cover
Contact Name
Agus Kurniawan
Contact Email
kurniawanlearning@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
planoearth.ummat@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota mataram,
Nusa tenggara barat
INDONESIA
Jurnal Planoearth
ISSN : 25025031     EISSN : 26154226     DOI : -
Jurnal Planoearth adalah peer-reviewed journal yang mempublikasikan artikel-artikel ilmiah dari penelitian di bidang Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota.
Arjuna Subject : -
Articles 104 Documents
Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) di Hutan Mangrove Pancer Cengkrong, Trenggalek Imanniyar Ayu Anggraeni; Farida Rahmawati
Jurnal Planoearth Vol 6, No 1: Februari 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i1.5529

Abstract

Community Based Tourism adalah salah satu konsep dari pariwisata alternatif yang mana memberikan dampak yang lebih positif dalam pengelolaannya dibanding pariwisata masal yang sifatnya konvensional. Community Based Tourism merupakan konsep yang dikelola atau dipraktikkan oleh suatu komunitas dan untuk komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Community Based Tourism berdasarkan prinsip keberlanjutan (lingkungan, ekonomi, sosial) pada wisata Hutan Mangrove Pancer Cengkrong di Kabupaten Trenggalek. Metode analisis yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Kegiatan penyemaian bibit mangrove, penanaman mangrove massal, dan aksi bersih pantai telah dilakukan untuk menunjukkan adanya penerapan prinsip lingkungan. Perkembangan ekonomi masyarakat lokal meningkat yang disebabkan oleh terpenuhinya indikator seperti, adanya dana pengembangan komunitas dan munculnya lapangan pekerjaan baru yang berpengaruh pada timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Peningkatan kualitas hidup, tidak adanya diskriminasi gender, dan meningkatan kemampuan dan pengetahuan para anggota organisasi melalui pelatihan formal maupun informal merupakan indikasi dari penerapan prinsip sosial.Abstract:  Community-Based Tourism has been popular as a means of alternative tourism particularly to give better results than mass tourism which is still counted as conventional. Community Based Tourism is managed and owned by the community, for the community. The study was established to practice the Community Based Tourism through three pillars of sustainability (environmental, economic, social) in Pancer Cengkrong Mangrove Forest, Trenggalek. Qualitative method is used in this study with case study approaches. Growing mangroves from containers, mass mangrove planting, and a project to clean up the tourist attraction is being done to perform environmental principle practice. The development of the local’s economy increased due to indicators fulfillment such as, financially viable and created more jobs to supports local’s income. The local’s Quality of Live increased, no discrimination through gender, and strengthen the members of the community’s skill and knowledge through some training either formal or informal indicate the practice of social principle.
Konsep Pengembangan Penyediaan Air Bersih Kawasan Permukiman Desa Wisata Bukit Surowiti, Gresik Tisa Angelia; Moh. Saiful Hakiki
Jurnal Planoearth Vol 6, No 1: Februari 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i1.3157

Abstract

Abstrak: Infrastruktur air bersih adalah komponen pendukung pariwisata yang penting. Permukiman Desa Wisata Bukit Surowiti memiliki kendala dalam pemenuhan kebutuhan air bersih sebagai salah satu wisata di Kabupaten Gresik. Identifikasi faktor-faktor pengembangan penyediaan air bersih di kawasan wisata ini bertujuan untuk merumuskan konsep pengembangan penyediaan air bersih. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik analisa triangulasi yang sebelumnya dilakukan analisa theoritical descriptive dan tervalidasi dengan delphi. Hasil penelitian adalah mengembangkan penyediaan tempat-tempat penampungan air bersih secara alami maupun buatan yang memperhatikan unsur estetika dan didukung oleh partisipasi masyarakat dan swasta dalam pendistribusian air bersih khususnya air PDAM.Kata Kunci : Desa Bukit Surowiti, Infrastruktur Air Bersih, Permukiman Kawasan WisataAbstrak: Clean water infrastructure is important tourism support component. The settlement of Bukit Surowiti Tourism Village has problems in fulfilling the need for clean water as one of the tours in Gresik Regency. The identification of the development factors of clean water supply in the tourist area aims to formulate the concept of developing clean water supply. This type of research is qualitative descriptive with triangulation analysis techniques wich previously carried out theoritical descriptive analysis and validated with Delphi. The result of this research is to develop the provision of natural and artificial water storage places that pay attention to aesthetic elements and are supported by public and private participation in distribution of clean water, especially PDAM water.Key Words : Bukit Surowiti Village, Clean Water Infrastructure, Tourist area settlements 
Identifikasi Daerah Rawan Bencana Longsor Kecamatan Angkona Kabupaten Luwu Timur Andi Nirmayanti
Jurnal Planoearth Vol 6, No 2: Agustus 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i2.4921

