cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Engineering,
Arjuna Subject : -
Articles 131 Documents
PENGARUH TATA RUANG PADA PENGHAWAAN ALAMI RUMAH VERNAKULAR MELAYU PONTIANAK Caesariadi, Tri Wibowo
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 1 (2019): June
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1575.591 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i1.33160

Abstract

Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang memiliki respon yang baik terhadap iklim setempat. Hal ini juga berpengaruh terhadap kenyamanan termal dalam bangunan. Sebagai kota yang memiliki iklim tropis lembab, kenyamanan termal bangunan di Kota Pontianak banyak ditentukan oleh pergerakan angin yang terjadi di dalam bangunan. Adaptasi terhadap iklim pada rumah vernakular melayu Pontianak tidak hanya pada penggunaan elemen bangunan seperti bukaan dan bahan bangunan, juga pada tata ruang yang khas, di antaranya terdapat teras, ruang tengah serta pelataran belakang yang memisahkan rumah induk dengan rumah anak. Tujuan penelitian adalah melihat apakah tata ruang ini berpengaruh terhadap penghawaan alami di ruang dalam. Penelitian dilakukan dengan pengukuran di lapangan terhadap variabel kenyamanan termal, terutama temperatur dan kelajuan angin. Kemudian hasil pengukuran dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan dilihat hubungan antara variabel dengan tata ruang, yaitu bagaimana temperatur dan kelajuan angin yang berbeda terjadi di setiap ruang, sehingga dapat ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tata ruang di rumah vernakular melayu Pontianak, yaitu hadirnya teras dan pelataran belakang turut berperan dalam penghawaan alami yang terjadi di ruang dalam. Teras berperan dalam menurunkan temperatur luar yang masuk ke dalam bangunan (30,74 °C di ruang luar, lalu 29,84 °C di teras depan, dan 29,09 °C di ruang dalam). Pelataran belakang serta tata ruang dalam memberikan pergerakan angin yang lebih baik, ditunjukkan dengan selisih yang kecil antara kelajuan angin di ruang dalam dengan ruang luar pada rumah dengan pelataran belakang (0,51 m/s) dibandingkan dengan rumah tanpa pelataran belakang (0,77 m/s).EFFECT OF SPACE LAYOUT TO NATURAL VENTILATION IN MELAYU PONTIANAK VERNACULAR HOUSEVernacular architecture is architecture that has good response to local climate. This also affects the thermal comfort in the building. As a city that has a humid tropical climate, the thermal comfort of buildings in Kota Pontianak is largely determined by the movement of the wind that occurs inside the building. Adaptation to climate in Pontianak's melayu vernacular house is not only on the use of building elements such as openings and building materials, but also on the typical spatial layout, including a terrace, a central room and a back veranda that separates the main house from the secondary house. The aim of the study was to see whether this spatial arrangement has an effect on natural ventilation in the indoor space. The study was conducted with measurements of thermal comfort variables, especially temperature and wind speed. Then the measurement results were analyzed descriptively quantitatively and viewed the relationship between variables and spatial arrangement – i.e. how the temperatures and wind speed differ in each rooms – so that conclusions could be drawn. The results showed that the layout in Pontianak's melayu vernacular house, namely the presence of terraces and back veranda, played a role in the natural ventilation that occurred in the indoor space. The terrace plays a role in reducing the outside temperature that enters the building (30.74 °C in the outdoor, then 29.84 °C on the front terrace, and 29.09 °C in the indoor). Back veranda and spatial layout provide better wind movement, indicated by small difference between the speed of wind in the indoor and the outdoor space of the house with back veranda (0.51 m/s) compared to the house without back veranda (0.77 m/s).
ARSITEKTUR MELAYU: IDENTIFIKASI RUMAH MELAYU LONTIAK SUKU MAJO KAMPAR Faisal, Gun
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 1 (2019): June
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1559.244 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i1.31007

