Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMIDANAAN BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DENGAN PASAL 112 UU NO 35 TAHUN 2009 DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 127 UNTUK PENYALAHGUNA DAN KETENTUAN REHABILITASI (Analisa Putusan Nomor. 2106/Pid.Sus/ 2018/PNTng ) Sindian Wicaksono Surya Oktarina
Rechtsregel : Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 2 (2019): Rechtsregel : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.435 KB) | DOI: 10.32493/rjih.v2i2.4421

Abstract

Narkotika merupakan “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman – baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi akal sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Penyalahgunaan narkotika telah lama menjadi masalah serius diberbagai Negara. Pemidanaan penyalahguna narkotika dengan pidana penjara merupakan suatu penegakan hukum yang tidak berkeadilan, pelaku penyalahguna narkotika dapat dikatakan sebagai orang yang sakit dan sangat tidak bijaksana ketika orang mencampurkan orang yang sakit dengan pelaku tindak pidana yang lain. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan metode yuridis-normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah Yuridis Normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwasanya seorang penyalahguna Narkotika di seharusnya tempatkan dalam lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan medis maupun sosial dan dalam penelitian ini akan mengkaji tentang pertimbangan hakim dalam memutus perkara dengan nomor perkara 2106/Pid.Sus/2018/PNTng dengan memberikan Terdakwa putusan pemidanaan murni tanpa adanya putusan untuk mendapatkan hak rehabilitasi ataupun pemulihan baik secara fisik ataupun sosial bagi seorang pengguna narkotika dan apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dan memiliki unsur keadilan, selain itu juga penulis akan mengkaji penggunaan pasal 112 UU No 35 Tahun 2009 yang tidak memiliki unsur dari kepastian hukum karena dalam unsur-unsur pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci dan jelas penerapan pidana ditujukan kepada siapa pengguna ataupun pengedar karena sejatinya pengguna dan pemakai tidak bisa disamakan dalam hal pemidanaan, selain daripada pasal tersebut penulis juga mencoba untuk mengkaji ketentuan-ketentuan yang ada terkait rehabilitasi bagi setiap pecandu narkotika. 
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN CAMPURAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMADI TINJAU UNDANG –UNDANG NO. 16 TAHUN 2019 TENGANG PERKAWINAN Hj. Nur Sa’adah; Hj. Sri Siti Munalar; Surya Oktarina; Halimah Humayrah Tuanaya; Ervianto Braviaji
Abdi Laksana : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 2, No 1 (2021): Edisi Januari
Publisher : LPPM Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/al-jpkm.v2i1.8782

Abstract

Pemahaman mengenai perkawinan campuran dan perkawinan beda agama dilingkungan Kelurahan Setu Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan dilakukan oleh Tim PKM S1 Ilmu hukum Universitas Pamulang yang merupakan implikasi dari progaram tridarma pergutuan tinggi. Metode pelaksanaan pengabdian ini dilakukan dalam beberapa kegiatan yaitu tahap pertama survei yaitu sosialisasi dilakukan dengan menyusun berbagai hal yang akan disampaikan pada saat kegiatan pengabdian. Pemahaman mengenai perkawinan campuran dan beda agama. Tujuan utama dari Tim PKM S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang yakni: (1) Untuk mengetahui keabsahan dari perkawina campuran ditinjau dari Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan (2) Untuk mengetahui keabsahan dari perkawinan beda agama ditinjau dari Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah : Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 (Pasal 59 ayat 1) Yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang perkawinan ini. Kawin beda agama menurut hukum Indonesia, pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum.Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Hal ini berarti Undang-Undang Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama. Mahkamah menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, saat membacakan putusan bernomor 68/PUU-XII/2014 di MK.Kata Kunci : hukum perkwinan, campuran, beda agama
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN MOBIL YANG MENJADI JAMINAN LEASING PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN DITINJAU DARI PASAL 372 DAN PASAL 64 Ayat 1 KUHP” (Studi Kasus Putusan No. 345/Pid.B/2014/PN.Dpk) Surya Oktarina
Jurnal Surya Kencana Dua : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol 3, No 1 (2016): Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum & Keadilan
Publisher : Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.546 KB) | DOI: 10.32493/SKD.v3i1.y2016.124

