cover
Contact Name
M. Riza Pahlefi
Contact Email
riza.pahlefi@uinbanten.ac.id
Phone
+6285383592121
Journal Mail Official
syakhsia@uinbanten.ac.id
Editorial Address
Jl. Jenderal Sudirman No. 30 Ciceri Serang Banten
Location
Kota serang,
Banten
INDONESIA
Syaksia : Jurnal Hukum Perdata Islam
ISSN : 2085367X     EISSN : 27153606     DOI : https://dx.doi.org/10.37035/syakhsia
Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, is an open access and peer-reviewed journal published biannually (p-ISSN: 2085-367X and e-ISSN: 2715-3606). It publishes original innovative research works, reviews, and case reports. The subject of Syakhsia covers textual and fieldwork with various perspectives of Islamic Family Law, Islam and gender discourse, and legal drafting of Islamic civil law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 94 Documents
Sumber Hukum dalam Menetapkan Status Bagi Mafqud Oleh Hakim Pengadilan Agama Hafidz Taqiyuddin
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1982

Abstract

Penelitian ini menunjukkan bahwa sumber hukum yang digunakan sebagai asas pandangan hakim di pengadilan agama di Indonesia untuk menetapkan status hukum bagi mafqud (orang yanghilang) dalam kepentingan dalam kasus pewarisan di Pengadilan Agama Kediri dan Yogyakarta adalah hukum materi dan hukum formil yang diberlakukan untuk proses di Peradilan Agama. Adapunsumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan status mati bagi mafqud di Pengadilan Agama Kediri adalah istishhab, maslahah dan Pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH Perdata.
Peran dan Upaya KUA dalam Menanggulangi Pernikahan di Bawah Umur (Studi Kasus di KUA Kec. Cikande Tahun 2016-2018) Via Syihabul MIllah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 1 (2020): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v22i1.2920

Abstract

Abstrak Perkawinan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya. Baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan adalah suatu cara yang di pilih oleh Allah sebagai jalan bagi makhluknya untuk berke,bang biak dan melestarikan hidupnya. Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia maka di perlukan perkawinan yang sah sesuai dengan norma Agama dan tata aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan salah satu perintah Agama kepada seorang laki-laki dan perempuan yang mampu. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan dan memelihara diri dari perbuatan zina. Dalam sebuah pernikahan usia adalah suatu faktor yang sangat penting. Karena usia seseorang akan menjadi tolak ukur apakah ia sudah cukup dewasa dalam bersikap dan berbuat atau belum. Usia juga yang akan mempertaruhkan sebuah rumah tangga kejalan yang sejahtera atau bahkan sebaliknya. Bahkan bukan hanya itu saja, umur yang masih sangat muda ketika di perkenankan menikah maka akan banyak sekali dampak yang akan terjadi. Seperti dapat menimbulkan depresi berat, perceraian terjadi karena pemikiran yang belum matang, pendidikan menjadi terhambat, ekonomi yang rendah terkadang dapat menelantarkan seorang anak,muncul pekerja di bawah umur dan dapat menyebabkan penyakit HIV. Dan realita ini terjadi di beberapa desa di kecamatan cikande yang di mana masih terdapatnya sebagian masyarakat yang melaksanakan pernikahan di bawah umur, yang padahal pernikahan di bawah umur sangat bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1. Untuk itu masalah yang diajukan adalah bagaimana peran KUA dalam meminimalisir pernikahan di bawah umur di kecamatan cikande. Kemudan bagaimana upaya KUA dalam meminimalisir pernikahan di bawah umur di kecamatan cikande. Jenis penelitan yang digunakan adalah penelitian lapangan (feld research) dengan metode kualitatif. Penelitan ini bersifat deskriptif yatu menganalisis data-data yang berkaitan dengan objek pembahasan. Hasil penelitian menunjukan bahwa peran KUA dalam meminimalisir pernikahan di bawah umur yaitu: KUA merupakan kontrol kemasyarakatan bagi warga masyarakat kecamatan cikande. Dengan begitu secara kelembagaan kepala KUA dan para staf nya mempasilitasi warga masyarakat. Karena melihat masih terdapatnya warga masyarakat yang melaksanakan pernikahan di bawah umur oleh sebab-sebab tertentu. Seperti, ekonomi yang kurang memadai, sebab dari orang tuanya, Agama, pergaulan bebas, kurangnya pendidikan orang tua dll. Adapun upaya KUA dalam meminimalisir pernikahan di bawah umur di kecamatan cikande yaitu: Sosialisasi dengan melakukan konsultasi juga penyuluhan di kalangan warga masyarakat, yang di laksanakan sebulan sekali pada hari jum’at pukul 01.00 hingga selesai yang bertempat di aula kecamatan cikande. Kemudian bekerjasama dengan Tim Puskesmas kecamatan cikande karena keterkaitannya dengan tingkat kesehatan. Dan KUA mengait take ouner bekerjasama dengan PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) dengan tujuan memperlambat tingkat kelahiran dan mengurangi laju pertumbuhan penduduk.
Keluarga Islam di Era Millenial Hikmatullah Hikmatullah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 22 No 1 (2021): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v22i1.4880