Abstract

Arsitektur melayu memiliki tipologi yang sangat banyak, diantaranya rumah melayu Limas, rumah Lontiak, rumah Begonjong, rumah beratap Layar dan Bersayap, rumah Melayu Peranakan (campuran etnis China), serta beberapa tipikal rumah melayu lainnya. Selain memiliki 4 (empat) ruangan yaitu selasar, rumah induk, telo dan penanggah, rumah melayu juga memiliki ornamen yang terdapat pada atap lisplank dan dinding serta tiang rumah. Salah satu rumah tradisional yang ada di kabupaten Kampar yaitu Rumah Lontiok (Lentik) Melayu Majo. Tulisan ini mengidentifikasi dan mendokumentasikan rumah ini sebagai salah satu bangunan melayu yang perlu dijaga dan dilestarikan. Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus digunakan dalam penelitian ini dikarenakan objek penelitian yang sudah hilang dimakan usia. Teori tentang arsitektur Melayu dan ornamen bangunan Melayu sebagai background knowledge dengan didukung informasi yang diperoleh dari literatur dan data dilapangan serta pelaku kegiatan dalam lingkup penelitian. Pengolahan dan analisis data dilanjutkan dengan mengevaluasi dan membuat sketsa dan penggambaran ulang, kemudian diakhiri dengan penyusunan hasil temuan lapangan. Secara umum rumah ini dibagi kedalam 2 (dua) masa bangunan, bagian pertama yaitu rumah induk, dan yang kedua yaitu dapur, terdapat penghubung antara rumah induk dan dapur. Rumah melayu Majo merupakan bangunan bertipologi panggung dengan ciri khas atap Lontiak. Ornamen yang pertama kali terlihat pada rumah ini adalah Selembayung atau Tanduk Buang, terdapat pula ornamen seperti tombak terhunus yang disebut tombak-tombak begitu juga dengan sayap layang-layang yang terletak pada keempat sudut atap. Bermacam jenis ukiran juga terdapat pada setiap sudut bangunan ini.MALAY ARCHITECTURE: IDENTIFICATION MALAY LONTIAK HOUSE OF KAMPAR MAJO TRIBEMalay architecture has a lot of typologies in roof forms, such as Limas, Lontiak, Begonjong, Layar and Sayap, Peranakan (a mixture of ethnic Chinese), and several other typical Malay houses. One of the traditional houses in Kampar regency is the Lontiok (Lentik) Melayu Majo house which was built involving the wider community and traditional ceremonies. This paper identifies and documents this house as one of the Malay buildings that need to be preserved. The research method used is a qualitative research method with a case study approach. The theory of Malay architecture and ornaments as background knowledge is supported by information obtained from the literature, field data, and activity actors within the scope of research. Processing and analysis data is continued by evaluating, sketching, and re-drawing, then ending with the preparation of field findings. In general, this house is divided into 2 (two) building part, the first line is the main house, and the second building mass is the kitchen, there is a connection between the main house and the kitchen. Majo Melayu House is a stage building with the characteristic of Lontiak roof. The ornaments that were first seen in this house is Selembayung or Tanduk Buang; there were also ornaments such as unsheathed spears called Tombak-tombak and Sayap Layang-layang on the four corners of the roof. Various types of carvings are found in every segment of this building.
KARAKTERISTIK LANSEKAP BUDAYA DI DUSUN KAJUARA, KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN ., Hamka
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 4, No 1 (2017): June
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1601.55 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v4i1.20390

