cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Engineering,
Arjuna Subject : -
Articles 131 Documents
THE ARCHITECTURAL CHARACTERISTICS LINKAGE OF BATANG KUANTAN’S RUMAH GODANG WITH TANAH DATAR’S RUMAH GADANG Khamdevi, Muhammar
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 2 (2019): December
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (659.36 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i2.34527

Abstract

Riau and West Sumatra have shared history from the days of the Old Malay Kingdom, Sriwijaya, Dharmasraya, Malayupura (Minangkabau), Islamic Sultanates, etc. The traditional house of Rumah Godang in Batang Kuantan region somehow have some similarities to the Rumah Gadang in Tanah Datar. No researcher has tried to discuss the relationship among them. Therefore, this study tries to explore the linkage of their architectural characteristics. This study uses a qualitative method by comparing the architectural characteristics of the two buildings from the data obtained in the field. The results of the study indicates a linkage, even a liniage.KETERKAITAN KARAKTERISTIK ARSITEKTUR RUMAH GODANG DI BATANG KUANTAN DENGAN RUMAH GADANG DI TANAH DATAR Riau dan Sumatra Barat telah berbagi sejarah dari zaman Kerajaan Melayu Kuno, Sriwijaya, Dharmasraya, Malayupura (Minangkabau), Kesultanan Islam, dll. Rumah tradisional Rumah Godang di wilayah Batang Kuantan entah bagaimana memiliki kesamaan dengan Rumah Gadang di Tanah Datar. Tidak ada peneliti yang mencoba membahas hubungan di antara mereka. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengeksplorasi keterkaitan karakteristik arsitektur mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan membandingkan karakteristik arsitektur kedua bangunan dari data yang diperoleh di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan, bahkan hubungan linier. Melalui pinjaman budaya atau proses kelanjutan, sistem spasial (genotipe) memiliki konsistensi. Sistem bentuk (fenotip) hampir konsisten; hanya dalam penggunaan material. Namun, sistem stilistik memiliki ketidakkonsistenan. Sistem-sistem itu mengalami transformasi melalui inovasi budaya lokal, pengaruh peradaban luar, atau perubahan otoritas kerajaan
ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA DALAM KONTEKS SEJARAH FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU Wihardyanto, Dimas; Sudaryono, Sudaryono
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 1 (2020): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (541.433 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v7i1.35500