Abstract

Yang paling membedakan antara generasi millennial dengan generasi lainnya adalah mereka menginginkan sesuatu yang lebih cepat dan instan, dan ketika bicara soal cepat konotasinya menjadi instan. Namun, hal itu tidak disalahkan karena pesatnya perkembangan teknologi. Jika pada jaman dahulu, untuk bisa membaca buku harus datang ke perpustakaan, saat ini kita hanya perlu menanyakannya kepada Google yang ada di smartphone mereka yang serba tau dan serba ada. Di generasi millenial yang serba cepat dan serba instan ini banyak anak muda yang melahirkan ide kreatif, inovatif dan usaha yang bermanfaat. Contohnya seperti gojek, grab, ruang guru, dan beberapa usaha online yang telah maju juga berkembang pesat saat ini.
Pola Pengasuhan Anak Dan Relasinya Dengan Living Religion Di Amerika Serikat Uup Gufron; Kartono Kartono
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 22 No 1 (2021): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v22i1.4875

Abstract

Artikel ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pola pengasuhan orangtua pada anaknya dalam upaya untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan agama (living religion) sehingga anak dapat menjalankan nilai-nilai agama yang dianutnya. Artikel ini menjawab pertanyaan utama bagaimana pola dan cara orangtua di Amerika Serikat dalam mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anak sehingga agama yang mereka anut dapat lestari dan dijalankan kepada anak dan cucu mereka. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan bersifat deskriptif-analitis dengan merujuk pada buku-buku literatur sebagai data analisis untuk menjawab problem di atas. Teori yang digunakan dalam menjawab problem penelitian ini diambil dari Suzan-Crowford Sulivan yang menyebut bahwa pemertahanan keberlangsungan agama seorang anak lebih efektif dilakukan oleh seorang ibu dengan menanamkan nilai-nilai kepercayaan kepada Tuhan dan dekat dengan gereja. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa untuk dapat menghidupkan agama dengan sepuluh prinsip, yakni; 1) bahwa Tuhan mempedulikan kita; 2) bahwa semua kehidupan itu mudah; 3) mendengarkan keluhan anak; 4) menggunakan kata-kata yang tidak menyakiti anak; 5) membiarkan anak berkembang sesuai dengan keinginan dan mimpinya; 6) memberi motovasi yang positif; 7) membuat kebiasaan yang memnggugah; 8) menjadikan diri sebagai cermin yang positif bagi anak; 9) mengibarkan semangat berjuang; dan 10) membuat sesuatu yang baru dalam setiap hari anak.
Wanita Hamil di Luar Nikah Perspektif Hukum Islam (Studi Hukum Menikahi, Mentalaq, dan Masa Iddah) Junawaroh Junawaroh
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 2 (2020): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v21i2.3847

