Articles
182 Documents
KESEJAHTARAAN MASYARAKAT VS KERUSAKAN LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DI KABUPATEN SUMENEP
Dian Novita;
Zainuri Zainuri
PETITA Vol 1, No 1 (2019): PETITA Vol. 1 No. 1 Juni 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (116.875 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i1.4025
Kekayaan alam di bumi Indonesia khususnya di kabupaten Sumenep sangatlah melimpah ruah, hal tersebut bisa kita lihat dari banyaknya kekayaan alam yang tersimpan di bumi kabupaten Sumenep, adapun kekayaan alam yang banyak tersimpan di bumi Sumenep diantaranya adalah bahan bahan galian C yaitu berupa pasir, batuan, kerikil, tanah, dll. Kegiatan pertambangan di bumi kabupaten Sumenep bisa dikatakan seperti buah simalakama, disatu sisi kegiatan pertambangan tersebut dapat menjadi salah satu mata pencaharian penduduk di sekitar lokasi pengelolaan pertambangan, namun di sisi lain kegiatan pertambangan tersebut dapat mengancam kerusakan lingkungan yang dapat membahayakan keselamatan jiwa pada masyarakat lingkar tambang.
TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI KOTA BATAM BERDASARKAN NILAI KEADILAN
artanto, Tri
PETITA Vol 1, No 2 (2019): Vol 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v6i2.2195
Pada awalnya Kepulauan Riau adalah salah satu dari kabupaten yang ada di Propinsi Riau yaitu Kabupaten Kepulauan Riau. Propinsi Riau sendiri terbentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-undang Nomor 61 Tahun 1958. Wilayah propinsi Riau itu semula terdiri dari Daerah Tingkat II, Kepulauan Riau, Bengkalis, Kampar, Indragiri dan Kotapraja Pekanbaru. Ibu Kota Propinsi Riau semula adalah Tanjungpinang dan pada tahun 1959 Ibu Kota Propinsi Riau dipindahkan oleh Pemerintah Pusat ke Pekanbaru. Badan Pengusahaan (BP) Batam juga menguasai seluruh lahan dan pertanahan yang ada di Pulau Batam. Untuk seluruh alokasi lahan harus mendapat izin dari Badan Pengusahaan (BP) Batam. Kantor Walikota Batam saja statusnya masih milik BP Batam. Selain itu, seluruh lahan sifatnya hak guna (beberapa ada hak milik, namun presentasenya sangat kecil). Akan tetapi dengan keadan sekarang yang mana Wali Kota Batam sebagai Ex-Officio sebagai Kepala BP Batam lewat Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.Dalam penelitian jurnal ini yang menjadi rumusan masalah peneliti adalah bagaimana peraturan hukum yang berlaku tentang kepemilikan hak atas tanah di Kota Batam dan bagaimanakah kepastian hukum bagi warga masyarakat Kota Batam dalam hal kepemilikan hak atas tanah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia sesuai dengan rasa keadilan.Penelitian hukum yang dilakukan peneliti adalah yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang membuka peluang untuk mengetahui kepemilikan hak atas tanah di kota batam berdasarkan nilai keadilan.Adanya hak pengelolan yang dimiliki BP Batam, sehingga BP Batam sebagai pemilik tanah di kota Batam. Dimana BP Batam menguasai Hak Pakai atas tanah dan masyarakat Kota Batam hanya di berikan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pakai tersebut. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Sebaiknya kepemilikan tanah untuk perumahan masyarakat Kota Batam sebaiknya ditingkatkan dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Karena seiring perjalanan waktu tingkat produktivitas manusia akan berkurang, dimana tenaga kerja produktif akan memasuki usia pensiun dan tidak produktif. Disaat usia masyarakat tidak produktif lagi dan masyarakat tidak bekerja lagi, maka ketika masyarakat tersebut masih harus dibebabankan dengan membayar UWTO yang cukup memberatkan. Maka tidak memenuhi rasa keadilan seperti yang diharapkan.