Abstract

Arsitektur merupakan salah satu produk budaya hasil pemikiran manusia yang mampu menggambarkan secara komprehensif bagaimana hubungan dirinya dengan konteks sosial maupun seting lingkungan yang ada. Tidak terkecuali arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Kolonialisasi di Indonesia terutama yang dilakukan oleh Belanda merupakan salah satu babak sejarah penting di Indonesia karena mampu merubah cara berfikir arsitektur di Hindia Belanda semakin modern mendekati yang terjadi di Barat. Pengaruh modernisme dalam arsitektur tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan cara berfikir masyarakat barat yang bertitik tolak dari cara memandang alam dan manusia melalui pendekatan kategorisasi dan analogi. Setelah melalui kurun waktu yang cukup panjang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia akhirnya tidak dapat memaksakan penggunaan arsitektur barat secara penuh. Konteks sosial budaya serta seting lingkungan dan iklim yang berbeda akhirnya mampu mengajak para arsitek untuk mengedepankan cara berfikir yang bertitik tolak pada alam melalui pendekatan analogi alih-alih menonjolkan arsitektur barat sebagai simbol manusia modern melalui pendekatan kategorisasi. Kemunculan arsitektur Indis adalah salah satu buktinya. Selanjutnya melalui metode kajian literatur terhadap sejarah perkembangan filsafat barat, metodologi penelitian arsitektur, dan teori-teori mengenai arsitektur kolonial Belanda di Indonesia peneliti mencoba merunut dan merumuskan bagaimana Posisi keilmuan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dalam konteks sejarah filsafat dan filsafat ilmu. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah bahwasanya perkembangan arsitektur kolonial di Indonesia berawal dari cara berfikir dualisme dengan mengambil alam sebagai tidak tolak, kemudian beralih menjadi cara berfikir monisme dengan revolusi industri sebagai latar belakang, dan kemudian kembali ke cara berfikir dualisme dengan menempatkan alam sebagai titik tolak pada abad ke 20.DUTCH COLONIAL ARCHITECTURE IN INDONESIA IN THE HISTORICAL CONTEXT OF PHILOSOPHY AND PHILOSOPHY OF SCIENCE Architecture is one of the cultural products of human thought that can to comprehensively describe how its relationship with the social context and the existing environmental settings. Dutch colonial architecture in Indonesia is no exception. Colonialism in Indonesia, especially those carried out by the Dutch, is one of the important historical phases in Indonesia because it can change the way of thinking architecture in the Dutch East Indies increasingly modern that is happening in the West. The influence of modernism in architecture indeed cannot be separated from the development of western society's way of thinking, which starts from the way of looking at nature and humans through a categorization and analogy approach. After a long period of time, Dutch colonial architecture in Indonesia finally could not force the full use of western architecture. The socio-cultural context and the different environmental and climatic settings were finally able to invite the architects to put forward the way of thinking that starts with nature through an analogy approach instead of highlighting western architecture as a symbol of modern humans through the categorization approach. The emergence of Indis architecture is one of the proofs. Furthermore, through the method of studying literature on the history of the development of western philosophy, architectural research methodology, and theories about Dutch colonial architecture in Indonesia researchers try to trace and formulate the scientific position of Dutch colonial architecture in Indonesia in the context of the history of philosophy and philosophy of science. The results obtained from this study are that the development of colonial architecture in Indonesia started from the way of thinking of dualism by taking nature as not rejecting, then turning into monism with the industrial revolution as a background, and then returning to the way of thinking of dualism by placing nature as a point starting in the 20th century.
RENCANA LANSKAP WISATA EDUKASI KEBUN ANGGREK DI TAMAN KYAI LANGGENG KOTA MAGELANG Islamiah, Kasliyanti; Anwar, Rezalini; Damayanti, Vera D
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 1 (2020): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (724.004 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v7i1.35002

Abstract

Taman Kyai Langgeng (TKL) yang berlokasi di Kota Magelang dikenal sebagai salah satu tujuan wisata andalan di Propinsi Jawa Tengah. Jumlah pengunjung ke TKL sejak 2010 mengalami fluktuasi dan cenderung menurun sejak tahun 2015. TKL memiliki sebuah kebun anggrek yang berfungsi sebagai area propagasi dan diusulkan menjadi sebuah wahana wisata baru sebagai upaya meningkatkan jumlah pengunjung. Tujuan studi ini yaitu menghasilkan sebuah rencana lanskap untuk taman anggrek dengan pendekatan wisata edukatif. Proses perencanaan meliputi persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, konsep, dan pembuatan rencana tapak. Analisis tapak menggunakan pendekatan deskriptif dan spasial terhadap komponen lanskap fisik dan bio-fisik serta elemen wisata. Wisata edukatif-rekreatif terkait anggrek menjadi konsep dasar perencanaan dimana rancangan fisik tapak menggunakan anatomi anggrek sebagai tema utama. Pengembangan rencana tapak berdasarkan rencana ruang yang terbagi atas ruang wisata utama dan pendukung wisata, dimana ruang wisata utama sebagai atraksi andalan terbagi atas ruang kreasi anggrek, taman tematik anggrek, hutan anggrek dan outlet anggrek. Dalam studi ini, kemiringan tapak dan prasyarat tumbuh anggrek menjadi faktor penting yang mempengaruhi penyusunan rencana tapak.LANDSCAPE PLAN FOR ORCHID GARDEN EDU-TOURISM OF KYAI LANGGENG PARK IN MAGELANG CITYKyai Langgeng Park in Magelang City is known as one of the primary tourist destinations in Central Java Province. The visitor number of the park, however, had been fluctuated since 2010 and tended to decline since 2015. This park has an orchid garden, which initially functioned as a propagation area. This area was proposed to be improved into a touristic object as an attempt to attract more visitors. The main objective of this study, therefore, is to produce a site plan for the garden by considering its physical landscape and educational tourism elements. The planning process included preparation, data inventory, analysis, synthesis, concept, and site planning. The site analysis applied a descriptive and spatial analysis of the biophysical landscape and tourism components. By assigning the educative and recreative tourism as the fundamental concept for the site development with orchid as the core theme, the site plan was arranged based on the spatial plan of main touristic and supporting zones. The main touristic zone as the major attraction is divided into three areas: orchid-based creativity, orchid theme garden, orchid jungle, and orchid outlet. It is apparent that the site’s slope and the prerequisite condition to support the optimum orchid’s growth have become significant factors that influenced the site plan considerably.
TIPOLOGI BANGUNAN DI PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERDASARKAN LOKASI DAN JENIS KONSTRUKSI (STUDI KASUS: PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI KAHAYAN, PALANGKARAYA) Murti, Nindita Kresna; Suprapti, Atiek; Sardjono, Agung Budi
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 1 (2020): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (864.698 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v7i1.37646