Abstract

Hamil diluar nikah adalah perbuatan yang tercela atau tidak bermoral. Karena perzinaan itu hukumnya haram. Tetapi ada dampak wanita hamil itu bisa mengakibatkan haram ataupun boleh untuk dinikahi. Namun masalahnya lebih problematik manakala wanita hamil dinikahi baik oleh si pelaku zina maupun orang lain. kemudian diceraikan dalam kondisi masa kehamilan dan selama dalam masa kehamilan yang sudah diceraikan tersebut, itu memungkinkan memiliki iddah ثلا ثة قروء ataupun sampai dengan melahirkan.Untuk itu masalah yang diajukan adalah bagaimana hukum menikahi wanita hamil di luar nikah. Kemudian bagaimana hukum menthalaq wanita hamil di luar nikah. Serta bagaimana hukum masa iddah wanita hamil di luar nikah. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research). Tekhnik pengumpulan data penulis menghimpun, membaca, mengamati, mencermati, menganalisis buku-buku sebagai sumber primer maupun sekunder. Setelah buku-buku itu di baca dan dianalisis kemudian ditempuh dengan cara induktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa menurut Imam Hanafi dan syafi’i, menikahi wanita hamil karena zina hukumnya boleh baik laki-laki yang menghamilinya maupun laki-laki lain, namun keduanya berbeda pendapat tentang kebolehan menggaulinya.Imam Hanafi hanya membolehkan menggauli jika yang menikahinya laki-laki berbuat zina dengannya, sedangkan Imam Syafi’i membolehkan menggaulinya baik oleh laki-laki yang menghamilinya ataupun bukan. Sementara menurut Imam Maliki dan Hambali tidak membolehkan menikahi wanita hamil diluar nikah baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun bukan. Imam Hanafi dan Syafi’i, mentalak wanita hamil hukumnya jaiz (boleh). Adapun menurut Imam Maliki mentalak wanita hamil hukumnya haram,sebab mereka mengkiyaskan talak di dalamnya kepada talak pada masa haid di luar kehamilan. Pendapat Imam Hanafi dan Syafi’I bahwa tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina, sedangkan Imam Maliki dan Hambali yaitu mewajibkan adanya iddah bagi wanita hamil di luar nikah.
Perlindungan Hukum Bagi Anak Panti Asuhan di Kota Tangerang dalam Memperoleh Akta Kelahiran Hasnah Aziz Putri Hafidati dan Imam Rahmaddani
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 2 (2020): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v21i2.3842

Abstract

Penelitian ini tentang Perlindungan hukum bagi anak Panti Asuhan di Kota Tangerang dalam memperoleh akta kelahiran. Pencatatan kelahiran adalah hak setiap warga negara yang paling dasar yang seharusnya diberikan Negara karena eksistensi legal seseorangnsebenarnya baru diakui setelah kelahirannya dicatatkan tapi kenyataannya masih ada anak-anak yang belum mempunyai akta kelahiran.Tujuan penelitian ini mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum bagi anak Panti Asuhan, kendala dalam pembuatan akta kelahiran dan cara mengatasi kendala- kendala tersebut dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum.Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian diskriptif analisis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam memperoleh akta kelahiran. Tahapan penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu: Penelitian kepustakaan (library research) dan Penelitian lapangan (field research). Penriakan kesimpulan hasil penelitian dilakukan melalui metode yuridis normatif kualitatif.Hasil penelitian ini menunjukkan, pertama, Peraturan perundang-undangan yang ada tentang akta kelahiran banyak yang belum diketahui oleh pengurus panti sehingga mereka tidak tahu cara pengurusan pembuatan akta kelahiran dan belum ada Program percepatan kepemilikan akta kelahiran seperti jemput bola (jebol) yang khusus untuk anak Panti Asuhan. kedua, adanya Kendala dalam membuat akta kelahiran pada anak panti yang tinggal di panti asuhan di Kota Tangerang yang tak diketahui keberadaan orang tuanya dan tidak adanya syarat untuk pembuatan Akta Kelahiran seperti KK, KTP, Surat Keterangan Lahir dan buku nikah. ketiga cara mengatasi kendala ini seperti KK dengan memasukkan/ menambahkan pada anngota keluarga dalam KK pengurus/penanggung jawab panti, KTP memakai KTP Penanggung Jawab Panti, dan yang tidak punya surat keterangan lahir dengan membuat surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) atas kebenaran data, dan begitu juga dengan anak temuan terkendala dalam mengurus akta kelahiran karena tidak mempunyai BAP dari kepolisian karena sebahagian Polisi tidak mau mengeluarkan BAP solusinya dengan melaporkan ke Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum & Keamanan (Kemenko Polhukam) untuk persyaratan lain mempergunakan SPTJM dari pengurus Panti Asuhan.
Status Wali Washi Dalam Pernikahan Perspektif Imam Malik Dan Imam Syafi’i Busahwi Busahwi; Kudrat Abdillah; Hairul Umam
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 22 No 1 (2021): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v22i1.4876