Abstract

Lansekap merupakan kondisi bentang alam dengan karakteristik unsur dan elemen tertentu pada suatu wilayah. Lansekap pada suatu permukiman merupakan hasil interaksi antara manusia dengan alam dan budaya yang menjadi latar belakang ciri identitas suatu lansekap.   Khususnya pada lansekap budaya dengan latar belakang sosial masyarakat yang berbeda-beda di tiap daerah di Indonesia. Peranan kondisi geografis dan budaya pada suatu kelompok masyarakat atau suku menarik dikaji kaitannya dalam hal lansekap budaya pada lingkungan permukiman. Kajian ini akan membahas karakteristik lansekap budaya permukiman Dusun Kajuara Kabupaten Bone dengan pendekatan metode kualitatif analsis deskriptif berdasarkan 13 komponen lansekap budaya. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa, letak geografis wilayah dan sosial budaya masyarakat di Dusun Kajuara yang sebagian besar sebagai petani berpengaruh terhadap karakter lansekap budaya permukiman yang masih didominasi oleh unsur dan elemen alami pada softscape dan hardscape lingkungan. Kata-kata kunci: komponenen lansekap, lansekap budaya, lansekap tradisional  THE CHARACTERISTICS OF CULTURAL LANDSCAPE IN KAJUARA VILLAGE, BONE REGENCY SOUTH SULAWESILandscape is a condition with its landscape elements characteristic and specific elements of the region. Landscape on a settlement is the result of interaction between human and nature and culture which blends into the background characteristics of the identity of a landscape. Particularly in the cultural landscape with socially different backgrounds of each region in Indonesia. The role of geography and culture of a community or ethnic group is interesting to study in terms of the cultural landscape in the neighborhoods. This review will discuss the characteristics of the cultural landscape settlements of Dusun Kajuara Bone district with qualitative method approach which is based on 13 components of the cultural landscape. The results of the discussion showed that the geographical location and social and cultural area in the Kajuara Village, mostly as farmers, affected the landscape character of the settlement that is still dominated by natural factors and elements on softscape and hardscape settlements. Keywords: cultural landscape, landscape component, traditional landscape REFERENCESHasan, & Prabowo. (2002). Perubahan Bentuk dan Fungsi Arsitektur Tradisional Bugis di Kawasan Pesisir Kamal Muara, Jakarta Utara. International Symposium Building Research and the Sustainability of the Built Environment in the Tropics’ Universitas Tarumanegara. Koentjaraningrat. (1999). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan: Jakarta. Nurjannah & Anisa. (2003). Pola Permukiman Bugis di Kendari. NALARs Volume 9 Nomor 2 Juli 2010 Page, Robert. R, Cathy Gilbert, Susan A.Dolan. (1998). Guide of Culture Landscape Report. Hal: 53 Plachter, H. dan Rossler, M. (1995). Cultural Landscape: Reconnecting Culture and Nature. Dalam van Droste, B., Placher, H., dan Rossler, M. (Editors). Cultural Landscape of Universal Value. Suwarno, Nindyo. (2000). Tipologi Spasial Permukiman Transmigran Spontan di Desa Tolai Kecamatan Sausu Kabupaten Donggala. Media Teknik UGM
PENERAPAN GAYA ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL BALI DALAM RANCANGAN RUMAH ETNIS JAWA-MANADO DI SURABAYA Rosilawati, Hana
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 1 (2019): June
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (784.232 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i1.33138

Abstract

Rumah tradisional Bali memiliki penataan massa yang berbeda dengan rumah tradisional lainnya. Ketika merancang penataan massa rumah tradisional Bali, diperlukan proses yang erat kaitannya dengan budaya Bali yang merupakan wujud pengaturan tingkah laku agama Hindu dalam mengharmonisasikan alam semesta dan segala isinya/ makrokosmos (Bhuana Agung) dengan mikrokosmos (Bhuana Alit). Penataan massa tersebut dibedakan menjadi utama, madya, dan nista, dimana dalam penataannya dapat mengalami perkembangan dan perubahan yang dapat dipengaruhi dari latar belakang, kepercayaan, dan etnis, serta kebutuhan dan keinginan pemilik rumah. Seperti halnya pada Rumah milik pensiunan angkatan laut yang beretnis Jawa-Manado di Jalan Semolowaru, Surabaya, yang menjadi studi kasus penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan penerapan tatanan massa rumah tradisional Bali pada obyek studi yang pemiliknya beretnis Jawa-Manado. Prinsip-prinsip tata aturan penataan massa rumah tradisional Bali tidak sepenuhnya diikuti pada obyek studi. Pengadopsian tatanan massa dilakukan pada beberapa massa bangunan tanpa memikirkan makna sesungguhnya pada rumah tradisional Bali.APPLICATION OF TRADITIONAL BALINESE HOUSES MASS ORDER ON DESIGNING OF JAVANESE-MANADO ETHNIC HOUSES IN SURABAYA Traditional Balinese houses have a different mass arrangement from other traditional houses. When designing the mass arrangement of traditional Balinese houses, a process that is closely related to Balinese culture is a form of regulation of Hindu behavior in harmonizing the universe and all its contents/ macrocosm (Bhuana Agung) with microcosm (Bhuana Alit). The structuring of the masses can be divided into main (utama, intermediate (Madya), and contemptible (nista), whare in its arrangement can experience developments and changes that can be influenced from background, beliefs, and ethnicity, as well as the needs and desires of the homeowner. As is the case with the Javanese-Manado ethnic retired house on Semolowaru street, Surabaya, which is a research case study. This study aims to describe the application of the mass order of traditional Balinese houses to the study objects whose owners are Javanese-Manado ethnic. The Principles of the regulation of the mass of traditional Balinese houses are not fully followed in the object of study. Adoption of mass order is carried out on several building masses without thinking about the real meaning of traditional Balinese houses.
THERMAL COMFORT STUDY OF TEACHERS' ROOM AT SEKOLAH BINA MULIA PONTIANAK Suryajaya, Albert; Caesariadi, Tri Wibowo
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (480.791 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v1i1.18810