Abstract

The number of cases of embezzlement of cars that occurred in the city of Depok by the buyer (lender) is detrimental for the leasing. Being thought of now is by increasing criminal acts of embezzlement of leasing cars as collateral. With the loss of the insurer by the actions of car buyers who commit fraud, another problem is the difficulty of law enforcement agencies in dealing with such cases. This is because the initial reporting by the injured party is a matter of civil law that they are due to violation of the treaty agreed, but with the embezzlement of objects that are still in power and the property of another person or institution that is based on the legal entity making the case bias, due to a shift in of civil law into criminal law offenses. In principle the sale of cars based on the agreement between the creditor and the pembiayaa by deed of sale where in this deed creditors have the right to goods in control, but the goods are still wholly owned by the guarantor.Keywords: Crime, Fraud, Security Leasing
Keharusan Baralek Sebagai Syarat Akad Pernikahan Dalam Masyarakat Nagari Sungai Nanam Kab. Solok Silfi Oktarina Suryani; Yasrul Huda; Hamda Sulfinadia
JURNAL ILMIAH RESEARCH AND DEVELOPMENT STUDENT Vol. 2 No. 2 (2024): Juni
Publisher : CV. ALIM'SPUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59024/jis.v2i2.743

Abstract

Abstract. Abstract. The research objective in this study is to look at community customs in maintaining the baralek tradition so that the implementation of baralek is used as a condition for marriage contracts in the Sungai Nanam community, Lembah Gumanti District, Solok Regency. Formulation of the problem of how the baralek process is carried out and looking at the necessity of baralek and looking at the impact of Islamic law on the necessity of baralek in the Sungai Nanam community, Lembah Gumanti District, Solok Regency. Type of field research (field research. Data collection techniques through observation, interviews and documentation. The results of this research are: first, the procession for implementing the baralek obligation in the Sungai Nanam community was initially carried out with manyilau, after that the procession of proposing marriage, mahanta siriah, balatak tando, new marriage contract Entering the baralek procession, the factors that require the implementation of baralek are customs, social status, economics and education. According to traditional Islamic law, the requirement to carry out baralek as a condition of the marriage contract in the Nanam River community is included in the category that is more detrimental because after the implementation of baralek there is a debt that must be incurred. paid by the family and the bride and groom can be classified as 'urf-fasid if it is done excessively.
Subtitusi Teori dalam Hukum Pidana Indonesia dengan Perspektif Hukum Pidana Modern dan Humaniti Sesuai Kultur Pancasila Oktarina, Surya; Taufiqurrahman, Mohamad; Nasution, M Yamin
PUSKAPSI Law Review Vol 3 No 1 (2023): June 2023
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/puskapsi.v3i1.38400