Abstract

Bencana merupakan fenomena alam yang dapat terjadi setiap saat. Dalam penelitian ini, lokasi yang diteliti adalah daerah rawan bencana longsor yang berada di Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur, untuk mengetahui tingkat kerawanan dan arahan penanggulangannya. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis overlay dan analisis pola ruang. Peneliti mendapatkan hasil bahwa tingkat kerawanan longsor tinggidengan luas12.186 Ha (41.86%), kerawanan longsor sedang dengan luas8.718 Ha (29.95%), dan kerawanan longsor rendah dengan luas8.208 Ha (28.19%). Hasil evaluasi pola ruang menunjukkan bahwa beberapa kawasan diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman berada pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi dan beberapa kawasan tidak sesuai dengan peruntukannya.Disasters are natural phenomena that can occur at any time. In this study, the locations studied were landslide-prone areas in Angkona Subdistrict, East Luwu Regency, to determine the level of vulnerability and directions for handling it. The analysis technique used is overlay analysis and spatial pattern analysis. Researchers found that the level of landslide vulnerability was high with an area of 12,186 Ha (41.86%), moderate landslide hazard with an area of 8,718 Ha (29.95%), and low landslide hazard with an area of 8,208 Ha (28.19%). The results of the spatial pattern evaluation show that some areas designated as residential areas are in areas with high landslide prone areas and some areas do not match their designation.
Susunan Spasial Desa Wana sebagai Desa Tradisional Keratuan Melinting, Lampung Timur Lutfi Setianingrum
Jurnal Planoearth Vol 6, No 1: Februari 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i1.5530

Abstract

Desa Wana merupakan desa yang berada dalam pengaruh tradisi sosial Keratuan Melinting sampai saat ini. Nilai-nilai adat yang hidup di masyarakat menyebabkan terbentuknya susunan ruang yang unik di Desa Wana. Terbentuknya susunan spasial yang unik ini didasari oleh penghargaan masyarakat terhadap rumah dan ikatan keluarga. Kedua pemikiran tersebut diwarisi dari nilai kehidupan sosial Keratuan Melinting. Berdasarkan dua hal tesebut, Desa Wana memiliki dua lapisan ruang yaitu: a) lapisan inti; dan b) lapisan periferi, yang secara fisik spasial dicirikan oleh perbedaan bentuk rumah.Abstract:  Wana is a village that be influenced by the tradition of Keratuan Melinting until today. The values that live in the community lead to the formation of a unique spatial structure in Wana. That is based on people's respect for home and family ties. Both thoughts were inherited from the social life values of Keratuan Melinting. Based on these two things, Wana Village has two layers of space, namely: a) the core layer; and b) the periphery layer, which is physically and spatially characterized by differences in the shape of the house.
Penataan Jalur Pedestrian di Distrik Heram, Kota Jayapura Maria Patricia Pearlyn; Musfira Musfira
Jurnal Planoearth Vol 6, No 1: Februari 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i1.4903

