cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. jepara,
Jawa tengah
INDONESIA
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam
ISSN : 23560150     EISSN : 26146878     DOI : -
Core Subject : Social,
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam is a journal published by the Faculty of Sharia and Law, Islam Nahdlatul Ulama University, Jepara Indonesia. The journal focuses on Islamic law studies, such as Islamic family law, Islamic criminal law, Islamic political law, Islamic economic law, Islamic astronomy (falak studies), with various approaches of normative, philosophy, history, sociology, anthropology, theology, psychology, economics and is intended to communicate the original researches and current issues on the subject.
Arjuna Subject : -
Articles 170 Documents
Kemerdekaan Beragama dalam Pandangan al-Quran; Sebuah Studi Kritis atas QS.al-Baqarah (2): 256 Muhamad Husni Arafat
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 3, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v3i1.651

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk menyoroti persoalan teologis yang seringkali muncul dalam kehidupan beragama dewasa ini. Dimana persoalan tersebut dinilai riskan dan berbahaya karena dapat memecah-belah persatuan dan kesatuan, intra dan, antar umat beragama. Persoalan tersebut bernama “kemerdekaan beragama”. Dalam tulisan ini, persoalan ini nantinya akan disorot dalam pandangan Al-Qur’an sebagai pedoman Islam. Dalam konteks kehidupan beragama, Islam, sebagai agama yang berbasis ketundukan dan kepasrahan total seorang hamba kepada Tuhannya, tidak pernah memaksakan kehendak kepada pemeluk agama lain untuk memeluk dan mengikutinya. Bahkan, sebaliknya, Ia menganjurkan kepada pemeluk agama lain untuk tetap memegang teguh agama masing-masing meskipun kebenarannya telah jelas dan nyata. Hal ini sendiri ditegaskan oleh Al-Qur’an yang notabene merupakan mu’jizat dan wahyu terakhir yang diturunkan kepada utusan terakhir pula, Rasulullah saw, dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 256.
PENDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF; Studi Analisis di Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Jepara Imron Choeri
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 3, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v3i2.524

Abstract

This article aims to discuss how the source, the use, and the management of  the  Zakat funds   by the National  Zakat Board of  Jepara Regency? The results showed that in zakat management by the National Zakat Board of Jepara in outline has been carried out in accordance with the provisions of Islamic law, both in fundraising, management and distribution. First, the county charity fund source Jepara obtained through cooperation with the government, in cooperation with UPZ districts, proactive by officers, as well as independently conducted by muzakki to deliver the funds to the charity BAZNAS Jepara district office or transfers through accounts that have been provided. One of the success factors in the acquisition of the source of funding is through the role of regent of Jepara Jepara Regent circular requiring all employees issued zakat by cutting salaries through the treasurer. Second, management of zakat funds already done optimally performed by BAZNAS Jepara regency good for consumptive activities and productive. Third, the utilization of Zakat funds is not maximized for productive activities that do not have an impact on poverty alleviation efforts in the district of Jepara. Keywords: Islamic Law, Zakat Productive, Poverty Alleviation
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI Sofwan Ahadi
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v1i1.318