Abstract

Pernikahan dalam Islam mempunyai rukun dan syarat yang menentukan sah tidaknya pernikahan tersebut. Ulama’ fiqh sependapat bahwa wali merupakan syarat atas sah tidanya perkawinan. Pembahasan mengenai siapa yang paling berhak menjadi wali memunculkan ikhtilaf di kalangan ulama’ fiqh. Misalnya saja seperti yang terjadi diantara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Pada dasarnya, Imam Malik dan Imam Syafi’i sependapat bahwa wali merupakan rukun dalam pernikahan, akan tetapi kedua Imam ini berbeda pendapat terkait siapa saja yang berhak dan yang lebih didahulukan menjadi wali terutama dalam menyikapi wali wâshî, yakni orang yang berhak menjadi wali sebagai akibat atas wasiat ayah kandung (setelah matinya ayah). Mengenai wali wâshî ini, kedua ulama’ tersebut berbeda pendapat tentang kebolehan mengakad nikahkan perempuan dengan wali wâshî tersebut. Dari persoalan inilah Penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut dengan judul “Studi Komparasi Ststus Wali Wâshî dalam Pernikahan Perspektif Imam Malik dan Imam Syafi’i”. Ada dua permasalahan yang menjadi kajian pokok dalam penelitian ini: pertama, Bagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang status wali wâshî dalam pernikahan?; kedua, Bagaimana persamaan dan perbedaan pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i tentang status wali wâshî dalam pernikahan?. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian library research (studi pustaka). Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa literatur-literatur. Data penelitian dihimpun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dan informasi dari buku, jurnal, majalah dan artikel. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif komparatif dengan pola pikir deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, Imam Malik berpendapat bahwa wali wasĥi kedudukannya seperti ayah yang mempunyai hak ijbar dan statusnya didahulukan daripada wali nasab. Sedangkan Imam Syafi’i beranggapan bahwasanya wasĥi tidak termasuk dari wali yang boleh menjadi wali bagi perempuan yang akan menikah, karena yang dianggap sebagai wali nikah oleh Imam Syafi’i adalah ‘ashabah dan juga kerabat lain. Kedua, Persamaan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i terkait wali wasĥi adalah dalam penggunaan landasan hadits tentang peran wasĥi, namun terdapat perbedaan dalam menginterpretasikan hadits tersebut. Perbedaan lain dari kedua imam madzhab ini adalah Imam Malik berlandaskan pada qaul sahabi serta menganalogikan wali wasĥi dengan praktik taukil wali, sehinga beliau berpendapat bahwa wasĥi termasuk wali dalam pernikahan dan kedudukannya sama dengan ayah. Sedangkan Imam Syafi’i menganggap akad wasiat ayah untuk menikahkan sama dengan taukil, sehingga ketika ayah meninggal, wasiat untuk menikahkan putus dan secara otomatis berpindah kepada kerabat perempuan tersebut.
Hak Asuh (Hadhanah) Anak Angkat Akibat Perceraian Orang Tua Angkat dalam Perspektif Hukum Islam Iim Amalia
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 2 (2020): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v21i2.3848

Abstract

Setiap perkawinan tentulah di harapkan akan bertahan seumur hidup. adakalanya harapan itu tidak tercapai karena rumah tangga yang di idam-idamkan berubah menjadi neraka. Dengan demikian terbukalah pintu percaraian. Perceraian dipilih karena ini adalah salah satunya jalan dalam mengurangi pertikaian bahtera rumah tangga. Sayangnya perceraian tidak selalu membawa dalam ketenangan, justru perceraian membuat berkorbanya seorang anak. Ini adalah yang memicu persoalan hak asuh anak, apalagi anak tersebut adalah anak angkat, anak yang bukan dari darah daging sendiri. Kemudian bagaimana anak angkat mendapatkan hak asuh dari orang tua angkatnya?. Kedudukan anak angkat setelah orang tua angkatnya bercerai sama halnya dengan anak kandung dalam hal pemeliharan anak kecuali dalam hubungan nasab sehingga tidak mendapatkan waris, namun KHI mengisyaratkan wasiat wajibah terhadap anak angkat yang besarannya 1/3 saja, dengan demikian anak angkat dan anak kandung sama dalam hal pemeliharan, meskipun dalam perceraian anak angkat tidak berakibat tetapi dalam perceraian mengakibatkan hadhanah dan pemeliharaan anak, yang diperebutkan suami istri. Selama anak angkat masih dibawah umur maka ia ikut dengan ibunya karena ibu lebih lemah lembut dan penuh kasih sayang, tetapi setelah ia dewasa dan cukup umur maka ia berhak memilih untuk ikut dengan siapa meskipun biaya pemeliharan dan kehidupannya di bebankan kepada ayah. Apabila anak angkatnya perempuan dan ingin menikah maka yang menjadi wali nikahnya tetap ayah kandungnya bukan ayah angkatnya. Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak berakibat hukum dalam hal habungan darah, hubungan wali-mewali, dan hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkatnya. Hanya mendapatkan hak sama dengan anak kandung yaitu hak asuh (hadhanah), karena pemeliharaan anak bertujuan hanya untuk kesejahtraan dan perlindungan seorang anak, dan pemeliharan anak tidak memandang anak itu anak kandung atau anak angkat yang terpenting untuk kemaslahatan bersama. Sebagaimana di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman hukum materiil peradilan agama dalam pasal 171 huruf h bahwa anak angkat anak yang dalam pemeliharaan untuk kehidupannya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan putusan pengadilan.
Dispensasi Nikah Anak Perempuan: Suatu Fenomena Masyarakat Modern dalam Konteks Agama dan Negara Maimunah Maimunah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 2 (2020): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v21i2.3843

