LINGGAWAN, STEPHANI
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Mometasone furoate topikal menurunkan kadar IL3, IL9-serum dan jumlah eosinofil mukosa hidung penderita rinitis alergi Agus Kurniawan; Stephani Linggawan; Endang Retnoningsih; Rus Suheryanto; Edi Handoko; Soehartono Soehartono
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 43, No 2 (2013): Volume 43, No. 2 July - December 2013
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.585 KB) | DOI: 10.32637/orli.v43i2.70

Abstract

Latar belakang: Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa hidung yang diperantarai oleh IgE, sering berhubungan dengan banyak ko-morbid dan berdampak pada kualitas hidup. Interleukin (IL)3 dan IL9 berperan dalam proses pembentukan eosinofil, sedangkan eosinofil diketahui berperan penting dalam menyebabkan keluhan hidung buntu dan kerusakan epitel mukosa hidung penderita rinitis alergi. Mometasone furoate merupakan kortikosteroid topikal generasi terbaru yang jarang menyebabkan efek samping.Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui perubahan kadar IL3, IL9-serum, dan jumlah eosinofil mukosa hidung sesudah pemberian semprot hidung mometasone furoate pada penderita rinitis alergi. Metode: Penelitian observasional analitik ini melibatkan 38 penderita rinitis alergi yang diberi semprot hidung mometasone furoate selama 2 minggu dengan dosis 200 µg/hari. Kadar IL3, IL9-serum, dan jumlah eosinofil mukosa hidung diukur sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil: Data dianalisis dengan uji t-berpasangan dan uji Wilcoxon. Kadar IL3, IL9-serum, dan jumlah eosinofil mukosa hidung menurun secara bermakna (p <0,001) sesudah pemberian mometasone furoate topikal selama 2 minggu. Kesimpulan: Mometasone furoate semprot hidung terbukti berpengaruh terhadap penurunan kadar IL3, IL9-serum, dan jumlah eosinofil mukosa hidung pada penderita rinitis alergi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui pengaruh mometasone furoate topikal terhadap sitokin lain yang berperan pada rinitis alergi, pengukuran kadar IL3 dan IL9-mukosa hidung, dan hubungan kadar IL3 dan IL9-mukosa hidung dengan IL3 dan IL9-serum.Kata kunci: Rinitis alergi, IL3, IL9, eosinofil, mometasone furoate.
Midline Granuloma Stephani Linggawan
HANG TUAH MEDICAL JOURNAL Vol 15 No 1 (2017): Hang Tuah Medical Journal
Publisher : Universitas Hang Tuah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30649/htmj.v15i1.24

Abstract

Midline granuloma atau nasal type extranodal T/NK-cell non-Hodgkin’s lymphoma sering menimbulkan berbagai permasalahan. Tumor ini merupakan kelainan bagian tengah wajah dengan ciri khas destruksi dan ulserasi yang progresif, meliputi hidung, sinus paranasal, palatum, mata, serta jaringan lunak wajah. Etiologi dan patofisiologi belum jelas antara reaksi radang dan tumor. Midline granuloma termasuk dalam penyakit granuloma hidung berdasarkan pemeriksaan biopsi, sedangkan The Revised European American Lymphoma (REAL) / World Health Organization (WHO) mengelompokkan midline granuloma dalam extranodal T/NK-cellnon-Hodgkin’s lymphoma berdasarkan pemeriksaan imunohistologi. Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) 90-100% terlibat dalam proses pembentukan tumor. Diagnosis sulit dan diagnosis banding luas, sehingga diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang lengkap, terutama biopsi, imunohistologi, dan sitogenetik didapatkan gambaran nekrosis disertai destruksi dan ulserasi pembuluh darah, radang dengan infiltrat sel pleomorfik, CD56+, CD3+, protein sitotoksik+, dan EBV+. Penatalaksanaan dengan radioterapi, kemoterapi, transplantasi sumsum tulang, dan imunoterapi. Komplikasi dapat terjadi lokal maupun sistemik dengan penyebaran ke sirkulasi darah tepi, jaringan lunak, paru-paru, hati, kulit, saluran pencernaan, testis, saraf pusat, dan sumsum tulang. Prognosis buruk, hanya kurang dari 50% penderita yang berespon lengkap setelah kemoterapi dan radioterapi. Prognosis dapat dinilai dengan International Prognostic Index (IPI). Simpulan: Diagnosis Midline granuloma sulit, penatalaksanaan sering terlambat, sedangkan sifatnya yang progresif menimbulkan berbagai komplikasi, sehingga semakin memperburuk prognosis.
Epistaxis as The Initial Presentation of Primary Sjögren Syndrome: A Case Report Stephani Linggawan; Eric Satrio Adi Prabowo; Catherine Keiko Gunawan; Budiono Raharjo; Anton Sumarpo
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Vol 14, No 1 (2025): EDISI MARET 2025
Publisher : Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/jikw.v14i1.4249

