Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Mediasi Sebagai Model Penyelesaian Masalah Masyarakat Oleh Kepala Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Hendrik; Bagio Kadaryanto; Irawan Harahap
Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Sosial Politik Vol. 1 No. 3 (2024): Januari - Maret
Publisher : CV. ITTC INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62379/jiksp.v1i3.545

Abstract

Penelitain ini bertolak dari adanya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur tentang Peran Kepala Desa dalam penyelesaian permasalahan di masyarakat yang diharapkan saat ini sehingga menuntut adanya solusi dalam mengatasi permasalahan yang terjadi agar dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkatnya guna menciptakan rasa aman dan kenyamanan dalam masyarakat desa itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi mediasi sebagai model penyelesaian masalah berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Hasil Pembahasan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan kepala desa dalam menjalankan hukum di desa adalah cara untuk mengontrol dan memperbaharui masyarakat desa. Pendekatan yang sah ini dijalankan dalam penerapan penyelesaian konflik oleh Kepala desa. Kepala Desa dalam menciptakan rasa aman dan tertib di masyarakat desa, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah, sehingga tidak semua masalah yang terjadi harus diselesaikan di pengadilan disebabkan adanya permasalahan yang dapat diselesaikan oleh Kepala Desa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Sebagai representasi dari Pasal 26 ayat 4 huruf k, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka Kepala Desa mempunyai kewajiban dalam menyelesaikan suatu perselisihan yang terjadi di masyarakatnya, salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan penyelesaian melalau jalur non litigasi dengan model mediasi.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEKERASAN DENGAN KORBAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Simpan Edy Saputra; Fahmi; Irawan Harahap
YUSTISI Vol 12 No 1 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i1.19069

Abstract

Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan pada anak adalah langkah negara untuk melindungi hak-hak anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini menegaskan hak anak untuk terlindungi dari kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi, serta memberikan sanksi berat bagi pelaku kekerasan. Selain memberikan efek jera, penegakan hukum juga bertujuan menjamin keadilan bagi korban serta memastikan pemulihan fisik, psikis, dan sosial anak korban kekerasan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaturan hukum hak anak di Indonesia dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diketahui bahwa meskipun UU ini memberikan dasar hukum yang kuat, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala. Faktor utama meliputi proses hukum yang sering berlarut-larut, kurangnya fasilitas pemulihan bagi korban, dan lemahnya penegakan hukum oleh aparat. Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan langkah strategis seperti peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, penyediaan layanan pemulihan yang komprehensif, serta edukasi masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Sinergi antara pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan keluarga menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman, ramah anak, dan menjamin kesejahteraan mereka di masa depan. Kata kunci: Penegakan Hukum, Kekerasan terhadap Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak.
PELAKSANAAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 63 TAHUN 2004 TENTANG PENGAMANAN OBYEK VITAL NEGARA PADA PT. PERTAMINA HULU ROKAN (PT PHR) OLEH DIREKTORAT PAM OBVIT POLDA RIAU Mohd. Hendy Wismar Syahputra; Irawan Harahap; Yelia Nathassa Winstar
YUSTISI Vol 12 No 1 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i1.19071

Abstract

Objek Vital Nasional (Obvitnas) adalah kawasan, bangunan, atau usaha strategis yang berkaitan dengan kepentingan negara dan hajat hidup masyarakat luas. Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan pengamanan Obvitnas, termasuk PT Pertamina Hulu Rokan (PT PHR) di Provinsi Riau. Penelitian ini bertujuan menganalisis pelaksanaan pengamanan Obvitnas di PT PHR oleh Direktorat Pam Obvit Polda Riau serta faktor penghambat efektivitasnya. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamanan di PT PHR dilakukan melalui kerja sama berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Pedoman Kerja Teknis. Pelaksanaan pengamanan mencakup penjagaan aset, operasional wilayah kerja, fasilitas produksi, dan patroli gabungan dengan pihak keamanan perusahaan. Meskipun pengamanan telah diupayakan secara maksimal, beberapa kendala tetap terjadi, seperti keterbatasan jumlah personel, luasnya wilayah pengamanan, serta minimnya sarana prasarana. Kasus pencurian dan perusakan masih ditemukan, yang juga dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat sekitar. Kesimpulannya, pengamanan Obvitnas di PT PHR memerlukan peningkatan sumber daya manusia dan sarana pendukung, serta sosialisasi hukum kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keamanan Obvitnas demi kepentingan bersama. Kata Kunci: Obvitnas, Ditpamovit, PHR.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEKERASAN DENGAN KORBAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Simpan Edy Saputra; Fahmi; Irawan Harahap
YUSTISI Vol 12 No 1 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i1.19069