Abstract

Rumah yang berada di permukiman bantaran Sungai memiliki keunikan dan karakter tersendiri, hal ini dikarenakan fisik bangunan rumah menyesuaikan dengan kondisi dan lingkungan di daerah bantaran sungai. Pulau Kalimantan dibelah oleh sungai – sungai besar yang memiliki keunikan dan kondisi lingkungan yang berbeda satu dan yang lain, misalnya Sungai Kahayan yang membelah kota Palangkaraya memiliki kondisi dimana ketinggian pasang surut air sungai yang sangat tinggi dan terdapat permukiman awal terbentuknya Kota Palangkaraya. Bangunan rumah di permukiman yang berada di bantara Sungai Kahayan memiliki 3 segmen, yaitu 1) bangunan rumah yang bearda di atas air (apung/lanting), 2) bangunan rumah yang berada di bantaran/transisi antara air dan daratan (panggung), 3) bangunan rumah yang berada di darat. Metode yang di gunakan adalah metode kualitatif deskriptif, metode ini bertujuan untuk mengambarkan dan mendeskripsikan tipologi berdasarkan jenis struktur dan ruang pada bangunan di permukiman ini. Tujuan Penulisan artikel ini untuk mengetahui tipologi  bangunan rumah  di bantaran Sungai Kahayan yang terdiri dari segmen bangunan di atas air, panggung, dan bangunan yang di darat, berdasarkan konfigurasi bentuk dan ruang (spatial structure). Hasil dari penulisan paper ini adalah lokasi rumah dan perkembangan permukiman ini mempengaruhi tipologi yang terbentuk.BUILDINGS TYPOLOGY IN RIVERFRONT SETTLEMENTS BASED ON LOCATION AND TYPE OF CONSTRUCTION (CASE STUDY: KAHAYAN RIVER SIDE SETTLEMENTS, PALANGKARAYA)Houses in riverbank settlements have their uniqueness and character, and this is because the physical building of the house adapts to the conditions and environment in the riverbanks. Borneo is divided by large rivers that have unique and different environmental conditions; for example, the Kahayan River, which divides the city of Palangkaraya has a condition where the tidal height of the river is very high, and early settlements forming the City of Palangkaraya. Houses in settlements located on the riverbanks of the Kahayan have 3 segments, 1) Houses that are built on water (floating/lanting), 2) Houses that are located on the banks/transitions between water and land (stage), 3) house building in the land. The method used is a descriptive qualitative method; this method aims to describe and describe typologies based on the type of structure and space in buildings in this settlement. Purpose The writing of this paper seeks to find out the typology of house buildings on the banks of the Kahayan river, which consists of building segments on water, stage buildings, and buildings on the land, based on their spatial structure configurations. The results of this paper are the location of the house and the development of this settlement affect the typology that is formed.
CITRA UBUD BALI BERDASARKAN PETA KOGNISI MASYARAKAT Anggi, Mutiara; Pramitasari, Diananta; Marcillia, Syam Rachma
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 1 (2020): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4229.962 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v7i1.34859

