cover
Contact Name
Muhammad Reza
Contact Email
muhammadreza@unsyiah.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jimhukumkenegaraan@unsyiah.ac.id
Editorial Address
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jalan Putroe Phang No.1. Darussalam, Provinsi Aceh, 23111 Telp: (0651) 7410147, 7551781. Fax: 755178
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan
ISSN : -     EISSN : 25976885     DOI : -
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan merupakan jurnal berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dengan durasi 4 (empat) kali dalam setahun, pada Bulan Februari, Mei, Agustus dan November. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan menjadi sarana publikasi artikel hasil temuan Penelitian orisinal atau artikel analisis. Bahasa yang digunakan jurnal adalah bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Ruang lingkup tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum Yang mencakup Bidang Hukum Kenegaraan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan merupakan media jurnal elektronik sebagai wadah untuk publikasi hasil penelitian dari skripsi/tugas akhir dan atau sebagian dari skripsi/tugas akhir mahasiswa strata satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang merupakan kewajiban setiap mahasiswa untuk mengunggah karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk yudisium dan wisuda sarjana. Artikel ditulis bersama dosen pembimbingnya serta diterbitkan secara online.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 272 Documents
PELAKSANAAN PENGAWASAN OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KETENAGAKERJAAN PADA USAHA SWALAYAN DI KABUPATEN ACEH BESAR Dian Anda Yani; Efendi Efendi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 1, No 2: November 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdasarkan pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Pasal 1 PerPres Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan. pengawasan dan pemeriksaan dilakukan untuk mengawasi kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Jaminan Sosial. Namun, berdasarkan penelitian awal belum ada pengawasan dan pemeriksaan terhadap peserta ketenagakerjaan pada usaha swalayan di kabupaten Aceh Besar. Oleh karnanya, tidak terpenuhi jaminan kerja atas tenagakerja di kabupaten Aceh Besar. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan pelaksanaan pengawasan terhadap peserta BPJS usaha swalayan di Kabupaten Aceh Besar, kendala BPJS ketika melakukan pengawasan terhadap peserta BPJS usaha swalayan serta upaya BPJS mengatasi kendala dalam melakukan penjaminan terhadap usaha swalayan yang berada di kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, tinjauan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk  memperoleh data skunder, sedangkan penelitian lapangan dilakukan guna untuk memperoleh data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan meliputi standar upah, kecelakaan kerja dan jaminan lain sesuai kesepakatan antara BPJS ketenagakerjaan dan pemberi kerja. Namun, pada prakteknya dilapangan didapati BPJS ketenagakerjaan hanya melakukan pengawasan pada perusahaan-perusahaan besar sedangkan terhadap usaha mikro kecil tidak melakukan pengawasan seperti yang terjadi di swalayan lambaro. Kendala yang dihadapi seperti kurangnya kuantitas dan kualitas personil pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dan keterbatasan biaya untuk melakukan Pengawasan Ketenagakerjaan. Upaya yang dilakukan oleh BPJS yakni melakukan koordinasi dengan pemerintah, upaya prefentif edukatif, membuat pelatihan pegawai BPJS, upaya represif non pro justitia dan upaya represif pro justitia. Disarankan BPJS Ketenagakerjaan berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang memuat aturan teknis pelaksanaan Pengawasan, pendanaan data operasional yang memadai dan penambahan jumlah anggota pegawai pembinaan dan menambah jumlah pegawai-pegawai pengawasan.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI YAMAN PADA SAAT KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL Wirda Anggrayni; Adwani Adwani
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak - Sengketa bersenjata non internasional adalah kondisi pertempuran antara angkatan bersenjata pemerintah dengan kelompok bersenjata yang terorganisir didalam wilayah suatu Negara. Konflik bersenjata di Yaman menimbulkan banyak korban terutama anak-anak. Menurut Ketentuan Pasal 27 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa orang-orang yang dilindungi, dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat-istiadat dan kebiasaan mereka. Pada Pasal 3 konvensi-konvensi jenewa 1949 menentukan aturan-aturan HHI dan kewajiban para pihak yang berkonflik untuk melindungi korban perang dalam perang yang tidak bersifat internasional, namun perlindungan terhadap anak belum efektif sebagaimana mestinya. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk-bentuk mengenai perlindungan hukum terhadap  anak pada saat konflik bersenjata noninternasional di Yaman menurut hukum humaniter internasional. Serta untuk menjelaskan hambatan-hambatan yang muncul dalam memberikan perlindungan menurut Hukum Humaniter Internasional terkait perlindungan hukum terhadap anak pada saat konflik bersenjata noninternasional di Yaman.Berdasarkan hasil penelitian dari penulisan skripsi ini menunjukkan bahwa secara umum, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak-anak lebih tertuju kepada akibat sengketa bersenjata yang menimpa atau berdampak kepada anak-anak yang tidak ikut turut serta dalam peperangan, tidak dilaksanakannya prinsip pembedaan, prinsip perlindungan serta prinsip proporsional. Hambatannya yaitu bom cluster dan bom kimia fosfor putih yang menewaskan banyak korban dan hancurnya gedung-gedung di Yaman serta pemberontak Houthi membatasi masuknya bantuan kemanusiaan.Kata Kunci : Implementasi, Konflik Bersenjata, Anak-anak, Kendala. Abstract - Non-international armed conflict is a condition of fighting between government forces with organized armed groups in the territory of a State. The armed conflict in Yemen caused many casualties, especially children. According to the provisions of Article 27 of the 1949 Geneva Convention states that people are protected in all circumstances entitled to respect for self, respect the rights of kinship, religious beliefs and practices, and customs and their habits. In Article 3 of the 1949 Geneva conventions determining the rules of humanitarian law and obligations of the parties to the conflict to protect the victims of war in a war that is not international, but the protection of children has not been effective as it should be.This thesis aims to identify and explain the forms concerning the legal protection of children during non-international armed conflict in Yemen under international humanitarian law. As well as to explain the obstacles that arise in providing protection under international humanitarian law regarding the protection of the law against child at the time of non-international armed conflict in Yemen.Generally, based on the results of this writing shows that the legal protection given to children are more drawn to a result of armed conflicts affecting or impacting to children, who did not participate in the war, not the implementation of the principle of distinction, the principle of the protection and proportional principle. The obstacle is that cluster bombs and white phosphorous chemical bomb that killed a lot of casualties and the destruction of buildings in Yemen and the Houthi rebels restrict the entry of humanitarian aid.The Government of Yemen is suggested  to solve the problem of war with Houthi rebels. Therefore, there is no longer a civil war between them which could protect the civilian population or citizen of Yemen, especially children,to provides a peaceful and prosperous country.Keywords: Implementation, Armed Conflict, Children, Constraints.
Tinjauan Hukum Pelaksanaan Corporate Social Responsilbility (CSR) Lafarge Cement Indonesia Di Aceh Wahyudi Wahyudi; Nurdin Nurdin
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 3: Agustus 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

PT Lafarge Cement Indonesia merupakan salah satu perusahaan produsen semen yang berasal dari Perancis yang mulai beroperasi pada 1983 yang mengalokasikan dan melaksanakan program CSR. Prinsip 5 Deklarasi Rio 1992 dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang mewajibkan perusahaaan untuk menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR). Untuk memenuhi ketentuan tersebut, PT Lafarge Cement Indonesia telah dan sedang melaksanakan CSR di Kecamatan Leupung dan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Akan tetapi pelaksanaannya belum sesuai peraturan perundang-undangan dan keinginan masyarakat yang berdomisili di sekitar perusahaan tersebut. Namun demikian, pelaksanaan CSR telah berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Negara-negara peserta Deklarasi Rio 1992 termasuk Indonesia, dan Pemerintah Aceh seharusnya segera mengatur secara khusus mengenai sanksi dan mengawasi secara berkala serta berkelanjutan terhadap pelaksanaan CSR Lafarge Cement Indonesia yang beroperasi di wilayah Aceh
STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KOSTITUSI PUTUSAN NOMOR 46/PUU-XIV/2016 Iqbal Rahmadi; M. Nur Rasyid
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sudah terjadi pergeseran nilai-nilai dikarenakan ketidakjelasan hukum yang ada di Indonesia perihal kesusilaan terutama dalam hal perzinaan, pemerkosaan dan cabul sesama jenis. Sehingga para Pemohon bersepakat untuk mengajukan permohonan pengujian KUHP Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 ke Mahkamah Konstitusi sebagai cara upaya percepatan penanggulangan bencana sosial yang terjadi dimasyarakat.Untuk menjelaskan Dan memahami Dasar pertimbangan hakim dan interpretasi hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini bersifat studi kasus apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penilitian hukum normative (normative legal research). Data yang digunakan, yaitu melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder yaitu melalui serangkaian membaca, mengutip, menelaah Perundang-Undangan yang berkaitan dengan objek pelitian. Sedangkan alat penilitian yang digunakan adalah studi dokumen yang merupakan dokumen-dokumen hukum berupa putusan Pengadilan yang berkaitan dengan kasus yang teliti. Hasil penilitian menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak tepat menjatuhkan putusan dalam perkara ini di karenakan dari waktu ke waktu semakin dirasakan bahwa eksistensi kepastian hukum yang ada dalam norma Pasal 284 ayat (1), (2), (3), (4), (5),b Pasal 285 KUHP dan Pasal 292 KUHP jelas bersifat tidak adil, baik secara sosiologis-historis maupun dalam konteks kekinian, sebab filosofi dan paradigma yang menjiwai norma Pasal Tersebut jelas mempersempit dan bahkan bertentangan dengan konsep “persetubuhan terlarang” menurut berbagai nilai agama dan living law masyarakat di Indonesia. Disarankan MK didalam melakukan pengujian konstitusionalitas suatu Undang-undang tidak hanya berpikir dengan pertimbangan sempit, yaitu hanya memeriksa apakah undang-undang tersebut bertentangan atau tidak dengan UUD NRI 1945. MK harus mampu melihat dan menjangkau dengan perspektif yang lebih luas.sehingga sesuai dengan keadaan yang hidup di tengah tengah masyarakat.