Abstract

Pernikahan menjadi penunjang dan landasan bagi berkembangnya masyarakat yang berperadaban. Pernikahan di usia muda sangat berkaitan dengan hak daripada orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai dari keinginan anak itu sendiri. Dispensasi nikah anak perempuan sangat dimungkinkan menurut agama dan negara. Sebenarnya, tidak dijumpai tentang batasan usia menikah untuk seseorang baik dalam al-Qur’an dan fiqih, Selain dalam al-Qur’an, tidak dijumpai adanya batasan usia menikah bagi seseorang perempuan dan/atau laki-laki dalam fiqih. Namun, bukan berarti negara muslim tidak membuat dan menerapkan ketentuan terhadap batasan usia nikah. Bila merujuk pada historis Rasulullah SAW menikahi Aisyah saat ia berusia kurang dari 7 tahun. Ini menjadi perdebatan cukup serius di kalangan ulama, bagaimana status menikahi anak kecil atau di bawah umur dalam pandangan agama Islam. Sebagaimana al-Marwazi dalam Ikhtilaf al-Ulama, terutama Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil adalah boleh, dan tanpa harus adanya khiyar atau pilihan ketika dewasa. Alasannya bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah ketika ia berumur enam tahun, dan hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal inipun dibolehkan oleh para Sahabat, seperti Umar Ibn Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibn Umar, Zubayr, Ibn Qudamah, Ibn Maz’un, dan Ammarah, namun negara mengatur pembatasan usia menikah bagi perempuan dan memberikan dispensasi nikah anak perempuan disertai alasan mendesak dengan mengajukan ke lembaga peradilan guna mendapatkan persetujuan dengan mengabulkan perkara permohonan dispensasi kawin tersebut.
Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Dinamisasi Perkembangan Metode Ijtihad Muhammadiyah Adi Nur Rohman
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 22 No 1 (2021): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v22i1.4877

Abstract

Perubahan sosial menjadi sesuatu yang tak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dipastikan akan bersinggungan dengan hukum Islam sebagai pranata sosial yang bersentuhan langsung dengan perilaku manusia. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar di Indonesia turut serta dalam melahirkan produk-produk hukum yang progresif serta relevan terhadap tuntutan zaman melalui lembaga Majlis Tarjih dan Tajdid. Tulisan ini mengulas tentang hubungan hukum Islam terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dengan memfokuskan kajian bahasan kepada metode ijtihad Muhammadiyah dalam mengikuti arus kehidupan masyarakat yang mengalir dengan sangat dinamis. Melalui kajian analitis dengan menggunakan pendekatan historis, penulis menilai bahwa metode ijtihad Muhammadiyah dalam menjawab perubahan sosial bersifat dinamis dan progresif dengan mengembangkan tiga pendekatan; bayani, tahlili dan istislahi. Dinamisasi ijtihad Muhammadiyah dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikeluarkannya yang mengikuti kebutuhan zaman meski dalam beberapa hal kerapkali berseberangan dengan fatwa-fatwa tradisional dalam kitab-kitab klasik. Namun demikian, ia mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer dengan tetap mengikuti prinsip-prinsip dasar syariah Islam di tengah masyarakat yang multicultural.

Page 5 of 10 | Total Record : 94