Abstract

Berbagai kota maupun wilayah di Indonesia banyak memiliki potensi pariwisata yang menarik sehingga dikunjungi oleh turis dari berbagai macam negara. Salah satunya adalah area Ubud Bali yang memiliki banyak destinasi wisata dan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan pariwisatanya. Perkembangan yang pesat tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan kepadatan lingkungan yang tidak terkendali dan berubahnya citra Ubud sebagai kawasan alam dan pedesaan yang tenang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui citra Ubud berdasarkan kognisi spasial yang tergambar melalui peta kognisi (cognitive map) masyarakatnya. Citra Ubud tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk perkembangan area Ubud nantinya. Penelitian yang dilakukan di area Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali ini menggunakan metode penelitian pemetaan kognisi (cognitive mapping). Melalui metode ini sebelas responden diminta untuk menggambarkan sketsa peta area Ubud dengan menunjukkan lima elemen kota menurut Kevin Lynch, yaitu landmark, node, path, district, dan edge. Dari sebelas cognitive map yang tergambar, didapatkan hasil bahwa Ubud memiliki citra kawasan sebagai kawasan wisata yang masih memegang kuat budayanya. Hal ini ditunjukkan melalui perempatan Ubud dan Monkey Forest sebagai elemen spasial yang tertanam kuat dalam kognisi responden.IMAGE OF UBUD BALI BASED ON COGNITIVE MAP OF THE DWELLERSVarious regions in Indonesia have many attractive tourism potentials and are visited by tourists from various countries. One of them is the area of Ubud, Bali, which has many tourist destinations and continues to grow to meet the needs of tourism. This rapidly growing tourism will raise some concerns about uncontrolled urban density and the alteration of Ubud’s image as a peaceful and natural rural area. Therefore, this research was conducted to find out the image of Ubud based on the dwellers’ spatial cognition, which is drawn through their cognitive maps. This image of Ubud is expected to be used as a consideration for the development of the Ubud area. The research was conducted in the area of Ubud, Gianyar, Bali, and used cognitive mapping as the research method. Through this method, eleven respondents were asked to sketch the maps of Ubud area by showing five city’s elements, according to Kevin Lynch. Those elements are landmark, node, path, district, and edge. From eleven cognitive maps drawn, the obtained result is that Ubud has the image of a tourist area that still holds a strong culture. This is shown through the intersection of Ubud and Monkey Forest as spatial elements that are firmly embedded in the respondents’ spatial cognition.
KONSEP-KONSEP LOKAL YANG MELATARBELAKANGI SISTEM PENGHAWAAN DAN PENCAHAYAAN RUMAH TRADISIONAL DI DUSUN PUCUNG, JAWA TENGAH Hardy, I Gusti Ngurah Wiras
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 1 (2020): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (457.43 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v7i1.35394

Abstract

Pucung merupakan salah satu dusun yang menjadi bagian dari pengembangan situs purbakala Sangiran di Jawa Tengah. Warga dusun masih hidup secara tradisional di dalam rumah sederhana, namun memiliki ruang, bentuk, dan sistem yang khas. Salah satunya adalah sistem penghawaan dan pencahayaan pada rumah tinggal yang minim bukaan, sehingga berbeda dengan standar rumah tinggal masa sekarang. Hal ini menarik untuk diteliti karena diduga terdapat konsep-konsep lokal yang melatarbelakangi sistem tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif untuk mendeskripsikan konsep-konsep lokal yang melatarbelakangi sistem penghawaan dan pencahayaan pada rumah tradisional di Dusun Pucung. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara mendalam, dan studi literatur yang dianalisis dengan teknik induktif. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat empat konsep yang melatarbelakangi sistem penghawaan dan pencahayaan pada rumah warga, yaitu: (1) rumah sebagai tempat perlindungan, (2) rumah sebagai domain keluarga, (3) tingkat penghawaan dan pencahayaan dalam rumah menunjukan tingkat privasi dan kesakralan ruang, dan (4) wujud keharmonisan dengan alam sekitar.LOCAL CONCEPTS IN AIR CIRCULATION AND LIGHTING SYSTEM OF TRADITIONAL HOUSE IN PUCUNG VILLAGE, CENTRAL JAVAPucung is one of a village in Sangiran, Central Java. It also part of an archaeology site development in that area. Pucung society lived traditionally in simple house construction. However, it supported by a unique style of rooms, shapes, and system values. Some of the uniqueness are the air circulation and lighting system in their house with limited ventilation, which seems different from modern house standard. The assumption of local concepts that might influence the construction system is interesting to be studied. This research uses a descriptive-qualitative method to describe the local concepts of air circulation and lighting systems that applicated in a traditional house in Pucung Village. The research data is collected through field-observation, in-depth interviews, and literature studies. All of them, then treated in inductive technique analysis. In general, there are four concepts result as the background of air circulation and lighting system in Pucung traditional house construction, such as (1) house as a shelter, (2) house as a family domain, (3) level of air circulation and lighting system inside the house refer to a privacy level and sanctity of the room, and (4) a form of harmony with the natural surroundings.
PENGARUH PEMILIHAN LOKASI DAGANG TERHADAP VISIBILITAS PEDAGANG KAKI LIMA Setiyawan, Alfanadi Agung; Sari, Suzanna Ratih; Sardjono, Agung Budi
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 1 (2020): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1401.992 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v7i1.37640

