cover
Contact Name
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry
Contact Email
wayang.nusantara@isi.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
endahbudiarti30@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry
ISSN : 23564776     EISSN : 23564784     DOI : -
Core Subject : Art,
Wayang Nusantara adalah jumal ilmiah pewayangan yang diterbitkan oleh Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjuk:an, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Terbit pertama kali bulan September 2014 dengan frekuensi terbit dua kali setahun pada bulan Maret dan September.
Arjuna Subject : -
Articles 40 Documents
Pakeliran Wayang Babad Lakon Harya Penangsang: dari Kethoprak ke Pakeliran Lilik Agung; Dewanto Sukistono; Retno Dwi Intarti
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 5, No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v5i1.4815

Abstract

AbstractThe work of wayang babad performance Harya Penangsang is aimed at presenting the story of Harya Penangsang which originally came from the kethoprak performance into the wayang babad performance. In addition to the transformation from kethoprak to wayang babad performance, this work aims to present the work of Harya Penangsang figures. The concept transformation of Sapardi Djoko Damono is used as a frame of mind. The development of this work began by observing and analyzing the performance of the wayang performance about Harya Penangsang that had been staged by several dalang. In addition, it also tracks the character of Harya Penangsang through kethoprak stories and in some serat babad. Next is a draft storyline, which includes events and settings. From this, the character plans the characterization, theme, and trust and visualization of the characters.AbstrakKarya pakeliran wayang babad lakon Harya Penangsang ini bertujuan menghadirkan kisah Harya Penangsang yang semula berasal dari pertunjukan kethoprak ke dalam pertunjukan wayang babad. Selain transformasi dari kethoprak ke pakeliran wayang babad, karya ini bertujuan menyajikan garap tokoh Harya Penangsang. Konsep alih wahana Sapardi Djoko Damono digunakan sebagai kerangka pikir. Penggarapan karya ini dimulai dengan mengamati dan menganalisis pergelaran lakon wayang babad lakon Harya Penangsang yang pernah dipentaskan oleh beberapa dalang. Selain itu juga melacak karakter Harya Penangsang melalui kisah-kisah kethoprak dan dalam beberapa serat babad. Selanjutnya dibuat draft alur cerita, yang mencakup peristiwa dan setting. Dari sini, pengkarya merencanakan penokohan, tema, dan amanah serta visualisasi tokoh-tokohnya.
Perjodohan Antasena dengan Manuwati dalam Lakon Antasena Rabi Ki Anom Suroto, Kajian Mitologi Ritual Krystiadi Krystiadi
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 5, No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v5i1.5821

Abstract

AbstractThis paper discusses the meaning of Antasena having a match with Manuwati in the lakon Antasena Rabi presented by Ki Anom Suroto. Research data in the form of cassette tape recordings. This study uses a ritual mythology approach and asma kinarya japa. The method used in this study is analytical description. The recorded data of the audio wayang performance is listened to and then summarized according to the conventional structure of the wayang performance. The results showed that Antasena, who at first did not want to get married, actually had an arranged marriage with Manuwati. Lesmana, Samba, Wisatha, Purwaganti who also wants to marry Manuwati, is not in a relationship with Manuwati. Antasena and Manuwati are matched because they both have the same mythical aspect, namely the mythical aspects of Kamajaya and Shiva. The thing that determines the match between the two is the ritual aspect in the form of a war competition. The contest in the form of war is a tantric ritual level as a hallmark of the Shiva myth. Manuwati’s tantric level only fits the mythical aspect of Antasena. Antareja’s marriage with Manuwati means that shrimp can only live in water.AbstrakTulisan ini membahas makna Antasena berjodoh dengan Manuwati dalam lakon Antasena Rabi sajian Ki Anom Suroto. Data kajian berupa rekaman pita kaset. Penelitian ini menggunakan pendekatan mitologi ritual dan asma kinarya japa. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskripsi analitis. Pertama-tama data rekaman pertunjukan wayang kulit yang berupa audio disimak kemudian diringkas sesuai struktur lakon wayang konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Antasena yang pada awalnya tidak ingin menikah justru berjodoh dengan Manuwati. Pelamar lain seperti Lesmana, Samba, Wisatha, Purwaganti yang ingin menikah justru tidak berjodoh dengan Manuwati. Hal yang paling menentukan perjodohan keduanya adalah tataran ritual yang berupa sayembara perang. Sayembara perang sebagai aspek ritual menunjukkan bahwa mite Kamajaya dan kapasitas air dengan tataran ritual wedik sangat kuat dalam sayembara ini. Sehingga dari sekian pelamar tersebut hanya Antasena yang berhak menjadi jodoh Manuwati karena Antasena memiliki aspek mite air, Indra, dan Kamajaya yang sama. Lakon ini    menunjukkan bahwa perjodohan antara Antasena dan Manuwati merupakan penyatuan antara Mangkara (udang) dengan air. Antasena dengan kapasitas udangnya bisa “hidup” apabila menyatu dengan Manuwati dengan kapasitasnya sebagai air.
Struktur Naratif Lakon Kresna Duta Versi Ki Nartosabdo Endah Budiarti
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 5, No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v5i1.6051