Abstract

Thermal comfort is one of the important aspects to ensure the comfort of a building. School building, e.g. Sekolah Bina Mulia, Pontianak is used for education activities for about eight hours a day. The teachersfourth floor and still applies the natural air ventilation system while other rooms use mechanical ventilation system. It is interesting to see thermal comfort condition in the ort of the room depends on the environment. Because of its position on the fourth floor, the wind circulation can flow freely and the application of air ventilation is possible. The average temperature is 29.599ºC, 71.216% for relative humidity and 0.143 m/s for wind speed, and 29.482ºC for MRT. The average value of PMV is 1.615. The thermal comfort value, based on the average of PPS*(PMV) calculation for three days observation is 0.130 and it is the neutral condition. This means the room is comfort for the users and it is mainly because  of the windows, sun shading, and the building materials which support the natural air ventilation of the school Kenyamanan termal merupakan salah satu aspek penting untuk memastikan suatu bangunan dapat memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Bangunan sekolah, seperti Sekolah Bina Mulia Pontianak merupakan bangunan pendidikan yang digunakan kurang lebih delapan jam dalam satu hari. Ruang guru pada sekolah Bina Mulia, yang terletak pada lantai empat masih menggunakan sistem ventilasi udara alami sementara ruangan lain menggunakan sistem penghawaan mekanikal. Kenyamanan termal pada ruangan tentu sangat tergantung pada Keadaan lingkungan. Karena posisinya yang cukup tinggi, pergerakan udara pada ruangan juga lebih bebas. Artinya, aplikasi ventilasi udara alami sangat memungkinkan. Nilai temperatur udara rata-rata pada ruangan adalah 29,599 ºC, kelembaban 71,216%, kecepatan udara 0,143 m/det dan nilai temperatur radiasi 29,482ºC. Nilai PMV rata-rata pada ruangan adalah 1,615. Nilai PPS*(PMV) rata-rata pada ruangan tersebut dalam tiga hari pengamatan adalah 0,130 dan merupakan kondisi netral. Ini artinya ruangan tersebut nyaman bagi penggunanya, yang pada dasarnya dikarenakan sistem jendela, pelindung matahari, dan material bangunan dapat mendukung ventilasi udara alami pada bangunan REFERENCESAlucci, Marcia Peinando; Leonardo Marques Monteiro. 2009. Thermal Comfort Index for The Assessment of Outdoor Urban Spaces in Subtropical Climates. University of Sao Paulo. Sao PauloBrager, G.S. and R. de Dear. 2001. Climate, Comfort, & Natural Ventilation: A new adaptive comfort standard for ASHRAE Standard 55. University of California. Berkeley.Charles, Kate E. 2003. Fanger’s Thermal Comfort and Draught Models. Institute for Research in Construction. OttawaDarby, Sarah and Rebecca White. 2005. Thermal Comfort. University of Oxford. LondonHensen, J.L.M. 1990. Literature Review on Thermal Comfort in Tranisent Conditions. Eindhoven University of Technology. EindhovenMangunwijaya, Yusuf Bilyarta. 1929. Pengantar Fisika Bangunan. Djambatan. JakartaMors, Sanderter, Jan L. M. Hensen, Marcel Loomans, Atze Boerstra. 2011. Adaptive thermal comfort in primary school classrooms: Creating and validating PMV-based comfort charts. Eindhoven University of Technology. EindhovenOrosa, Jose A. 2009. Research on the Origins of Thermal Comfort. University of A Coruña. A CoruñaParsons, Ken. 2003. Human Thermal Environments: The effect of Hot, Modern, and Cold Environments on Human Health, Comfort, and Performance. Tj International Ltd. CornwallPau, J.S., William K.S. Pao, Shaharin A. Sulaiman, and E. Halawa. 2013. Adaptive Thermal’s Model for Optimum Thermal Comfort Setting fo Lecture Halls in Malaysia. CREAM - Current Research in Malaysia Vol.2, No. 2Satwiko, Prasasto. 2005. Fisika Bangunan 1 Edisi 2. Andi. Yogyakarta
EVALUATION ON GREEN OPEN SPACE AS HEALTH PROMOTER WITH SALUTOGENIC APPROACH: CITY FOREST BSD I AS CASE STUDY Larasati, Ayu; Pakpahan, Rosdiana
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 2 (2019): December
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6660.547 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i2.34811