Abstract

Trotoar adalah salah satu bentuk ruang terbuka yang menunjang segala kegiatan pada skala kawasan. Berfungsi sebagai elemen transportasi perkotaan yakni wadah bagi pejalan kaki dengan tidak melupakan pendukung aktivitas yang memanfaatkan keberadaan pejalan kaki di trotoar. Keberadaan pendukung aktivitas yang salah satunya adalah pedagang kaki lima (PKL) memiliki hubungan timbal balik dengan pejalan kaki. Interaksi jual beli yang terjadi antara PKL dan pejalan kaki terkadang menimbulkan masalah, salah satunya adalah tuntutan kebutuhan ruang. Banyaknya PKL yang menuntut kebutuhan ruang berbanding terbalik dengan dimensi ruang yang ada, sehingga menyebabkan kesesakan (crowding) antar pengguna trotoar. Melupakan fungsi utamanya, trotoar didominasi dan dipersepsikan menjadi area komersial oleh PKL. Penelitian ini bertujuan untuk mencari keterkaitan antara persepsi atribut visibilitas yang ditunjukkan dengan bagaimana mereka berperilaku saat menata lapak pada latar seting trotoar koridor Pandanaran, Semarang. Mulai dari PKL datang, menata lapak, orientasi memasang spanduk, hingga selesai. Pemilihan lokasi dan penataan lapak di trotoar diduga didasari pada kekuatan propertis pada setting dan adanya tuntutan dari atribut visibilitas serta atribut lain yang mendukungnya. Metode Person Centered Mapping dan kuesioner akan digunakan untuk memperoleh data rekaman perilaku maupun data statistik PKL dalam berdagang di trotoar. Data yang didapatkan kemudian dianalisa menggunakan metode analisis statistik deskriptif.THE EFFECT OF TRADE LOCATION SELECTION TOWARDS STREET VENDOR VISIBILITYThe Sidewalk is one of the open space forms that support all activities on a regional scale. As an element of urban transportation, it serves to accommodate pedestrians by not forgetting supporters of activities that utilize the presence of pedestrians on the sidewalk. The existence of activity supports, in which one of them is street vendors, has a reciprocal relationship with pedestrians. Buy-and-sell interactions that occur between street vendors and pedestrians sometimes cause problems, such as the demand for space needs. The large number of street vendors who demand space is inversely proportional to the existing spatial dimensions, thus causing crowding among sidewalk users. Sidewalks, whose primary function is forgotten, are dominated and perceived to be commercial areas by street vendors. This study aims to look for the relationship between perceptions of visibility’s attribute shown by how they behave when arranging shanties in the setting of the Pandanaran corridor sidewalk, Semarang. Starting from the street vendors coming, arranging shanties, banner orientation, until the finish. The selection of location of stalls on the sidewalk is allegedly based on the strength of the property in the setting and the existence of demands for visibility attribute and other attributes which were supported. The Person-Centered Mapping method and questionnaire will be used to obtain behavioral record data as well as street vendor’s statistical data in trading on the sidewalk. The data collected were then analyzed using descriptive statistical analysis methods.
IDENTIFIKASI MODEL ADAPTASI BENCANA DI KAWASAN SENG HIE DAN DESA SUNGAI KAKAP Gultom, Bontor Jumaylinda Br; Jati, Dian Rahayu; Andi, Andi
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 1 (2020): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (911.536 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v7i1.37771