Abstract

Al-Qur'an and the hadis do not regulate in detail the division of joint property in a polygamous marriage. That is why, KHI (the Compilation of Islamic Law) set the regulation on the basis of accepted practices in public life in Indonesia and not contrary to the principles of the shari'ah. In the Islamic legal system, this kind of habit called "urf? which could be the basis for determining the law. However, the provision of article 96 KHI in paragraph (1), ie, ??regarding the case of divorce of the cerai mati (divorce caused by the husband death), then half of the joint property belongs to couple living longer?. It was confusing. Therefore, when applied in a polygamous marriage, the definition of "living longer spouses" is open to multiple interpretations. Which couple should have the right to own property together? Socio-legal considerations in this article gave space to the oldest wife as the part that can be called as a "living longer". From the beginning she risked her life in marriage, which absolutely faced the challenges and trials that are not easy. Then the oldest wife should get half of the joint property before it will be given according to the inheritance law. Moreover, when viewed from the side of habit, after a new couple has just sarted to tread the prosperity that they have desired for years, suddenly the husband decided to do polygamy, it would be unfair if the legal treatment of the first wife is equated with his second wife, third or fourthKeywordsjoint property, divorce, fair, marriage Nash al-Qur'an dan hadis tidak mengatur secara rinci pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami. Itu sebabnya, KHI mengaturnya atas dasar kebiasaan yang diterima dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan tidak bertentangan dengan prinsip syari'at. Dalam sistem hukum Islam, kebiasaan semacam ini disebut urf yang bisa menjadi dasar penentuan hukum. Akan tetapi, ketentuan KHI dalam pasal 96 ayat (1), yakni ??Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama?, terasa membingungkan. Sebab, ketika diterapkan dalam perkawinan poligami, pengertian ??pasangan yang hidup lebih lama? ini bersifat multitafsir. Pasangan mana yang berhak memiliki harta bersama? Pertimbangan sosio-legal terhadap pasal ini, memberikan ruang kepada istri tertua sebagai pihak yang memenuhi kriteria sebagai ?yang hidup lebih lama?. Sejak awal ia mempertaruhkan jiwa dan hidupnya dalam perkawinan, yang tentu mendapat tantangan dan cobaan yang tidak ringan. Maka selayaknya istri tertua mendapat separuh harta bersama sebelum dibagi dalam hukum kewarisan. Apalagi, jika dilihat dari sisi kebiasaan, setelah pasangan suami-istri yang lama baru menapak kesejahteraan yang mereka idam-idamkan selama bertahun- tahun, tiba-tiba suami melakukan poligami, maka akan tidak adil kalau perlakuan hukum terhadap istri pertama disamakan dengan istri kedua, ketiga atau keempat.
Tinjauan Filsafat Hukum Islam Terhadap Hukuman Kebiri bagi Pelaku Pedofilia Azzam Muslim
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 3, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v3i1.647

Abstract

Artikel ini berrujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap hukuman kebiri (kastrasi) bagi pelaku pedofilia, serta untuk mengetahui bagaimana penerapanan konsep maqashid al-syariah mengenai hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam perspektif hukum Islam kebiri terhadap manusia dilarang dan hukumnya haram berdasarkan dalil naqli yakni hadis nabi tentang pertanyaan sahabat Usman ibn Madhz'un dan hadis Ibnu Mas'ud. Sedangkan kebiri dalam konteknya sebagai sanksi bagi pelaku pedofilia merupakan sebuah kebijakan pemerintah dalam rangka pembaharuan (reformasi) hukum positif di Indonesia melalui Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, di mana sebelumnya undang-undang tersebut telah diamandemen dengan undang-undang no. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Pada dasarnya kebiri ada dua macam, yaitu kebiri fisik dan kebiri kimia. Adapun yang dimaksud kebiri sebagai sangsi bagi pedofil dalam perpu tersebut ialah kebiri kimia (chemical castration).
Konsep Keluarga dalam al-Qur’an; Pendekatan Linguistik dalam Hukum Perwaqilan Islam Umar Faruq Thohir
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v2i1.675

Abstract

Tulisan ini berfujuan untuk menemukan konsepsi keluarga yang diidealkan oleh Islam melalui al Qur'an. Sebagai pedoman bagi agama Islam,al-Qur'an memiliki konsep atau ketentuan tersendiri yang berkaitan dengan keluarga.Kesimpulan yang didapat adalah bahwa al-Qur'an menggunakankata"ql- crhl"unltk menj elaskan keluarga,tidak rn enggunakan.kata “al-usrah”, “al-al”, dan al-dzurriyyah”, Disamping itu, bentuk keluarga dalam perspektif al-Quran terbagi menjadi dua. Pertama, dalam hal fungsi reproduksi, al-Qur’an cenderung pada format keluarga inti ( nuclear family ), di samping karena manusia juga membutuhkan pasangan untuk berbagi yang saling melengkapi dan saling mencintai, di mana hal ini tidak mungkin didapatkan kecuali dalam keluarga inti. Kedua, sebagai fungsi sosial, keluarga di bentuk dengan format keluarga besar ( extended family ). Hal itu terlihat dari konsep perwalian, pemgasuhan anak, dan pembagian warisan yang tidak hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga inti, tetapi juga keluarga besar yang secara khusus telah di tetapkan dalam Al-Qur’an. Al-qur’an juga mengkonsepsikan bahwa: (1) Keluarga dapat mententramkan jiwa, (2) Keluarga dapat menghindarkan perbuatan maksiat, (3) keluarga dapat mempermudah dalam pengumpulan harta, (4) pernikahan di lakukan untuk mendapatkan keturunan yang sah. (5) pernikahan merupakan ibadah.
Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik Dengan Imam Syafi‘i tentang Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum Taufiqur Rohman
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 4, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v4i1.698

