and default cases, as well as secondary data obtained from journals, books, and recent legal articles. The findings indicate that mediation is an effective alternative dispute resolution method, as it reduces costs, time, and the potential for damaged relationships between the parties. Furthermore, the role of the mediator as a neutral party is proven to be crucial in fostering a conducive atmosphere and assisting the parties in reaching a fair agreement. However, the effectiveness of mediation can be hindered by the public's lack of understanding of mediation procedures and the limited skills of mediators. Therefore, this study recommends improving the quality of mediators through continuous training and enhancing public legal awareness so that mediation can become the primary option for resolving breach of contract disputes.
Potensi Masalah Hukum Dalam Tanda Tangan Elektronik Dalam Pembuktian Hukum Acara Perdata Indonesia Fauzi, Irvan; Rifai, Anis; Shebubakar, Arina Novizas
Jurnal Bedah Hukum Vol. 8 No. 1 (2024): Jurnal Bedah Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Boyolali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36596/jbh.v8i1.1047

Abstract

Abstract Electronic signatures are currently often used on digital-based documents which basically can be said to be in the form of non-paper documents which can be debated in the process of proving civil procedural law because they are not in accordance with the types of evidence where the requirements are in physical form. Therefore the author raises issues such as what is the legal basis for the validity of electronic signatures in making agreements between parties in the technological era? how is the legal force of proving electronic signatures in Indonesian civil procedural law? The research method in this scientific journal uses a normative juridical approach using existing data through Open Source. The results of the research found that the legal basis for electronic signatures is regulated in the Electronic Transactions Act which provides a definition in the form of part of an electronic agreement for parties to agree together through the existence of an electronic system in preparing, analyzing, collecting, processing, storing , convey and be able to disseminate information electronically. Electronic signing as a form of electronic data on an agreement document in civil procedural law can be a potential problem if it is used as evidence in a proving trial process in court. Where electronic signing is a paperless transaction. This of course raises problems when the proof process is not in accordance with what is regulated in Article 1866 of the Civil Code, in this case it means that the evidence in the form of electronic data submitted is considered to have no legal force of proof, therefore it does not rule out the possibility that judges and other parties will reject it as evidence. Suggestions for the future are that the court can accommodate evidence in the form of electronic signatures. electronic data submitted is considered to have no legal force of proof, therefore it does not rule out the possibility that judges and other parties will reject it as evidence. Suggestions for the future are that the court can accommodate evidence in the form of electronic signatures Abstrak Tanda tangan elektronik saat ini sering dipakai pada dokumen yang berbasis digital yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai bentuk dari dokumen non-kertas yang dapat menjadi perdebatan dalam proses pembuktian hukum acara perdata karena tidak sesuai dengan jenis-jenis alat bukti yang mana persyaratannya dalam bentuk fisik. Oleh sebab itu penulis mengangkat permasalahan seperti bagaimanakah dasar hukum keabsahan dari tanda tangan elektronik dalam melakukan perjanjian antara para pihak di era teknologi? bagaimana kekuatan hukum pembuktian tanda tangan elektronik dalam hukum acara perdata Indonesia? Metode penelitian pada jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan memakai data-data yang ada melalui Open Source. Hasil dari penelitian menemukan dasar hukum dari tanda tangan elektronik diatur pada Undang-Undang Transaksi Elektronik yang memberikan definisi berupa bagian dari suatu perjanjian elektronik bagi para pihak secara bersama-sama untuk bersepakat melalui adanya sistem secara elektronik dalam mempersiapkan, menganalisis, mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyampaikan dan dapat untuk menyebarkan suatu informasi secara elektronik. Penandatanganan Elektronik sebagai bentuk dari data elektronik pada suatu dokumen perjanjian dalam hukum acara perdata ini dapat menjadi potensi masalah apabila digunakan sebagai bahan bukti di dalam sebuah proses persidangan pembuktian di pengadilan. Yang mana adanya penandatanganan secara elektronik merupakan transaksi tanpa kertas. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan pada saat proses pembuktian yang tidak sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1866 KUH Perdata, dalam hal ini berarti bukti berupa data elektronik yang diserahkan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum pembuktian, oleh karenanya tidak menutup kemungkinan hakim dan pihak lain akan menolaknya sebagai alat bukti. Saran kedepannya agar pengadilan dapat mengakomodir alat bukti berupa tanda tangan elektronik.
Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Bagi Debitor Yang Melakukan Wanprestasi Atas Kesepakatan Perdamaian Adithio, Stephano Ranno; Rifai, Anis; Shebubakar, Arina Novizas
Jurnal Bedah Hukum Vol. 8 No. 2 (2024): Jurnal Bedah Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Boyolali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36596/jbh.v8i2.1116