Abstract

Kenyataan adanya bencana banjir akibat air pasang tinggi tahunan di kawasan waterfront tidak membuat kawasan tersebut menjadi tidak layak huni. Kawasan Seng Hie dan Desa Sungai Kakap merupakan kawasan waterfront yang menjadi permukiman yang bertahan dan beradaptasi dari dulu hingga sekarang. Bangunan di dua kawasan ini beradaptasi dan mengalami renovasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk model adaptasi dari segi elemen bangunan dan perilaku. Dalam penelitiani ini, elemen bangunan dibatasi hanya pada elemen selubung bangunan saja yang terdiri dari lantai, dinding, dan atap. Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan teknik triangulasi (observasi, wawancara dan studi dokumentasi). Objek penelitian ini adalah 15 rumah di Kawasan Seng Hie dan 25 rumah di Desa Sungai Kakap yang ditentukan dalam segmen-segmen kawasan. Objek ini dipilih secara random sebagai sampel dari tiap segmen kawasan. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan 5 jenis model adaptasi bencana yang dimana masing-masing model memiliki kombinasi adaptasi bangunan dan adaptasi perilaku yang berbeda-beda.IDENTIFICATION OF DISASTER ADAPTATION MODELS IN SENG HIE AND SUNGAI KAKAPThe fact that there was a flood due to annual high tides in the waterfront area did not make the area uninhabitable. Seng Hie and Sungai Kakap Village are waterfront areas that have become settlements which survived and adapted from the past until now. Buildings in these two areas are changing and undergoing renovation. This study aims to identify forms of adaptation models in terms of building elements and behavior. In this study, the building elements are limited to the building envelope consisting of floors, walls, and roofs. The method in this study is a qualitative method. Data collection techniques in this research are triangulation techniques (observation, interviews and documentation study). The objects of this study were 15 houses in the Seng Hie area and 25 houses in Sungai Kakap Village, which were determined in regional segments. This object is chosen randomly as a sample of each regional segment. The results of this study are found 5 types of disaster adaptation models in which each model has a different combination of building adaptation and behavior adaptation.
PENGARUH SETTING RUANG TERBUKA TERHADAP SEBARAN TERITORI PKL DI WATERFRONT KOTA PONTIANAK Ratih, Yudithya; Akbar, Estar Putra; Destria, Caesar
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 8, No 1 (2021): April
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/lantang.v8i1.42594