Abstract

Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan pada anak adalah langkah negara untuk melindungi hak-hak anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini menegaskan hak anak untuk terlindungi dari kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi, serta memberikan sanksi berat bagi pelaku kekerasan. Selain memberikan efek jera, penegakan hukum juga bertujuan menjamin keadilan bagi korban serta memastikan pemulihan fisik, psikis, dan sosial anak korban kekerasan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaturan hukum hak anak di Indonesia dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diketahui bahwa meskipun UU ini memberikan dasar hukum yang kuat, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala. Faktor utama meliputi proses hukum yang sering berlarut-larut, kurangnya fasilitas pemulihan bagi korban, dan lemahnya penegakan hukum oleh aparat. Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan langkah strategis seperti peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, penyediaan layanan pemulihan yang komprehensif, serta edukasi masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Sinergi antara pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan keluarga menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman, ramah anak, dan menjamin kesejahteraan mereka di masa depan. Kata kunci: Penegakan Hukum, Kekerasan terhadap Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak.
PELAKSANAAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 63 TAHUN 2004 TENTANG PENGAMANAN OBYEK VITAL NEGARA PADA PT. PERTAMINA HULU ROKAN (PT PHR) OLEH DIREKTORAT PAM OBVIT POLDA RIAU Mohd. Hendy Wismar Syahputra; Irawan Harahap; Yelia Nathassa Winstar
YUSTISI Vol 12 No 1 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i1.19071

Abstract

Objek Vital Nasional (Obvitnas) adalah kawasan, bangunan, atau usaha strategis yang berkaitan dengan kepentingan negara dan hajat hidup masyarakat luas. Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan pengamanan Obvitnas, termasuk PT Pertamina Hulu Rokan (PT PHR) di Provinsi Riau. Penelitian ini bertujuan menganalisis pelaksanaan pengamanan Obvitnas di PT PHR oleh Direktorat Pam Obvit Polda Riau serta faktor penghambat efektivitasnya. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamanan di PT PHR dilakukan melalui kerja sama berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Pedoman Kerja Teknis. Pelaksanaan pengamanan mencakup penjagaan aset, operasional wilayah kerja, fasilitas produksi, dan patroli gabungan dengan pihak keamanan perusahaan. Meskipun pengamanan telah diupayakan secara maksimal, beberapa kendala tetap terjadi, seperti keterbatasan jumlah personel, luasnya wilayah pengamanan, serta minimnya sarana prasarana. Kasus pencurian dan perusakan masih ditemukan, yang juga dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat sekitar. Kesimpulannya, pengamanan Obvitnas di PT PHR memerlukan peningkatan sumber daya manusia dan sarana pendukung, serta sosialisasi hukum kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keamanan Obvitnas demi kepentingan bersama. Kata Kunci: Obvitnas, Ditpamovit, PHR.
PERKEMBANGAN PENGATURAN ANTI-SLAPP DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP MENURUT HUKUM INDONESIA Irawan Harahap; Pratiwi, Riantika
Jotika Research in Business Law Vol. 2 No. 2 (2023): Juli
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v2i2.96