KELEMAHAN PERATURAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Pristika Handayani
PETITA Vol 3, No 2 (2021): PETITA Vol. 3 No. 2 Desember 2021
Publisher : Universitas Riau Kepulauan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (270.812 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i2.3831
Perselisihan hubungan industial tidak bisa dihindari seiring berjalannya waktu. Hak dan kewajiban yang sudah ditetapkan ada kalanya terjadi dan tidak dapat dihindari. Pengaturan tentang penyelesaian hubungan industrial telah mengalami dinamika/perubahan. Pasca kemerdekaan RI perselisihan di tempat kerja diistilahkan sebagai perselisihan perburuhan Dengan adanya peraturan perundangan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah juga mempunyai kelemahan. Dengan adanya penelitian ini nantinya diharapkan agar berbagai aspek mengetahui sistem penyelesaian dan pemerintah membenahi dari kelemahan peraturan perundang-undangan ini. Metode penelitian yang digunakan adalah yudiris normarif dengan mendalami isi dari perundang-undangan dan aturan lain yang terkait. Terdapat berbagai kelemahan sistem mediasi hubungan industrial yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014, dan PERMA Nomor 1 Tahun 2016, telah mengakibatkan ketidakadilan bagi kalangan buruh khususnya bagi kalangan buruh kontrak.
PROSEDUR HUKUM ATAS PERCERAIAN SUAMI DAN ISTRI BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL TINJAUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL” (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR1406/PDT.G/2013/PA.BTM)
Azrianti, Seftia
PETITA Vol 3, No 2 (2016): Vol 3 No 2 Desember 2016
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i2.669
Untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan, sejahtera dari lingkungan terkecil yaitu lingkungan rumah tangga yang di awali dengan adanya suatu perkawinan. Membentuk keluarga yang diawali dengan perkawinan merupakan keinginan yang normal pada setiap manusia, karena perkawinan merupakan mekanisme survival (cara mempertahankan kelangsungan hidup). Melalui perkawinan akan diperoleh keturunan yang kemudian menjadi manusia-manusia baru yang akan mempertahankan kehadiran manusia di dunia dan akan hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : bagaimanakah prosedur hukum atas perceraian suami dan istri berstatus pegawai negeri sipil tinjauan peraturan pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian pegawai negeri sipil dan bagaimanakah studi atas kasus prosedur hukum perceraian pada putusan nomor 1406/pdt.g/2013/pa.btm di Batam?.Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui Untuk Prosedur Hukum Atas Perceraian Suami Dan Istri Berstatus Pegawai Negeri Sipil Tinjauan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Untuk mengetahuistudi atas kasus prosedur hukum perceraian pada putusan Nomor 1406/Pdt.G/2013/PA.BTMdi Batam.Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Hendaknya masalah perceraian dikalangan Pegawai Negeri Sipil dan juga masalah hak dan kewajiban suami terhadap istri setelah terjadi perceraian mendapat perhatian dari semua instansi terkait terutama lembaga Pengadilan Agama. Mengingat Pegawai Negeri Sipil merupakan unsure Aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku.Karena banyak pasangan suami istri yang mengajukan gugatan perceraian tidak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Maka harus diadakannya penyuluhan- penyuluhan kepada para pihak-pihak terkait tentang undang-undang perkawinan dan aturan-aturan lainnya tentang Undang-undang Perkawinan, Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 dan aturan-aturan lainnya.
PERBANDINGAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT BANK ANTARA UNDANG- UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
Tri Artanto
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (447.956 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4042
Bank sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dalam memberikan kredit harus memperhatikan aturanaturan yang diberlakukan Bank Indonesia, dan juga wajib memperhatikan keabsahan perjanjian kredit, dan pengikatan benda jaminan kredit. Ketidaksahan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan akan menimbulkan kerugian bagi kreditur maupun debitur, dimana suatu perjanjian kredit baru dapat dinyatakan tidak sah apabila sudah diputus pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam pada itu tentunya kreditur maupun debitur akan mengeluarkan biaya misalnya biaya pengadilan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aturan-aturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan prinsip-psinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, keabsahan suatu perjanjian kredit, dan benda-benda yang dapat menjadi jaminan kredit. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbandingan hukum perjanjian kredit bank antara Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Untuk mengetahui pengaturan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit bank ketika terjadi wanprestasi.Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dan bersifat deskriptif yaitu dengan menelaah undang-undang dan regulasi-regulasi lain yang merupakan hukum positif tertulis yang berkaitan dengan perjanjian kredit bank.Berdasarkan hasil penelitian ada aturan-aturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit yang wajib dipenuhi oleh suatu bank ketika akan memberikan kredit. Disamping itu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat keabsahan perjanjian yang ditentukan Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dan karena kredit memiliki resiko, bank meminta jaminan dari nasabah debitur, untuk pelunasan kredit apabila nasabah debitur wanprestasi.