Abstract

Artikel ini mendiskusikan kehujjahan maslahah mursalah  sebagai sumber hukum Islam. Fokus kajian dalam tulisan ini adalah kontroversi pemikiran Imam Malik dengan Imam Syafi‘i tentang maslahah mursalah sebagai sumber hukum Islam. Kontroversi pemikiran antara keduanya tentang kehujjahan maslahah mursalah  sebagai sumber hukum Islam. Pertama, Imam Malik menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, tetapi Imam Malik menekankan bahwa pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio tidak boleh bertentangan dengan tata hukum yang telah ditetapkan nas atau ijma‘. Apabila terjadi pertentangan maka wajib mendahulukan nas dibandingkan maslahat. Kedua, Imam Syafi‘itidak menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum karena maslahah mursalah tidak memiliki standar yang pasti dari nas maupun qiyas, sedangkan pendirian Imam Syafi‘I semua hukum haruslah berdasarkan nasatau di sandarkan pada nas sebagaimana qiyas. Imam Syafi‘I sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitabnya al-Risalah. Adanya kontroversi ini karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahat oleh Syar‘i baik secara langsung maupun tidak.
NIKAH ANTARAGAMA MENURUT MUHAMMAD QURAISH SHIHAB Zainul Hidayat
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v1i1.313

Abstract

Emphasis;Ulama in various regions of the world have different opinions to interpret QS. Al-Maidah [5]: 5, QS. Al-Baqarah [2]: 221, and QS. Al- Mumtahanah [60]: 10. These verses discuss the issue of interfaith marriage. In Indonesia there is expert leading commentator of the Qur'an whose opinions are followed by the public, namely M. Quraish Shihab. According to him, a muslim is allowed to marry the woman of ahl al-kitab by QS. Al-Maidah [5]: 5. While QS. Al-Baqarah [2]: 221 which prohibits the marriage of a muslim with idolatrous women and vice versa, talked about the idolatrous only. Quraish said, ahl al-kitab is not included in the scope of idolaters, because ahl al-kitab include only two classes; Jews and Christians, anytime, anywhere and from any descendant. Therefore, until now muslim men are allowed to marry Jewish and Christian women. While the marriage between muslim women with men idolaters is forbidden according to the QS. Al-Baqarah [2]: 221. Regarding the marriage of muslim women with men of ahl al-kitab, al-Qur'an does not explicitly explain. However, according to Quraish, it does not mean there is permissibility to marry men of ahl al-kitab. The reason is if al-Qur'an allows it, absolutely QS. Al-Ma'idah: 5 allowing to marry women of ahl al- kitab, will confirm it. This opinion is supported by QS. Al-Mumtahanah [60]: 10 which prohibits a muslim woman to marry and unbeliever man.Keywordsm a r r i a g e , m u s l i m s , unbeliever, ahl al-kitab, idolatrous. Ulama di berbagai wilayah dunia berbeda pendapat ketika memaknai QS. Al- Maidah [5]:5, QS. Al-Baqarah [2]:221, dan QS. Al-Mumtahanah [60]:10. Ayat- ayat itu membicarakan persoalan nikah antaragama. Di Indonesia terdapat pakar tafsir al-Qur'an terkemuka yang pendapatnya banyak diikuti masyarakat, yaitu M. Quraish Shihab. Menurutnya, seorang pria muslim dibolehkan kawin dengan wanita ahl al-kitab berdasarkan QS. Al-Maidah [5] :5. Sedangkan QS. Al-Baqarah [2]: 221 yang melarang perkawinan seorang pria muslim dengan wanita musyrik maupun sebaliknya, hanya berbicara tentang musyrik. Dalam pandangan Quraish, ahl al-kitab tidaklah termasuk dalam cakupan musyrik, karena ahl al-kitab mencakup dua golongan saja; Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di manapun dan dari keturunan siapapun. Oleh karena itu, sampai sekarang pun pria muslim dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, tidak dengan selain keduanya. Sedangkan perkawinan antara wanita muslim dengan pria musyrik, adalah diharamkan, sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 221. Mengenai pernikahan wanita muslimah dengan pria ahl al-kitab, al-Qur'an tidak menjelaskannya secara tegas. Meskipun demikian, menurut Quraish, itu bukan berarti ada kebolehan menikahi pria ahl al-kitab. Hal ini karena, jika al-Qur'an membolehkannya, tentunya QS. Al-Ma'idah [5]: 5 yang membolehkan menikahi wanita ahl al- kitab, pun akan menegaskannya. Pendapatnya ini diperkuat pula dengan QS. Al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarang seorang wanita muslim menikah dengan pria kafir.
Perkawinan Masyarakat Samin dalam Perpektif Sosiologis dan Teologi Kamto Kamto
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 3, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v3i2.688