Abstract

Mendekati satu abad Indonesia merdeka, namun tidak serta merta dapat melahirkan hukum yang memberikan solusi bagi isu-isu hukum yang ada. Banyak para ahli hukum melakukan perbandingan hukum hingga ke universitas internasional dengan tujuan menemukan deontologis hukum yang lebih baik, sehingga dapat menemukan ontologis lebih baik. Kalangan ahli hukum pidana Indonesia sepakat bahwa hukum pidana saat ini adalah warisan dari kolonial Belanda, namun faktanya lebih dari itu, bahwa ada dua lipatan ruh hukum penjajah yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam hukum pidana Indonesia. Permasalahan yang tedapat dalam penelitian ini ialah : Apakah sistem hukum pidana dengan nas teologi nasrani, dimana dalam sejarahnya digunakan dari Era Romawi, Prancis, Belanda, Inggris (common law), kembali ke Belanda yang kemudian kembali lagi paska 1811-1816, dan diterapkan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang mayoritas masyarakat muslim sejalan?, Apakah asas hukum dalam hukum pidana saat ini dan KUHPidana baru berubah dengan menggunakan asas hukum Indonesia Pancasila, atau apakah KUHPidana baru tetap memiliki asas-asas hukum nasional atau asas Pancasila?, dan Apakah Subtitusi Teori yang kami ajukan tepat untuk mengghapus sistem hukum pidana yang notabene memiliki dua, bahkan tiga lipat karakteristik penjajah akan memberikan solusi bagi kehidupan baru berbangsa dan bernegara sehingga membentuk kultur masyarakat yang lebih harmonis?. Metode penelitian yang kami gunakan melalui pendekatan kualitatif dengan data sekunder (library research), dengan teknik pengumpulan literature tua dari tulisan -tulisan para ahli hukum terdahulu, dimana mayoritas Professor hukum Indonesia merujuk pada ahli-ahli yang kami jadi. Hukum pidana memiliki multi fungsi, selain menghukum, fungsi lainnya adalah mencegak sebuah tindak Pidana baru. Dapat kita bayangkan bagaimana penegakan keadilan selama Indonesia merdeka dimungkinkan melanggar hukum. Hukum Pidana harus menemukan formulasi yang jauh lebih baik sehingga hukum dapat melahirkan keadilan, berkemanfaatan yang besar bagi negara dan masyarakat yang dapat digunakan dan bertahan untuk masa yang panjang,serta mampu membentuk kultur sosial yang sesuai pancasila, yaitu persatuan. Subtitusi Teori adalah penggunaan unsur teologi gabungan antara teologi islam dan nasrani, yang merujuk pada Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk, modern, dengan paradigma negara simbiotik.
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN CAMPURAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMADI TINJAU UNDANG –UNDANG NO. 16 TAHUN 2019 TENGANG PERKAWINAN Sa’adah, Hj. Nur; Munalar, Hj. Sri Siti; Oktarina, Surya; Tuanaya, Halimah Humayrah; Braviaji, Ervianto
Abdi Laksana : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 2 No 1 (2021): Abdi Laksana : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : LPPM Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/al-jpkm.v2i1.8782

Abstract

Pemahaman mengenai perkawinan campuran dan perkawinan beda agama dilingkungan Kelurahan Setu Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan dilakukan oleh Tim PKM S1 Ilmu hukum Universitas Pamulang yang merupakan implikasi dari progaram tridarma pergutuan tinggi. Metode pelaksanaan pengabdian ini dilakukan dalam beberapa kegiatan yaitu tahap pertama survei yaitu sosialisasi dilakukan dengan menyusun berbagai hal yang akan disampaikan pada saat kegiatan pengabdian. Pemahaman mengenai perkawinan campuran dan beda agama. Tujuan utama dari Tim PKM S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang yakni: (1) Untuk mengetahui keabsahan dari perkawina campuran ditinjau dari Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan (2) Untuk mengetahui keabsahan dari perkawinan beda agama ditinjau dari Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah : Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 (Pasal 59 ayat 1) Yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang perkawinan ini. Kawin beda agama menurut hukum Indonesia, pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum.Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Hal ini berarti Undang-Undang Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama. Mahkamah menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, saat membacakan putusan bernomor 68/PUU-XII/2014 di MK.
Penerapan Sanksi Pidana Bagi Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisa Putusan Nomor: 4109 K/Pid.Sus/2020) Waldo, Risky; Oktarina, Surya
Rechtsregel : Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 2 (2024): Rechtsregel : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/rjih.v7i2.45856