Abstract

Jalur pedestrian merupakan wadah atau ruang untuk kegiatan pejalan kaki melakukan aktivitas dan memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Kondisi eksisting pedestrian di Distrik Heram sebagian besar pedestrian tidak berfungsi sebagai wadah untuk pejalan kaki. Pedestrian di Distrik Heram digunakan untuk pelaku aktivitas ruang publik seperti sebagai tempat parkir kendaraan, pedagang kaki lima dan pangkalan angkutan kota. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif menggunakan pendekatan deskriptif. Peninjauan langsung di lapangan dilakukan dengan beberapa pengamatan dan identifikasi secara langsung seperti Wawancara, Observasi dan kuesioner.Abstract:  Pedestrian ways are a place or space for pedestrian activities to carry out activities and provide services to pedestrians so as to improve smoothness, safety and comfort for pedestrians. Most of the existing conditions of pedestrians in Heram District do not function as a place for pedestrians. Pedestrians in Heram District are used for public space activities such as parking for vehicles, street vendors and city transportation bases. The research method uses qualitative methods using a descriptive approach. Direct field observations are carried out with several direct observations and identification such as interviews, observations and questionnaires. Jalur pedestrian merupakan wadah atau ruang untuk kegiatan pejalan kaki melakukan aktivitas dan memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Kondisi eksisting pedestrian di Distrik Heram sebagian besar pedestrian tidak berfungsi sebagai wadah untuk pejalan kaki. Pedestrian di Distrik Heram digunakan untuk pelaku aktivitas ruang publik seperti sebagai tempat parkir kendaraan, pedagang kaki lima dan pangkalan angkutan kota. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif menggunakan pendekatan deskriptif. Peninjauan langsung di lapangan dilakukan dengan beberapa pengamatan dan identifikasi secara langsung seperti Wawancara, Observasi dan kuesioner. Abstract:  Pedestrian ways are a place or space for pedestrian activities to carry out activities and provide services to pedestrians so as to improve smoothness, safety and comfort for pedestrians. Most of the existing conditions of pedestrians in Heram District do not function as a place for pedestrians. Pedestrians in Heram District are used for public space activities such as parking for vehicles, street vendors and city transportation bases. The research method uses qualitative methods using a descriptive approach. Direct field observations are carried out with several direct observations and identification such as interviews, observations and questionnaires.
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nganjuk Tahun 2010-2030 Dalam Pemanfaatan Kawasan Peruntukan Industri Abdullah Alfarabi
Jurnal Planoearth Vol 6, No 2: Agustus 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i2.4922

Abstract

Implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nganjuk Tahun 2010-2030 dalam Pemanfaatan Kawasan Peruntukan Industri (KPI), telah dilaksanakan dengan baik namun belum efektif. Faktor Pendukung Implementasi yakni: 1) tersedianya kebijakan yang lengkap dalam pelaksanaan kebijakan penataan ruang. 2) adanya sikap pelaksana kebijakan yang cukup baik dan komitmen terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. 3) struktur birokrasi sudah ada dan berjalan baik dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. 4) masih tersedia lahan untuk KPI. Faktor penghambat meliputi : 1) tidak ada kejelasan waktu mengenai disposisi berkas rekomendasi izin pemanfaatan ruang dari pimpinan. 2) multi interpretasi Perda. The implementation of Regional Regulation (Perda) Number 2 of 2011 concerning Regional Spatial Planning (RTRW) of Nganjuk Regency 2010-2030 in Utilization of Industrial Designated Areas (KPI), has been implemented well but has not been effective. Implementation Supporting Factors are: 1) the availability of complete policies in the implementation of spatial planning policies. 2) the attitude of implementing the policy is quite good and commitment to the implementation of the policy. 3) the bureaucratic structure already exist and running well in implementing the policy. 4) still available land for KPI. Inhibiting factors include: 1) there is no time clarity regarding the disposition of the recommendation file for space utilization permits from the leadership. 2) multiple interpretations of Perda.
Evaluation of Urban Flood Control Project –Case Study at Bendung Watershed in Palembang City, Indonesia– Rian Dinata
Jurnal Planoearth Vol 6, No 1: Februari 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i1.3372