Abstract

Artikel ini hendak mendiskusikan mengenai masyarakat samin serta kebudayaan yang ada di dalamnya. Salah satu bentuk kebudayaan masyarakat samin dapat terlihat dalam adat perkawinan mereka. Komunitas masyarakat samin di tanah air adalah salah satu dari heteroganitas bangsa yang kaya akan budaya dan corak kehidupan yang memiliki makna dan pesan-pesan filosofis untuk kalangan mereka. Inti ajaran samin ingin mengajak kepada manusia untuk memahami nilai-nilai kehidupan yakni penuh kejujuran serta kesederhanaan dan apa adanya, tanpa ada paksaan. Berlaku baik dan jujur merupakan syarat utama orang yang hidup di dunia ini, bahkan sikap tersebut bisa menjadi teladan bagi anak keturunannya. Ajaran Samin juga merupakan gerakan kebatinan dengan menggunakan Agama Nabi Adam sebagai legalitasnya. Pernikahan yang di praktekkan oleh masyarakat Samin tersebut merupakan tradisi atau kebudayaan yang berlaku secara turun temurun sebagai bagaian dari kekayaan kebudayaan bangsa. Keunikan dari tradisi pernikahan ala Samin ini terlihat pada kesepakatan calon suami dan istri yang saling menyatakan padha dhemene ( saling suka sama suka ) dan tanpa intervensi sedikitpun dari orang tua serta pengambilan jodoh dari dalam kelompok sendiri.
URGENSI NASIKH-MANSUKH DALAM LEGISLASI HUKUM ISLAM Noor Rohman Fauzan
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v1i2.330

Abstract

Nasikh-mansukh needs to be a concern in this paper that is approximately designed to find two things: first, the true concept of naskh-mansukh itself; second, regarding its application to dinamic Islamic law. The limits resemblance that appears between naskh and takhsish concepts can be known through their differences. The most striking difference is the existence of two texts in naskh; nash nasikh and nash mansukh time of which are inconcurrent. It means that nash nasikh (abrogator ) came after nash mansukh (abrogated). While in takhsish, the specifying texts (mukhashshish) is concurrent time with the specified texts (mukhashshash)). From the discussion of naskh arise two dominant opinions among Muslims: (1) the opinion that accepts the existence of naskh and (2) the opinion that rejects the existence of naskh.Because of the absence of the hadeeth sahih that can be considered as texts qath'iy in explaining which verses are mansukhah (abrogated), then it is necessary to further examine this issue of naskh especially if associated with the development of Islamic law issues that are increasingly complex.nasikh-mansukh, al-qur??an, hadis, legislation, islamic law.Persoalan nasikh-mansukh perlu menjadi perhatian dalam tulisan ini yang kurang-lebihnya dirancang untuk menemukan dua hal: pertama, kesejatian konsepsi nasikh-mansukh itu sendiri, kedua, mengenai penerapannya dalam hukum Islam yang dinamis. Pengertian naskh dan takhsish yang di antara keduanya ada tasyabbuh dapat diketahui batas-batasnya dengan melihat perbedan-perbedaanya. Perbedaan yang paling mencolok ialah di dalam naskh terdapat dua nash; nash nasikhdan nash mansukh yang tidak berbarengan waktunya, artinya nash nasikh datang sesudah nash mansukh. Sedangkan di dalam takhsish, nash yang men-takhshish (mukhashshish) berbarengan waktunya dengan nash yang di-takhshish. Dari pembahasan naskh timbul dua pendapat yang dominan di kalangan ummat Islam: (1) pendapat yang menerima adanya naskh dan (2) pendapat yang menolak adanya naskh. Karena tidak adanya hadits shahih yang dapat dianggap sebagai nash qath'iy dalam menjelaskan ayat-ayat mana yang mansukhah, maka sangat diperlukan upaya untuk mengkaji lebih jauh permasalahan naskh ini terutama jika dikaitkan dengan perkembangan persoalan hukum Islam yang semakin kompleks.
FIQH PERNIKAHAN WARIA; Telaah Harapan Pernikahan Waria dalam Buku Jangan Lepas Jilbabku Karya Shuniyya Ruhama Habiballah Nur Kholis
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v1i2.322

Abstract

This paper aims to; 1) Knowing the form of transvestite marriage that Shuniyya Habiballah Ruhama expected as stated in the book Jangan Lepas Jilbabku; Catatan Harian Seorang Waria. 2) Knowing the provisions of fiqh about transvestites in regard with marital problems. There is a gap of understanding between Shuniyya and jurisprudence regarding the married couple. The Shuniyya's hope for transvestis marriage is based on the beliefs, thoughts and deepest awareness that he is "a woman", although he is ??trapped? in the male anatomy. He desires to man only, not woman. The existence of Shuniyya as someone who does not desire in women is suited with the meaning of QS. Al-Nur [24]: 31 that is described as ghairi uli al-irbat min al-rijal (men who do not desire (sexual) to women). While the "abnormality" of the brain structure, chromosomal, hormonal and genetic is suited to verse in the Qur'an, QS. Al-Hajj [22]: 5 as being ghairi mukhallaqah (created imperfect). While on the other hand, in fiqh, the provisions of the legality of transvestite marriage (mukhannats khalqiy) are not found. Fiqh discuss issues of khuntsa only that is actually hemaprodit / intersexual / ambiguouse genitalia, not-transvestite. In fiqh, there are only suppositions ofmarriage,   transvestite,khuntsa,   mukhannatskhalqiy.khuntsa marriage case. While the phenomenon mukhannats (both khalqiy or bi al-qashdi) is generalized by fiqh as tasyabbuh toward prohibited, unlawful, and damned behavior. Tulisan ini bertujuan untuk; 1) Mengetahui bentuk pernikahan waria yang diharapkan Shuniyya Ruhama Habiballah dalam buku Jangan Lepas Jilbabku; Catatan Harian Seorang Waria. 2) Mengetahui ketentuan fiqh tentang waria dalam masalah nikah. Terdapat kesenjangan pemahaman antara Shuniyya dan fiqh mengenai pasangan dalam menikah. Harapan Shuniyya untuk melangsungkan pernikahan waria berdasar pada keyakinan, pemikiran dan kesadaran sedalam-dalamnya bahwa dirinya adalah ??seorang perempuan?, meskipun dengan anatomi laki-laki. Ia hanya berhasrat dengan laki-laki, bukan perempuan. Keberadaan Shuniyya sebagai seseorang yang tidak berhasrat pada perempuan sesuai dengan maksud QS. Al-Nur (24): 31 sebagai sosok ghairi uli al-irbat min al-rijal (laki-laki yang tidak berhasrat (seksual) terhadap perempuan). Sedangkan ??kelainan? struktur otak, kromosom, hormonal dan genetikanya sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hajj (22): 5 sebagai sosok ghairi mukhallaqah (diciptakan tidak sempurna). Sementara di sisi lain, dalam fiqh tidak ditemukan ketentuan tentang legalitas pernikahan waria-transeksual (mukhannats khalqiy). Fiqh hanya membahas persoalan khuntsa   yang   justru   sebenarnya   adalah   hemaprodit/interseksual/ambiguouse genetalia, bukan waria-transeksual. Yang ada dalam fiqh hanya pengandaian-pengandaian kasus pernikahan khuntsa. Sementara fenomena mukhannats (baik khalqiy maupun bi al-qashdi) digeneralisasi fiqh sebagai perilaku tasyabbuh yang dilarang, haram, dan dilaknat.

Page 5 of 17 | Total Record : 170