The International Humanitarian Law Protection On Civilians From Sexual Exploitation And Abuse Committed By The United Nations Peacekeepers Revalyani Revalyani; Sophia Listriani
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

United Nations has operated its peacekeeping operation for decades since 1990s and well known for engagement in sexual exploitation and abuse, particularly, by troops of contributing countries. The engagement to violence is contrast to protecting civilian mandate of operation. In international Humanitarian Law, sexual exploitation and abuse is classified into rape and other form of sexual violence which are prohibited in legal documents such as Geneva Conventions 1949 and Additional Protocols 1977. The focus of the research is to describe the protection of civilian covered under International Humanitarian Law, to comprehend the Sexual Abuse and Exploitation in International Humanitarian Law and to identify how International Humanitarian Law account the sexual abuse and exploitation in United Nations peacekeeping operation.  This research is conducted under normative method. The data is accumulated predominantly on secondary data beside primary and tertiary data by library research through identifying and locating sources that provide actual information or opinion of expert. Civilian protection is enacted in Common Article 3 of Geneva Conventions 1949. Additional Protocol I and II 1997 to Geneva Conventions 1949 stipulate the protection in Article 51 (3) of first Protocol and Article 13(3) of second Protocol. Rape and other kinds of sexual violence are prohibited in Geneva Conventions 1949 and Protocols 1977 to the Conventions. Specifically in Common Article 3 of the Conventions 1949 which implicitly prohibits sexual violence and explicitly prohibits in Article 27 of the fourth Geneva Convention 1949. On the other hand, Additional Protocol I of 1977 in Article 75 (2) (b) provides the protection upon personal dignity and Article 76 (1) and Article 77 (1) of the Protocol provides the protection specifically women against the sexual violence. Second Protocol also sets the prohibition in Article 4 (2) (e). United Nations enforce international humanitarian law through its legal document of Secretary-General’s bulletin ST/SGB/1999/13 “Observance by United Nations forces of international humanitarian law”. The violation of the rules may lead the violators to disciplinary action. But still, the jurisdiction of investigation and prosecution is behalf of national state of the perpetrator him/herself. The exclusive jurisdiction is reflected in any legal documents. However, in the matter of IHL, the law can be imposed in states military court through the military manuals. Therefore, the recommendation to the issue matters is arisen several numbers include United Nations shall name and shame the states who fail to investigate and prosecute their accused troops, United Nations shall actively work with the states to fill the gap of accountability procedure, and States or United Nations shall establish a court where the allegation can be prosecuted in consent of parties of state as contributors.
KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN Rini Maisari; M. Zuhri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 4, No 2: Mei 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kedudukan kejaksaan pada saat ini yang berada pada ranah kekuasaan eksekutif sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sejatinya tidaklah tepat. Berdirinya kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan telah menyebabkan tidak adanya independensi di tubuh kejaksaan dalam menjalankan tugas, fungsi, maupun kewenangannya. Hal ini disebabkan intervensi kepentingan politik pemerintah yang telah banyak mempengaruhi struktur kejaksaan. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk melihat kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan desain kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai lembaga negara independen demi terwujudnya Clean Government. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Analisis permasalahan dilakukan dengan mengolah data kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan kejaksaan belum pernah diatur di dalam konstitusi sehingga kedudukan kejaksaan hanya diatur di dalam Undang-Undang saja. Desain kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan sebaiknya sebagai lembaga negara independen yaitu lembaga yang tidak berada pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dalam rangka mengoptimalkan kedudukan kejaksaan dan meningkatkan tata kelola pemerintahan yang bersih.Kata Kunci : Kedudukan kejaksaan, Intervensi Politik, Lembaga Independen.