Abstract

Perjanjian merupakan kesepakatan antara kreditur dan debitur, namun ada saja kegagalan dari salah satu pihak terutama debitur dalam melaksanakan kewajiban yang sebelumnya telah disetujui, dan kegagalan itu disebut perbuatan wanprestasi atau kelalaian. Adapun perbuatan debitur yang melakukan wanprestasi dapat terlihat dari putusan nomor 03/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2020/PN. Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 118/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst. Oleh karenanya penulis ingin mengangkat permasalahan seperti bagaimanakah akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian? dan bagaimana upaya hukum kreditur akibat dari debitur yang telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian pada perkara Perkara Nomor 03/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2020/Pn.Niaga.Jkt.Pst. Jounto Nomor 118/Pdt.Sus-Pkpu/2018/Pn.Niaga.Jkt.Pst? Metode penelitian pada tulisan ilmiah ini menggunakan analisis secara yuridis normatif dengan memakai data-data hukum dengan cara Open Source. Hasil dari penelitian menemukan pertama, akibat hukum debitur wanprestasi ialah dapat dibatalkannya suatu perjanjian Nomor 118/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst, dikarenakan debitur terutang telah lalai melaksanakan kewajibannya pada pembayaran tahapan pembayaran kedua, dimana debitur seharusnya membayar kewajiban sebesar Rp.4.500.000.000,- namun hanya dibayarkan Rp.1.000.000.000,- yang tentunya masih sangat kurang dari pembayaran yang telah ditentukan dalam akta perdamaian. Sehingga hal ini membuat kreditur melaksanakan pembatalan perjanjian perdamaian sesuai dengan Pasal 5 ayat ke 2 perjanjian perdamaian yang menyatakan perjanjian perdamaian dapat berakhir dengan sendirinya dalam hal telah terjadi wanprestasi oleh debitur. Hasil penelitian yang kedua, kreditur dapat mengajukan permohonan ke pengadilan niaga atas wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur dalam melakukan pembayaran hutang, adapun total hutang yang masih belum dibayarkan sebesar Rp.28.766.385.000,- dari Rp.41.266.385.000,- . Oleh karenanya berdasarkan dengan Pasal 170 Ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, kreditur dapat menuntut suatu pembatalan dari adanya akta damai atau perjanjian damai yang telah disahkan, dikarenakan pihak debitur lalai.
HAK SEWA TANAH UNTUK BANGUNAN OLEH WARGA NEGARA ASING (WNA) SEBAGAI ALTERNATIF PENGUASAAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA Carona, Nina; Rifai, Anis; Shebubakar, Arina Novizas
LITIGASI Vol. 25 No. 1 (2024)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pasundan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23969/litigasi.v25i1.10632

Abstract

Land plays a crucial role in the life of Indonesian society and economy, particularly in tourist destinations like Bali. The establishment of businesses by foreign nationals in Bali, especially in the region of Badung Regency, has raised concerns regarding regulations governing land ownership. The Land Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Affairs and Government Regulation Number 46 of 1996 strictly regulate land ownership by both Indonesian citizens (WNI) and foreign nationals (WNA), particularly in terms of land lease for building purposes. However, there remain uncertainties concerning the understanding of land lease agreements for buildings, including time limitations, lease extension, and the status of buildings constructed on leased land after the lease agreement expires. This study employs a normative juridical research method with a legislative approach to provide a better understanding of land ownership for WNAs in business development in Bali and Indonesia as a whole. Keywords:     Land Ownership, Land Lease for Building Purposes, Land Lease Agreements, Ease Agreements.