Abstract

Pontianak waterfront city merupakan salah satu program yang terus dilakukan oleh pemerintah Kota Pontianak. Salah satu kawasan waterfront yang menarik untuk dikunjungi adalah kawasan Waterfront Seng Hie. Keberadaan waterfront Seng Hie memberikan dampak yang positif membantu meningkatkan citra Kota Pontianak sebagai Kota Tepian air, disisi lain ternyata memberikan dampak negatif, yaitu menjadi magnet kegiatan PKL yang tidak terencana sebelumnya. Kondisi ini jika tidak mendapat perhatian khusus, maka berpotensi munculnya konflik penggunaan ruang antara pengunjung dan para PKL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor Setting ruang yang mempengaruhi pola sebaran teritori PKL di Waterfront Kota Pontianak. Secara umum, hasil penelitian ini akan menjadi masukan Pemerintah Kota Pontianak dalam upaya memperbaiki kualitas ruang terbuka di tepian air dan akan bersinergi dengan keberadaan PKL. Metode digunakan dalam penelitian ini adalah pemetaan perilaku, yang akan terkait dengan variabel Setting ruang. Hasil penelitian ini ditemukan faktor utama yang mempengaruhi pola distribusi PKL di Waterfront Kota Pontianak yaitu keberadaan seting Fix di waterfront seperti Pagar, Bangku Taman, Perkerasan Beton yang menjadi media PKL untuk berjualan, yang dibedakan atas lima pola teritori sebaran PKL (1) disekitar bangku taman, 2) di sekitar plaza, 3) di sekitar pagar, 4) di sekitar reling tangga, 5) di sekitar anak tangga. THE EFFECT OF SETTING OPEN SPACE ON THE SPREAD OF PKL TERRITORY IN THE WATERFRONT OF PONTIANAK CITY Pontianak waterfront city is one of the programs that the Pontianak City government continues to carry out. One of the interesting waterfront areas to visit is the Seng Hie Waterfront area. The existence of Seng Hie's waterfront has a positive impact helping to improve the image of Pontianak City as a waterfront city; on the other hand, it has a negative effect, namely becoming a magnet for previously unplanned street vendors activities. If this condition does not get special attention, then the potential for conflict in the use of space between visitors and street vendors. This study aims to determine the spatial setting factors that affect the distribution patterns of street vendors at the Waterfront of Pontianak City. In general, the results of this research will be used as input for the Pontianak City Government to improve the quality of open spaces on the water's edge. They will synergize with the existence of street vendors. The method used in this research is behavior mapping, which will be related to the variable space setting. The results of this study found that the main factors that influence the distribution pattern of street vendors at the Waterfront of Pontianak City are the presence of Fix settings on the waterfront such as fences, park benches, concrete pavers which become the media for street vendors to sell, which are divided into five territorial patterns of street vendors (1) around park benches, 2) around the plaza, 3) around the fence, 4) around the stair rail, 5) around the steps.
IDENTIFIKASI PENDEKATAN WHITE CUBE DAN REGIONALISME KRITIS PADA ARSITEKTUR GALERI SENI DI YOGYAKARTA Sari, Marchelia Gupita; Asharhani, Imaniar Sofia
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 7, No 2 (2020): October
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/lantang.v7i2.39678

Abstract

Regionalisme dalam arsitektur kerap dibahas sebagai respon terhadap arsitektur modern yang bersifat univalen dan melunturkan nilai-nilai kesetempatan. Estetika galeri seni dengan pendekatan white cube yang berakar pada modernisme telah mengglobal atau melanda dunia, seperti halnya international style dalam arsitektur. Yogyakarta kini tengah menghadapi isu lokalitas dalam arsitektur yang dapat mencerminkan identitasnya sebagai kota seni dan budaya. Galeri seni memiliki peranan penting untuk menyebarkan kesenian kontemporer yang dinamis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan pendekatan white cube pada arsitektur galeri seni dan penerapan regionalisme kritis sebagai respon terhadap modernitas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Analisis data dilakukan dengan komparasi antarkasus berdasarkan indikator dari regionalisme kritis dalam arsitektur. Penarikan kesimpulan berdasarkan kecenderungan penerapan white cube dengan indikator regionalisme pada kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan regionalisme ditemukan pada kasus yang menekankan tektonika, respon terhadap iklim, dan respon terhadap konteks sekitar. Karya seni di galeri seni Yogyakarta ternyata tidak serta merta dibebaskan dari konteks sekitar seperti halnya konsep white cube gallery.IDENTIFICATION OF  WHITE CUBE APPROACH AND REGIONALISM IN ART GALLERY ARCHITECTURE IN YOGYAKARTA Regionalism in architecture is often discussed as a response to modern architecture, which contains a univalent value and attenuates the values of context. The aesthetics of art galleries with the concept of white cube rooted in modernism have become trend in the world and international style in architecture. Yogyakarta is currently facing locality in architecture that can reflect its identity as a city of arts and culture. Art galleries have an essential role in spreading dynamic contemporary art. This study aims to identify the white cube approach to art gallery architecture and critical regionalism to respond to modernity. This research uses descriptive qualitative research methods. Data analysis was conducted by comparisons between cases based on indicators of crucial regionalism in architecture. The conclusion is based on the tendency of applying white cube with indicators of regionalism in cases. The results showed that the regionalism approach was found in cases that emphasized tectonic aspects, responses to climate, and responses to the surrounding context. Artwork in the Yogyakarta art gallery is not necessarily freed from the surrounding context, such as the concept of the white cube gallery.

Page 8 of 14 | Total Record : 131