ANALISIS KOMPARATIF TENTANG PENERAPAN UANG WAJIB TAHUNAN OTORITA (UWTO) DIKAITKAN DENGAN PENERAPAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DALAM KEWENANGAN HAK PENGELOLAAN (HPL)
artanto, Tri;
Harefa, Diyon Star;
Harefa, Diyon Star
PETITA Vol 2, No 1 (2020): Petita Vol 2 No. 1 Juni 2020
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i1.2583
Analisis Komparatip Tntang Penrapan duit Wajib Tahnan Otorita Dikaitkan Dengan Penerapan Pajak Bumi Dankan Banggunan Dalam Kewenangan Hak Pengelolaan (HPL) merupakan proses yang bertujuan pengaturan hukum terhadap Penerapan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) Dikaitkan Dengan Penerapan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Dalam Kewenangan Hak Pengelolaan (HPL). Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan administrasi UWTO sampai dengan perpanjangan Hak Guna Bangunan di Kota Batam. bagaimana Masalah Pembebanan Uang Wajib Tahunan Otorita dan Pajak Bumi Bangunan Kepada Pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) Di Kota Batam. Metode Pendekatan yuridis normatif (Legal Research) adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika ilmi hukum dari sisi normatifnya (menelaah norma hukum tertulis), dimana penelitian ini menekankan pada penggunaan data sekunder studi kepustakaan. Pelaksanaan administrasi UWTO sampai dengan perpanjangan Hak Guna Bangunan di Kota Batam adalah secara administrif, setelah pengusaha yang memiliki badan hukum menerima Izin Peralihan Hak (IPH) diatas tanah Negara yang dapat dikelola oleh swasta sesuai dengan ketentuan yang ada, maka tanah-tanah tersebut wajib difungsikan sesuai dengan izin peruntukkannya. Akan tetapi yang terjadi adalah banyak tanah-tanah di Kota Batam tidak difungsikan sebagaimana mestinya, karena berbagai faktor alasan (alibi). Apabila telah dipenuhi semua persyaratan untuk mengelola tanah di wilayah Batam, sesuai dengan peruntukkannya, maka pihak pengusaha wajib segera membangun dan bukan membiarkan tanah tersebut menjadi lahan yang tidak produktif. Karena sesuai dengan aturan yang ada bahwa Batam merupakan daerah industrial yang berkompetitif dengan Negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia berdasarkan Undang-Undang no 44 tahun 2007 tentang Perdagangan bebas (Free Trade Zone), akan tetapi Kota Batam menjadi wilayah yang tidak produktif sehubungan begitu banyak lahan yang tidak dibangun dengan berbagai alasan, karena ini merugikan bagi kepentingan umum. Kata Kunci: Penerapan UWTO, Penerapan PBB, Kewenangan HPL.
