cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. jepara,
Jawa tengah
INDONESIA
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam
ISSN : 23560150     EISSN : 26146878     DOI : -
Core Subject : Social,
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam is a journal published by the Faculty of Sharia and Law, Islam Nahdlatul Ulama University, Jepara Indonesia. The journal focuses on Islamic law studies, such as Islamic family law, Islamic criminal law, Islamic political law, Islamic economic law, Islamic astronomy (falak studies), with various approaches of normative, philosophy, history, sociology, anthropology, theology, psychology, economics and is intended to communicate the original researches and current issues on the subject.
Arjuna Subject : -
Articles 170 Documents
Problematika Perkawinan Dini; Kajian Psikologi Hukum Islam tentang Batas Minimal Usia Perkawinan Akhmad Syamsul Muniri
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v2i1.673

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tingkat pencapaian tujuan perkawinan bagi orang yang  menikah padausia 16 tahun dan 1B tahun. Hal ini perlu dikaji karena terdapat dua perundang-undangan yang berbeda dalam memberikan batas usia anak. Perbedaan tersebut terletak pada UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang PerlindunganAnak (UUPA) dijelaskanpada pasal 1 bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dijelaskan pada pasal 7 ayat (l) bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur enam belas tahun. Dari kedua UU tersebut maka seorang wanita yang ingin melakukan perkawinan pada usia 16 tahun akan terjerat oleh UUPA sebagai pelanggaran hak anak. Sebab, secara implisit menurut UUPA bahwa usia 18 tahun adalah usia minimal untuk boleh melakukan perkawinan. Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan berupa studi lapanganatau studi kasus. Datayangdiambil hanya berupa data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui hasil obseruasi dan wawancara terhadap seseorang yang menikah di umur 16 tahun dan 18 tahun pada tahun2002 di kecamatan Depok kabupaten Sleman.Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa orang yang menikah di umur 18 tahun secara psikis lebih matang kepribadiannya sehingga lebih bahagia dan kekal dibandingkan orang yang menikah di umur l6 tahun. Dengan hasil penelitian ini maka usia minimal 16 tahun untuk dibolehkan melakukan perkawinan bagi wanita dalam UU perkawinan harus direvisi kembali agar tujuan perkawinan menurut UU perkawinan tercapai.
Batasan Usia Pernikahan Dalam Perundang-Undangan Diindonesia Perspektif Sadd Al-Dhari‘ah Hilda Fentiningrum
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 4, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v4i1.701

Abstract

Batasan usia pernikahan dalam hukum Perkawinan Islam di Indonesia perlu ditinjau ulang. Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menetapkan batasan usia pernikahan, yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Sementara UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun merupakan anak. Dari UUtersebut tidak ada kesesuaian terkait batasan usia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batasan usia pernikahan dalam perundang-undangan di Indonesia dan tinjauannya dalam sadd al-dzari’ah. Hasil penelitian ini adalah: (1) Batasan usia nikah dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI adalah sama, yaitu usia 19 tahun bagi laki-laki dan usia 16 tahun bagi perempuan. Sedangkan batasan usia nikah dalamUU No. 35 Tahun 2014 adalah 18 tahun; (2)Dalam perspektif sadd al-dzari’ah batasan usia nikah dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI adalah masih lemah. Sementara dalam UU No. 35 Tahun 2014 adalah cukup kuat.
DISKURSUS HUKUM ISLAM DI INDONESIA TENTANG PERWALIAN PERKAWINAN ANAK ANGKAT Fransisca Ismi Hidayah
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v1i1.316