Abstract

AbstractThis research aims to find the narrative structure of Ki Nartosabdo’s version of Kresna Duta. Research data in the form of cassette tape recordings. Vladimir Propp’s fabled structure theory was adapted in this study. Propp theory says that a fairy tale has a structure formed from functions that move sequentially. Related to the theory, the analysis method used is the structural method of the Propp model. The first strategy is to track the events that occur in each scene in the text of Ki Nartosabdo’s version of Kresna Duta. From these events found dramatic personae (hero) in the event and how the hero’s actions in moving the story. From the tracking of this event revealed what actions of the hero present, and also revealed the sequence of actions of the hero. The disclosure of the hero’s actions (functions) and the sequence of actions of the hero (function), it will also be revealed the scheme of movement of the story. There are several things that can be stated from the results of the analysis of The Lakon Kresna Duta version of Ki Nartosabdo. First, thirteen functions (hero actions) were found that were tracked from kresna’s action stream as a hero. Second, Ki Nartosabdo’s version of Kresna Duta has more than one sequence of functions. In this study it is called the sequence of primary actor functions and the sequence of secondary actor functions. The sequence of the primary actor function is the flow of hero actions (Kresna) in the Ki Nartosabdo version of Lakon Kresna Duta, while the secondary actor function is the hero action flow from the previous play or continuation play. Third, Ki Nartosabdo’s version of Lakon Kresna Duta contains one main story movement and four story movements from other plays. A fairly important finding is that Propp’s theory of the narrative structure of folklore (Russia) also applies to Javanese folklore, although there is a deviation in terms of the order of functions.Abstrak Penelitian ini bertujuan menemukan struktur naratif Lakon Kresna Duta versi Ki Nartosabdo. Data penelitian berupa rekaman pita kaset. Teori struktur dongeng Vladimir Propp diadaptasi dalam penelitian ini. Teori Propp mengatakan bahwa sebuah dongeng memiliki struktur yang dibentuk dari fungsi-fungsi yang bergerak berurutan. Berkaitan dengan teori tersebut, maka metode analisis yang digunakan adalah metode struktural model Propp. Strategi pertama yang dilakukan yaitu melacak peristiwa-peristiwa yang terjadi pada setiap adegan dalam teks Lakon Kresna Duta versi Ki Nartosabdo. Dari peristiwa-peristiwa tersebut ditemukan siapa pelaku (dramatis personae) dalam peristiwa tersebut dan bagaimana tindakan pelaku dalam menggerakkan cerita. Dari pelacakan peristiwa ini terungkap apa saja tindakan pelaku yang hadir, dan juga terungkap urutan tindakan pelaku. Terungkapnya tindakan pelaku (fungsi) dan urutan tindakan pelaku (fungsi), maka akan terungkap pula skema pergerakan cerita. Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan dari hasil analisis Lakon Kresna Duta versi Ki Nartosabdo. Pertama, ditemukan tiga belas fungsi (tindakan hero) yang dilacak dari aliran tindakan Kresna sebagai hero. Kedua, Lakon Kresna Duta versi Ki Nartosabdo memiliki lebih dari satu urutan fungsi. Dalam penelitian ini disebut urutan fungsi pelaku primer dan urutan fungsi pelaku sekunder. Urutan fungsi pelaku primer merupakan aliran tindakan hero (Kresna) dalam Lakon Kresna Duta versi Ki Nartosabdo, sedangkan fungsi pelaku sekunder merupakan aliran tindakan hero dari lakon sebelumnya atau lakon kelanjutannya. Ketiga, Lakon Kresna Duta versi Ki Nartosabdo ini memuat satu pergerakan cerita utama dan empat pergerakan cerita dari lakon lain. Temuan yang cukup penting ialah teori Propp tentang struktur naratif cerita rakyat (Rusia) juga berlaku untuk cerita rakyat Jawa, meskipun ada deviasi dalam hal urutan fungsi.
Dendam Trigantalpati Hening Sudarsono; Udreka Udreka; Retno Dwi Intarti
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 5, No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v5i1.8207