Abstract

Background: Primary Sjögren syndrome is chronic systemic autoimmune disorder characterized by lymphocytic infiltration of the exocrine glands, most commonly presenting with dryness of the mouth and eyes. This case is very rare, which the antibody in the Sjogren's syndrome case concerns platelets. Objective: This case report emphasizes the occurrence of epistaxis in Sjögren Syndrome. Case Presentation: This case describes a 30-year-old male presenting with recurrent epistaxis as the initial clinical manifestation. Further clinical evaluation revealed hypertensive crisis and dryness in the mouth and nasal mucosa. The clinical presentation raised suspicion of an underlying autoimmune condition, prompting further testing, which confirmed the presence of anti -Sjögren’s syndrome type B (SSB) antibodies on an antinuclear antibody (ANA) profile.  Result: The criteria for Sjogren's syndrome are based on the criteria if eye and mouth symptoms, eye and mouth clinical signs, and one of autoantibodies are found Anti-Ro (SSA), Anti-La (SSB), Antinuclear antibodies (ANA), Rheumatoid factor (RF). From this case has found symptoms of mouth and antibodies SSB. Conclusion: This case highlights that epistaxis can be caused by autoimmune cases, for epistaxis it is better to do screening for autoimmune examination test, emphasizing the need for further research to elucidate the diverse clinical manifestation, progression and prognosis factor.
Analisis Rasio Monosit terhadap Limfosit pada Penderita Osteoartritis di Surabaya Efawati, Susi; Ngibad, Khoirul; Raharjo, Budiono; Linggawan, Stephani; Sumarpo, Anton
MAHESA : Malahayati Health Student Journal Vol 5, No 5 (2025): Volume 5 Nomor 5 (2025)
Publisher : Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/mahesa.v5i5.17922

Abstract

ABSTRACT Osteoarthritis is a degenerative joint disease characterized by progressive erosion of articular cartilage components. The known pathogenesis of osteoarthritis mainly includes immunological, bone metabolism, and biomechanical factors. Lymphocytes and monocytes are key regulatory cells for innate and acquired immunity, and monocyte-to-lymphocyte ratio may describe the immune status in osteoarthritis patients. This study aims to analyze the monocyte-to-lymphocyte ratio in osteoarthritis patients in Surabaya. This is an analytical observational research with a cross-sectional approach. The study was conducted in March - June 2024. The population in this study were osteoarthritis patients at Mitra Keluarga Hospital, Surabaya. The number of samples taken using the purposive sampling technique for this study was 31 people. The results showed that the average monocyte-to-lymphocyte ratio in osteoarthritis patients was 2.04. Meanwhile, the average monocyte-to-lymphocyte ratio in control subjects was 0.22. There was a significant difference in the monocyte-to-lymphocyte ratio between osteoarthritis patients compared to the control group. Keywords: Monocyte-To-Lymphocyte Ratio, Osteoarthritis, Joints  ABSTRAK Osteoartritis merupakan salah satu penyakit degeneratif pada sendi yang ditandai dengan erosi komponen kartilago artikular secara progresif. Patogenesis osteoartritis yang diketahui terutama mencakup faktor imunologi, metabolisme tulang, dan biomekanik. Limfosit dan monosit adalah sel kunci untuk imunitas bawaan dan didapat, dan rasio monosit terhadap limfosit menggambarkan status imunitas pada penderita osteoartritis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rasio monosit terhadap limfosit pada penderita osteoartritis di Surabaya. Penelitian ini dilakukan dengan metode analitik observasional dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Maret - Juni 2024. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien osteoartritis di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Surabaya. Jumlah sampel yang diambil dengan teknik purposive sampling untuk penelitian ini adalah sebanyak 31 orang. Hasil penelitian didapatkan rata-rata rasio monosit terhadap limfosit penderita osteoartritis sebesar 2,04 sedangkan rata-rata rasio monosit limfosit pasien kontrol adalah sebesar 0,22. Terdapat perbedaan yang signifikan pada rasio monosit terhadap limfosit antara penderita osteoarthritis dibandingkan dengan populasi kontrol. Kata Kunci: Rasio Monosit Terhadap Limfosit, Osteoartritis, Sendi
Hubungan Karakteristik Kanker Kolorektal dan Jenis Terapinya dengan Masa Survival Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk Fitrianto, Muhammad Rizki; Hernanda, PratikaYuhyi; Sugeng, Maria Widjianti; Raharjo, Budiono; Linggawan, Stephani; Sumarpo, Anton
MAHESA : Malahayati Health Student Journal Vol 5, No 6 (2025): Volume 5 Nomor 6 (2025)
Publisher : Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/mahesa.v5i6.18564