Abstract

Sedentary/passive behavior has increased the risk of non-communicable disease, which incites the need to promote an active lifestyle through outdoor physical activities. However, green open space (GOS) amount and design that focus as health promoter have not yet been sufficient. Therefore, design evaluation is conducted to acknowledge recent issues and potential solutions as design considerations for next GOS that focuses on health. Evaluation of GOS design quality uses design indicators that are extracted from Salutogenic Five Vital Signs to identify and assess design quality at selected GOS as a case study.  The data for this study is gathered through site surveys, two months observations, and user interviews: 25 visitors, two staff, and three entrepreneurs. Evaluation at selected GOS highlights the importance of forest setting as major attractions because it provides comfortable shades of trees. Also, GOS should be located at a strategic point to be easily accessed by different kind of transportation modes and routes. Moreover, legibility is achieved highly by movement network: path and clear main entrance, and permeability are achieved through the selection of more than five meters height of trees that clear the visual obstacles, clear spots of activities (pods), and transparent fences.EVALUASI RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI PROMOTOR KESEHATAN DENGAN PENDEKATAN SALUTOGENIC: TAMAN KOTA BSD I SEBAGAI STUDI KASUSPerilaku sedentary/pasif telah meningkatkan resiko terkena non-communicable disease yang menimbulkan munculnya kebutuhan untuk mendorong aktivitas fisik aktif yang dilakukan di ruang terbuka. Akan tetapi, kuantitas ruang terbuka hijau (RTH) belum memenuhi proporsi minimum 30% dari total luas area dan kualitas desain RTH sebagai promotor aktivitas fisik aktif (kesehatan) belum memiliki referensi desain. Oleh karena itu, evaluasi desain dilakukan untuk mengetahui permasalahan, potensi solusi, dan strategi yang terdapat pada RTH sekarang ini sebagai panduan rancang yang mendorong kegiatan fisik aktif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang dilakukan melalui empat tahap, yaitu: 1. studi pustaka mengenai lima tanda vital salutogenic (diversity, vitality, nature, authenticity, dan legacy) untuk mengidentifikasi parameter evaluasi (kriteria perancangan dan indikator desain), 2. pemilihan objek studi, 3. pengumpulan data melalui survey, observasi dan wawancara, dan 4. identifikasi dan evaluasi kualitas desain RTH. Objek studi terpilih merupakan RTH yang berpotensi memenuhi lima tanda vital salutogenic, yaitu Taman Kota BSD I (TK I), Tangerang Selatan. Hasil evaluasi RTH adalah pentingnya mengintegrasikan unsur alam sebagai setting RTH karena karakteristiknya yang spesifik menjadi daya tarik utama untuk beraktivitas aktif. Selain itu, RTH perlu menyediakan fasilitas lengkap dan pemeliharaannya untuk seluruh kategori usia dan skala aktivitas dari personal hingga komunitas. Secara keseluruhan, RTH perlu mengembangkan program dan strategi implementasi untuk mengembangkan aktivitas edukasi dan preservasi yang melibatkan komunitas secara aktif.
USEFUL DAYLIGHT ILLUMINANCE (UDI) PADA RUANG BELAJAR SEKOLAH DASAR DI KAWASAN URBAN PADAT TROPIS (STUDI KASUS: SD NEGERI 2 DAN 6 BANDA SAKTI, LHOKSEUMAWE, ACEH, INDONESIA) Atthaillah, Atthaillah; Bintoro, Andik
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 2 (2019): December
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (915.986 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i2.33940