Abstract

AbstractThe puppet performance Dendam Trigantalpati is a reinterpretation of the story of Tri- gantalpati which is sourced to three performance, namely Banjaran Sengkuni Ki Purbo Asmoro, Jumenengan Pandhu Ki Manteb Sudarsono, and Gandamana Tundhung version of Ki Hadi Sugito. The concept of sanggit Soetarno, et al. was used to respond to the three performance. The method used in this work is the exploratory method. The stages that go through are observing the play, selecting and sorting out events, processing events, compiling plays. The result of the reinterpretation of the three performance above is Trigantalpati as someone who cannot control ego and revenge.AbstrakLakon Dendam Trigantalpati adalah sebuah tafsir ulang kisah Trigantalpati yang bersumber pada tiga lakon yaitu lakon Banjaran Sengkuni versi Ki Purbo Asmoro, Jumenengan Pandhu versi Ki Manteb Sudarsono, dan Gandamana Tundhung versi Ki Hadi Sugito. Konsep sanggit Soetarno, dkk. digunakan untuk merespon tiga lakon tersebut. Metode yang digunakan dalam karya ini adalah metode eksploratif. Adapun tahapan yang dilalui adalah mencermati lakon, memilih dan memilah peristiwa, mengolah peristiwa, menyusun lakon. Hasil tafsir ulang dari tiga lakon di atas adalah Trigantalpati sebagai seseorang yang tidak bisa mengendalikan ego dan rasa dendam.
Permainan Stereotipe Gender: Studi Kasus Performativitas dalam Pertunjukan Wayang Kulit Ki Seno Nugroho Indah Ayu Fitria; Timbul Haryono; Vissia Ita Yulianto
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 5, No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v5i1.5181