Abstract

Abstract:  Palembang City locates on a lowland where the altitude is between 12 and 30m above sea level. There are many small rivers that flow into a main river, Musi river. Due to the topographical configuration and a seasonal heavy rainfall, those rivers had been overflowed and the city had an inundation disaster. Bendung watershed is one of the nineteen watersheds in Palembang City, and the watershed also experiences the inundation disaster frequently due to the flood caused by a poor river maintenance and drainage system.The local government of Palembang City has applied some flood control projects such as a normalization project to reduce the flood damages. These measures checked the river flow over the dike, but some areas still suffered from the flood damages due to their topography. Based on the current situation, this study evaluates the efficiency of the existing normalization project in this watershed to find a solution that reduces the flood in those areas. Furthermore, this study investigates the feasibility of infiltration-well system to overcome the flood in those areas. The feasibility study includes the cost and benefit analysis to realize the infiltration-well system for easing the inundation problem.Abstrak: Kota Palembang terletak di dataran rendah dengan ketinggian antara 12 sampai 30m di atas permukaan laut. Karena konfigurasi topografi dan curah hujan musiman yang tinggi, sebagian Kota Palembang sangat rentan terhadap genangan dan bencana banjir . DAS Bendung merupakan salah satu dari sembilan belas DAS yang ada di Kota Palembang, dan DAS tersebut juga sering mengalami bencana genangan akibat banjir yang disebabkan oleh sistem drainase yang buruk.Pemerintah Daerah Kota Palembang telah menerapkan beberapa proyek pengendalian banjir seperti proyek normalisasi sungai. Proyek ini cukup sukses mencegah air sungai bendung meluap melewati tanggul sungai tersebut, tetapi beberapa lokasi yang jauh dari sungai bendung masih mengalami genangan karena topografinya. Berdasarkan kondisi ini, studi ini mengevaluasi efisiensi proyek normalisasi di DAS ini untuk mencari solusi yang dapat mengurangi banjir di wilayah tersebut. Selanjutnya studi ini mengkaji kelayakan sistem sumur resapan untuk mengatasi banjir di wilayah tersebut. Studi kelayakan lain meliputi analisis biaya dan manfaat sistem sumur resapan untuk mengatasi masalah genangan. 
Analisis Kesesuaian Lahan Kering Kabupaten Bima Untuk Produksi Kedelai Tribhuana Tungga Dewi; Taslim Sjah; Sukartono Sukartono; Bambang Dipokusumo; Nani Herawati
Jurnal Planoearth Vol 6, No 1: Februari 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i1.4904

Abstract

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), adalah salah satu dari 3 provinsi di Indonesia sebagai penghasil komoditas kedelai. Komoditas ini di Provinsi NTB dikembangkan sebagai menunjang komoditas kedelai nasional, yang selama ini masih dilakukan impor. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bima, sebagai salah satu wilayah kabupaten di Provinsi NTB yang berpotensi dalam pengembangan komoditas kedelai. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kelas kesesuaian lahan dalam pengembangan tanaman pangan, terutama tanaman kedelai (glycine max L merril) di Kabupaten Bima. Penelitian ini berguna sebagai bahan informasi dan rekomendasi terkait kesesuaian lahan serta dapat dijadikan dasar pengembangan budidaya tanaman kedelai pada lahan kering. Metode penelitian yang digunakan yaitu  metode survei dan metode pengumpulan data sekunder berupa peta dan data spasial dari instansi yang terkait. Pengelompokan kelas kesesuaian lahan pada setiap unit lahan menggunakan sistim overlay atau tumpang tepat dengan berpedoman pada kriteria kesesuaian lahan tanaman kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan kering actual, pada kelas cukup sesuai (S2) adalah seluas 3.244,20 ha dengan prosentase sebesar 20,12%; kelas kesesuaian lahan kering sesuai marginal (S3) seluas 28.108,12 ha dengan prosentase 78,43%; dan kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N) sebesar 744 ha dengan prosentase paling kecil yaitu 1,45%. Dengan demikian, potensi lahan kering untuk pengembangan tanaman kedelai (glycine max L merril) di Kabupaten Bima sangat besar yaitu 31.352,32 ha.Abstract:  West Nusa Tenggara (NTB) Province, is one of 3 provinces in Indonesia as a producer of soybean commodity. This commodity in NTB Province was developed to support the national soybean commodity, which has been still imported. This research was conducted in Bima Regency as one of the districts in NTB Province which has the potential for developing soybean commodities. This study aims to map land suitability classes for the development of food crops, especially soybean (glycine max (L.) Merrill) in Bima Regency. This research is useful as information and recommendations related to land suitability and can be used as a basis for developing soybean cultivation on dry land. The research method used is the survey method and secondary data collection methods such as maps and spatial data from related agencies. Classification of land suitability classes for each land unit uses an overlay or overlapping system based on criteria of the land suitability for soybean crops. The results showed that suitability class of dry land quite suitable (S2) is 3,244.20 ha with a percentage of 20.12%; suitability class of dry land marginally suitable (S3) covering an area of 28,108.12 ha with a percentage of 78.43%; and unsuitable land suitability class (N) is 744 ha with the smallest percentage of 1.45%. Therefore, the potential of dry land for the development of soybean crop  (Glycine max (L.) Merrill) in Bima is very large, that is 31,352.32 ha or 98.55% of the total dry land in Bima Regency.
Pemanfaatan Kampung Kota dalam Wisata Warisan Budaya di Kota Singaraja Komang Wirawan
Jurnal Planoearth Vol 6, No 2: Agustus 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i2.4923