Abstract

This research is to answer the question, "Who is eligible to become a guardian for an adopted child marriage?" This issue is important given the differences between Islamic law (fiqh) and civil code. These differences often lead to confusion in the community. Adoption itself is usually set off from one issue to another issue. Therefor complexity of the marriage guardianship is inevitable, especially when it is viewed from the perspective of the two legal systems. Islamic law is expressly disclaim the conception of adopted children based on QS. Al-Ahzab [33]: 4 and5. State of adopted child is still a child of his biological father. As a result, law and arrangements of guardianship of adopted child marriage still follow his lineage, not the adoptive parents. Guardian of marriage is the biological father or brother of the father pathway (patrilinear). Guardianship of marriage is only for the bride. In other words, the civil code justifies the conception of the adopted child. Regarding the guardianship of marriage of adopted children, civil code set in article 331 of the Civil Code, Staatsblad 1917 No. 129, SEMA No. 2 In 1979, and SEMA No. 6 of 1983. Following the adoption, there are legal consequences arising, in terms of guardianship and inheritance. In the case of a guardianship, since the decision is made by the court, the adoptive parents become the guardian of his adopted son. Since that time, all the rights and obligations of the biological parents moved to the adoptive parents, except adopted children of muslim women.Keywordsguardianship of marriage, adopted child, fiqh, civil code. Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan, ??Siapa yang berhak menjadi wali perkawinan bagi anak angkat?? Persoalan ini penting mengingat adanya perbedaan pandangan antara hukum Islam (fiqh) dan hukum perdata. Perbedaan ini kerapkali menimbulkan kebingungan di masyarakat. Pengangkatan anak sendiri biasanya berangkat dari persoalan satu ke persoalan yang lain. Kerumitan perwalian perkawinannya kemudian tidak bisa dihindari, apalagi jika ditinjau dari perspektif dua sistem hukum tersebut. Hukum Islam secara tegas menafikan konsepsi anak angkat berdasar QS. Al-Ahzab [33]: 4 dan5. Status anak angkat tetaplah anak ayah kandungnya. Akibatnya, hukum dan pengaturan perwalian perkawinan anak angkat tetap mengikuti nasabnya, bukan orang tua angkatnya. Wali perkawinan adalah ayah kandung atau saudara laki-laki dari jalur ayah (patrilinear). Perwalian perkawinan hanya diperuntukkan bagi mempelai perempuan. Sedangkan hukum perdata membenarkan konsepsi anak angkat. Mengenai perwalian perkawinan anak angkat, hukum perdata mengaturnya dalam pasal 331 KUHPerdata, Staatsblad 1917 No. 129, SEMA No. 2 Tahun 1979, dan SEMA No. 6 Tahun 1983. Setelah adanya pengangkatan anak, ada akibat hukum yang ditimbulkan, yakni dalam hal perwalian dan pewarisan. Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh Pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkatnya. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung berpindah kepada orang tua angkat, kecuali bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam.
Fiqh Kejawen; Menelisik Validitas Ijtihad Sunan Kalijaga dalam Perspektif Ushul Fiqh alfa syahriar
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 2, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v2i2.523

Abstract

Fiqh Kejawen merupakan sebuah peristilahan yang menunjuk pada salah satu tipe fiqh yang digagas dalam penelitan ini. Secara spesifik, Fiqh Kejawen merupakan sebuah rumusan untuk hasil-hasil ijtihad yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan menerapkan pola perpaduan antara budaya Jawa dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tulisan ini disusun untuk mengungkap sisi validitas pola ijtihad yang digunakan Sunan Kalijaga dalam merumuskan hukum-hukum yang terangkum dalam Fiqh Kejawen. Pertimbangan yang penulis pakai adalah: 1) Dalam disiplin hukum Islam, ketika sebuah amalan dijalankan tanpa adanya dasar hukum baik al-Qur'an, Sunnah maupun Ijmak dan sumber-sumber hukum Islam lainnya, maka amalan tersebut berstatus bid'ah, sehingga tidak bernilai dalam pandangan Islam. 2) Fakta lapangan menyatakan bahwa ijtihad Sunan Kalijaga tersebut menjadi salah satu amaliyah masyarakat Jawa yang membumi. 3) Memunculkan tipologi alternatif terhadap varian fiqh yang dapat menjelaskan hasil ijtihad yang memadukan sumber baku hukum Islam dengan kearifan lokal masyarakat Jawa. Kajian dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa pola ijtihad Sunan Kalijaga yang dilakukan dengan memadukan ajaran Islam dengan nilai budaya Jawa dapat ditemukan pembenarannya dalam teori hukum Islam, yakni konsep al-'Urf yang sekaligus menjadi teori ijtihadnya.
Santri dan Paradigma Islam Nusantara; Pencermatan Sejarah Politik Hukum Islam di Indonesia Tedi Kholiludin
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v2i1.669

Abstract

Artikel ini berupaya untuk mencermati peta pemikiran kelompok santri dalam melihat negara, yang kemudian dapat di tangkap paradigma islam yang berwatak khas indonesia. Artikel ini diawali melihat rumitnya hubungan antara agama dan negara pada masa pra kemerdekaan yang kemudian di lanjutkan dengan membahas tiga orientasi utama kelompok santri dalam melihat negara; konfrontasi,okomodasi dan kritis. Bangunan tersebutlah yang kemudian dapat di tarik kesimpulannya sebagai suatu modal paradigma Islam Nusantara dalam pemikiran kaum santri yang tidak monolitik. Konsekuensi ini muncul karena formasi relasi negara agama yang sangat plastis memungkinkan agama selalu berada dalam titik persinggungan dengan politik. Akibatnya, hampir dalam setiap kesempatan, negara berupaya menunjukkan dirinya dalam setiap level kehidupan masyarakat, tidak terkecuali ranah agama. Salah satu pemikiran santri yang menonjol adalah pemikiran Gus Dur yang mencirikan tiga hal. Pertama, keyakinan bahwa islam harus secara kreatif dan substantif direinterpretasi atau direformulasi untuk merespon kehidupan modern. Kedua, keyakinannya bahwa dalam konteks keindonesiaan. Islam tidak seharusnya menjadi agama negara. Ketiga, islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralistik dari pada ediologi negara yang eksklusif.
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Arisan Sistem Gugur di BMT Ummat Sejahtera Abadi (USA) Jepara Rukhaniyah Rukhaniyah
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 4, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v4i1.695