Abstract

AbstractThis paper discusses sinden’s role and position in shadow puppet shows in the current era, with a case study of sinden on ki Seno Nugroho’s show. Butler’s gender performance theory is used to look at the performance power of sinden-sinden Ki Seno Nugroho (Apri-Mimin “the male sinden duo”and Elisha “sulawesi sinden”). Butler in theory stated that gender performanceivity was initiated to dismantle the problem of gender construction hierarchy. The gender body readed as the actor in the role. The role is performed in accordance with the manuscript he has received, while the manuscript itself is an analogy of social norms and constructions. The gender body becomes an actor who plays a role in accordance with the applicable gender law, in order to play a good role, it performs gender actions continuously and repeatedly, so that these actions establish and become gender identity. Meanwhile, the multi-sited ethnography method allows researchers to penetrate the potential of data not only on direct observation, but through other areas virtually from online sites, such as social media and Youtube sites. The data obtained successfully traced the interweaving of KSN and sinden interactions, as well as narrating the performanceivity of Apri- Mimin and Elisha built through language games. A reading of Judith Butler’s theory of gender performanceivity suggests that sinden’s performance power with the role of “male sinden duo” and “Sulawesi sinden” was built through the stereotypical imagination of gender ethnicity represented in the form of language games. On the other hand, sinden’s performanceivity is easily commodified by the puppeteer as the leader of the puppet show to gain popularity and economic benefits.AbstrakTulisan ini membahas peran dan posisi sinden dalam pertunjukan wayang kulit di era kekinian, dengan studi kasus sinden pada pertunjukan Ki Seno Nugroho. Teori performativitas gender Butler digunakan untuk melihat daya performance sinden-sinden Ki Seno Nugroho (Apri-Mimin “duo sinden banci”dan Elisha“sinden Sulawesi”). Butler dalam teorinya menyatakan bahwa performativitas gender digagas untuk membongkar persoalan hierarki konstruksi gender. Tubuh gender dibaca sebagaimana aktor yang sedang berperan. Peran tersebut dilakukan sesuai dengan naskah yang telah ia terima, sedangkan naskah sendiri adalah analogi dari norma dan konstruksi sosial. Tubuh gender menjadi aktor yang berperan sesuai dengan hukum gender yang telah berlaku, utuk dapat berperan dengan baik, ia melakukan tindakan gender secara terus menerus dan berulang, sehingga tindakan-tindakan itu menubuh dan menjadi identitas gender. Sementara itu, metode multi-sited ethnography memungkinkan peneliti merambah potensi data tidak saja pada pengamatan langsung, melainkan melalui wilayah yang lain secara virtual dari situs online, seperti media sosial dan situs Youtube. Data yang diperoleh berhasil merunut jalinan interaksi KSN dan para sinden, serta menarasikan performativitas Apri-Mimin dan Elisha yang dibangun melalui permainan bahasa. Pembacaan atas teori performativitas gender Judith Butler mengemukakan bahwa daya performativitas sinden dengan peran sebagai “duo sinden pria” dan “sinden Sulawesi” dibangun melalui imajinasi stereotipe etnisitas gender yang direpresentasikan dalam bentuk permainan bahasa. Di sisi lain, performativitas sinden dengan mudah dikomodifikasi oleh dalang sebagai pemimpin pertunjukan wayang untuk mendulang popularitas dan keuntungan ekonomi.
Struktur Naratif Lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono Aziz, Abdul; Budiarti, Endah; Soeseno, B. Djoko
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.11316

Abstract

AbstractThis paper aims to find the narrative structure of Thothok Kerot performance by Ki Harjito Mudho Darsono. The findings are similar to performance outlines. The research data were audio-visual recordings of Thothok Kerot performance by Ki Harjito Mudho Darsono. Structural method of Becker’s model has been used. In particular, Becker’s narrative structure simplified by Kasidi has been used in the analysis. It has been stated that the structure of a play is built hierarchically from three main parts according to the performance segmentation. Each shadow puppet performance is divided into three scenes, each scene has the same internal structure as a segment of one whole shadow puppet performance. The results show that the narrative structure of Thothok Kerot performance by Ki Harjito Mudho Darsono influences Surakarta style of shadow puppet performances.AbstrakTulisan ini bertujuan menemukan struktur naratif lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono. Temuan itu dapat disetarakan dengan balungan lakon. Data penelitian berupa rekaman audio visual lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono. Konsep struktur naratif Becker yang direduksi Kasidi digunakan dalam analisis. Konsep tersebut mengatakan bahwa stuktur lakon dibangun secara hirarkis dari tiga unit pokok sesuai dengan pembabakan lakon. Setiap lakon wayang dibagi ke dalam tiga babak, masing-masing babak memiliki stuktur internal yang sama sebagai suatu kesatuan lakon wayang secara menyeluruh. Metode yang digunakan adalah metode struktural model Becker. Hasil yang didapat yaitu struktur naratif lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono terpengaruh pakeliran wayang kulit gaya Surakarta.
Lakon Brajadenta Brajamusthi: Sebuah Respon terhadap Lakon Brajadenta Mbalela Saputra, Sumantri Adi; Kiswantoro, Aneng
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.10798