Abstract

Studi ini melakukan evaluasi pencahayaan alami pada ruang belajar Sekolah Dasar Negeri 2 dan 6 Banda Sakti, Lhokseumawe.  Sekolah tersebut berada pada lokasi urban padat dan merupakan sekolah dengan bangunan terluas di kecamatan Banda Sakti.  Ada 36 (tiga puluh enam) ruang kelas yang dilakukan simulasi pencahayaan alami pada objek studi ini.  Simulasi pencahayaan alami dilakukan dengan metrik useful daylight illuminance (UDI).  Metrik ini menggunakan data cuaca lokasi objek penelitian dalam hal ini data cuaca Kota Lhokseumawe dalam format energyplus weather (EPW) file.  Pemodelan untuk simulasi dilakukan dengan piranti Rhinoceros, sementara algoritma simulasi dibuat menggunakan Grasshopper dengan tambahan plugin Ladybug Tools.  Ladybug Tools memberikan akses ke engine simulasi Daysim yang merupakan perangkat simulasi pencahayaan alami yang tervalidasi.  Pada penelitian ini ketegori UDI terpenuhi dialterasi sesuai dengan standar pencahayaan alami disarankan dalam SNI 03-6197 yaitu 250-750 Lux untuk ruangan yang digunakan pada bangunan pendidikan dalam hal ini sekolah dasar.  Hasil menunjukkan tidak ada ruang kelas yang dikategorikan baik pada SDN 2 dan 6 Banda Sakti.  Hanya terdapat 29 (dua puluh sembilan) kelas dengan kategori cukup dan 7 (tujuh) ruang dengan kategori kurangUSEFUL DAYLIGHT ILLUMINANCE (UDI) IN ELEMENTARY SCHOOL CLASSROOMS IN TROPICAL HIGH DENSITY URBAN AREA (CASE STUDY: SD NEGERI 2 AND 6 BANDA SAKTI, LHOKSEUMAWE, ACEH, INDONESIA) This study evaluated the daylight distribution within classrooms at Sekolah Dasar Negeri 2 and 6 Banda Sakti, Lhokseumawe.  The school is located in high-density urban area, and it was the largest state elementary school building in Banda Sakti.  36 (thirty-six) classrooms were simulated for its daylight performance.  The simulation utilized useful daylight illuminance (UDI) metric. The metric used the local weather file for Lhokseumawe in energyplus weather (EPW) format.  Modeling for simulation utilized Rhinoceros; further, the simulation algorithm was created using Grasshopper with the extension of Ladybug Tools.  Ladybug Tools opened access to a Daysim, a validated daylight simulation engine.  In this study, the useful daylight was referenced to SNI 03-6197, which was 250-750 Lux for educational spaces at this study classrooms for the elementary school.  The result showed there was none of the classroom fallen under a good category. 29 (twenty-nine) classrooms was under insufficient category and 7 (seven) classrooms under a bad category
POLA PERTUMBUHAN PASAR RAKYAT DI KOTA PONTIANAK Kalsum, Emilya; Purnomo, Yudi
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 2 (2019): December
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (813.608 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i2.33223

Abstract

Pasar tradisional atau pasar rakyat merupakan sebuah pusat kegiatan ekonomi di suatu daerah yang juga menjadi perwujudan kesejahteraan masyarakat sangat berpotensi dalam menggerakkan roda perekonomian berbasis ekonomi rakyat. Pasar rakyat mampu bertahan memberikan pelayanan kebutuhan kepada masyarakat luas sekalipun dalam kondisi krisis perekonomian. Pasar rakyat telah menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menyelamatkan keberadaan pasar rakyat yang kini semakin terhimpit oleh adanya pasar modern yang terus meningkat saat ini. Pemerintah telah memiliki berbagai kebijakan untuk mengantisipasi masalah ini di antaranya adalah Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar rakyat, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Namun berbagai kebijakan seringkali hanya diberlakukan pada pasar rakyat yang disediakan atau dibangun oleh pemerintah atau pengelola wilayah. Padahal tak jarang, pasar rakyat yang ada berawal dari pasar yang tumbuh dari swadaya masyarakat. Pasar seperti ini hampir merata tumbuh di setiap kota di Indonesia demikian pula di Kota Pontianak. Identifikasi pola pertumbuhan pasar rakyat di Kota Pontianak ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sebetulnya sebuah pasar rakyat tumbuh dan berkembang di area permukiman. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, dalam upaya mendeskripsikan gejala atau fenomena tentang pertumbuhan yang terjadi pada saat penelitian dilakukan. Pendekatan kuantitatif dilakukan dalam rangka untuk mengetahui jumlah pasar rakyat hasil swadaya masyarakat. Pola pertumbuhan pasar rakyat di Kota Pontianak yang terbentuk dari swadaya masyarakat Kota Pontianak yang ditunjukkan dari hasil penelitian ini sangat relevan untuk menjadi pertimbangan dalam penataan pasar rakyat di Kota Pontianak di masa yang akan datang. Ini terkait pada kebutuhan masyarakat, lokasi, kepemilikan, penempatan dan pengelolaan.PUBLIC MARKETS GROWTH PATTERN IN PONTIANAKTraditional markets or public markets are the centers of economic activity in an area that also embody the welfare of the people who have great potential and can drive the economy of the people. During financial crisis, the markets can survive, providing service needs to the community. Public markets have described the pulse of the people's economy. Therefore, the existence of public markets, which are now increasingly squeezed by the rapid growth of the modern stores, are important to be immediately saved. The government already has several legal protections to overcome this problem, one of it is the Presidential Regulation Number 112 of 2007 concerning the Arrangement and Development of Public Markets, Shopping Centers and Modern Stores. However, various policies are often only applied to the public markets that are provided or built by the government or regional managers. Even though it is not uncommon that the existing public markets originated from markets that grow from nongovernmental community self-help. These markets are almost evenly grown in every city in Indonesia, as well as in Pontianak. Identification of the pattern of growth of the public markets in Pontianak is intended to find out how public markets grow and develop in residential areas. This research uses a descriptive method with a quantitative approach, to describe the symptoms or phenomena about the growth that occur at the time the research is conducted. A quantitative approach is carried out to find out the number of people's markets resulting from nongovernmental community self-help. The results showed that the pattern of growth of public market in Pontianak which was formed from the self-help of the people was very relevant to be considered in the structuring of the public markets in Pontianak in the future. This is related to community needs, location, ownership, placement, and management.
PERANAN RUANG KOMUNAL DALAM MEWADAHI PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG RATMAKAN Prasetyo, Anggar
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 2 (2019): December
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.056 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i2.34393