Abstract

ABSTRACT Colorectal cancer survival refers to the prognosis of patients following a diagnosis of the disease. Various factors contribute to the survival outcomes of individuals diagnosed with colorectal cancer, including tumor characteristics—such as the tumor's location and stage—as well as the type of therapeutic interventions administered. This study aims to investigate the relationship between the characteristics of colorectal cancer, the therapeutic approaches employed, and patient survival rates at Nganjuk General Hospital. This study employed a retrospective design with a cross-sectional approach, focusing on patients diagnosed with colorectal cancer at Nganjuk General Hospital in Surabaya over the period from 2019 to 2024. The analysis of the associations among colorectal cancer metastasis, tumor location, and chemotherapy type with patient survival duration revealed the following p-values: 0.122 for the relationship between metastasis and survival period, 0.268 for the association between tumor location and survival, and 0.210 for the correlation between chemotherapy type and survival time. Our findings indicate that there is no significant association between the characteristics of colorectal cancer, the type of therapy administered, and the survival duration of patients treated at RSUD Nganjuk. Keywords: Colorectal Cancer, Patient Survival, Therapeutic Intervention  ABSTRAK Keberlangsungan hidup (survival) pada pasien dengan kanker kolorektal berkaitan erat dengan prognosis pasien dan waktu saat terdiagnosis (time-to-diagnosis). Berbagai faktor berkontribusi terhadap hasil kelangsungan hidup individu yang didiagnosis dengan kanker kolorektal, termasuk karakteristik tumor—seperti lokasi dan stadium tumor—serta jenis intervensi terapeutik yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara karakteristik kanker kolorektal, pendekatan terapeutik yang digunakan, dan tingkat kelangsungan hidup pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nganjuk. Penelitian ini menggunakan desain retrospektif dengan pendekatan cross-sectional. Subjek penelitian yang digunakan adalah pasien yang didiagnosis dengan kanker kolorektal di RSUD Nganjuk di Surabaya selama periode 2019 hingga 2024. Hubungan antara metastasis kanker kolorektal, lokasi tumor, dan jenis kemoterapi terhadap durasi kelangsungan hidup pasien menunjukkan nilai p sebagai berikut: 0,122 untuk hubungan antara metastasis dan periode kelangsungan hidup, 0,268 untuk asosiasi antara lokasi tumor dan kelangsungan hidup, serta 0,210 untuk korelasi antara jenis kemoterapi dan waktu kelangsungan hidup. Penelitian kami menunjukkan bahwa tidak ada asosiasi yang signifikan antara karakteristik kanker kolorektal, jenis terapi yang diberikan, dan durasi kelangsungan hidup pasien yang dirawat di RSUD Nganjuk. Kata Kunci: Kanker Kolorektal, Keberlangsungan Hidup, Intervensi Terapeutik
Hubungan rasio monosit/high density lipoprotein (HDL) dengan indeks massa tubuh pada pasien dengan penyakit jantung koroner Raharjo, Budiono; Kurniawati, Renny; Wijayanti, Christina Destri Wiwis; Linggawan, Stephani; Sumarpo, Anton; Bintoro, Siprianus Ugroseno Yudho
Holistik Jurnal Kesehatan Vol. 19 No. 2 (2025): Volume 19 Nomor 2
Publisher : Program Studi Ilmu Keperawatan-fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/hjk.v19i2.651