Abstract

Permukiman dalam kota memiliki sejarah yang panjang, unik sekaligus sebagai penanda awal terbentuknya peradaban kota. Awalnya permukiman di kota, merupakan sebuah kampung berpenghuni masyarakat tradisional Pembangunan kota yang semakin modern membuat wajah kampung semakin pudar. Kampung Bugis merupakan salah satu dari beberapa kampung yang membentuk Kota Singaraja pada awal masa kolonial Belanda , yang berfungsi sebagai kota pelabuhan yang ramai. Alkuturasi budaya dari akibat aktivitas perdagangan membuat wilayah permukiman dihuni oleh berbagai etnis, dan membentuk perkampungan dengan ciri etnis tertentu. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan studi pustaka. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatit. Analisis dilakukan dengan pedoman teori dan konsep dari hasil kajian pustaka mengenai kampung kota dan wisata warisan budaya. Hasil penelitian menyatakan bahwa potensi wisata Kampung Bugis memenuhi syarat sebagai sebuah wisata warisan budaya berdasarkan dari warisan budaya yang tangible dan warisan budaya yang intangible yang berusia lebih dari 50 tahun dan masih terawat. Sebagai destinasi wisata, Kampung Bugis masih dalam tahap ekplorasi, untuk mewujudkan maka diperlukan langkah seperti revitalisasi bangunan, perencanaan jalur wisata dan edukasi dan keterlibatan masyarakat untuk pengembangan pariwisata kampung kota.Settlements within the city have a long, unique history as well as marking the early formation of urban civilization. Initially, the settlement in the city was a village inhabited by traditional communities. The urban development that was increasingly modern made the face of the village faded. Kampung Bugis is one of several villages that formed Singaraja City in the early Dutch colonial period, which served as a bustling port city. The cultural acculturation resulting from trading activities made residential areas inhabited by various ethnicities, and formed settlements with certain ethnic characteristics. The data collection in this study was carried out by means of observation, interviews, and literature study. Furthermore, the collected data were analyzed descriptively qualitatively. The analysis was carried out with theoretical and conceptual guidelines from the results of literature studies on (kampung kota) urban villages and cultural heritage tourism. The results of the study indicate that the tourism potential of Kampung Bugis meets the requirements as a cultural heritage tour based on tangible cultural heritage and intangible cultural heritage that is more than 50 years old and is still well preserved. As a tourist destination, Bugis Village is still in the exploration stage, to realize it requires steps such as building revitalization, planning of tourist routes and education and community involvement for the development of urban village tourism.
Forest Moratorium Policy, Deforestation and Forest Degradation in Papua Province R Aditya Yudhanegara
Jurnal Planoearth Vol 6, No 1: Februari 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpe.v6i1.3425

Abstract

On May 20, 2011, the government of the Republic of Indonesia enacted Presidential Instruction (Inpres) number 10 of 2011 as the start of the forest moratorium policy. This policy aimed to reduce the rate of deforestation and forest degradation through a moratorium on the issuance of new permits. However, the effectiveness of this policy in achieving these goals is still being debated. This study shows that the forest moratorium policy has successfully reduced the extent of the concession area, as well as the average deforestation and forest degradation rate in Papua Province. However, the concession extent was not directly proportional to the rate of deforestation and forest degradation in the concession area, and the decline of the average rate of deforestation and forest degradation was not accompanied by a steady rate during the enactment of the policy. This study also reveals that policy implementation at the provincial level was hampered by the communication factor, the resources factor, and the disposition factor. We recommend that, besides limiting the concession area, the government should improve the licensing governance by strengthening the monitoring and evaluation, as well as the mechanism of business-work-plan approval. Also, the central government should improve coordination with the local government to overcome factors hampering the implementation of the moratorium policy.

Page 7 of 11 | Total Record : 104