Abstract

Kampung Ratmakan merupakan sebuah kampung yang terletak ditengah perkotaan Yogyakarta. Kampung Ratmakan memiliki citra yang bersih dan ikatan sosial yang kuat antar anggota masyarakat. Namun perilaku masyarakat perkotaan menjadi ancaman bagi masyarakat masyarakat Kampung Ratmakan. Ancaman datang berupa dari karakter masyarakat perkotaan yang cenderung individu dan mengancam karakter sosial masyarakat Kampung Ratmakan. Untuk itu dibangun beberapa ruang komunal pada Kampung Ratmakan yang terletak ditengah perkampungan dan tersebar ditepi Sungai Code. Ruang-ruang komunal tersebut dibangun untuk mewadahi aktifitas perilaku masyarakat dengan membentuk setting ruang pada tiap ruang komunal. Sehingga perlu diketahui sejauh mana ruang-ruang komunal terdebut dengan setting yang ada mampu mewadahi aktifitas komunal masyarakat Kampung Ratmakan.  Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pencarian data menggunakan teknik observasi langsung dan wawancara mendalam. Kemudian dari data-data tersebut dikaitkan dengan teori-teori mengenai konsep affordance dan karakter masyarakat kampung. Hasil yang dicapai menyatakan bahwa ruang komunal tepi sungai dan ruang komunal tengah kampung memiliki peranan berbeda untuk mewadahi perilaku sosial masyarakat. Ruang komunal tengah kampung cenderung berperan sebagai physical affordances melalui fasilitas-fasilitas yang ada. Sedangkan ruang komunal tepi sungai cenderung berperan sebagai sensory affordances melalui kenyamanan thermal yang terbentuk.ROLE OF COMMUNAL SPACES IN ACCOMMODATING SOCIAL COMMUNITY BEHAVIOR OF RATMAKAN KAMPUNG Kampung Ratmakan is an area that located in the middle part of Yogyakarta. Kampung Ratmakan has character as clean kampong and they have strong social relation between member of kampong. But the character of urban citizen has became threat for Ratmakan people. The threat has the shape of urban citizen character that inclined as individuality and become threat for kampong people character. So, they had built several communal spaces in the Kampung Ratmakan that located in the middle part of kampong and the side of Code River. The communal spaces are built to accommodate the behavior of the community by forming a space setting in each communal space. So that it is necessary to know the extent to which communal spaces have been contested with the existing settings capable of accommodating communal activities of the Kampung Ratmakan community. The method in this study is a qualitative method with data search using direct observation techniques and in-depth interviews. Then from these data are associated with theories about the concept of affordance and character of the village community. The results achieved stated that the riverside communal space and the middle communal space of the village had different roles to accommodate the social behavior of the community. Central village communal space tends to act as physical affordances through existing facilities. While riverfront communal spaces tend to act as sensory affordances through the thermal comfort that was formed.
PRINSIP DESAIN ARSITEKTUR BIOKLIMATIK PADA IKLIM TROPIS Handoko, Jarwa Prasetya Sih; Ikaputra, Ikaputra
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR Vol 6, No 2 (2019): December
Publisher : Department of Architecture, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.075 KB) | DOI: 10.26418/lantang.v6i2.34791