Abstract

Background: The incidence of coronary heart disease continues to increase every year. The monocyte/high density lipoprotein (HDL) ratio has recently been proposed as a new predictor and prognostic indicator in cardiovascular disease. Obesity is one of the risk factors for coronary heart disease that can be measured using body mass index (BMI). Purpose: To determine the relationship between the monocyte/high density lipoprotein (HDL) ratio and body mass index (BMI) in patients with coronary heart disease. Method: This observational analytical study with a cross-sectional approach used research subjects with coronary heart disease at Mitra Keluarga Hospital, Waru during the period of January 2023 - January 2024. The sample in this study was taken by purposive sampling. The correlation test of the monocyte/high density lipoprotein (HDL) ratio with body mass index (BMI) was carried out using SPSS software version 29. Results: Body mass index in coronary heart patients was found that most patients were included in the type I obesity category as many as 9 people (30%). The monocyte/HDL ratio in coronary heart patients was found to be an average of 20.28. Conclusion: There is no significant relationship between the monocyte/HDL ratio and BMI in coronary heart patients. Suggestion: Further researchers can conduct similar research in hospital institutions with a larger sample size.   Keywords: Body Mass Index; High Density Lipoprotein; Monocyte.   Pendahuluan: Penyakit jantung koroner terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Rasio monosit/high density lipoprotein (HDL), baru-baru ini diusulkan sebagai prediktor dan indikator prognosis baru pada penyakit kardiovaskular. Obesitas merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner yang dapat diukur menggunakan indeks massa tubuh (IMT). Tujuan: Untuk mengetahui hubungan rasio monosit/high density lipoprotein (HDL) dengan indeks massa tubuh (IMT) pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Metode: Penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional ini menggunakan subjek penelitian dengan penyakit jantung koroner di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Waru selama rentang waktu bulan Januari 2023 – Januari 2024. Sampel dalam penelitian ini diambil secara purposive sampling. Uji korelasi rasio monosit/high density lipoprotein (HDL) dengan indeks massa tubuh (IMT) dilakukan dengan piranti lunak SPSS versi 29. Hasil: Indeks massa tubuh pada pasien jantung koroner didapatkan sebagian besar pasien termasuk dalam kategori obesitas tipe I sebanyak 9 orang (30%). Rasio monosit/HDL pada pasien jantung koroner didapatkan rata-rata sebesar 20.28. Simpulan: Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara rasio monosit/HDL dengan IMT pasien jantung koroner. Saran: Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian serupa pada instansi rumah sakit dengan jumlah sampel yang lebih besar.   Kata Kunci: High Density Lipoprotein; Indeks Massa Tubuh; Monosit.
Gambaran fragmented red blood cell pada pasien dengan anemia defisiensi besi Raharjo, Budiono; Nastietie, Arinda Rindang; Linggawan, Stephani; Sumarpo, Anton
Holistik Jurnal Kesehatan Vol. 19 No. 3 (2025): Volume 19 Nomor 3
Publisher : Program Studi Ilmu Keperawatan-fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/hjk.v19i3.652

Abstract

Background: Morphological abnormalities of erythrocytes in the form of fragmented red blood cells (schistocytes) are fragments of erythrocytes that have various shapes and are smaller than normal erythrocytes. In iron deficiency anemia, fragmented red blood cells are the result of oxidative stress conditions in the body, which triggers erythrocytes to be damaged or ruptured. Iron deficiency anemia occurs at all stages of the life cycle, but is more common in pregnant women and young children. The highest prevalence is between the ages of 12-15 years when needs are at their peak. In all Member States of the Southeast Asia Region, except Thailand, more than 25% of adolescent girls are reported to have anemia; in some countries the prevalence reaches 50%. Purpose: To determine the picture of fragmented red blood cells in patients with iron deficiency anemia. Method: This quantitative analytical descriptive study used iron deficiency anemia subjects and normal subjects at Mitra Keluarga Waru Hospital in 2020. Sampling used a quota sampling technique of 52 respondents. The inclusion criteria included all iron deficiency anemia patients, while the exclusion criteria included all diseases other than iron deficiency anemia and all iron deficiency anemia patients who did not have complete medical records. Data processing was carried out using Microsoft Excel software. Results: The average age of iron deficiency anemia respondents was 41.71 years with a standard deviation of 16.05 in the age range of 18-80 years and most of the iron deficiency anemia respondents were female, namely 45 (86.5%). The average level of fragmented red blood cells in iron deficiency anemia patients was 2.74% (1.11-20.40%). Conclusion: The incidence of iron deficiency anemia tends to occur in women at the age of ≥30 years with an average proportion of fragmented red blood cells in iron deficiency anemia patients higher than normal patients. Suggestion: Further researchers can conduct similar studies with a larger sample size and compare the factors causing red blood cell fragmentation in patients with iron deficiency anemia.   Keywords: Fragmented Red Blood Cells; Iron Deficiency Anemia; Oxidative Stress.   Pendahuluan: Kelainan morfologi eritrosit berupa fragmented red blood cell (skistosit) merupakan pecahan dari eritrosit yang memiliki beragam bentuk dan lebih kecil dari eritrosit normal. Pada anemia defisiensi besi, fragmented red blood cell merupakan akibat dari adanya kondisi stres oksidatif pada tubuh, sehingga memicu eritrosit mengalami kerusakan atau pecah. Anemia defisiensi besi terjadi pada semua tahap siklus hidup, tetapi lebih umum terjadi pada wanita hamil dan anak-anak kecil. Prevalensi tertinggi adalah antara usia 12-15 tahun ketika kebutuhan berada pada puncaknya. Di semua negara anggota wilayah Asia Tenggara, kecuali Thailand, lebih dari 25% gadis remaja dilaporkan mengalami anemia da di beberapa negara prevalensinya mencapai 50%. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran fragmented red blood cell pada pasien anemia defisiensi besi. Metode: Penelitian deskriptif analitik kuantitatif ini menggunakan subjek dengan anemia defisiensi besi dan normal di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Waru pada tahun 2020. Pengumpuln sampel menggunakan teknik quota sampling sebanyak 52 responden. Kriteria inklusi meliputi semua pasien dengan anemia defisiensi besi, sedangkan kriteria eksklusi meliputi semua penyakit yang bukan penyakit anemia defisiensi besi dan semua penderita anemia defisiensi besi yang tidak memiliki rekam medik lengkap. Pengolahan data dilakukan dengan piranti lunak Microsoft Excel. Hasil: Usia rata-rata responden anemia defisiensi besi adalah 41.71 tahun dengan standar deviasi 16.05 pada  rentang usia 18-80 tahun dan sebagian besar responden anemia defisiensi besi berjenis kelamin perempuan sebanyak 45 (86.5%). Rerata kadar fragmented red blood cell pada pasien dengan anemia defisiensi besi adalah sebesar 2.74% (1.11-20.40%). Simpulan: Kejadian anemia defisiensi besi cenderung terjadi pada jenis kelamin perempuan di usia ≥30 tahun dengan proporsi rerata fragmented red blood cell pada penderita anemia defisiensi besi lebih tinggi dibanding pasien normal. Saran: Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian serupa dengan jumlah sampel yang lebih besar dan membandingkan dengan faktor-faktor terjadinya fragmented red blood cell pada penderita anemia defisiensi besi.   Kata Kunci: Anemia Defisiensi Besi; Fragmented Red Blood Cells; Stres Oksidatif.