Abstract

Artikel ini   bertujuan untuk meneliti status keabsahan pelaksanaan arisan sistem gugur di BMT Ummat Sejahtera Abadi (USA) di Jepara dalam tinjauan Hukum Islam. Pertimbangan penting yang peneliti gunakan adalah bahwa dalam pola manajemen Syariah dinyatakan hukum asal muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu, konsekuensinya segala sesuatu yang akan dikerjakan itu harus obyek, cara, hasil dan manfaatnya. Salah satu program BMT untuk menarik nasabah adalah arisan sistem gugur dimana jika peserta sudah mendapat undian maka peserta tersebut tidak wajib mengangsur pada putaran berikutnya. Kehati-hatian masyarakat dalam menentukan muamalah mereka perlu diperhatikan, agar tidak terjebak pada riba. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa praktek tersebut tidak sesuai dengansyarak, karenapenentuan bonus  di awal akan lebih cenderung pada praktek riba, disamping itubelum ada kejelasan akad yang digunakan oleh pengelola. Abdullah, M. Yatimin. Studi Islam Kontemporer, Cet I (Jakarta: Amzah)Abdullah, Sulaiman. 2007.Sumber Hukum Islam,cet. III (Jakarta: Sinar Grafika)Abdurrahman, Nana Herdiana. 2013.Manajemen Bisnis Syariah & Kewirausahaan, Cet. 1 (Bandung: Pustaka Setia) Abidin, Ibnu. 1992.Hasyiyah Radd Al-Mukhtar ala Ad-Durr Al Mukhtar(Beirut:Dar Al-Fikr)Al Arif, M. Nur Rianto. 2012.Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoretis Praktis, Cet.I (Bandung: Pustaka Setia)Al-Jaziri, Abdurrahman. t.t.Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah,volIII(Beirut:Dar Al-Fikr)Al-Kasani, Alaudin. 1996.Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i, vol VI,cet. VI (Beirut: Dar Al-Fikr)
METODE ISTIQRA' DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM Mashudi Mashudi
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v1i1.311

Abstract

This paper is going to discuss how the istiqra method actually is in the establishment of Islamic law and how its application especially in the determination of the law in the contemporary era demanding more empirical arguments. The results are the istiqra method has some principles; First, the argument's collectivity in the application of a law, is not only with one argument, either the universal or the particular. Second, the principle of observing qarain al-ahwal (indications of certain circumstances), either manqulah, which is associated with the texts directly such as the principles of Islamic law, or ghairu manqulah, which is not directly related to the texts, but rather related to the context of the community. This allows istiqra to penetrate issue of both specific laws (far'iyah) and contemporary though. Third, not only doesistiqra', particular, Islamic law, contemporaryistiqra approach rely on bayani methods towards text, especially one textalone, but also uses watching the growing context. Tulisan ini hendak membahas bagaimana sebenarnya metode istiqra' dalam penetapan hukum Islam serta bagaimana cara penerapannya terutama dalam penetapan hukum di era kontemporer yang lebih menuntut argumen-argumen empirik. Hasil yang didapat bahwa metode istiqra' memiliki beberapa prinsip; Pertama, kolektifitas dalil dalam penerapan suatu hukum, bukan hanya dengan satu dalil saja, baik yang sifatnya universal maupun partikular. Kedua, prinsip memerhatikan qarain al-ahwal (indikasi-indikasi keadaan tertentu), baik manqulah, yakni yang berhubungan dengan nash-nash secara langsung seperti kaidah-kaidah hukum Islam, maupun ghairu manqulah, yaitu yang tidak berkaitan secara langsung dengan nash, melainkan berhubungan dengan konteks masyarakat. Hal ini memungkinkan Istiqra' menembus persoalan hukum-hukum spesifik (far'iyah) dan kontemporer sekalipun. Ketiga, pendekatan istiqra' bukan hanya mengandalkan metode bayani atas nash, apalagi satu nash saja, melainkan pemanfaatan pencermatan konteks yang berkembang.
Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Islam Dan Kontribusinya Bagi Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Di Indonesia Nor Soleh
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 2, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v2i2.640