Abstract

Pertumbuhan pembangunan gedung yang tidak mempertimbangkan faktor kondisi alam menyebabkan munculnya potensi penurunan kualitas lingkungan hidup yang diakibatkan oleh konsumsi energi pada bangunan yang mengakibatkan menipisnya sumber daya alam, selain itu dilatar belakangi terjadinya fenomena perubahan iklim global yang menumbuhkan bangunan boros energi dalam kenyamanan fisik bangunan. Hal ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya desain arsitektur berbasis kondisi alam setempat termasuk kondisi iklim setempat atau pemanfaatan potensi Bioklimatik. Arsitektur Bioklimatik adalah adalah suatu pendekatan desain yang mengarahkan arsitek untuk mendapatkan penyelesaian desain dengan mempertimbangkan hubungan antara bentuk arsitektur dengan lingkungan iklim daerah tersebut. Kajian ini membahas prinsip desain Arsitektur Bioklimatik pada iklim tropis. Dengan demikian diharapkan dapat disusun theoritical framework terkait prinsip desain arsitektur pada iklim tropis. Iklim Tropis merujuk pada terminologi letak geografis daerah di sekitar equator diantara Garis Tropic of Cancer dan Tropic of Capricorn. Metode yang digunakan pada kajian ini dengan menggunakan studi pustaka atau studi referensi. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa Prinsip Desain Arsitektur Bioklimatik pada Iklim Tropis terdiri dari 2 (dua) tipe meliputi Prinsip desain untuk bangunan pada daerah Iklim Tropika Basah (Hot humid Climate) yang memiliki 2 musim dan Prinsip desain untuk bangunan pada daerah iklim Tropika kering (Hot Arid Climate) dengan 4 musim. Kedua prinsip desain ini dipengaruhi beberapa perbedaan kondisi iklim diantara kedua wilayah iklim ini. Kedua wilayah ini secara umum memiliki temperature udara tinggi, perbedaannya adalah perbedaan suhu diurnal diantara kedua wilayah iklim tersebut. Kondisi ini memerlukan respon yang berbeda khususnya pada desain selubung bangunan, dimana desain selubung bangunan mempengaruhi tingkat heat gain (perolehan panas) dan heat loss (pembuangan panas) bangunan tersebut dalam upaya menciptakan indoor thermal comfort pada bangunan.PRINCIPLES OF BIOCLIMATIC ARCHITECTURAL DESIGN IN THE TROPICAL CLIMATE The growth of building construction that does not consider natural conditions causes the potential for environmental degradation due to energy consumption in buildings, which and results in the depletion of natural resource. In addition to the occurrence of global climate change phenomena that foster energy-intensive for buildings to fulfill the physical comfort. This condition raises awareness of the importance of architectural design based on local natural conditions including local climatic conditions or the utilization of bioclimatic potential. Bioclimatic Architecture is a design approach that directs architects to get a design finish by considering the relationship between architectural forms and the climate environment of the area. This study discusses the principles of Bioclimatic Architecture design in tropical climates. Thus the theoretical framework is expected to be arranged related to the principles of architectural design in tropical climates. Tropical climate refers to the terminology of the geographical location of the area around the equator between the Tropic of Cancer and Tropic of Capricorn Lines. The method used in this study is a literature study or reference study. From this study it can be concluded that the principles of Bioclimatic Architectural Design in Tropical Climates consist of 2 (two) types, including design principles for buildings in the Hot Humid Climate area which has 2 seasons and design principles for buildings in dry tropical climate regions (Hot Arid Climate) with 4 seasons. These two design principles are influenced by several different climatic conditions between these two climatic regions. These two regions generally have high air temperatures; the difference is the diurnal temperature difference between the two climate regions. This condition requires a different response, especially in the design of the building envelope, where the design of the building envelope influences the level of heat gain and heat loss in the effort to create indoor thermal comfort in the building.

Page 7 of 14 | Total Record : 131