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN BANK DALAM PEMBERIAN KREDIT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN
Rahmanidar, Rahmanidar
PETITA Vol 1, No 1 (2014): Vol. 1 No 1 Juni 2014
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i1.681
Salah satu usaha bank yang telah cukup dikenal masyarakat adalah memberikan dana pinjaman atau utang kepada nasabahnya, namun mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus menerapkan ketentuan-ketentuan perkreditan yang sehat. Salah satu hal penting yang dianut industri perbankan nasional saat ini adalah dengan menjalankan prinsip kehati-hatian (prudential principles) seperti yang tercantum pada pasal 2 dan pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
PROSEDUR HUKUM ATAS PERCERAIAN SUAMI DAN ISTRI BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL TINJAUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
Ahars Sulaiman
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (162.522 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4053
Untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan, sejahtera dari lingkungan terkecil yaitu lingkungan rumah tangga yang di awali dengan adanya suatu perkawinan. Membentuk keluarga yang diawali dengan perkawinan merupakan keinginan yang normal pada setiap manusia, karena perkawinan merupakan mekanisme survival (cara mempertahankan kelangsungan hidup). Melalui perkawinan akan diperoleh keturunan yang kemudian menjadi manusia-manusia baru yang akan mempertahankan kehadiran manusia di dunia dan akan hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui Untuk Prosedur Hukum Atas Perceraian Suami Dan Istri Berstatus Pegawai Negeri Sipil Tinjauan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Untuk mengetahuistudi atas kasus prosedur hukum perceraian pada putusan Nomor 1406/Pdt.G/2013/PA.BTMdi Batam. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Hendaknya masalah perceraian dikalangan Pegawai Negeri Sipil dan juga masalah hak dan kewajiban suami terhadap istri setelah terjadi perceraian mendapat perhatian dari semua instansi terkait terutama lembaga Pengadilan Agama. Mengingat Pegawai Negeri Sipil merupakan unsure Aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku.Karena banyak pasangan suami istri yang mengajukan gugatan perceraian tidak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Maka harus diadakannya penyuluhan- penyuluhan kepada para pihak-pihak terkait tentang undang-undang perkawinan dan aturan-aturan lainnya tentang Undang-undang Perkawinan, Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 dan aturan-aturan lainnya.
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN TALAK 3 (TIGA) SECARA LANGSUNG BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Artanto, Tri;
Anggraini, Pusfa
PETITA Vol 2, No 2 (2020): PETITA, 2 Desember 2020
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i2.2878
Talak 3 (tiga) adalah talak terakhir yang diucapkan suami kepada istrinya dalam mengakhiri keretakan rumah tangga. Ketika talak 3 sudah diucapkan maka haram bagi suami untuk perempuan itu (istrinya). Talak 3 (tiga) disebut dengan talak ba’in kubroo. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian normatif dengan data sekunder yang dilakukan dengan studi pustaka. Pokok kajiannya adalah berbentuk norma-norma atau kaidah hukum yang dipakai sebagai acuan perilaku setiap orang, sehingga penelitian hokum normatif berfokus pada inventarisasi hokum positif, sistematis hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hokum dan sejarah hukum. Hasil penelitian ini adalah pengaturan talak 3 yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang istri yang telah dijatuhkan talak 3 oleh suaminya wajib mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Dalam hukum Islam talak itu sendiri diperkenankan oleh Allah tetapi ada aturan-aturan dan berhati-hati dalam menjatuhkan talak, sehingga suami tidak gampang mengucapkan kata talak. Talak 3 adalah talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang ketiga kali atau secara langsung secara berturut-turut. Jika suami sudah menjatuhkan talak kepada istrinya maka haram baginya.
SANKSI PIDANA PENCABUTAN HAK POLITIK DAN DENDA MAKSIMAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014)
Rahmanidar Rahmanidar;
Budiyardi Budiyardi
PETITA Vol 2, No 1 (2020): PETITA Vol. 2 No. 1 Juni 2020
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (173.074 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i1.4016
Salah satu tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) adalah tindak pidana korupsi, sehingga upaya dalam pemberantasannya juga perlu cara yang luar biasa pula dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat, khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Namun semangat itu sepertinya hanya seruan saja, karena sampai saat ini kasus tindak pidana korupsi menunjukkan tren peningkatan yang sangat signifikan bahkan melibatkan semua lini birokrasi. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Sanksi Pencabutan Hak Politik dan Denda Maksimal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dengan studi melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaturan sanksi pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal dalam hukum pidana Indonesia dan bagaimanakah perspektif Hak Asasi Manusia terhadap sanksi pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Jenis penelitian ini adalah normatif yang mengacu pada norma hukum dan peraturan perundang-undangan, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses dengan menggunakan sumber data sekunder yang dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan yang dianalisa dengan metode deduktif dan kualitatif. Dari penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal seperti pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014, telah diatur dalam konsepsi hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP maupun Undang-Undang Pemberantasan Tipidkor, namun pada konteks tidak adanya limitasi pencabutan hak adalah bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 KUHP maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk itu, diperlukan adanya produk hukum dengan muatan sanksi yang lebih berat dari yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang mampu mewujudkan tujuan pemidanaan agar pelaku tindak pidana korupsi jera dan orang/pejabat lain tidak melakukan perbuatan yang sama dikemudian hari dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.