Abstract

Permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah: pertama, bagaimanakah konsep restorative justice yang terdapat dalam hukum pidana Islam. Kedua, bagaimanakah kontribusi penerapan resotarive justice dalam hukum pidana Islam bagi pembaharuan hukum pidana materiil di Indonesia. Kajian yang pertama menghasilkan kesimpulan bahwa restorative justice yang terdapat dalam hukum pidana Islam terlihat dalam pemberlakuan sanksi untuk jarimah kisas dan diyat. Pemaafan yang diberikan oleh korban atau keluarganya dapat menggugurkan hukuman kisas, meskipun diikuti dengan diyat, yaitu ganti rugi terhadap akibat kejahatan yang dapat dirasakan langsung oleh korban atau keluarganya. Kajian yang kedua menyimpulkan bahwa kontribusi penerapan restorative justice bagi pembaharuan hukum pidana materiil di Indonesia dapat diupayakan dengan pelaksanaan asas rechterlijk pardon sebagaimana konsep RUU KUHP 2008. Penyelesaian perkara yang masuk klasifikasi sangat ringan mendesak mempergunakan model restorative justice. Hal ini didasarkan pada pemenuhan keadilan yang menyeluruh.
Kedudukan dan Perlindungan Tanah Wakaf yang tidak Bersertifikat Wakaf Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Miftah Arifin
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 3, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11578.082 KB) | DOI: 10.34001/istidal.v3i2.686

Abstract

Artikel ini berusaha untuk mengupas kedudukan tanah wakaf yang tidak bersertifikat dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 4l Tahun 2004. Maka dari itu, rumusan masalah yang akan dijawab dalam artikel ini di antaranya: Pertama, bagaimana kekuatan dan perlindungan hukum terhadap tanah wakaf yang belum bersertifikat? Kedua, langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk mengamankan tanah wakaf yang belum bersertifikat agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari? Hasil dari tulisan ini menunjukkan bahwa kedudukan tanah yang tidak mempunyai sertifikat atau Akta Ikrar Wakaf (AIW) tidak akan memiliki kekuatan hukum. Tanah wakaf yang tidak mempunyaiAIW biasanya ikrar wakafnya tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat wakaf, atau biasa dikenai dengan istilah "di bawah tangan". Maka dari itu, tanah wakaf tersebut belum dicatatkan, dan tidak mempunyai bukti telah terjadi sebuah wakaf. Sehingga, apabila di kemudian hari terjadi konflik, maka nadzir wakaf tidak bisa mempertahankan tanah wakafnya tersebut karena tidak ada bukti bahwa tanah tersebut telah diwakafkan.
RELEVANSI QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM KONTEMPORER Arifana Nur Kholiq
Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UNISNU Jepara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34001/istidal.v1i2.326

Abstract

This article intends to describe the position of qiyas in Islamic law. Based on this library research we know that qiyas which is the fourth source of Islamic law after al-Qur'an, sunnah and Ijma, is important in exploring the legal source texts al-Qur'an and sunnah) that can be used in determining the legal basis of a case nash of which is not available. With qiyas, the problems that are not covered by the Qur'an, sunnah and ijma' finally get the solution in realizing the benefit of the people. Therefor saying that qiyas is limiting theory is not appropriate considering the rules which are stated in the sources of Islamic law, especially Qur'an, are universal, general and global mostly. Since qiyas is a interpretation of two source texts, then it is dhanny. Thus, the possibility of ideas difference among muslim scholars is really huge.Keywordsqiyas, Islamic law, al- Qur'an, alternative Artikel ini bermaksud untuk mendeskripsikan posisi qiyas dalam hukum Islam. Dari penelitian pustaka ini diketahui bahwa qiyas yang merupakan sumber hukum keempat setelah al-Qur'an, sunnah, dan ijma', merupakan piranti penting dalam mengeksplorasi teks-teks sumber hukum (al-Qur'an dan sunnah) yang bisa digunakan dalam memutuskan dasar hukum sebuah persoalan yang tidak terdapat nashnya. Dengan qiyas, berbagai problem yang tidak terakomodasi oleh al-Qur'an, sunnah dan ijma' akhirnya bisa ditemukan solusinya yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena itu mengatakan bahwa qiyas merupakan teori yang justru membatasi tidaklah tepat. Ini mengingat bahwa kebanyakan aturan yang dinyatakan dalam sumber-sumber hukum Islam, khususnya al-Qur'an, bersifat umum dan global. Karena qiyas merupakan penafsiran terhadap kedua sumber hukum tadi, maka dia bersifat dhanny. Dengan demikian, sangat terbuka terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ilmuwan Islam.

Page 3 of 17 | Total Record : 170