Pelaksanaan Pengawasan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan PT.Karya Tanah Subur Oleh Instansi Pengawas Di Kabupaten Aceh Barat Anggita Selviaroza; Yanis Rinaldi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usahadan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun dalam prakteknya, pelaksanaan pengawasan Dokumen Amdal PT Karya Tanah Subur (PT. KTS) oleh Instansi Pengawas di Kabupaten Aceh Barat belum terlaksana sebagaimana mestinya. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pengawas dalam melakukan pengawasan sesuai dengan Dokumen Amdal, hambatan yang dihadapi oleh instansi pengawas sehingga pengawasan tidak dilaksanakan sesuai ketentuan, akibat hukum bagi instansip engawas yang tidak melakukan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan dan untuk menjelaskan upaya yang dilakukan oleh instansi terkait untuk meningkatkan pelaksanaan pengawasan. Data yang diperuntukkan dalam penulisan artikel ini dilakukan melalui penelitian kepustakan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan diperoleh dari bahan bacaan seperti buku-buku, Peraturan perundang-undangan, Pendapat para ahli, dan Sumber internet. Penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara dengan responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengawasan Dokumen Amdal PT KTS oleh instansi pengawas di Kabupaten Aceh Barat tidak terlaksana sebagaimana mestinya hal ini disebabkan karena hambatan-hambatan yang terjadibaik dari pihak instansi maupun dari pihak pemrakarsa. Upaya yang ditempuh Dinas Lingkungan Hidup dan Instansi terkait untuk mengatasi hambatan dengan melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan mengadakan pembinaan terhadap pemrakarsa, Memberi peringatan secara lisan bagi pemrakarsa yang menyalahi aturan, Melakukankegiatan pelaksanaan pengawasan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Disarankan kepada Dinas Lingkungan HidupKabupaten Aceh Barat beserta instansi yang terkait dalam pengawasan Dokumen Amdal PT KTS untukmelakukan pembinaan kepada personil aparat pengawas dan juga penambahan personil aparat pengawas, agar pelaksanaan pengawasan dapat berjalan secara optimal.
Mekanisme Pemberhentian Keuchik Di Gampong Blang Manggeng Kecamatan Manggeng Kabupaten Aceh Barat Daya Siska Tria Danisa; Zahratul Idami
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 2: Mei 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 43 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Dan Pemberhentian Keuchik di Aceh menyebutkan bahwa Keuchik berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan, selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa Keuchik dapat diberhentikan karena berakhir masa jabatan, tidak dapat melaksanakan tugas berkelanjutan selama 6 bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Keuchik, melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban Keuchik dan melanggar larangan Keuchik. Berdasarkan surat Keputusan Bupati Aceh Barat Daya Nomor 214 Tahun 2017 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Keuchik Gampong Blang Manggeng, pemberhentian Keuchik Gampong Blang Manggeng dikarenakan mosi tidak percaya masyarakat kepada Keuchik Gampong Blang Manggeng hal ini tidak memenuhi ketentuan dalam Qanun tersebut. Tujuan dari penulisan artikel ini untuk menjelaskan mengenai Pemberhentian Keuchik Gampong Blang Manggeng dalam praktek dan akibat hukum yang ditimbulkan dari pemberhentian Keuchik Gampong Blang Manggeng Kabupaten Aceh Barat Daya. Untuk memperoleh data dilakukan penelitian yuridis empiris, Penelitian yuridis dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan buku literatur hukum atau bahan hukum tertulis lainnya. Penelitian empiris dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan penelitian ini melalui wawancara dengan responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberhentian Keuchik Gampong Blang Manggeng dalam prakteknya tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan didalam Qanun Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Dan Pemberhentian Keuchik di Aceh hal ini dikarenakan Surat Keputusan Bupati Aceh Barat Daya Nomor 214 Tahun 2017 tentang Pemberhentian Dan Pengangkatan Penjabat Keuchik Gampong Blang Manggeng dikeluarkan hanya berdasarkan Mosi masyarakat tanpa melalui tahapan pembuktian hukum terlebih dahulu atas hal yang disinyalirkan dilakukan oleh Keuchik yang menjabat saat itu. Akibat hukum yang ditimbulkan dengan dikeluarkan SK tersebut adalah Keuchik yang diberhentikan tersebut tidak lagi dapat menjabat sebagai Keuchik Gampong Blang Manggeng sehingga tidak perlu melakukan hak dan kewajibannya lagi sebagai Keuchik. Disarankan kepada Bupati dalam bertindak sebagai pengambil keputusan haruslah mengacu kepada perundang-undangan yang berlaku, selanjutnya bagi Keuchik yang diberhentikan yang tidak sesuai dengan peraturan agar dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Perlindungan Konsumen Atas Produk Pangan Impor Yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia Yang Dijual Di Toko Modern Sastri Mayani; Wardah Wardah