Abstract

Di Indonesia, ketentuan mengenai Anti-SLAPP termuat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang dimaksudkan untuk melindungi para pembela lingkungan hidup dari tuntutan pidana dan gugatan perdata karena mengungkap pelanggaran hak atas lingkungan hidup. Anti-SLAPP hadir di Indonesia disebabkan adanya kasus-kasus yang terindikasi SLAPP yang terjadi di masyarakat. Bahkan setelah munculnya ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat, 146 pejuang lingkungan hidup telah dikriminalisasi sepanjang 2014-2019. Sehingga perlu adanya aturan yang lebih menjamin implementasi Anti-SLAPP di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep anti-SLAPP di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif. Hasil dari penelitian ini adalah Banyaknya bermunculan kasus-kasus yang terindikasi SLAPP di Indonesia menjadi alasan utama yang mendorong perkembangan regulasi anti-SLAPP di Indonesia untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pejuang hak atas lingkungan hidup. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Anti-SLAPP, sedangkan negara-negara lain telah memiliki aturan/undang-undang yang mengatur tentang Anti Slapp secara lengkap, sebagaimana halnya Negara Amerika Serikat, Kanada dan Filipina. Maka, Peraturan itu penting untuk melindungi aktivis lingkungan hidup dari segala ancaman khususnya ancaman kriminalisasi dan sebagai panduan bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kasus SLAPP di Indonesia.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PEMBAKARAN LAHAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Suriani Siboro; Irawan Harahap; Riantika Pratiwi
Jotika Research in Business Law Vol. 4 No. 1 (2025): Januari
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v4i1.170

Abstract

Berdasarkan Pasal 69 Ayat (1) Huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Metode penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis. Hasilnya bahwa penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan pada perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tidak berjalan optimal. Hambatan-hambatannya secara yuridis yaitu ketentuan Hukum Pidana yang mengatur mengenai tindak pidana pembakaran lahan pada perkebunan kelapa sawit hanya ditujukan untuk menghukum pelaku tindak pidana tersebut, bukan pemilik perkebunan kelapa sawit serta Penyidik dari Kepolisian kesulitan dalam mencari Saksi yang melihat langsung pelaku tindak pidana pembakaran lahan pada perkebunan kelapa sawit pada saat proses penyelidikan karena terjadi pada malam hari. Upaya yang dilakukan adalah Kepolisian Resort Indragiri Hulu melakukan penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku pembakaran lahan pada perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI KOTA PEKANBARU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN T., Jefri; Irawan Harahap; Yelia Nathassa Winstar
YUSTISI Vol 12 No 2 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i2.18819

Abstract

Bank perlu memastikan keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur melalui penilaian yang mendalam terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis, yang bertujuan mengkaji praktik hukum dalam konteks sosial yang nyata. Namun, pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian dalam pemberian kredit pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kota Pekanbaru masih menghadapi tantangan serius. Masih banyak kasus kredit macet yang merugikan bank, di mana debitur tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran angsuran secara tepat waktu. Kondisi usaha debitur yang tidak stabil menjadi salah satu penyebab utama terjadinya hal ini, sehingga meningkatkan risiko kredit macet yang berpengaruh negatif terhadap stabilitas keuangan bank. Oleh karena itu, penting bagi BPR untuk melakukan evaluasi yang lebih mendalam terhadap kondisi usaha nasabah debitur serta memperbaiki mekanisme penilaian risiko kredit agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kredit macet. Selain itu, BPR juga perlu meningkatkan komunikasi yang efektif dengan debitur untuk memastikan kelancaran pembayaran angsuran, serta menciptakan program yang dapat membantu debitur mengelola usahanya dengan lebih baik. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan perbankan dapat meningkat, sehingga menciptakan stabilitas yang lebih baik dalam pengelolaan kredit di masa depan.
PELAKSANAAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR. 63 TAHUN 2004 TENTANG PENGAMANAN OBYEK VITAL NEGARA PADA PT. PERTAMINA HULU ROKAN (PT. PHR) OLEH DIREKTORAT PAM OBVIT POLDA RIAU Mohd. Hendy Wismar Syahputra; Irawan Harahap; Yelia Nathassa Winstar
YUSTISI Vol 12 No 2 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i2.18904