Abstract

AbstrackThis research aims to portray the origins of Raden Brajadenta and Raden Brajamusthi, as well as their death by Raden Gathutkaca. For the purpose, initial observations were made by watching shadow puppet performances and studying its literature. In addition, interviews with notable masters of Yogyakarta-style puppetry were conducted for more story references. The asma kinarya japa approach was used as a concept for compiling a new story adaptation. Asma kinarya japa is an approach used to track down the etymology of characters’ names in a shadow puppet performances. Microcosmical and macrocosmical context-based interpretation of meanings were derived. Afterwads, the Brajadenta Brajamusthi puppet performance with story adaptation was composed. The puppet master’s ideas were expressed in themes, main ideas, characterizations, settings, and plots of the story. The results indicate that the Braja sometimes originate from the magical power of Aji Gandawastra belonged to Prabu Pandhu which was given to Prabu Tremboko. The theme conveyed in the Brajadenta Brajamusthi performance is life perfection. This work conveys the idea that Brajadenta and Brajamusti originating from Aji Gandawastra with the wind aspect in themselves, ultimately, achieve life perfection by uniting with the ruler of the wind in Raden Gathutkaca.AbstrakTujuan penciptaan karya ini untuk memaparkan asal-usul Raden Brajadenta dan Raden Brajamusthi, serta peristiwa kematian mereka oleh Raden Gathutkaca. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan observasi awal melalui pengamatan terhadap pertunjukan wayang kulit dan studi pustaka. Selanjutnya dilakukan wawancara dengan tokoh pedalangan gaya Yogyakarta untuk menambah referensi cerita. Pendekatan asma kinarya japa digunakan sebagai konsep menyusun sanggit baru. Asma kinarya japa merupakan pendekatan yang digunakan untuk menelusuri arti nama-nama tokoh dalam sebuah lakon wayang berdasarkan etimologi. Kemudian dari arti tersebut ditafsirkan maknanya atas dasar konteks, baik konteks mikrokosmos maupun makrokosmos. Langkah terakhir ialah penyusunan lakon Brajadenta Brajamusthi menggunakan teori sanggit lakon. Gagasan pengkarya dituangkan dalam tema, gagasan pokok, penokohan, setting, dan alur. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis, didapat asumsi bahwa kadang Braja berasal dari daya kesaktian Aji Gandawastra milik Prabu Pandhu yang diberikan kepada Prabu Tremboko. Tema yang akan disampaikan dalam lakon Brajadenta Brajamusthi ialah kesempurnaan hidup. Jadi karya ini menyampaikan sebuah pemikiran bahwa Brajadenta dan Brajamusti yang berasal dari Aji Gandawastra dengan aspek angin dalam diri mereka, pada akhirnya mencapai kesempurnaan hidup dengan cara bersatu dengan penguasa angin yang ada dalam diri Raden Gathutkaca.
Majalah Cempala (1996-1999): Wacana Keadiluhungan dan Jejak Kekerasan Budaya Orde Baru dalam Tradisi Pedalangan Hariyanto, Hariyanto
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.11598

Abstract

AbstractThis article aims to investigate the hegemonic strategy of the authoritarian regime of New Order in doing cultural violence by exploiting the discourse of Virtue in the world of puppetry. The materials observed were from Cempala magazine published by the Indonesian Puppetry Association (PEPADI) from 1996 to 1999. The focus of the study were metaphors which were used in the articles in forms of puppetry narratives and idioms. The data obtained were compared with Wijaya Herlambang’s reading of literary works and films in Post-1965 Cultural Violence, and Pierre Bourdieu’s thoughts on symbolic violence. The results show that cultural violence has been done by the New Order by using the discourse of Virtue in the puppetry tradition through the standardization of puppetry styles. Cultural violence has been done by an extension of the authority of the puppetry organization through producing narratives as efforts to legitimize power.AbstrakTulisan ini bertujuan melacak strategi hegemoni rezim otoriter Orde Baru dalam melakukan kekerasan budaya melalui eksploitasi wacana keadiluhungan dalam dunia seni pedalangan. Bahan pengamatan adalah majalah Cempala yang diterbitkan oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Pusat dari tahun 1996 – 1999. Setiap edisi majalah dibaca berdasarkan cara pandang kajian budaya, berfokus pada metafor yang digunakan berupa narasi dan idiom wayang. Data yang diperoleh kemudian disandingkan dengan pembacaan Wijaya Herlambang atas karya sastra dan film dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965, dan pemikiran Pierre Bourdieu mengenai kekerasan simbolik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kekerasan budaya dilakukan Orde Baru dengan menggunakan wacana keadiluhungan dalam tradisi seni pedalangan melalui standarisasi gagrag pedalangan. Kekerasan budaya dilakukan oleh kepanjangan otoritas organisasi pedalangan dengan memproduksi narasi sebagai upaya melegitimasi kekuasaan.
Pengaruh Kitab Adiparwa dan Serat Purwakandha terhadap Pertunjukan Wayang Kulit Gaya Yogyakarta Lakon Abimanyu Lair: Kajian Intertekstualitas Mulyono, Sri
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.13150