Abstract

Penyalahgunaan Narkotika adalah salah satu bahaya yang paling besar mengancam generasi muda bukan di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Penggunaan Narkotika di bidang Kedokteran dan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan memang dapat dinikmati manfaatnya oleh para ilmuan yang propesional. Semakin banyaknya penggunaan obat tersebut di bidang kemanusiaan dan kemaslahatan umat di barengi dengan pengunaan untuk keperluan yang cenderung distruktif. Sehingga dalam hal ini telah terjadi penyalahgunaan terhadap Narkotika, namun pada Penelitian ini berfokus pada analisis mendalam mengenai penerapan sanksi Pidana terhadap penyalahguna Narkotika, yang terwakili dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4109 K/Pid.Sus/2020. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi seberapa tepat penerapan unsur-unsur Pidana sesuai dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam kasus yang diadili, serta untuk menggali lebih dalam pertimbangan Hakim dalam memutuskan sanksi bagi pelaku yang terlibat. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif yang melibatkan studi literatur terhadap bahan Hukum Primer, Sekunder, dan Tersier. Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya sejumlah ketidak tepatan dalam penerapan Pasal oleh Hakim, terutama dalam klasifikasi perbuatan pelaku yang seharusnya dipertimbangkan sebagai penyalahguna Narkotika, namun dalam Putusan tersebut, pelaku dihukum seolah-olah sebagai pemilik dan penyimpan Narkotika. Penelitian ini mengungkap bahwa terdapat kekurangan dalam penerapan hukum yang dapat berdampak pada kesesuaian sanksi Pidana dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, sehingga berimplikasi pada penegakan hukum yang lebih adil dan konsisten. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan teori Hukum Pidana serta sebagai referensi praktis bagi Praktisi Hukum, Hakim, dan pembuat kebijakan dalam penegakan hukum terkait kasus penyalahgunaan Narkotika. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan penting dalam memperbaiki dan meningkatkan efektivitas penerapan sanksi Pidana dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia, serta mendukung reformasi yang lebih menyeluruh dalam sistem Peradilan Narkotika.
The Existence of the Death Penalty Sanction for Narcotics Criminal Acts Following the Enactment of Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code Oktarina, Surya
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 23 No. 002 (2024): Pena Justisia (Special Issue)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v23i3.5388

Abstract

The enactment of Law Number 35 of 2009 on Narcotics introduced provisions imposing the death penalty for certain offences, while Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code (KUHP) also regulates narcotics-related crimes under Articles 609, 610, and 611, with Article 610(2)(a) and (b) specifying the death penalty. This creates a conflict between the Narcotics Law, as a lex specialis, and the new Criminal Code, raising questions about the continued application of the death penalty for narcotics cases. Using a sociological and juridical-empirical approach, this research analyses the issue through the legal responsibility theory (grand theory), penal objectives theory (middle range theory), and applied theories of legal effectiveness, legal certainty, and criminal law politics. The findings reveal that the death penalty remains part of Indonesia's narcotics eradication strategy, aimed at deterrence, despite human rights concerns. Under Article 100 of the new Criminal Code, the death penalty is now an alternative sanction with a 10-year probation period, during which good behaviour may lead to commutation to life imprisonment by presidential decree. However, ambiguities exist regarding the authority to assess behaviour and the probation period’s alignment with criminal justice objectives, especially as narcotics trafficking remains a severe issue. The study concludes that the death penalty still exists but recommends harmonising the Narcotics Law and the Criminal Code to ensure legal certainty in its implementation.
Penerapan Pidana Adat Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Nasional Nomor. 1 Tahun 2023 Imron, Ali; Faisal, Fedhli; Oktarina, Surya; Suhendar
Edusight Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol. 2 No. 4 (2025): Edusight Jurnal Pengabdian Masyarakat
Publisher : Yayasan Meira Visi Persada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69726/edujpm.v2i4.211

Abstract

Pada konteks Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana sanksi pidana adat diberlakukan. Untuk mengatur tindak pidana di seluruh negara, hukum pidana nasional digunakan. Dengan berbagai norma dan ketentuan yang mengatur konsekuensi dari pelanggaran hukum, KUHP berfungsi sebagai pilar utama sistem hukum pidana negara. Penelitian hukum normatif ini menggunakan studi kepustakaan. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan serta menganalisis fenomena hukum secara menyeluruh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, walaupun hukum pidana adat dianggap hal penting dari peninggalan budaya dan identitas daerah, ia berada di posisi yang relatif terpisah dari hukum pidana nasional dan mengalami perubahan yang signifikan dan kompleks sebagai akibat dari berbagai strategi dan kebijakan hukum yang diterapkan oleh negara