Abstract

Objek Vital Nasional (Obvitnas) adalah kawasan, bangunan, atau usaha strategis yang berkaitan dengan kepentingan negara dan hajat hidup masyarakat luas. Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan pengamanan Obvitnas, termasuk PT Pertamina Hulu Rokan (PT PHR) di Provinsi Riau. Penelitian ini bertujuan menganalisis pelaksanaan pengamanan Obvitnas di PT PHR oleh Direktorat Pam Obvit Polda Riau serta faktor penghambat efektivitasnya. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamanan di PT PHR dilakukan melalui kerja sama berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Pedoman Kerja Teknis. Pelaksanaan pengamanan mencakup penjagaan aset, operasional wilayah kerja, fasilitas produksi, dan patroli gabungan dengan pihak keamanan perusahaan. Meskipun pengamanan telah diupayakan secara maksimal, beberapa kendala tetap terjadi, seperti keterbatasan jumlah personel, luasnya wilayah pengamanan, serta minimnya sarana prasarana. Kasus pencurian dan perusakan masih ditemukan, yang juga dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat sekitar. Kesimpulannya, pengamanan Obvitnas di PT PHR memerlukan peningkatan sumber daya manusia dan sarana pendukung, serta sosialisasi hukum kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keamanan Obvitnas demi kepentingan bersama.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL DALAM APLIKASI MICHAT DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH RIAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Dela Rahma Disa Lubis; Irawan Harahap; Bagio Kadaryanto
YUSTISI Vol 12 No 2 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i2.19062

Abstract

Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo. Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, mengatur adanya sanksi terhadap pelaku perdagangan orang. Tujuan penelitian ialah menganalisis penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual dalam aplikasi Michat di wilayah hukum Polda Riau berdasarkan regulasi itu; Untuk menganalisis hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam penegakan hukum tersebut. Metode penelitiaan yaitu penelitian hukum sosiologis, pendekatan perundang–undangan, kasus dan analitis; lokasi penelitian yaitu Polda Riau; populasi dan sampel dari narasumber–narasumber relevan; sumber data ialah primer, sekunder dan tersier; teknik pengumpulan data ialah observasi, wawancara terstruktur dan studi dokumen/kepustakaan; analisis datanya kualitatif dengan kesimpulan: induktif. Hasil penelitian yaitu penegakan hukumnya di wilayah hukum Polda Riau belum terlaksana dengan baik. Kesimpulannya yaitu Pertama, penegakan hukum terrhadap pelaku kejahatan seksual dalam aplikasi Michat di wilayah hukum Polda Riau berdasarkan regulasi itu belum terlaksana dengan baik disebabkan terhadap kasus yang terjadi tahun 2021 sampai 2023 masih terjadi hambatan penegakan hukum. Kedua, hambatan penegakan hukumnya ialah Faktor perundang-undangan, upaya mengatasi hambatan ini ialah melakukan usulan perubahan Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO supaya juga diatur larangan dan sanksi bagi PSK dan para pengguna jasa layanannya. Faktor aparat penegak hukum, upaya mengatasi hambatan ini ialah menambah jumlah anggota Unit ini; dilaksanakan Dikjur bagi penyidik Unit TPPO Dit Reskrium Polda Riau. Faktor sarana/fasilitas upaya mengatasi hambatan ini ialah mengajukan kenaikan jumlah anggaran; pemerintah memblokir aplikasi ini. Faktor masyarakat, upaya mengatasi hambatan ini ialah Dit Reskrimum Polda Riau melakukan kerjasama dengan tempat-tempat tersebut; pelaku kooperatif, menyerahkan diri serta mengikuti proses hukum; upaya mengatasi hambatan ini ialah Polda Riau melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat.