Selisik : Jurnal Hukum dan Bisnis
Jurnal Selisik merupakan media yang diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca sarjana Universitas Pancasila. Pada awal berdirinya Jurnal Selisik dikhususkan pada ragam gagasan hukum dan bisnis. Hal ini tidak lepas dari pengkhususan program studi di PMIH, yakni Hukum Dan Bisnis. Sejalan dengan perkembangan dan pengembangan PMIH, yakni dibukanya program studi baru mengenai Hukum Konstitusi dan Tata Kelola Pemerintahan, maka tema dan fokus Jurnal Selisik juga mengalami perluasan, diantaranya Hukum, Bisnis, Hukum Konstitusi dan Tata Kelola Pemerintahan sebagai basis susbtansi kajiannya.
Articles
156 Documents
Visi Perlindungan Terhadap Hak Karyawan Pada Perusahaan Pailit Atas Aset Perusahaan Yang Ada Pada Kreditur
Suyanto
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (370.311 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i1.641
Hasil dari Penelitian diantaranya Perlindungan terhadap hak-hak karyawan yang diatur didalam Undang-undang ketenagakerjaan dan didalam Undang-undang Kepailitan masih menimbulkan perbedaan penafsiran sehingga ada potensi menghambat pelaksanaan proses kepailitan dalam praktik di lapangan. Hambatan terhadap eksekusi terjadi karena pendudukan aset perusahaan pailit oleh karyawan karena kebebasannya memasuki area perusahaan. Kenyataan tersebut diatas menjadi problem tersendiri didalam kepailitan yang dapat menghambat terwujudnya penegakan hukum dan keadilan bagi pihak-pihak terkait didalam kepailitan. Kekawatiran masing-masing debitor dikarenakan adanya kemungkinan harta pailit tidak mencukupi untuk memenuhi tagihan mereka. Sehingga menjadi penting mempertimbangkan perlunya kerjasama antara perusahaan dengan perusahaan asuransi untuk mengasuransikan gaji karyawan. Dengan demikian persoalan-persoalan yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan putusan pailit seperti pendudukan aset perusahaan oleh karyawan tidak terjadi.
Pemerintahan, Demokrasi, Dan Konstitusionalisme Dalam Tata Negara Indonesia
Wibisono Oedoyo
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (370.669 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i1.642
Dalam makalah ini dikemukakan sejumlah gagasaan tentang konsep pemerintahan, demokrasi, dan konstitusionalisme dalam tata negara Indonesia. Menurut pandangan umum di Indonesia, yang dimaksud pemerintah adalah presiden dan para menteri yang diangkatnya. Demokrasi sering diartikan secara etimologis dari demos yang bermakna ‘rakyat’ dan kratein yang bermakna ‘kekuasaan.’ Dengan demikian, secara harafiah demokrasi sering diartikan ‘kekuasaan’ atau kedaulatan rakyat. Dalam konteks negara dan doktrin ilmu negara memang ada demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Konstitusionalisme memiliki pengertian statis dan dinamis.
Nota Bene Menelisik Sistem Pemidanaan Di Indonesia
Mardjono Reksodiputro
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (355.53 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i1.643
Indonesia pada waktu ini dihadapkan pada reformasi di bidang hukum, tidak saja tentang norma hukum, tetapi juga penafsiran tentang pelaksanaan atau penegakan norma tersebut. Misalnya saja tentang grasi yang memang merupakan hak prerogatif Presiden. Tetapi tentunya permintaan grasi oleh Terpidana ini, setiap kali harus dipertimbangkan (diterima atau ditolak) dengan memperhatikan pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM (mereka masing-masing tentunya punya alasan-alasan sendiri).
Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pengaturan Kewajiban Transaksi Menggunakan Rupiah
Titing Sugiarti
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (594.7 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i2.644
Penggunaan mata uang asing di Indonesia diduga menjadi faktor fluktuasi nilai tukar Rupiah, oleh karena itu Bank Indonesia menerbitkan PBI No 17/3/2015 Tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa setiap pihak wajib menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur kewajiban setiap transaksi,bagaimana apabila transaksi tersebut dilanggar dan Bagaimanakah kewenangan Bank Indonesia dikaitkan dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Metode yang digunakan ialah metode penelitian hukum normatif. Bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam mewajibkan setiap transaksi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan rupiah. Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat masyarakat sesuai dengan tugas dan wewenangnya dan tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, namun materi muatan dari PBI dapat digunakan Pasal 6 UU No 12 Tahun 2011, salah satunya adalah harus mencerminkan asas kebebasan berkontrak, materi muatannya tidak sesuai dan tidak mencerminkan asas kebebasan berkontrak, karena mengatur tentang kewajiban penggunaan rupiah, Dengan Asas kebebasan berkontrak setiap orang diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian, termasuk dalam perjanjian yang menggunakan sistem pembayaran dengan menggunakan rupiah maupun valuta asing.
Kedudukan Fiat Eksekusi Pengadilan Negeri Dalam Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Tanah Dan Bangunan Pada Bank Dan Lembaga Pembiayaan Lainnya Dalam Konteks Kemanfaatan Dan Kepastian Hukum
Anita Afriana
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (595.662 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i2.645
Dewasa ini pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dalam praktik dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) dan Pasal 224 HIR/258 RBg. Sejak terbentuknya UUHT, maka secara teoretis Pasal 6 UUHT menjadi dasar hukum yang kuat untuk pelaksanaan parate eksekusi. Dalam Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama atau kreditor untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitor cidera janji. Secara yuridis normatif, eksekusi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau RBg. Artikel ini mengulas kedudukan fiat eksekusi Pengadilan Negeri dalam setiap pelaksanaan eksekusi tanah dan bangunan sebagai objek jaminan pada bank dan lembaga pembiyaan lainnya ditinjau dari asas kemanfaatan dan kepastian hukum dan bentuk perlindungan terhadap Kreditor dan pihak ketiga sebagai pemenang lelang bila menguasai benda ex jaminan tanpa adanya fiat eksekusi dihubungkan dengan kepastian hukum. Diperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya UUHT telah memberikan kepastian hukum bahwa eksekusi objek jaminan berupa tanah dan bangunan dapat dilakukan langsung oleh pihak Kreditor tanpa harus memohonkan fiat eksekusi terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri, selama terdapat dokumen sebagai alas hak lengkap dan Debitor sebagai pemegang hak tanggungan pertama. Fiat eksekusi memberikan manfaat dan kepastian hukum untuk eksekusi terhadap barang-barang yang bermasalah, namun hal ini dapat dihindarkan bila Bank dan Lembaga Pembiayaan lainnya menjalankan usaha dengan berpegang teguh pada prinsip kehati–hatian. Bagi pihak yang dirugikan baik Debitor, Kreditor, maupun pihak ketiga dapat mengajukan gugatan dan atau perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial yang merupakan upaya hukum luar biasa.
Perbedaan Teoritis Antara Lembaga Penyelesaian Kasus Maladministrasi (Ombudsman) Dengan Lembaga Peradilan Administrasi (PTUN)
Hendra Nurtjahjo
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (607.06 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i2.646
Keberadaan Ombudsman dalam menangani kasus maladministrasi pelayanan publik seringkali belum dapat dipahami perbedaannya dengan keberadaan Peradilan Tata Usaha negara yang menyelenggarakan peradilan administrasi. Ombudsman menangani kasus-kasus penyimpangan administratif yang dilakukan oleh penyelenggara negara sebagai penyelenggara pelayanan publik, sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menangani perkara terkait dengan dikeluarkannya ketetapan penyelenggara negara yang melanggar ketentuan administrasi. Tentu saja hal ini menunjukkan perbedaan eksistensi dari kedua lembaga tersebut walaupun sama-sama ada kaitannya dengan wilayah hukum administrasi.