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan pelaku usaha melakukan pelanggaran penjualan produk pangan impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia, dan menjelaskan tanggung jawab pelaku usaha atas pelanggaran penjualan produk pangan impor, serta menjelaskan upaya yang dapat dilakukan konsumen atas pelanggaran penjualan produk pangan impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia. Penelitian ini bersifat yuridis empiris. Data penelitian diperoleh melalui kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dengan membaca peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, pendapat para sarjana, buku-buku dan artikel. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara responden dan informan. Hasil penelitian diketahui faktor penyebab pelaku usaha melakukan pelanggaran atas penjualan produk pangan impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia adalah karena faktor banyaknya permintaan dari konsumen atas suatu produk pangan impor, karena kurangnya pengetahuan pelaku usaha dan sampai saat ini belum adanya tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumen atas penjualan produk pangan impor yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia. Upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen adalah konsumen dapat membatalkan pembelian dan melakukan komplain langsung serta konsumen juga dapat menggugat pelaku usaha melalui pengadilan maupun di luar pengadilan termasuk juga melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Disarankan kepada pelaku usaha agar menjual produk-produk pangan impor yang sudah terdaftar di BBPOM, dan kepada konsumen agar lebih cerdas dalam mempertahankan hak- haknya sebagai konsumen, serta kepada pemerintah diharapkan juga agar memfokuskan pengawasannya terhadap informasi label berbahasa Indonesia di dalam kemasan kepada pelaku usaha.
PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DAN PAJAK RESTORAN DI KECAMATAN TAPAKTUAN KABUPATEN ACEH SELATAN Cut Ghina Wahyuni; Ilyas Ismail
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 1: Februari 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Menurut Pasal 6 Qanun Daerah Kabupaten Aceh Selatan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel dan Pasal 6 Qanun Daerah Kabupaten Aceh Selatan Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran menetapkan bahwa tarif pajak hotel dan pajak restoran di kabupaten Aceh Selatan sebesar 10% (sepuluh persen). Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Namun pada kenyataannya realisasi pemungutan pajak hotel dan pajak restoran tidak berjalan sesuai dengan yang sudah ditetapkan dalam Qanun Daerah Kabupaten Aceh Selatan Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel dan Qanun Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Aceh Selatan tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan mekanisme Pemungutan Pajak Hotel dan Pajak Restoran, hambatan apa saja yang di hadapi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kabupaten Aceh Selatan dalam melaksanakan pemungutan Pajak Restoran dan upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kebupaten Aceh Selatan untuk memaksimalkan pemungutan Pajak Restoran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian lapangan dilakukan dengan cara mewawancarai pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini untuk memperoleh data primer sedangkan penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku teks, pendapat-pendapat para ahli, jurnal dan perundang-undangan untuk memperoleh data teoritis. Hasil dari penelitian ini adalah target penerimaan pendapatan daerah tahun 2015 untuk Pajak Hotel yang telah ditentukan sebesar Rp. 76.680.00 namun hanya terealisasi sebesar Rp. 32.387.344. Sedangkan target Pajak Restoran yang telah ditentukan sebesar Rp.39.185.000,00 namun hanya terealisasi sebesar Rp. 5.920.000 Hal ini diakibatkan karena kendala-kendalaseperti kurangnya omset penjualan, tidak ada izin dari camat, kurangnya sosialisasi tentang pajak dan petugas pemungut pajak yang tidak tegas. Upaya yang telah dilakukan adalah mengeluarkan surat teguran, melakukan penjemputan pajak dan menerapkan pengenaan sanksi sebesar 2% dari pajak terutang. Diharapkan kepada DPKKD kabupaten Aceh Selatan agar diizinkan wajib pajak mencicil pajak terutangnya, rutin diadakannya sosialisasi, lebih tegas terhadap wajib pajak yang tidak bersedia membayar pajak dengan berbagai alasan dan penetapan pajak 10% diminimalisasikan supaya pemungutan pajak hotel dan pajak restoran lebih optimal.

Page 2 of 28 | Total Record : 272