Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

REKONSTRUKSI KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP PENGUSULAN HAKIM KONSTITUSI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN NETRALITAS HAKIM KONSTITUSI DI INDONESIA Muhammad Fauzan; Yacub, Tifanny Nur; Gumilar, Egi Rivaldi; Safitri, Nadila; Sitanggang, Matthew Jakaria
Jurnal Esensi Hukum Vol 5 No 2 (2023): Desember - Jurnal Esensi Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/jsh.v5i2.234

Abstract

The Judicial Commission is an institution that was born as a result of demands for reform of the judiciary in Indonesia. The existence of the KY is not only limited to what is contained in the constitutional mandate, but is an external institution that has duties related to judicial oversight. More than that, the KY has a role in carrying out the function of checks and balances so that in the judicial power conditions can be created that are balanced, independent and free. Along his journey, KY experienced twists and turns. For example, the resistance of Supreme Court justices as externally supervised subjects, adjudication efforts at the Constitutional Court which weaken the role of the Judicial Commission as an external institution, and the authority to appoint and appoint Supreme Court judges, has made the Judicial Commission farther and farther away from realizing a clean and noble judiciary within the judiciary. The method used in this study is normative juridical with a statutory approach, a conceptual approach, and a case approach. The resulting conclusion is that through the reconstruction of the KY's authority, it is hoped that proposals for the appointment of constitutional judges can be based more on clear and transparent criteria and procedures, as well as taking into account the integrity and competence of prospective constitutional judges. In addition, to realize this, it is necessary to amend the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia by amending the provisions of Article 24B paragraph (1) and Article 24C paragraph (3). These changes extend to laws, such as the Constitutional Court Law, the Supreme Court Law, and the Judicial Commission Law.
AMBIGUITAS PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) Al Fath; Cantiqa, Shevanna Putri; Sitanggang, Matthew Jakaria
Jurnal Esensi Hukum Vol 5 No 2 (2023): Desember - Jurnal Esensi Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/jsh.v5i2.300

Abstract

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengamanatkan agar terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, sejahtera, yang mencakup semua aspek kehidupan. Amanat untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia salah satunya diimplementasikan melalui pajak. Pajak dimaksudkan untuk mengumpulkan dana untuk berbagai kegiatan pemerintahan, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan dan keamanan, serta untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Indonesia sendiri mengenal tata cara pemungutan pajak salah satunya adalah Self Assesment System. Self assesment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk dapat menghitung sendiri besaran pajak terutang dan membayarkan sendiri pajak terutang tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada. Self Assesment System merupakan bentuk yang efisien dalam mengumpulkan pajak yang juga diterapkan dalam pemungutan pajak BPHTB. Namun dalam pelaksanaannya, sistem tersebut belum berjalan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini antara lain disebabkan masih banyak pihak fiskal yang ikut campur dalam perhitungan besaran pajak sehingga menyebabkan sistem tidak berjalan seperti yang tertulis di peraturan perundang-undangan. Untuk itu perlu sosialisasi kepada masyarakat dan pejabat terkait, serta diperlukan tindakan yang lebih ketat terhadap praktik penggunaan pihak ketiga dalam pembayaran BPHTB
URGENSI PENDAFTARAN HAK MEREK SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAKU USAHA MIKRO KECIL DI BIDANG KULINER Permata, Cindy; Fitriyani, Jeanny Anggita; Akbar, Sahda Saraswati; Yacub, Tifanny Nur; Gumilar, Egi Rivaldi; Safitri, Nadila; Sitanggang, Matthew Jakaria; Yulistio, Muhammad Raihan; Sabrina, Fadiah Tarisa; Falevi, Yunizar; Ningtyas, Meira Lalia Ayu; Purba, Rebecca; Roulina, Cahaya Grace; Amelia, Sandra; Fattah, Ade Syaifullah; Azza, Yaumil; Supardi, Reisha Rizkia Sabila; Setiawan, Felicia Stefanie; Sitorus, Christofel Adam; Juwita, Hana Rahmahdhani; Eriana , Nadhifa Putri; Reynita, Kayla Tiara
Jurnal Kreatif : Karya Pengabdian untuk Masyarakat Aktif dan Inovatif Vol 1 No 01 (2024): JANUARI
Publisher : Zhata Institut

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The trade sector is one of the supports for the continuity of human life in increasing economic growth. The era of global trade is in line with international conventions that have been ratified by Indonesia so the role of brands is significant in maintaining healthy business competition. A brand becomes a marker that can be expected to produce economic value. Brands have an important role in describing a product's quality and commercial value, so it is necessary to apply for brand registration. However, according to the Directorate General of Intellectual Property (DJKI) of the Ministry of Law and Human Rights, there are still many MSME players who have not registered their brands, because MSME capital is still limited and there is a lack of understanding of the benefits of brand registration for the MSME industry. The observation method was used when searching for target partners, which in this activity was Kedai Geprek Mavera, an MSME in the culinary sector in the South Jakarta area. The activity was carried out in the form of socialization to MSME actors directly orally, covering the meaning of brand rights, the importance of registering a brand right, then the risks if the brand is not registered, as well as a simulation of registering the target partner's brand rights.
Rekonstruksi Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen pada Pihak Ketiga sebagai Upaya Transformasi Ekonomi Digital Gumilar, Egi Rivaldi; Sitanggang, Matthew Jakaria; Ketaren, Saher Remal Agungta; Everoes, Muhammad Ezzat
Forschungsforum Law Journal Vol 2 No 1 (2025): JANUARI
Publisher : Fakultas Hukum |Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/flj.v2i1.9808

Abstract

Kehadiran e-commerce saat ini menawarkan kemudahan bagi pengguna, seperti kenyamanan, variasi pilihan, aksesibilitas, penelusuran, perbandingan harga, serta kemudahan bertransaksi dari mana saja dan kapan saja. Namun, e-commerce dinilai sangat rentan karena posisi pelaku usaha sedikit lebih diuntungkan daripada posisi konsumen yang dapat mengakibatkan konsumen menjadi lebih lemah daripada pelaku usaha sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kerugian. Belum lagi e-commerce juga membawa beberapa tantangan yang berkaitan dengan hak-hak konsumen, privasi data pribadi, sistem keamanan, kualitas produk, dan penyelesaian sengketa. Upaya untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun, UUPK kurang relevan dan membutuhkan rekonstruksi mengingat timbulnya masalah-masalah baru dalam e-commerce dan financial technology khususnya dalam menangani penyelesaian sengketa dan perlindungan konsumen pada pihak ketiga. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di era digital menjadi tantangan besar sebab terdapat tumpang tindih kewenangan antarlembaga, khususnya BPSK dengan Kementerian Perdagangan RI. Hal ini dapat terjadi karena UUPK belum secara eksplisit mengatur tentang pembagian kewenangan antara BPSK dan Kementerian Perdagangan RI dalam penanganan sengketa konsumen dalam transaksi digital. Diperlukan penyempurnaan hak dan kewajiban serta tanggung jawab konsumen dan pelaku usaha sebagai langkah preventif dan memperjelas tanggung jawab pelaku usaha, juga mendorong penguatan kelembagaan yang berkorelasi dengan perlindungan konsumen.