Kebijakan Konversi TKI Non-Formal Ke TKI Formal Sebagai Upaya Perlindungan Pemerintah Ditinjau Dari Perspektif Hukum Ekonomi Pancasila
Teni Triyani
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (601.211 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i2.647
Pengiriman TKI ke luar negeri merupakan kebijakan penting dalam hal memberikan kesempatan kerja secara adil kepada seluruh lapisan masyarakat dan berperan besar dalam menumbuhkan stabilitas ekonomi nasional yang berkeadilan. Mayoritas pengiriman TKI saat ini adalah non-formal dan kerena kedudukannya itu mengakibatkan TKI rentan terhadap berbagai permasalahan. Konversi TKI non-formal ke TKI formal dilakukan dengan tujuan mengurangi tingginya resiko permasalahan pada TKI. Pada pelaksanaannya konversi dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan meningkatkan peluang kerja TKI disektor formal serta pembatasan dan penghentian (moratorium)pengiriman TKI di sektor non formal (domestic worker). Dengan demikian, yang menjadi permasalahan adalah apakah kebijakan konversi TKI non-formal ke formal ini sudah sesuai dengan perspektif hukum ekonomi pancasila dan apakah pengiriman TKI formal dapat melindungi TKI bila dibandingkan dengan pengiriman TKI non-formal serta bagaimana akibat dari pembatasan dan diperketatnya peraturan teknis pengiriman TKI domestic worker. Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi TKI non-formal ke TKI fomal dalam perspektif ekonomi secara teori telah sesuai dengan idiologi pancasila dimana konfersi dilakukan dalam upaya peningkatan kwalitas dari faktor ekonomi yang bertujuan melindungi TKI dari berbagai permasalahan. Pada pelaksanaannya, konfersi dalam bentuk penghentian pengiriman di sektor domestic worker menimbulkan diskriminasi kepada mereka yang hanya mampu berkerja di bidang itu padahal sebelumnya telah lahir Kepmen Nomor 1 tahun 2015 yang intinya menjadikan pekerjaan sektor domestik worker menjadi sektor yang professional. Baik TKI formal maupun non-formal keduanya sama-sama memiliki resiko namun TKI formal dinilai lebih terlindungi karena mudahnya kontrol/pengawasan serta bekal skill yang memadai. Diberlakukannya moratorium dan peraturan teknis pengiriman yang cenderung dipersulit bagi TKI domestic worker, justru meningkatkan jumlah pelaku human trafficking dan pengiriman TKI illegal yang mengancam keselamatan para tenaga kerja Indonesia.
Efektifitas Peraturan Daerah Tentang Penataan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Dalam Mendukung Kota Bandung Sebagai Tujuan Wisata
Acep Rohendi
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (587.962 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i2.648
Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi kepada Pemerintah Kota Bandung dalam penataan dan pembinaan PKL yang sampai saat ini masih menjadi problematika Kota Bandung dalam mendukung menjadi Tujuan Wisata. Kontribusi tersebut untuk mengetahui efektifitas Peraturan Daerah (Perda ) Kota Bandung Nomor 04 Tahun 2011 dan perspektif penegakan hukum dalam penataan dan pembinaan PKL dalam rangka efektifitas Perda tentang PKL. Metode penelitian hukum ini adalah penelitian hukum sosiologis (socio legal research/emperical legal research). Penelitian telah di lakukan di di Zona Merah yang meliputi 10 sentral PKL sebanyak 233 PKL. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik Sampling Aksidental. Perda No.4 Tahun 2011 belum sepenuhnya efektif. Prespektif Penataan dan pembinaan PKL lebih menonjolkan PKL dari aspek ekonomi, yaitu sebagai pelaku ekonomi pada lapisan masyarakat, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi kota serta sebagai upaya mengatasi naiknya angka kemiskinan. Sebab Pemerintah kota tidak dapat menyediakan pekerjaan lapangan kerja bagi para PKL. Oleh sebab itu, sangat layak apabila Pemkot berlaku seimbang dalam penataan dan pembinaan PKL. Pembinaan PKL dalam jangka pendek untuk penataan kota (pedagang mandiri), dalam jangka menengah ditujukan untuk menjadi pedagang mandiri usaha wisata dan untuk jangka panjang menjadi pengusaha usaha wisata, dengan mengintegrasikan pembinaannya ke dalamperaturan daerah yang terkait penyelenggaraan pariwisata.
Ajaran Positivisme Hukum Di Indonesia: Kritik Dan Alternatif Solusinya
Asep Bambang Hermanto
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (597.336 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i2.650
Saat ini hukum di Indonesia berada pada landasan filsafat positivisme yang merupakan kepanjangan tangan dari ajaran Cartesian-Newtonian. Sesungguhnya positivisme hukum merupakan aliran pemikiran yang memperoleh pengaruh kuat dari ajaran positivisme (pada umumnya). Oleh karenanya, pemahaman ajaran positivisme hukum merupakan norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, penggunaan pardigma positivisme dalam hukum modern ternyata menghambat pencarian kebenaran dan keadilan yang benar sesuai dengan hati nurani. Pencarian itu terhalang oleh tembok-tembok prosedural yang diciptakan oleh hukum sendiri. Kemudian yang mucul dipermukaan adalah keadilan formal/prosedural yang belum mewakili atau memenuhi hati nurani. Dimulai sejak akhir abad 20 dan memasuki abad 21, perkembangan pemikiran tentang hukum dan keadilan didominasi dengan rasa prustasi, skeptis, dan pesimistis. Dampak dari perkembangan paham positivisme tersebut terhadap Indonesia dengan munculah kekakuan kekakuan hukum yang dianggap bahwa hukum di Indonesia itu tidak mampu menciptakan keadilan yang sesungguhnya. Hal ini menandakan, hukum hanya merupakan alat (tool) yang diposisikan sebagai kuda penarik beban sesuai dengan keinginan sang majikan, yaitu punguasa yang mempunyai kewenangan dan pengusaha sebagai pemilik modal. Kondisi semacam ini akan membawa konsekuensi yang tidak baik terhadap perkembangan hukum di Indonesia saat ini maupun masa yang akan datang.
Menata Ulang Kelembagaan Partai Politik Agar Bebas Korupsi
Akmaluddin Rachim
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (583.935 KB)
|
DOI: 10.35814/selisik.v2i2.651
Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa telah mengikrarkan diri sebagai sebuah negara yang menganut paham demokrasi sekaligus menganut paham nomokrasi. Hal tersebut tegas dinyatakan dalam konstitusi sebagai sebuah bentuk prasasti monumental bernegara. Perwujudan dari paham demokrasi tersebut adalah pengakuan dan pengaturan partai politik dalam konstitusi. Partai politik pada dasarnya merupakan pilar utama dalam sistem politik demokrasi. Kualitas demokrasi akan sangat ditentukan oleh eksistensi partai politik. Oleh karena itu, penting untuk segara menata ulang kelembagaan partai politik dengan cara memperkuat derajat kelembagaannya agar bebas korupsi. Hasil pembahasan dan penelitian ini berkesimpulan, pertama, bahwa model kelembagaan partai belum semuanya berorientasi pada upaya pemberantasan korupsi. Hal tersebut diketahui dari platform partai yang tertuang dalam konstitusi partai. Kedua, model kelembagaan partai politik yang bebas korupsi menggunakan pendekatan model meritokrasi sistem. Penerapan model meritokrasi sistem pada partai – agar dapat mewujudkan partai politik bebas korupsi – merujuk pada pola high involvement manajement.