Abstract

AbstractThis study aims to see the intertextual relationship between the Yogyakarta-style puppet performance of Abimanyu Lair by Ki M.L. Cermasudira and the story of Abhimanyu’s birth in Serat Purwakandha and the book of Adiparwa. For the purpose, a literature study about the birth was carried out, summarized, followed by a comparative and intertextual study using Joko Pradopo’s framework. In fact, transformation, continuity, and discontinuity occurred in the intertextual process. Transformation occurred in form and language. The book of adiparwa in form of ancient Javanese prose and Serat Purwakandha in form of New Javanese macapat songs transformed into a Yogyakarta style purwa puppet performance in puppetry language. Continuity could be seen in the theme similarity, namely birth. The continuity of Serat Purwakandha to puppet performance colud be seen at the event that Abhimanyu’s birth was always assisted by angels and gods; it was always interrupted by the king of the other world; Krishna always cared for Sembadra, Abimanyu, and the Pandavas; the name of Abimanyu was given by Bima. Discontinuity includes: differences in the arrangement of scenes, in which the arrangement of the puppet performance scenes was bound to the conventions of the patterns of puppet performance while the others were free; the difference in characters and settings in the three texts, which texts the newest text had more characters and settings. The deviation of ideas and story development was found in the emergence of the wahyu widayat story and Bima’s role in the Yogyakarta style puppet performance as an effort to put Abimanyu as the central queen Java land (‘ancestor of the kings of Java’) and Bima’s role in Javanese religious and Sufism system, namely through the palace revelation.In conclusion Abimanyu Lair puppet performance in a Yogyakarta-style puppet performance as a representation of the courtiers of the Yogyakarta palace shows a relationship with Serat Purwakandha but far different from the book of Adiparwa.AbstrakPenelitian ini bertujuan melihat hubungan intertekstual antara pertunjukan wayang kulit gaya Yogyakarta lakon Abimanyu Lair sajian Ki M.L. Cermasudira dengan cerita kelahiran Abimanyu pada Serat Purwakandha dan kitab Adiparwa. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan studi pustaka cerita kelahiran Abimanyu, meringkas cerita, dilanjutkan studi komparasi, dan intertekstual model Joko Pradopo. Dalam prosesintertekstual, terjadi transformasi, kontinuitas, dan diskontiunitas. Transformasi terlihat pada transformasi bentuk dan bahasa. Kitab adiparwa berbentuk prosa berbahasa jawa kuna dan Serat Purwakandha berbentuk tembang macapat berbahasa jawa baru bertransformasi menjadi pertunjukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta berbahasa pedalangan. Kontinuitas terlihat pada persamaan tema yakni kelahiran. Kontinuitas Serat Purwakandha ke pertunjukan wayang terlihat pada peristiwa kelahiran Abimanyu selalu dibantu bidadari dan dewa; kelahiran Abimanyu selalu diganggu raja sabrang; Kresna selalu peduli kepada Sembadra, Abimanyu, dan Pandawa; nama Abimanyu diberikan oleh Bima. Diskontinuitas meliputi: perbedaan susunan adegan, dimana susunan adegan pertunjukan wayang kulit terikat konvensi pola bangunan lakon wayang sedang yang lain bersifat bebas; perbedaan tokoh dan setting pada ketiga teks, dimana teks yang lebih muda memiliki jumlah tokoh dan setting lebih banyak. Penyimpangan ide dan pengembangan cerita terdapat pada munculnya kisah wahyu widayat dan peran Bima dalam pertunjukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta sebagai upaya mendudukkan Abimanyu sebagai pancer ratu tanah Jawa (‘leluhur raja-raja Jawa’) dan peranan Bima dalam system religious dan tasawuf Jawa, yakni melalui wahyu karaton. Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh hasil bahwa lakon Abimanyu Lair dalam pertunjukan wayang kulit gaya Yogyakarta sebagai representasi pakeliran abdi dalem keraton Yogyakarta menunjukkan adanya hubungan dengan teks sebelumnya yaitu Serat Purwakandha namun jauh dari kitab Adiparwa.
Struktur Naratif Lakon Bratayuda Jombor Krystiadi, Krystiadi
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.12419

Abstract

AbstractThe Jombor version of the Bratayuda Puppet Performance (PWLB) has developed since the end of the 19th century. Since 2005, the Jombor version of PWLB has never been performed anymore. In fact, the Jombor version of PWLB has unique pattern and structure of performance. Given these things, preservation and documentation of the Jombor version of PWLB are urgently needed. Therefore, the transcription and discovery of the Jombor version of PWLB structure pattern by Ki Kristiaji is important. This study has used Becker’s narrative structure simplified by Kasidi to find the pattern of PWLB structure. This study has also used analytical description method. The results of the analysis show that there are several scenes and war scenes of traditional patterns that are not found in the Jombor version of PWLB. These scenes include scenes of gapuran, kondur kedhaton, kapalan, pandhita, sintrèn, gambyongan, and all kinds of wars. The performance structure that is strictly followed is the division of the performance into three timelines, but the internal structure of the timeline such as the main scene is not always followed and ended by war. There is main scene followed by particular scene but is ended by war and there is main scene that is immediately ended by war. There is even one timeline in one scene followed by scene and war inside another main scene. Also, the internal structure of the main scene is not always composed by descriptions, dialogues, and actions. Some scenes of the Jombor version of PWLB do not have any descriptive elements. Meanwhile, the supporting elements in the form of sulukan (mood son), gending (instrumentalia), dhodhogan-keprakan are used by puppet masters by adjusting to the needs of the stage. Based on the results of the analysis, the arrangement of the scenes according to the traditional pattern and Becker’s narrative structure simplified by Kasidi is not rigid and coercive. These patterns are flexible according to the needs of the performanes.AbstrakPertunjukan Wayang Lakon Bratayuda (PWLB) versi Jombor tercatat telah berkembang sejak akhir abad 19. Sejak tahun 2005, PWLB versi Jombor tidak pernah dipentaskan lagi. Setelah ditelisik, PWLB versi Jombor memiliki keunikan dalam pola dan struktur lakonnya. Mengingat dua hal tersebut, usaha pelestarian dan pendokumentasian PWLB versi Jombor mendesak untuk dilakukan. Transkripsi dan penemuan pola struktur PWLB versi Jombor dengan dalang Ki Kristiaji dimaksudkan untuk menjawab hal itu. Dalam penelitian ini digunakan konsep struktur naratif Becker seperti direduksi oleh Kasidi untuk menemukan pola struktur PWLB. Adapun strategi analisis kajian ini menggunakan metode deskripsi analitik. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada beberapa adegan dan perang menurut pola tradisi yang tidak ditemukan dalam PWLB versi Jombor. Adegan tersebut antara lain adegan gapuran, kondur kedhaton, kapalan, pandhita, sintrèn, gambyongan, dan semua jenis perang. Struktur lakon yang diikuti secara ketat adalah pembagian lakon menjadi tiga pathet, tetapi struktur internal pathet seperti jejer tidak selalu diikuti adegan dan diakhiri perang. Terdapat jejer yang diikuti adegan tetapi tidak diakhiri perang dan ada jejer yang langsung diakhiri perang. Bahkan ada satu jejer dalam suatu pathet diikuti adegan dan perang dalam kerangka pathet yang lain. Struktur internal pathet juga tidak selalu disusun oleh deskripsi, ginem, dan tindakan. Beberapa adegan PWLB versi Jombor tidak memiliki unsur deskripsi. Sedangkan unsur penyangga berupa sulukan, gending, dhodhogan-keprakan digunakan dalang dengan menyesuaikan kebutuhan pentas. Berdasarkan hasil analisis, susunan adegan menurut pola tradisi dan konsep struktur naratif Becker yang direduksi Kasidi tidak bersifat kaku dan memaksa. Pola-pola tersebut bersifat luwes disesuaikan kebutuhan lakon.

Page 4 of 4 | Total Record : 40